Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Kecanduan Seksual" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kecanduan seksual ini ada siklusnya, ya ?
SK : Ya, ada siklusnya, Pak Hendra.
H : Seperti apa siklusnya, Pak ?
SK : Siklus yang pertama, berawal dari pemicu. Yang dimaksud pemicu adalah peristiwa atau perasaan yang semacam rasa sakit yang ingin kita hindari. Jadi, peristiwa atau perasaan ini bisa berupa rasa tertekan, rasa cemas, rasa sakit hati, bentuk perasaan karena peristiwa konflik relasi, karena menghadapi percakapan-percakapan yang sulit, munculnya rasa tidak aman dan tidak nyaman pada umumnya, mengalami rasa tertolak, terhina, mengalami kondisi bagaikan hari yang buruk, mengalami sebuah perlawanan konfrontasi, pikiran putus asa, perasaan sakit karena merasa ditinggalkan, diabaikan, rasa kesepian dan perasaan buruk lainnya. Jadi hal-hal inilah yang menjadi pemicu dari siklus kecanduan tersebut.
H : Pemicu ini bisa berkaitan dengan faktor dari luar, ya Pak ?
SK : Betul. Jadi pemicu ini bisa berupa stimulus atau pemicu dari luar, seperti gambar-gambar di pinggir jalan, baliho, spanduk, kalau kita berkendara atau berjalan kaki di luar, sampul majalah, 'chatting' dan percakapan-percakapan yang mengarah pada hal tertentu, itu bisa menjadi pemicu. Gambar, berita di internet, cerpen erotik, perjumpaan dengan orang-orang yang memiliki sikap tertentu misalnya sikap yang kesannya genit atau sifat yang kesannya membangkitkan gairah seksual kita atau wajah dan kepribadian orang tertentu yang mengingatkan kita pada tokoh-tokoh dunia percabulan, dunia perzinahan atau pun dengan pengalaman kita yang berkaitan dengan masa lalu dan berkaitan dengan sisi kelam kehidupan seksualitas kita. Ini bisa jadi pemicu. Spektrumnya cukup luas, Pak Hendra, tergantung masing-masing orang.
H : Kesimpulan sementara, pemicu ini bisa ada dua, yang pertama peristiwa atau perasaan yang menimbulkan rasa sakit yang ingin kita hindari, yang kedua, bisa berupa stimulus dari luar seperti yang sudah Bapak jabarkan contoh-contohnya.
SK : Betul.
H : Dari pemicu ini, siklusnya akan naik kemana, Pak ?
SK : Dari pemicu ini, bila dibiarkan, akan masuk tahap kedua yaitu tahap keterlenaan. Maksudnya, pikiran kita mulai mengambil alih dan melampaui kendali kita. Pikiran kita mulai mengambil alih kendali kita. Di sini kita bergerak aktif ke arah kecanduan. Kita memilih untuk melakukan hal yang telah kita kenal dengan baik yang mampu memberikan kepuasan yang lebih rendah dengan harapan kita akan memperoleh kelegaan. Jadi keterlenaan ini seperti orang yang terhanyut. Perasaan dan pikirannya terhanyut, pikiran kita mulai tersambung dengan dorongan seksual. Pada titik yang kedua, kalau pemicu ini kita biarkan, kita akan masuk ke dalam keterlenaan atau keterbiusan. Pikiran kita mulai masuk ke dalam fantasi seksual kita, membayangkan lebih lanjut, mulai muncul perasaan ingin memuaskan hasrat seksual, mulai muncul perasaan yang, "Enak sekali kalau aku masturbasi sekarang. Wah, seandainya ada gambar porno yang kulihat bisa menemaniku di tengah rasa sepi ini… ah, kalau aku bisa berhubungan seks dengan pacarku itu, stresku pasti akan sirna dan aku bisa merasakan kenikmatan dan kedamaian lagi." Inilah tahap yang kedua, Pak Hendra.
H : Di fase yang kedua ini, apakah sudah mulai kehilangan kendali, Pak ?
SK : Sudah, kendalinya mulai diserahkan kepada siklus tadi. Jadi sudah mulai lepas kendali.
H : OK. Jadi ini akan mengantarkan dia masuk ke fase yang ketiga di dalam siklus itu. Apa fase yang ketiga ?
SK : Fase yang ketiga yaitu fase ritualisasi, dari kata ritual atau upacara. Artinya tata urutan pada perilaku seksual itu. Disini kita mulai merencanakan untuk mencapai sasaran kita, pelampiasan, pemuasan hasrat seksual kita. Mungkin kita merencanakan, "Aku mau pulang kerja lebih awal, langsung pulang ke rumah, mengunci diri di kamar, semua dibuat gelap biar disangka tidak ada orang di rumah, nah aku bisa baca majalah pornoku, nonton film itu sambil masturbasi. Nanti aku hubungi pacarku, aku ajak dia makan malam romantis, setelah itu aku bisa berhubungan seks dengan dia." Nah, dia mulai merencanakan. Mungkin merencanakan pulang lebih awal, merencanakan bagaimana bisa sendirian, menutup pintu agar tidak ada yang mengganggu, di sini kita berhenti tentang hal-hal lain dan hanya terfokus pada gerak maju untuk memuaskan hasrat seksual kita. Dari sini kita mulai terhisap oleh tarikan yang kuat dan tidak dapat dihentikan. Ibaratnya seperti "vacuum cleaner", kita tidak bisa meronta atau menghindar lagi, pelan-pelan kita makin lama makin meningkat, percepatan mencapai titik yang tertinggi dan nantinya kita bisa meluncur dengan hasrat seksual kita ini. Inilah tahap ritualisasi itu, Pak Hendra.
H : Terhisap dalam tarikan yang kuat dan tak bisa dihentikan, jadi bolehkah saya menyimpulkan, bahwa kalau sudah masuk ke dalam fase ritual ini sudah nyaris mustahil bagi orang itu untuk keluar dari siklus itu, Pak ?
Sk : Tepat! Jadi sebenarnya kalau mau keluar, hindarilah keterlenaan itu. Kalau mau memotong siklus ini, begitu ada pemicu, langsung, jangan biarkan diri terhanyut, terbius atau terlena ! Arahkan ke arah yang berbeda, banting setir. Ketika orang masuk keterlenaan dan membiarkannya, akhirnya masuk ke ritualisasi, mulai merencanakan dan mulai melakukan aktifitas untuk mewujudkan perilaku seksualnya, ini yang susah. Istilahnya "no turning back", tidak ada titik untuk kembali lagi. Ketika orang masuk ritualisasi, sulitnya bukan main. Kalau sudah naik ke ubun-ubun, hasrat seksual itu harus dilampiskan.
H : Berarti fase ini sangat berbahaya, Pak. Ini mengantarkan dia ke fase berikutnya, yaitu ?
SK : Tahap keempat yaitu tahap tindakan. Di sini kita bertindak sesuai keinginan kita dan terikat dengan perilaku tersebut. Di sini kita melampiaskan dorongan yang kita rasakan yaitu untuk pornografi, fantasi, seks di luar nikah, atau pun hal lain yang kita pakai untuk melepaskan hasrat seksual itu.
H : Jadi ini eksekusi dari ritualisasi itu?
SK : Tepat, ini eksekusinya.
H : Jadi yang sebelumnya merencanakan, sekarang melaksanakan? Setelah dilaksanakan, apakah berhenti, Pak?
SK : Tidak! Akhirnya setelah dilaksanakan, dia akan lega dan puas dengan imajinasinya yang mencapai titik kulminasi, puas dengan orgasme yang dia rasakan nikmat, kemudian mulai turun. Hasrat itu sudah terlampiaskan, masuk ke fase yang menurun, yaitu tahap kelima keputusasaan.
H : Kenapa bisa ada fase keputusasaan, Pak?
SK : Karena muncul rasa bersalah. "Kamu lagi, kamu lagi. Jatuh lagi, jatuh lagi. Gagal lagi…" Mulai menghukum diri, merasa bersalah, merasa malu dan mulai muncul pikiran, "Aku tidak berharga, aku hidup dalam dua dunia. Aku munafik! Aku palsu. Tuhan pasti tidak mau mengampuni aku. Percuma ! Tidak usah berdoa, tidak perlu gereja! Omong kosong dengan kekristenanku, omong kosong dengan status hamba Tuhan-ku. Jatuh lagi, jatuh lagi". Justru kalau dibiarkan, karena dia tertekan dan galau, masuk kembali ke fase pertama yaitu pemicu. "Ya sudahlah ! Sekalian aja lakukan lagi biar stresku ini hilang!" Kembali lagi, mengulang siklus dari awal. Bagaikan lingkaran setan, pilinan yang makin lama makin mendalam sampai akhirnya kehabisan energi, jadi dia merasa gagal, kosong, seperti itu.
H : Jadi rasa gagal dan rasa bersalah ini, kemudian kembali seperti yang tadi Bapak katakan di awal, pemicu itu bisa berasal dari rasa gagal dan rasa bersalah, akhirnya menjadi pemicu lagi. Jadi siklus tanpa akhir, Pak?
SK : Betul, bisa demikian.
H : Bapak sempat singgung dalam sesi sebelumnya, ada orang tertentu yang hati nuraninya bisa mati. Kalau hati nuraninya mati 'kan dia tidak timbul rasa bersalah, Pak?
Sk : Benar. Untuk fase yang kelima ini bisa tidak muncul atau muncul secara ringan. Mungkin karena sudah terbiasa atau dia bebas nilai, tidak punya nilai moral yang kuat, ya dia oke saja. Mungkin ada sedikit rasa bersalah, tapi bisa dia abaikan. "Ah, semua laki-laki begitu. 'Kan lebih baik daripada aku tahan-tahan, nanti meledak dengan sembarang orang, memperkosa orang, lebih baik masturbasi saja. Atau lebih baik dengan pelacur saja. Atau dengan pacarku, toh tidak ada pemaksaan, 'kan suka sama suka. Sudahlah ayo makan minum jalan-jalan !" Jadi mestinya ada rasa bersalah, tapi tertepis karena begitu kuat kemampuan rasionalisasi, pembentengan diri, pembenaran diri, penipuan diri itu, di dalam fase kelima ini bagi dia seperti fase yang gampang terlewatkan.
H : Sebenarnya itu bungkusan penyangkalan yang sesungguhnya menjadi pemicu baru, ya ?
SK : Ya.
H : Berarti siklus ini terdiri dari lima fase ini, Pak ?
SK : Iya.
H : Untuk merdeka dari siklus kecanduan seksual ini, solusinya apa, Pak ?
SK : Untuk merdeka dari kecanduan seksual, pertama kita perlu masuk ke dalam fase pengakuan. Hukumnya, kecanduan itu makin berkembang subur di dalam kegelapan. Ketika semakin gelap kondisi kita, maka kita akan semakin menjadi-jadi. Ini sejalan dengan isi firman Tuhan di dalam Injil Yohanes 3:20-21, "Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan di dalam Allah." Jadi kalau kita mau berhenti dari kecanduan seksual, mari bawa kecanduan itu ke dalam terang, telanjangi perbuatan kegelapan dan kuasa kegelapan itu ! Bagaimana kita bisa membawanya kepada terang ? Yaitu dengan mengakui. Selama kita bersikeras menyimpan rahasia, menganggapnya aib yang memalukan, justru kecanduan itu akan terus memenjarakan kita. Tapi sebaliknya bila kita mau membawanya ke dalam terang lewat pengakuan kita kepada orang lain, berseru kepada Roh Kudus untuk memampukan kita mengakui dan menghadapi rasa malu, maka ketika kita bisa melewati rasa malu, rasa gagal dan rasa bersalah itu, justru kita memiliki kesempatan yang lebih besar bagi Roh Kudus untuk berkarya melayani kita lewat dukungan yang akan kita terima dari saudara seiman kita.
H : Jadi rasa malu, rasa gagal, rasa bersalah yang di satu sisi bisa jadi pemicu kecanduan seksual, justru di sini harus kita akui di hadapan Tuhan, Pak ?
SK : Ya ! Bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada saudara seiman kita, itu perlu. Mungkin bukan kepada semua saudara seiman, tapi kita pillih 1-2 orang yang bisa kita percayai, yang bisa jaga rahasia, yang mengerti prinsip firman Allah, mengerti prinsip kasih karunia bahwa kasih menutupi banyak pelanggaran, itu akan menolong kita untuk meneguhkan pengakuan itu.
H : Jadi tidak bisa dilakukan sendirian, ya Pak ?
SK : Tidak bisa. Seringkali kita berpikir, "Buat apa ? Apa kata dunia kalau aku cerita pada orang lain ?" "Mengaku dosa 'kan cukup kepada Tuhan. Sesat kalau mengaku dosa di hadapan orang lain ! Memangnya orang lain itu Tuhan ?" Saya ingin kita bisa melihat satu bagian firman dalam Surat 1 Yohanes 1:6-7, "Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran. Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa." Kita simpulkan, sebenarnya relasi kita itu segitiga, ada Allah, kita pribadi dan saudara seiman kita sesama anggota tubuh Kristus. Allah itu terang. Maka kita adalah anak-anak terang, kita hidup dalam terang, maka kita perlu terbuka, ada dosa, mengakulah kepada Allah. Tapi ayat 7 mengatakan kalau kita hidup di dalam terang sama seperti Allah, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain. Berarti persekutuan dengan yang lain itu terjadi kalau kita hidup di dalam terang bagi sesama kita saudara seiman, harus terbuka dan transparan. Jadi pengakuan dosa kepada saudara seiman itu sangat Alkitabiah. Bahkan 1 Yohanes 1:8 mengatakan, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita." Kalau kita menyangkali dosa, berarti kita menipu diri sendiri. Tetapi selanjutnya di ayat ke-9 dikatakan, "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan dari segala kejahatan." Saya tambahkan dari Surat Yakobus 5:16, "Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." Praktek saling mengaku dosa kepada sesama saudara seiman itu praktek Bapak-Bapak Gereja dari gereja mula-mula, minimal sejak jaman Rasul Yakobus ini sudah dilakukan. Bukan sesat ! Gereja Tuhan itu juga menjadi cara Allah memelihara iman kita. Dengan kita mengakui dosa kepada sesama kita, pengakuan itu tidak lagi fiktif atau abstrak, tapi bersifat lahiriah atau daging. Dan orang lain yang menerima pengakuan dosa kita, meneguhkan. "Berdasarkan prinsip firman Allah dalam 1 Yohanes 1:9 saya mengatakan dosamu sudah diampuni. Kamu sudah dikuduskan kembali oleh darah Kristus." Kata-kata yang audible (bisa didengar) itu firman Allah yang menjadi sesuatu yang nyata, itu meneguhkan bahwa kita diampuni. Dan ketika kita mengaku pada saudara seiman kita, itu lebih mungkin untuk kita berhati-hati. "Oh ada saudaraku dimana aku sudah mengaku kepadanya. Jadi aku harus lebih hati-hati." Dan satu lagi prinsip rasa malu. Kalau orang berani mengakui rasa malunya, ini kemenangan, Pak Hendra ! Bukankah firman Allah mengatakan, dalam pengalaman Rasul Paulus dalam Surat Korintus, "Di saat aku lemah, aku kuat. Di saat aku lemah, kuasa Allah sempurna." Bagaimana kita mengatakan bahwa kita lemah ? Dengan pengakuan dosa kepada sesama saudara seiman kita itu 'kan kita mengaku lemah, tapi kalau kita, "Buat apa aku mengaku di depan orang lain ? Nanti aku direndahkan." Berarti kita 'kan tidak mau tampil lemah di hadapan orang lain ? Tapi ketika kita bersedia tampil lemah di hadapan 1-2 saudara seiman yang bisa saling mengikatkan diri dengan kita, akhirnya kita bisa mengakui kelemahan kita, di sanalah kuasa Allah sempurna. Saudara kita meneguhkan pengampunan dosa kita, saudara kita pun berjalan seiring di dalam kebenaran kasih karunia untuk bersama-sama bangkit untuk menang dari kegagalan kita sebelumnya. Kembali ini yang tidak bisa dihayati orang sampai dia mengalaminya. Saya pun memang skeptis, wah berat, memalukan sekali, namun ketika bisa melalui itu, merdeka ! Semula ketika mengaku pikirnya, "Aduh apa kata dunia ? Mau ditaruh dimana mukaku ? Dunia akan runtuh ! Aku akan dibuang, semakin dibuang." Tapi ternyata saudara seiman menerima dengan kasih karunia, menampilkan semangat anugerah itu, terus kita bisa berkata, "Ya. Aku berdosa, aku najis. Tapi aku sudah diampuni. Besar anugerah Allah !" Itu semakin kita menghormati anugerah Allah dan semakin tidak ingin menjadikan anugerah Allah sebagai barang murahan. Malah ingin menghargai anugerah ini dengan kesungguhan bagaimana agar langkah-langkah kita berikutnya tidak kembali pada kubangan kecanduan seksual yang sama.
H : Yang jadi pertanyaan, tadi Bapak katakan kita bukan mengakui di hadapan semua sesama saudara seiman, tapi kita harus memilih orang-orang yang bisa kita percaya, orang yang bisa kita andalkan. Konkretnya, cara mencari orang-orang seperti itu bagaimana, Pak ? Apakah Bapak bisa berbagi tips ?
SK : Kita bisa tanya, mungkin datang kepada hamba Tuhan atau saudara seiman yang kehidupannya terlihat takut akan Allah dan bergaul karib dengan Allah. itu 'kan nampak dari minatnya, pikiran-pikirannya, dan komitmennya yang bisa kita lihat. Memang tidak bisa singkat ya, perlu proses sekian lama untuk mengenali kualitas seseorang. Kita bisa membuka perkataan, "Kalau seandainya ada satu orang mau mengaku dosa di depanmu sesuai prinsip firman Tuhan mengaku dosa untuk mendatangkan kesembuhan pemulihan, menurutmu bagaimana ? Apakah memungkinkan kalau kamu yang menerima pengakuan dosa itu ? Apa yang akan kamu lakukan ? Apa kamu bisa meneguhkan pengampunan dosa bagi orang itu ? Apakah kamu akan tergoda untuk cerita kepada orang lain ? Atau seperti apa sikapmu ?" Apabila dia jawab, "Aku akan hormati, aku akan menjaga rahasia, karena itu memang komitmenku sebagai murid Kristus, sebagai anak Allah." Kalau demikian kita bisa melakukan proses itu. Apalagi dalam konteks tertentu orang-orang yang mengalami pendidikan formal di bidang konseling Kristen, dia akan sangat memahami artinya kerahasiaan dan artinya kasih itu menutupi banyak pelanggaran. Beberapa saudara kita yang memiliki pendidikan konseling Kristen secara optimal, diapun siap. Tidak selalu harus demikian, hamba-hamba Tuhan dan anak-anak Tuhan lainnya bisa kita cek lebih lanjut, mereka mungkin juga sudah siap untuk itu juga. Kita bisa melakukan proses penjajagan lebih dulu.
H : Jadi kita memang harus sangat selektif untuk menentukan kepada siapa kita akan terbuka ?
SK : Selektif tapi jangan sampai harus terlalu selektif, karena berarti itu sangat takut. Sebenarnya tidak sebegitu menakutkan seperti yang kita kira. Jadi intinya tanyakan apakah orang itu bisa menerima pengakuan kita dan melakukan peneguhan pengampunan dosa kita. Kalau iya, lakukan. Jangan karena sangat dikuasai ketakutan kita sendiri, kita tidak mau melangkah dengan iman, akhirnya kita tidak akan maju kepada kemenangan dari kecanduan seksual itu.
H : Jadi pengakuan ini menjadi langkah pertama yang sangat penting ya, Pak ?
SK : Ya, penting sekali, karena perbuatan kegelapan itu ditelanjangi ketika dibawa kepada terang lewat kita mau menelanjangi perbuatan kegelapan ini dengan kita mau mengakui di hadapan 1-2 saudara seiman kita.
H : Setelah pengakuan, apa langkah selanjutnya ?
SK : Langkah berikutnya setelah pengakuan, kita perlu untuk mengenali siklus kita seperti apa. Kita tadi belajar pemicu, pemicu apa saja yang kita alami. Keterlenaan kita itu seperti apa, ritualisasi kita selama ini seperti apa, tindakan apa yang kita lakukan, keputusasaan. Terutama kenali apa yang menjadi pemicu kita, kemudian ritualisasinya seperti apa. Dengan kita mengerti bagaimana kita terpicu, terlena, bagaimana tindakan kita, maka pengetahuan itu akan menolong kita untuk bisa membuat keputusan-keputusan yang khusus atau spesifik untuk mematahkan siklus kecanduan seksual yang kita alami itu.
H : Jadi setelah kita mengenali siklusnya terutama pada saat kita tahu kita rentan pada pemicu yang mana, saat itu kita harus potong dan putuskan siklus itu.
SK : Ya, bahkan kita harus hindari apa yang jadi pemicu itu. Misalnya pemicu itu gambar tertentu di pinggir jalan, ya sudah kita hindari jalan tertentu, kita tidak lewati. Ada seorang yang mengalami bahwa mall gampang memicu fantasi dan gairah seksualnya. Jadi dia memutuskan untuk tidak ke mall lagi. Bukannya berlebihan ya, tapi memang masing-masing orang memiliki pemicu yang berbeda. Mari kita jangan pongah, jangan lugu, jangan naïf. Kita tahu itu titik Iblis menyerang kita, kenapa kita tidak menjauh. Kalau kita lemah dengan HP yang ada internetnya, ya sudah, pakailah HP minimalis yang tidak ada koneksi internetnya. "Saya tergoda membuka internet porno kalau di rumah." Ya sudah, kalau perlu untuk sekian bulan kita cabut tidak pakai internet di rumah, pakai internet di kantor saja. Di kantor pun layarnya kita hadapkan ke banyak orang, sehingga kita merasa, "Hei, hati-hati jangan buka situs porno, nanti kelihatan orang, kelihatan dosamu !" Jadi ada pendekatan eksternal yang menjaga kita. Misalnya kalau malam hari buka internet itu menggoda kita, putuskanlah ! Lebih baik tidur lebih awal sekitar jam 9 malam, daripada semakin lama ingin lembur kerja ingin kejar target, makanya kita tergoda/terpicu. Tidurlah lebih awal, bangun jam 4 pagi, awali dengan doa, pujian penyembahan, merenungkan firman, setelah itu bekerja. Jadi kita punya strategi. Jangan hanya doa, puasa, didoakan, ditengking dalam nama Yesus. Itu penting, tapi itu hanya sebagian, ada tindakan konkret dan cerdas yang perlu kita lakukan agar pemicu itu tidak muncul dan agar kita tidak terlena.
H : Itu 'kan pemicu eksternal atau dari luar, kita menghindari pemicu eksternal. Bagaimana dengan pemicu internal seperti kecenderungan kita untuk menghindari rasa sakit ?
SK : Bisa saja ketika kita menghadapi rasa sakit itu, bagaimana cara kita menghadapi rasa sakit itu dengan cara yang benar. Apa yang kita lakukan ? Datang pada Tuhan, datang pada orang lain termasuk dalam bentuk lain yaitu SMS kepada teman pengakuan dosa kita. Kita bisa SMS," Tolong, aku sedang tergoda. Doakan aku, itu cara memutus pemicu supaya tidak sampai kepada keterlenaan dan ritualisasi.
H : Terima kasih, Pak. Karena keterbatasan waktu, kita harus akhiri dulu sesi ini. Kita akan lanjutkan dalam perbincangan selanjutnya. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kecanduan Seksual" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Comments
Tita
Rab, 10/09/2014 - 7:55am
Link permanen
Saya butuh seorang konselor
TELAGA
Rab, 10/09/2014 - 11:25am
Link permanen
Ingin konseling
AILEN KHOE
Jum, 11/03/2016 - 1:50pm
Link permanen
saya butuh konselor
mohon bantuannya kemana saya bisa diarahkan.
terima kasih
TELAGA
Sen, 14/03/2016 - 9:32am
Link permanen
Alamat konseling di Jakarta Selatan
martha
Min, 19/10/2014 - 8:53pm
Link permanen
Saya butuh seorang konselor
TELAGA
Sen, 20/10/2014 - 9:06am
Link permanen
Setiap konseling diadakan