TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://m.telaga.org)

Depan > Kecanduan Seksual 3

Kecanduan Seksual 3

Kode Kaset: 
T378C
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Abstrak: 
Jarang kita mendengar seorang mencari pertolongan karena bergumul dengan kecanduan seksual. Sebagian karena tidak menyadari itu adalah masalah, sebagian karena hal itu dianggap terlalu pribadi sehingga tabu untuk diutarakan dan didengar. Padahal kecanduan seksual dapat merusak hubungan, menghancurkan pernikahan dan menggerus kehidupan. Mari kita kenali sifat dan siklus kecanduan seksual ini agar dapat merdeka darinya.
Audio
MP3: 
3.4 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Kecanduan Seksual" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, kecanduan seksual ini ada siklusnya, ya ?

SK : Ya, ada siklusnya, Pak Hendra.

H : Seperti apa siklusnya, Pak ?

SK : Siklus yang pertama, berawal dari pemicu. Yang dimaksud pemicu adalah peristiwa atau perasaan yang semacam rasa sakit yang ingin kita hindari. Jadi, peristiwa atau perasaan ini bisa berupa rasa tertekan, rasa cemas, rasa sakit hati, bentuk perasaan karena peristiwa konflik relasi, karena menghadapi percakapan-percakapan yang sulit, munculnya rasa tidak aman dan tidak nyaman pada umumnya, mengalami rasa tertolak, terhina, mengalami kondisi bagaikan hari yang buruk, mengalami sebuah perlawanan konfrontasi, pikiran putus asa, perasaan sakit karena merasa ditinggalkan, diabaikan, rasa kesepian dan perasaan buruk lainnya. Jadi hal-hal inilah yang menjadi pemicu dari siklus kecanduan tersebut.

H : Pemicu ini bisa berkaitan dengan faktor dari luar, ya Pak ?

SK : Betul. Jadi pemicu ini bisa berupa stimulus atau pemicu dari luar, seperti gambar-gambar di pinggir jalan, baliho, spanduk, kalau kita berkendara atau berjalan kaki di luar, sampul majalah, 'chatting' dan percakapan-percakapan yang mengarah pada hal tertentu, itu bisa menjadi pemicu. Gambar, berita di internet, cerpen erotik, perjumpaan dengan orang-orang yang memiliki sikap tertentu misalnya sikap yang kesannya genit atau sifat yang kesannya membangkitkan gairah seksual kita atau wajah dan kepribadian orang tertentu yang mengingatkan kita pada tokoh-tokoh dunia percabulan, dunia perzinahan atau pun dengan pengalaman kita yang berkaitan dengan masa lalu dan berkaitan dengan sisi kelam kehidupan seksualitas kita. Ini bisa jadi pemicu. Spektrumnya cukup luas, Pak Hendra, tergantung masing-masing orang.

H : Kesimpulan sementara, pemicu ini bisa ada dua, yang pertama peristiwa atau perasaan yang menimbulkan rasa sakit yang ingin kita hindari, yang kedua, bisa berupa stimulus dari luar seperti yang sudah Bapak jabarkan contoh-contohnya.

SK : Betul.

H : Dari pemicu ini, siklusnya akan naik kemana, Pak ?

SK : Dari pemicu ini, bila dibiarkan, akan masuk tahap kedua yaitu tahap keterlenaan. Maksudnya, pikiran kita mulai mengambil alih dan melampaui kendali kita. Pikiran kita mulai mengambil alih kendali kita. Di sini kita bergerak aktif ke arah kecanduan. Kita memilih untuk melakukan hal yang telah kita kenal dengan baik yang mampu memberikan kepuasan yang lebih rendah dengan harapan kita akan memperoleh kelegaan. Jadi keterlenaan ini seperti orang yang terhanyut. Perasaan dan pikirannya terhanyut, pikiran kita mulai tersambung dengan dorongan seksual. Pada titik yang kedua, kalau pemicu ini kita biarkan, kita akan masuk ke dalam keterlenaan atau keterbiusan. Pikiran kita mulai masuk ke dalam fantasi seksual kita, membayangkan lebih lanjut, mulai muncul perasaan ingin memuaskan hasrat seksual, mulai muncul perasaan yang, "Enak sekali kalau aku masturbasi sekarang. Wah, seandainya ada gambar porno yang kulihat bisa menemaniku di tengah rasa sepi ini… ah, kalau aku bisa berhubungan seks dengan pacarku itu, stresku pasti akan sirna dan aku bisa merasakan kenikmatan dan kedamaian lagi." Inilah tahap yang kedua, Pak Hendra.

H : Di fase yang kedua ini, apakah sudah mulai kehilangan kendali, Pak ?

SK : Sudah, kendalinya mulai diserahkan kepada siklus tadi. Jadi sudah mulai lepas kendali.

H : OK. Jadi ini akan mengantarkan dia masuk ke fase yang ketiga di dalam siklus itu. Apa fase yang ketiga ?

SK : Fase yang ketiga yaitu fase ritualisasi, dari kata ritual atau upacara. Artinya tata urutan pada perilaku seksual itu. Disini kita mulai merencanakan untuk mencapai sasaran kita, pelampiasan, pemuasan hasrat seksual kita. Mungkin kita merencanakan, "Aku mau pulang kerja lebih awal, langsung pulang ke rumah, mengunci diri di kamar, semua dibuat gelap biar disangka tidak ada orang di rumah, nah aku bisa baca majalah pornoku, nonton film itu sambil masturbasi. Nanti aku hubungi pacarku, aku ajak dia makan malam romantis, setelah itu aku bisa berhubungan seks dengan dia." Nah, dia mulai merencanakan. Mungkin merencanakan pulang lebih awal, merencanakan bagaimana bisa sendirian, menutup pintu agar tidak ada yang mengganggu, di sini kita berhenti tentang hal-hal lain dan hanya terfokus pada gerak maju untuk memuaskan hasrat seksual kita. Dari sini kita mulai terhisap oleh tarikan yang kuat dan tidak dapat dihentikan. Ibaratnya seperti "vacuum cleaner", kita tidak bisa meronta atau menghindar lagi, pelan-pelan kita makin lama makin meningkat, percepatan mencapai titik yang tertinggi dan nantinya kita bisa meluncur dengan hasrat seksual kita ini. Inilah tahap ritualisasi itu, Pak Hendra.

H : Terhisap dalam tarikan yang kuat dan tak bisa dihentikan, jadi bolehkah saya menyimpulkan, bahwa kalau sudah masuk ke dalam fase ritual ini sudah nyaris mustahil bagi orang itu untuk keluar dari siklus itu, Pak ?

Sk : Tepat! Jadi sebenarnya kalau mau keluar, hindarilah keterlenaan itu. Kalau mau memotong siklus ini, begitu ada pemicu, langsung, jangan biarkan diri terhanyut, terbius atau terlena ! Arahkan ke arah yang berbeda, banting setir. Ketika orang masuk keterlenaan dan membiarkannya, akhirnya masuk ke ritualisasi, mulai merencanakan dan mulai melakukan aktifitas untuk mewujudkan perilaku seksualnya, ini yang susah. Istilahnya "no turning back", tidak ada titik untuk kembali lagi. Ketika orang masuk ritualisasi, sulitnya bukan main. Kalau sudah naik ke ubun-ubun, hasrat seksual itu harus dilampiskan.

H : Berarti fase ini sangat berbahaya, Pak. Ini mengantarkan dia ke fase berikutnya, yaitu ?

SK : Tahap keempat yaitu tahap tindakan. Di sini kita bertindak sesuai keinginan kita dan terikat dengan perilaku tersebut. Di sini kita melampiaskan dorongan yang kita rasakan yaitu untuk pornografi, fantasi, seks di luar nikah, atau pun hal lain yang kita pakai untuk melepaskan hasrat seksual itu.

H : Jadi ini eksekusi dari ritualisasi itu?

SK : Tepat, ini eksekusinya.

H : Jadi yang sebelumnya merencanakan, sekarang melaksanakan? Setelah dilaksanakan, apakah berhenti, Pak?

SK : Tidak! Akhirnya setelah dilaksanakan, dia akan lega dan puas dengan imajinasinya yang mencapai titik kulminasi, puas dengan orgasme yang dia rasakan nikmat, kemudian mulai turun. Hasrat itu sudah terlampiaskan, masuk ke fase yang menurun, yaitu tahap kelima keputusasaan.

H : Kenapa bisa ada fase keputusasaan, Pak?

SK : Karena muncul rasa bersalah. "Kamu lagi, kamu lagi. Jatuh lagi, jatuh lagi. Gagal lagi…" Mulai menghukum diri, merasa bersalah, merasa malu dan mulai muncul pikiran, "Aku tidak berharga, aku hidup dalam dua dunia. Aku munafik! Aku palsu. Tuhan pasti tidak mau mengampuni aku. Percuma ! Tidak usah berdoa, tidak perlu gereja! Omong kosong dengan kekristenanku, omong kosong dengan status hamba Tuhan-ku. Jatuh lagi, jatuh lagi". Justru kalau dibiarkan, karena dia tertekan dan galau, masuk kembali ke fase pertama yaitu pemicu. "Ya sudahlah ! Sekalian aja lakukan lagi biar stresku ini hilang!" Kembali lagi, mengulang siklus dari awal. Bagaikan lingkaran setan, pilinan yang makin lama makin mendalam sampai akhirnya kehabisan energi, jadi dia merasa gagal, kosong, seperti itu.

H : Jadi rasa gagal dan rasa bersalah ini, kemudian kembali seperti yang tadi Bapak katakan di awal, pemicu itu bisa berasal dari rasa gagal dan rasa bersalah, akhirnya menjadi pemicu lagi. Jadi siklus tanpa akhir, Pak?

SK : Betul, bisa demikian.

H : Bapak sempat singgung dalam sesi sebelumnya, ada orang tertentu yang hati nuraninya bisa mati. Kalau hati nuraninya mati 'kan dia tidak timbul rasa bersalah, Pak?

Sk : Benar. Untuk fase yang kelima ini bisa tidak muncul atau muncul secara ringan. Mungkin karena sudah terbiasa atau dia bebas nilai, tidak punya nilai moral yang kuat, ya dia oke saja. Mungkin ada sedikit rasa bersalah, tapi bisa dia abaikan. "Ah, semua laki-laki begitu. 'Kan lebih baik daripada aku tahan-tahan, nanti meledak dengan sembarang orang, memperkosa orang, lebih baik masturbasi saja. Atau lebih baik dengan pelacur saja. Atau dengan pacarku, toh tidak ada pemaksaan, 'kan suka sama suka. Sudahlah ayo makan minum jalan-jalan !" Jadi mestinya ada rasa bersalah, tapi tertepis karena begitu kuat kemampuan rasionalisasi, pembentengan diri, pembenaran diri, penipuan diri itu, di dalam fase kelima ini bagi dia seperti fase yang gampang terlewatkan.

H : Sebenarnya itu bungkusan penyangkalan yang sesungguhnya menjadi pemicu baru, ya ?

SK : Ya.

H : Berarti siklus ini terdiri dari lima fase ini, Pak ?

SK : Iya.

H : Untuk merdeka dari siklus kecanduan seksual ini, solusinya apa, Pak ?

SK : Untuk merdeka dari kecanduan seksual, pertama kita perlu masuk ke dalam fase pengakuan. Hukumnya, kecanduan itu makin berkembang subur di dalam kegelapan. Ketika semakin gelap kondisi kita, maka kita akan semakin menjadi-jadi. Ini sejalan dengan isi firman Tuhan di dalam Injil Yohanes 3:20-21 [2], "Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan di dalam Allah." Jadi kalau kita mau berhenti dari kecanduan seksual, mari bawa kecanduan itu ke dalam terang, telanjangi perbuatan kegelapan dan kuasa kegelapan itu ! Bagaimana kita bisa membawanya kepada terang ? Yaitu dengan mengakui. Selama kita bersikeras menyimpan rahasia, menganggapnya aib yang memalukan, justru kecanduan itu akan terus memenjarakan kita. Tapi sebaliknya bila kita mau membawanya ke dalam terang lewat pengakuan kita kepada orang lain, berseru kepada Roh Kudus untuk memampukan kita mengakui dan menghadapi rasa malu, maka ketika kita bisa melewati rasa malu, rasa gagal dan rasa bersalah itu, justru kita memiliki kesempatan yang lebih besar bagi Roh Kudus untuk berkarya melayani kita lewat dukungan yang akan kita terima dari saudara seiman kita.

H : Jadi rasa malu, rasa gagal, rasa bersalah yang di satu sisi bisa jadi pemicu kecanduan seksual, justru di sini harus kita akui di hadapan Tuhan, Pak ?

SK : Ya ! Bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada saudara seiman kita, itu perlu. Mungkin bukan kepada semua saudara seiman, tapi kita pillih 1-2 orang yang bisa kita percayai, yang bisa jaga rahasia, yang mengerti prinsip firman Allah, mengerti prinsip kasih karunia bahwa kasih menutupi banyak pelanggaran, itu akan menolong kita untuk meneguhkan pengakuan itu.

H : Jadi tidak bisa dilakukan sendirian, ya Pak ?

SK : Tidak bisa. Seringkali kita berpikir, "Buat apa ? Apa kata dunia kalau aku cerita pada orang lain ?" "Mengaku dosa 'kan cukup kepada Tuhan. Sesat kalau mengaku dosa di hadapan orang lain ! Memangnya orang lain itu Tuhan ?" Saya ingin kita bisa melihat satu bagian firman dalam Surat 1 Yohanes 1:6-7 [3], "Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran. Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa." Kita simpulkan, sebenarnya relasi kita itu segitiga, ada Allah, kita pribadi dan saudara seiman kita sesama anggota tubuh Kristus. Allah itu terang. Maka kita adalah anak-anak terang, kita hidup dalam terang, maka kita perlu terbuka, ada dosa, mengakulah kepada Allah. Tapi ayat 7 mengatakan kalau kita hidup di dalam terang sama seperti Allah, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain. Berarti persekutuan dengan yang lain itu terjadi kalau kita hidup di dalam terang bagi sesama kita saudara seiman, harus terbuka dan transparan. Jadi pengakuan dosa kepada saudara seiman itu sangat Alkitabiah. Bahkan 1 Yohanes 1:8 mengatakan, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita." Kalau kita menyangkali dosa, berarti kita menipu diri sendiri. Tetapi selanjutnya di ayat ke-9 dikatakan, "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan dari segala kejahatan." Saya tambahkan dari Surat Yakobus 5:16 [4], "Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya." Praktek saling mengaku dosa kepada sesama saudara seiman itu praktek Bapak-Bapak Gereja dari gereja mula-mula, minimal sejak jaman Rasul Yakobus ini sudah dilakukan. Bukan sesat ! Gereja Tuhan itu juga menjadi cara Allah memelihara iman kita. Dengan kita mengakui dosa kepada sesama kita, pengakuan itu tidak lagi fiktif atau abstrak, tapi bersifat lahiriah atau daging. Dan orang lain yang menerima pengakuan dosa kita, meneguhkan. "Berdasarkan prinsip firman Allah dalam 1 Yohanes 1:9 [5] saya mengatakan dosamu sudah diampuni. Kamu sudah dikuduskan kembali oleh darah Kristus." Kata-kata yang audible (bisa didengar) itu firman Allah yang menjadi sesuatu yang nyata, itu meneguhkan bahwa kita diampuni. Dan ketika kita mengaku pada saudara seiman kita, itu lebih mungkin untuk kita berhati-hati. "Oh ada saudaraku dimana aku sudah mengaku kepadanya. Jadi aku harus lebih hati-hati." Dan satu lagi prinsip rasa malu. Kalau orang berani mengakui rasa malunya, ini kemenangan, Pak Hendra ! Bukankah firman Allah mengatakan, dalam pengalaman Rasul Paulus dalam Surat Korintus, "Di saat aku lemah, aku kuat. Di saat aku lemah, kuasa Allah sempurna." Bagaimana kita mengatakan bahwa kita lemah ? Dengan pengakuan dosa kepada sesama saudara seiman kita itu 'kan kita mengaku lemah, tapi kalau kita, "Buat apa aku mengaku di depan orang lain ? Nanti aku direndahkan." Berarti kita 'kan tidak mau tampil lemah di hadapan orang lain ? Tapi ketika kita bersedia tampil lemah di hadapan 1-2 saudara seiman yang bisa saling mengikatkan diri dengan kita, akhirnya kita bisa mengakui kelemahan kita, di sanalah kuasa Allah sempurna. Saudara kita meneguhkan pengampunan dosa kita, saudara kita pun berjalan seiring di dalam kebenaran kasih karunia untuk bersama-sama bangkit untuk menang dari kegagalan kita sebelumnya. Kembali ini yang tidak bisa dihayati orang sampai dia mengalaminya. Saya pun memang skeptis, wah berat, memalukan sekali, namun ketika bisa melalui itu, merdeka ! Semula ketika mengaku pikirnya, "Aduh apa kata dunia ? Mau ditaruh dimana mukaku ? Dunia akan runtuh ! Aku akan dibuang, semakin dibuang." Tapi ternyata saudara seiman menerima dengan kasih karunia, menampilkan semangat anugerah itu, terus kita bisa berkata, "Ya. Aku berdosa, aku najis. Tapi aku sudah diampuni. Besar anugerah Allah !" Itu semakin kita menghormati anugerah Allah dan semakin tidak ingin menjadikan anugerah Allah sebagai barang murahan. Malah ingin menghargai anugerah ini dengan kesungguhan bagaimana agar langkah-langkah kita berikutnya tidak kembali pada kubangan kecanduan seksual yang sama.

H : Yang jadi pertanyaan, tadi Bapak katakan kita bukan mengakui di hadapan semua sesama saudara seiman, tapi kita harus memilih orang-orang yang bisa kita percaya, orang yang bisa kita andalkan. Konkretnya, cara mencari orang-orang seperti itu bagaimana, Pak ? Apakah Bapak bisa berbagi tips ?

SK : Kita bisa tanya, mungkin datang kepada hamba Tuhan atau saudara seiman yang kehidupannya terlihat takut akan Allah dan bergaul karib dengan Allah. itu 'kan nampak dari minatnya, pikiran-pikirannya, dan komitmennya yang bisa kita lihat. Memang tidak bisa singkat ya, perlu proses sekian lama untuk mengenali kualitas seseorang. Kita bisa membuka perkataan, "Kalau seandainya ada satu orang mau mengaku dosa di depanmu sesuai prinsip firman Tuhan mengaku dosa untuk mendatangkan kesembuhan pemulihan, menurutmu bagaimana ? Apakah memungkinkan kalau kamu yang menerima pengakuan dosa itu ? Apa yang akan kamu lakukan ? Apa kamu bisa meneguhkan pengampunan dosa bagi orang itu ? Apakah kamu akan tergoda untuk cerita kepada orang lain ? Atau seperti apa sikapmu ?" Apabila dia jawab, "Aku akan hormati, aku akan menjaga rahasia, karena itu memang komitmenku sebagai murid Kristus, sebagai anak Allah." Kalau demikian kita bisa melakukan proses itu. Apalagi dalam konteks tertentu orang-orang yang mengalami pendidikan formal di bidang konseling Kristen, dia akan sangat memahami artinya kerahasiaan dan artinya kasih itu menutupi banyak pelanggaran. Beberapa saudara kita yang memiliki pendidikan konseling Kristen secara optimal, diapun siap. Tidak selalu harus demikian, hamba-hamba Tuhan dan anak-anak Tuhan lainnya bisa kita cek lebih lanjut, mereka mungkin juga sudah siap untuk itu juga. Kita bisa melakukan proses penjajagan lebih dulu.

H : Jadi kita memang harus sangat selektif untuk menentukan kepada siapa kita akan terbuka ?

SK : Selektif tapi jangan sampai harus terlalu selektif, karena berarti itu sangat takut. Sebenarnya tidak sebegitu menakutkan seperti yang kita kira. Jadi intinya tanyakan apakah orang itu bisa menerima pengakuan kita dan melakukan peneguhan pengampunan dosa kita. Kalau iya, lakukan. Jangan karena sangat dikuasai ketakutan kita sendiri, kita tidak mau melangkah dengan iman, akhirnya kita tidak akan maju kepada kemenangan dari kecanduan seksual itu.

H : Jadi pengakuan ini menjadi langkah pertama yang sangat penting ya, Pak ?

SK : Ya, penting sekali, karena perbuatan kegelapan itu ditelanjangi ketika dibawa kepada terang lewat kita mau menelanjangi perbuatan kegelapan ini dengan kita mau mengakui di hadapan 1-2 saudara seiman kita.

H : Setelah pengakuan, apa langkah selanjutnya ?

SK : Langkah berikutnya setelah pengakuan, kita perlu untuk mengenali siklus kita seperti apa. Kita tadi belajar pemicu, pemicu apa saja yang kita alami. Keterlenaan kita itu seperti apa, ritualisasi kita selama ini seperti apa, tindakan apa yang kita lakukan, keputusasaan. Terutama kenali apa yang menjadi pemicu kita, kemudian ritualisasinya seperti apa. Dengan kita mengerti bagaimana kita terpicu, terlena, bagaimana tindakan kita, maka pengetahuan itu akan menolong kita untuk bisa membuat keputusan-keputusan yang khusus atau spesifik untuk mematahkan siklus kecanduan seksual yang kita alami itu.

H : Jadi setelah kita mengenali siklusnya terutama pada saat kita tahu kita rentan pada pemicu yang mana, saat itu kita harus potong dan putuskan siklus itu.

SK : Ya, bahkan kita harus hindari apa yang jadi pemicu itu. Misalnya pemicu itu gambar tertentu di pinggir jalan, ya sudah kita hindari jalan tertentu, kita tidak lewati. Ada seorang yang mengalami bahwa mall gampang memicu fantasi dan gairah seksualnya. Jadi dia memutuskan untuk tidak ke mall lagi. Bukannya berlebihan ya, tapi memang masing-masing orang memiliki pemicu yang berbeda. Mari kita jangan pongah, jangan lugu, jangan naïf. Kita tahu itu titik Iblis menyerang kita, kenapa kita tidak menjauh. Kalau kita lemah dengan HP yang ada internetnya, ya sudah, pakailah HP minimalis yang tidak ada koneksi internetnya. "Saya tergoda membuka internet porno kalau di rumah." Ya sudah, kalau perlu untuk sekian bulan kita cabut tidak pakai internet di rumah, pakai internet di kantor saja. Di kantor pun layarnya kita hadapkan ke banyak orang, sehingga kita merasa, "Hei, hati-hati jangan buka situs porno, nanti kelihatan orang, kelihatan dosamu !" Jadi ada pendekatan eksternal yang menjaga kita. Misalnya kalau malam hari buka internet itu menggoda kita, putuskanlah ! Lebih baik tidur lebih awal sekitar jam 9 malam, daripada semakin lama ingin lembur kerja ingin kejar target, makanya kita tergoda/terpicu. Tidurlah lebih awal, bangun jam 4 pagi, awali dengan doa, pujian penyembahan, merenungkan firman, setelah itu bekerja. Jadi kita punya strategi. Jangan hanya doa, puasa, didoakan, ditengking dalam nama Yesus. Itu penting, tapi itu hanya sebagian, ada tindakan konkret dan cerdas yang perlu kita lakukan agar pemicu itu tidak muncul dan agar kita tidak terlena.

H : Itu 'kan pemicu eksternal atau dari luar, kita menghindari pemicu eksternal. Bagaimana dengan pemicu internal seperti kecenderungan kita untuk menghindari rasa sakit ?

SK : Bisa saja ketika kita menghadapi rasa sakit itu, bagaimana cara kita menghadapi rasa sakit itu dengan cara yang benar. Apa yang kita lakukan ? Datang pada Tuhan, datang pada orang lain termasuk dalam bentuk lain yaitu SMS kepada teman pengakuan dosa kita. Kita bisa SMS," Tolong, aku sedang tergoda. Doakan aku, itu cara memutus pemicu supaya tidak sampai kepada keterlenaan dan ritualisasi.

H : Terima kasih, Pak. Karena keterbatasan waktu, kita harus akhiri dulu sesi ini. Kita akan lanjutkan dalam perbincangan selanjutnya. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kecanduan Seksual" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [6]. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [7]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Kita bisa kecanduan pada banyak hal, termasuk terhadap orang lain. Telaga kali ini membahas secara khusus tentang kecanduan seksual. Kecanduan seksual bisa berkenaan langsung dengan orang lain, baik sejenis mau pun lawan jenis, bisa juga berkenaan dengan orang yang kita imajinasikan, pornografi dan fantasi romantik, yang dapat menjadi sangat adiktif bagi wanita.

Jarang kita mendengar seorang mencari pertolongan karena bergumul dengan kecanduan seksual. Sebagian karena orang tidak menyadari itu adalah masalah, sebagian karena kita anggap hal-hal itu terlalu pribadi dan personal sehingga tabu untuk diutarakan dan didengar. Padahal kecanduan seksual dapat merusak hubungan, menghancurkan pernikahan dan menggerus kehidupan. Sangat mungkin kita sedang menjalani kenyataan tersebut saat ini.

Kita adalah orang-orang yang diciptakan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar: kebutuhan untuk dikasihi dan kebutuhan untuk memiliki makna. Sayangnya kebutuhan itu tidak dipuaskan orang tua kita dalam masa tumbuh kembang kita sebagai anak. Malah kita mengalami pengabaian, pelecehan, bertumbuh dengan kebingungan akan identitas jenis kelamin. Kita bergumul dengan kesepian, kecemasan, kebencian pada diri, stres, rasa malu dan rasa takut. Semua itu menyatu membentuk kehidupan emosional yang merindukan penawar rasa sakit. Sementara itu kita tumbuh dalam budaya yang mengajarkan kita untuk menghindari penderitaan dan rasa sakit. Untuk apa susah-susah, kalau ada cara yang mudah. Pada tahun-tahun awal kehidupan, kita sudah mengembangkan pola-pola menghindari rasa sakit.

Di saat memasuki usia remaja, dengan kehadiran masa puber dan kesadaran akan seksualitas kita, kerinduan terdalam kita akan hubungan dan keintiman, yang sesungguhnya baik dan benar, mengalami pembelokan. Kerinduan yang sesungguhnya hanya dapat dipuaskan dalam relasi intim dengan Bapa di Surga dan relasi yang sehat dengan sesama, kita lampiaskan dengan mengejar objek-objek pengganti yang lebih rendah. Berbagai jenis perilaku seksual menjanjikan dan memberikan penawar rasa sakit kita dalam ukuran tertentu. Ketika rasa sakit muncul kembali, kita kembali pada perilaku seksual yang sebelumnya memberikan rasa nyaman.

Pada awalnya seolah sangat memuaskan dan menggairahkan karena memberi ilusi keyakinan bahwa dengan cara ini kita dapat mengendalikan dan mengatur kehidupan emosional. Kita berpuas diri dengan keintiman palsu dengan laki-laki atau perempuan lain atau dengan imajinasi atau fantasi kita. Kita berharap hubungan yang sementara ini akan memenuhi kerinduan yang lebih dalam untuk dikasihi, dikenal dan diterima. Namun, sesungguhnya kita telah masuk dalam penyembahan berhala, di mana kita menciptakan dan menginginkan "berhala" yang dianggap bisa memberikan apa yang kita inginkan. Kita menyembah ilah-ilah palsu dengan cara menyerah kepada kuasa hasrat seksual dan relasional kita. Kita telah menyerahkan diri kepada hawa nafsu; dan keinginan kita, tak pernah dapat dipuaskan.

Pola kegiatan yang berulang-ulang atau kompulsif ini, dengan cepat berubah menjadi kecanduan dan mengakibatkan kita kehilangan kendali dan sulit dihentikan. Kita akhirnya terperangkap dan terpenjara dalam PENJARA KETIDAKPUASAN. Ironis. Semua alternatif pemuasan lainnya menjadi tertutup. Tiap kali rasa sakit muncul, kita secara otomatis bergerak menuju perilaku kecanduan. Hasrat seksual telah membawa kita ke dalam penjara kecanduan ketika kita mencoba memenuhinya dengan cara kita sendiri. Kita merasa seolah-olah pintu penjara telah terkunci dan kunci telah dibuang jauh—sehingga kita terpenjara selamanya dalam penjara buatan kita. Kita merasa harapan untuk bebas telah lenyap dan tidak mungkin bagi kita untuk hidup bebas dari pergumulan dan kecanduan itu. Kita pun berteriak dengan seruan Paulus, "Siapa yang akan menyelamatkan aku dari tubuh celaka ini?"

Kolose 3:5 [8], "Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala". Rancangan Allah agar kita hidup dalam nilai-nilai Allah, membuang yang tidak berasal dari Allah, termasuk hawa nafsu seksual, kenajisan yang semuanya itu identik dengan penyembahan berhala. Ini bukan sekadar isu sosial tetapi isu rohani.

Kita hidup dalam budaya yang menghindari rasa sakit, mencari cara yang mudah. Kecanduan seksual bisa dimulai sejak masa remaja. Perilaku seksual bisa berkaitan dengan fantasi seksual, pornografi. Ketika rasa sakit, rasa kosong itu muncul, hati galau, akhirnya kita kembali pada perilaku seksual yang telah memberikan rasa nyaman. Awalnya masih bisa dikendalikan, tapi sebenarnya sudah terjadi tindak penipuan, kebohongan.

Dimulai dengan ketidaksengajaan, sesekali sampai akhirnya tidak bisa dikendalikan lagi. Mulai mendewakan, meng-ilah-kan, menjadi poros atau pusat hidupnya. Semestinya datang kepada Tuhan dan tidak menyerahkan tubuh dan jiwa kita pada hasrat seksual ini. Pada titik itulah kita masuk ke penjara ketidakpuasan, ketidaknikmatan. Tanpa sadar akhirnya masuk ke dalam kondisi pornografi, fantasi-fantasi romantis, masturbasi.

Hidup dalam kemenduaan, di gereja sebagai aktifis gereja, majelis, hamba Tuhan tapi di kamar pribadinya dia menjadi pribadi yang lain. Ada rasa bersalah, tapi tidak bisa lepas.

BERITA BAIKNYA, kita BUKANNYA TANPA HARAPAN. Kita sesungguhnya diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari kecanduan!

SIFAT KECANDUAN
  1. Toleransi
    Kita membutuhkan dosis yang kian ditambah untuk mempertahankan atau meningkatkan sensasi kesenangannya. Bertambah dosis dan bertambah buruk dan merusak. Dalam hal kecanduan seksual, bermula dari masturbasi dan berkhayal, menjadi kecanduan pornografi yang makin parah, lalu ke film-film dan obrolan mesum melalui telepon atau internet, sampai pada hubungan seks bebas.
  2. Menarik Diri (withdrawal symptoms)
    Perasaan-perasaan tertekan, cemas ketika tak melakukan aktifitas kecanduan itu, menjadi mudah marah, gelisah, sakaw.
  3. Menipu Diri
    Penyangkalan atau memendam: tak melihat diri bermasalah, OK-OK saja. Rasionalisasi: sadar diri kecanduan, tapi mencari-cari alasan membenarkan diri. "Yah, setidaknya 'kan hanya masturbasi dan pornografi, 'kan tidak merugikan orang lain." Menunda : yah ini memang masalah. Saya pasti akan mencari pertolongan, .... Kekalahan yang pasif : kita menyerah akhirnya pada perilaku kecanduan kita karena berulangkali gagal. Merasa Diri Gagal dan Hancur: merasa sama sekali tak ada harga diri dan berantakan. Mulai berfantasi bagaimana kalau mengakhiri hidup saja. Atau pindah kerja, pindah kota.
  4. Distorsi Diri
    Karena sifat kecanduan yang berulang, kita mulai meyakini beberapa pernyataan keliru yang menyimpang tentang diri kita. Saya memang maniak seks; saya pada dasarnya jahat dan cabul, dari turun temurun; Allah tak mungkin bisa mengampuni saya; tak akan ada yang mau terima saya kalau mereka tahu apa yang saya lakukan.
  5. Kesombongan
    Yakin mampu mengatur perilaku kecanduan, "Saya dapat berhenti kapan pun saya inginkan. Saya bisa mengontrol sendiri hal ini. Saya mampu berubah jika saya mau." Keyakinan ini lahir karena tidak memahami sifat dan kuasa dari kecanduan.
  6. Fiksasi (perasaan terikat atau terpusat pada sesuatu secara berlebihan)
    Kita merasa terjerat benar dengan kecanduan seksual. Tiap hari atau jam tanpa memikirkannya, merencanakan atau mengkhayalinya, merampas atau merampok perhatian dan energi kita dari aktivitas-aktivitas sehat lainnya. Seks bukan lagi diterima sebagai anugerah tapi menjadi segala-galanya dalam pengertian yang dangkal dan mekanis.
    Galatia 5:1 [9], "Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan". Kita bicara tentang bentuk keterbelengguan seksual. Itu rancangan iblis dari dunia yang tidak mengenal Allah, rancangan Allah, kita merdeka.
SIKLUS KECANDUAN
Ada siklus kecanduan seksual yaitu :
  1. Pemicu/ Trigger
    Yakni peristiwa atau perasaan yang menyebabkan semacam rasa sakit yang ingin kita hindari. Pemicu bisa berupa rasa tertekan, kecemasan, rasa sakit hati, konflik relasi, pembicaraan yang sulit, rasa tidak nyaman pada umumnya, penolakan, hari yang buruk, sebuah konfrontasi, pikiran yang putus asa, perasaan yang ditinggalkan, kesepian, perasaan buruk lainnya. Pemicu bisa berupa stimulus dari luar seperti: gambar-gambar di pinggir jalan, sampul majalah, 'chatting', berita atau gambar di internet, perjumpaan dengan orang tertentu yang memiliki sifat tertentu, wajah, kepribadian tertentu yang mengingatkan kita akan perilaku cabul di masa lalu.
  2. Preokupasi/ Keterlenaan
    Pikiran kita mengambil alih dan melampaui kendali kita. Di sini kita bergerak aktif ke arah kecanduan. Kita memilih untuk melakukan hal yang telah kita kenal dengan baik yang mampu memberikan kepuasan yang lebih rendah, dengan harapan, kita bisa memperoleh kelegaan. Ada perasan terhanyut, lepas kendali.
  3. Ritualisasi
    Kita mulai merencanakan untuk mencapai sasaran kita. Mungkin meninggalkan kegiatan kita lebih awal, merencanakan di mana bisa sendirian, menutup pintu agar tak ada yang akan mengganggu. Kita berhenti berpikir tentang apa pun yang lain. Kita terfokus pada gerak memuaskan keinginan kita. Terhisap ke dalam dengan tarikan yang kuat dan tak dapat dihentikan. Ibarat permainan kereta luncur ('roller-coaster') kita pelan-pelan sudah mendekati titik tertinggi dan siap turun dengan begitu cepat.
  4. Respons/ Tanggapan (Bertindak)
    Di sini kita bertindak sesuai keinginan kita dan terikat perilaku tersebut. Lampiaskan dorongan yang kita rasakan: pornografi, fantasi, seks bebas atau hal lain yang kita pakai saat itu. Inilah eksekusi dari ritualisasi.
  5. Keputusasaan
    Setelah terpuaskan, kita kemudian segera merasakan rasa bersalah dan keterputusasaan. Begini lagi, begini lagi. Kita menyalahkan diri, menghukum diri. Rasa bersalah dan rasa malu ini dapat juga membawa kita kembali ke langkah pertama siklus, menjadi pemicu/ trigger baru. Muncullah pikiran-pikiran: saya memang tak berharga, tak akan ada yang bisa menolong saya, Allah tak mungkin mengampuni saya. Siklus ini berulang dalam hitungan hari, jam, menit ; mengendalikan dan menggerogoti hidup kita.

KEMERDEKAAN DARI KECANDUAN
Yesus datang untuk membebaskan tawanan. Kitalah tawanan dari kecanduan kita. Segala cara yang kita lakukan tak menghasilkan apa-apa.

Maka jelaslah LANGKAH PERTAMA adalah :
  1. Pengakuan
    Kecanduan makin berkembang dengan subur dalam kegelapan. Selama kita bersikeras menyimpan rahasia, kecanduan akan terus memenjarakan kita. Yohanes 3:20-21 [2], "Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah". Kita harus membawanya dalam terang lewat pengakuan. Berseru pada Roh Kudus untuk memampukan kita dalam mengakui kelemahan dan menghadapi rasa malu. I Yohanes 1:6-7 [10], "Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran. Tetapi jika kita hidup di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa". Sebenarnya relasi kita itu segitiga : ada Allah, ada kita pribadi dan saudara seiman kita. Allah terang, jadi kita adalah anak-anak terang. Praktek saling mengaku dosa kepada sesama saudara seiman merupakan praktek Bapa-Bapa gereja.
  2. Kenali Siklusnya.
    Pada saat kita mengetahui pemicunya, kita hindari pemicu tersebut. Ada tindakan konkret yang harus kita lakukan.
  3. Kembangkan Rencana Konkret.
    Jauhi teman-teman yang dulu, misalnya sama-sama pecandu internet, pembuka situs porno dan lain-lain. Dalam merencanakan sebaiknya kita melibatkan pasangan kita. Dosa paling subur jika kita sendirian.
  4. Rangkul Gaya Hidup Rendah Resiko.
    Batasi jam di depan internet, batasi waktu ketika kita sendirian. Batasi jam kerja, berani berkata "tidak" walaupun itu pelayanan. Kita membutuhkan jadwal hidup yang tidak padat dan membangun relasi yang mendalam dengan orang lain. Godaan seksual karena miskin relasi, baik dengan keluarga maupun dengan Allah dan diri sendiri. Pilihlah film yang aman dari gangguan seksual. Buat jadwal hidup yang lebih sehat, ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk istirahat, ada waktu untuk hal-hal yang serius, ada waktu untuk santai, ada waktu untuk melayani orang lain, ada waktu untuk melayani diri sendiri, ada waktu untuk memberi diri kepada orang lain, ada waktu untuk kita menerima diri kita, ada waktu kita mencurahkan pikiran kepada orang lain, ada waktu dimana kita membangun relasi dengan orang-orang terdekat kita.
  5. Membangun Pertanggungjawaban atau Akuntabilitas.
    Lewat kejujuran kita membangun integritas. Kita boleh gagal tapi kegagalan ini bisa kita ceritakan kepada orang lain supaya kita tidak semakin terpuruk. Kelompok akuntabilitas ini akan semakin efektif jika ada seseorang yang bisa menjadi motor tapi jika kita bukan tipe orang yang bisa memulai, kita bisa mengikuti kegiatan seperti kamp interdenominasi dimana kita bisa bertemu dengan orang yang sekota. Fasilitator atau pemimpin kelompok kita akan menjadi alat Tuhan yang membantu kita menemukan saudara seiman yang membangun komitmen yang sama untuk bertumbuh dalam kelompok akuntabilitas tersebut.
  6. Kembangkan Perhatian Diri.
    Kembangkan waktu untuk diri sendiri, termasuk nutrisi untuk jiwa, kembangkan hobi. Ada 2 sisi, yaitu sisi lain dari pemuridan adalah pemulihan sedangkan sisi lain dari pemulihan adalah pemuridan. Dua sisi ini perlu diperhatikan. Targetnya adalah mengenali hal yang di dalam diri kita. Kita perlu diri yang bertumbuh. Kembangkan kebiasaan dengan memakai bahasa tubuh. Para aktivis gereja atau hamba Tuhan lebih berelasi di level pikiran kognitif, tapi kering dalam hal relasi emosional, pujian yang membangun. Tumbuhkan budaya yang sehat.
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. [11]
Audio [12]
Masalah Hidup [13]
T378C [14]

URL sumber: https://m.telaga.org/audio/kecanduan_seksual_3?page=0

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T378C.MP3
[2] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=yohanes%203:20-21
[3] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=1%20yohanes%201:6-7
[4] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=yakobus&chapter=5&verse=16
[5] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=1%20yohanes&chapter=1&verse=9
[6] mailto:telaga@telaga.org
[7] http://www.telaga.org
[8] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=kolose&chapter=3&verse=5
[9] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=galatia&chapter=5&verse=1
[10] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=ii%20yohanes%201:6-7
[11] https://m.telaga.org/nara_sumber/ev_sindunata_kurniawan_mk
[12] https://m.telaga.org/jenis_bahan/audio
[13] https://m.telaga.org/kategori/masalah_hidup0
[14] https://m.telaga.org/kode_kaset/t378c