Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Suami Yang Tidak Mau Bekerja". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kita tahu bahwa bekerja atau mencari nafkah adalah bagian dari suami atau kepala keluarga untuk menafkahi keluarganya, kita tidak membicarakan tentang suami yang tidak mampu bekerja. Apakah ada banyak kasus yang Pak Paul jumpai dalam hal ini?
PG : Memang tidak terlalu banyak, Pak Gunawan, tapi ada beberapa yang saya jumpai dan sudah tentu ini menimbulkan banyak masalah dalam keluarga sebab nantinya hal ini akan berdampak bukan saja ada relasinya dengan si istri namun nantinya juga bisa berdampak buruk pada anak-anaknya sebab anak-anak akan melihat bahwa ayah adalah ayah yang tidak bekerja.
Sedangkan anak-anak tahu bahwa orang tua dari teman-temannya bekerja, sehingga nantinya akan ada rasa malu dan bisa menimbulkan rasa kurang hormat kepada ayah dan anak-anak akan menunjukkan sikap kurang hormat kepada si ayah dan ayah bisa tersinggung dan marah. Saya kira ini menjadi masalah satu keluarga, akhirnya masalah membesar, merembet kemana-mana dan memperburuk relasi si ayah dengan keluarga lainnya.
GS : Jadi masalahnya begitu kompleks. Seseorang tidak mau bekerja karena pasti punya alasan, Pak Paul ? Apa alasannya Pak Paul sehingga seseorang tidak mau bekerja ?
PG : Kita memang tidak bisa menyamaratakan kasus, jadi penting bagi kita untuk meneliti kasus per kasus dan melihat penyebab kenapa suami tidak mau bekerja. Ada beberapa yang bisa kita pikirkansebagai penyebabnya, misalkan yang pertama adalah ada suami yang tidak mau bekerja selama belum memperoleh pekerjaan yang diidamkannya.
Jadi dalam kasus ini, bisa saja dia dulunya bekerja namun kemudian kehilangan pekerjaannya, sejak saat itu dia menolak untuk melakukan pekerjaan lainnya, sebab dia merasa tidak cocok. Jadi setelah dihentikan atau kehilangan pekerjaannya dia terus mencari pekerjaan yang sama atau yang selevel atau yang gajinya juga sepadan seperti dulu. Waktu dia tidak menemukannya maka dia tidak mencari pekerjaan yang lain. Dalam kasus seperti ini istri sebaiknya turut membantu suami mencarikan pekerjaan dengan catatan suami pun tidak berhenti mencari pekerjaan, jadi jangan sampai istri yang mengambil alih si suami mencari pekerjaan. Biarlah suami mencari pekerjaan memberikan usahanya mencari lowongan-lowongan yang ada dan si istri juga secara berkala mencarikannya memberitahukan si suami, "Ini ada, ada yang mencari pegawai" dan sebagainya. Namun secara berkala istri juga mesti menyampaikan kepada si suami kondisi keuangan keluarga, jangan sampai dalam proses mencari ini si suami ini melihat kalau tidak mendapatkan yang diinginkannya maka dia juga tidak mau mengambil pekerjaan itu, sehingga pada akhirnya si istri mesti mendorong suami untuk mengambil pekerjaan lain sebagai pekerjaan sementara. Si istri bisa berkata kepada si suami, "Saya tahu bahwa engkau tidak merasa cocok dengan pekerjaan ini, tapi mengingat keuangan kita makin menipis jadi tolong ambillah pekerjaan ini sebagai pekerjaan sementara." Jadi kita tekankan kata sementara itu, "Sementara kamu bekerja di sini, kita terus mencari untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok itu." Jadi dengan cara itu suami tidak merasa dipojokkan tapi sekaligus didorong untuk mengambil langkah yang lebih praktis untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
GS : Memang di sana faktor yang seringkali menghambat adalah gaji. Kalau orang sudah terbiasa menerima gaji yang cukup tinggi, kemudian karena sesuatu hal dia meninggalkan pekerjaan itu dan sekarang mendapatkan pekerjaan lain yang gajinya lebih rendah memang akan membuat dia enggan untuk melakukannya, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi pada saat-saat seperti itu suami memang harus berpikir dengan sangat praktis yaitu terpenting adalah dia mendapatkan pekerjaan, walau pun penghasilannya tidak seberapa karena uami harus berpikir jauh, yaitu kalau dia terus dalam kondisi tidak bekerja, meskipun dia pernah punya pengalaman kerja yang lama tapi kalau akhirnya dia terus tidak bekerja menanti-nantikan yang cocok, maka makin lama dia keluar dari bidang pekerjaannya, maka makin dianggap "berkarat" dan nantinya makin sulit mendapatkan pekerjaan.
Perusahaan mau mengkaryakan seseorang yang sudah putus kerja di suatu tempat kemudian melakukan pekerjaan lain untuk sementara dan kemudian mencari pekerjaan yang lebih cocok untuknya. Dari pada perusahaan melihat bahwa setelah berhenti dari suatu pekerjaan dan dia tidak bekerja, misalkan selama 7 tahun dan mulai bekerja lagi, pastilah perusahaan yang baru itu akan bertanya-tanya, "Kamu mengerjakan apa saja selama 7 tahun?" atau pertanyaan yang lebih keras lagi adalah "Mengapa kamu bisa tahan tidak bekerja lagi selama 7 tahun?" Dengan kata lain, mulailah tersirat sebuah asumsi bahwa kamu ini orang malas makanya kamu biasa-biasa saja selama 7 tahun tidak melakukan apa-apa, tidak ada usaha apa pun sama sekali. Bukankah ini menjadi sebuah catatan negatif yang makin menyulitkannya dalam mendapatkan pekerjaan.
GS : Tadi Pak Paul katakan bahwa si istri perlu memberitahukan kondisi keuangannya, kalau si istri memegang seluruh keuangan keluarga. Dan dalam hal ini bagaimana caranya si istri untuk menyampaikan laporan keuangannya tanpa menyinggung perasaan si suami. Karena dalam kondisi suami tidak bekerja ini, suami sangat peka sekali, Pak Paul.
PG : Sebelum dia menyampaikannya dia sudah harus menyampaikan pengumuman misalkan dengan berkata, "Saya takut kamu tidak suka untuk membicarakan ini dan saya tahu kenapa kamu bisa tidak suka seab kamu juga dalam keadaan terdesak, jadi mohon maaf kalau yang saya sampaikan menyinggung kamu tapi ini tetap harus saya laporkan, karena kita satu keluarga dan kita suami istri.
Inilah kondisi keuangan kita," beritahukan dengan jelas berapa uang yang masih tersisa, itu saja jangan ditambah-tambahkan. Setelah itu serahkan masalah itu kepada suami. Jangan sampai misalkan si istri menodong si suami dan berkata, "Jadi sekarang kamu mau apa, kamu hanya diam saja, kamu tidak memikirkan keluarga." Omongan seperti itu yang langsung akan memicu reaksi si suami. Jadi lebih baik paparkan saja faktanya bahwa inilah kondisi kita, setelah memberikan pengertian itu maka jangan di tambah-tambahkan, suami akan melihatnya, memikirkannya dengan harapan bahwa dia akan bertindak.
GS : Dari pihak suami kadang-kadang ada semacam trauma, Pak Paul, apalagi kalau dia di PHK dari pekerjaan yang lama. Dia khawatir kalau dia bekerja lagi kemudian mengalami hal yang sama.
PG : Bisa jadi. Trauma ini haruslah dia lewati karena bagaimanapun juga ada kebutuhan yang mendesak. Keterdesakan ini sedikit banyak bisa berkurang kalau istrinya bekerja. Ada suami yang akhirna berkata, "Sekarang kamu yang masih bekerja jadi bisa memakai uang kamu, kenapa tidak memakai uang kamu.
Bertahun-tahun memakai uang saya, sekarang giliran pakai uang kamu, tapi kamu tidak mau." Jadi hal seperti itu juga bisa menjadi konflik, istrinya juga bisa berkata, "Bukannya saya tidak mau memakai uang saya, tapi karena persediaan kita memang makin menipis dan inilah faktanya." Jadi tolong sampaikan faktanya dan jangan menambah-nambahkan atau disinggung-singgung kembali.
GS : Seringkali kita menjumpai istri yang mendesak-desak suaminya dan itu malah membuat suaminya seolah-olah mogok kerja.
PG : Betul. Ada yang seolah-olah seperti disodorkan, didesak seolah-olah tidak merasa bersalah dan si suami bukannya termotivasi, tapi justru sengaja tidak mau tahu dan sebagainya. Tapi di piha lain saya juga harus mengatakan kepada si suami bahwa dia pun juga harus sensitif, dia pun tidak boleh mengasihani diri dan menuntut istri harus mengerti dia, karena inilah kenyataan hidup bahwa ada kebutuhan yang harus dipenuhi.
Yang kedua yang saya mau ungkit yaitu ada suami yang terus-menerus menanti-nantikan pekerjaan yang diidam-idamkannya, tapi masalahnya dia tidak bekerja dan ini beda dengan kasus yang pertama. Di kasus pertama memang sudah bekerja, kemudian kehilangan pekerjaannya tapi kasus yang kedua, ada orang yang tidak benar-benar bekerja sejak menikah. Misalnya ada pekerjaan sedikit-sedikit atau sambilan tapi benar-benar tidak pernah mempunyai pekerjaan yang tetap dan kalau ditanya dia selalu memikirkan pekerjaan yang ideal, yang dia inginkan, yang dia rasakan ini yang paling baik kalau dia mendapatkannya karena hasilnya akan memuaskan, untungnya besar. Jadi ada tipe pria yang seperti itu yang terus berangan-angan, sehingga akhirnya dia tidak pernah benar-benar menjejakkan kaki di dunia kerja. Kalau inilah masalahnya, saya lebih sarankan agar istri mengajak si suami bertemu orang untuk menjalani konseling karier, supaya dia bisa diajak untuk melihat bahwa, "Mungkin yang ini belum bisa, memang ini ide yang bagus, memang kalau menghasilkan sesuatu maka seperti inilah hasilnya" namun sementara belum mengerjakan pekerjaan lain yang serupa, atau bukan tingkatan atas tapi mengandung hal-hal serupa yang dia juga senangi maka kerjakanlah. Mudah-mudahan dengan hadirnya seorang konselor karier yang bisa membimbingnya yang pertama si suami tidak merasa dipojokkan oleh si istri. Jadi si istri mengajaknya untuk mengekplorasi kesempatan-kesempatan, lowongan-lowongan yang lain dan dia tidak merasa istrinya yang sedang memojokkan dia dan dengan dia diberitahukan bahwa ada pekerjaan-pekerjaan lain yang serumpun meskipun tidak mesti sama, dia juga bisa diberitahu bahwa ini juga akan memuaskan hati kamu, meskipun secara imbalan tidak seperti yang kamu harapkan. Dengan kata lain, di sini kita bisa mendorong si suami untuk memulai mengaktualisasikan dirinya pada tingkatan yang lebih rendah. Jadi konselor bisa berkata kepada dirinya, "Kamu kerjakan dulu, jangan cepat-cepat mau naik tingkat. Yang penting kamu nikmati dulu level yang lebih bawah tapi kamu aktualisasikan diri kamu dan lihat apa yang Tuhan akan bukakan selanjutnya. Dan dengan cara itu kamu juga menabung pengalaman dan keahlian supaya lebih siap untuk menduduki jabatan atau kedudukan yang kamu idamkan."
GS : Tapi biasanya orang sering berkata, "Setiap orang itu punya cita-cita, harapan. Dan harapannya seperti ini dan apakah ini tidak bisa saya capai ? Kalau saya mulai dari bawah maka berapa tahun lagi ?" Itu seringkali menjadi alasan.
PG : Betul sekali, ini cukup sering saya dengar, Pak Gunawan. Memang ada pria-pria yang mau cepat naik, mau cepat kaya dan beranggapan tinggal tunggu waktunya. "Timingnya saja yang belum tepat,nanti kalau timingnya sudah tepat pasti saya akan berhasil dan tidak sia-sia saya menunggu."
Tapi akhirnya orang-orang ini tidak ada pengalaman kerja, tidak punya apa-apa yang bisa disodorkan kepada perusahaan yang mau mempertimbangkannya dan sekali lagi makin bertambahnya usia dan dia tidak ada pekerjaan tetap itu akan makin menambah buruk kemungkinan untuk dia mendapatkan pekerjaan karena pastilah perusahaan akan bertanya-tanya, "Apa yang kamu lakukan selama ini, kamu tidak mau mengerjakan sesuatu secara tetap, berarti kamu ini bukan orang bisa bekerja, tidak punya komitmen, tidak punya kesetiaan, tidak punya tanggung jawab, tidak bisa stabil dan sebagainya." Akhirnya semakin tidak dibukakan pintu oleh perusahaan. Sekali lagi saya mau tekankan pada pria sebelum menikah seharusnya sudah bekerja, yang terpenting jangan sampai lowong tidak punya pekerjaan untuk waktu yang lama, apa pun yang bisa dikerjakan maka kerjakanlah, sebab itu nanti akan menambah kepercayaan dan hormat dari pihak perusahaan yang mungkin mau mempertimbangkan kita.
GS : Bagaimana Pak Paul dengan orang atau suami yang tidak mau bekerja karena kecewa ?
PG : Ada yang seperti itu juga Pak Gunawan, memang kita mengerti bahwa kita ini bekerja di dunia yang tidak sempurna sudah tentu adakalanya kita tidak menerima perlakuan yang adil, kita mungkindiberhentikan dengan cara yang kurang baik.
Biasanya kalau itu yang terjadi kita akan sakit hati, kita akan kecewa sebab bisa jadi kita memberikan yang terbaik untuk perusahaan ini, tapi dengan cara yang kurang adil kita disingkirkan. Hal itu biasanya menimbulkan luka dalam hati kita. Kalau itu yang terjadi sebaiknya istri memberi waktu kepada suami untuk pulih, berilah dia kesempatan untuk dia di rumah, untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, berdoa meminta Tuhan menguatkannya. Terus memberikan dorongan kata-kata yang penuh dengan kasih sayang, simpatik. Namun dengan satu jangka waktu misalkan setelah dua bulan sebaiknya istri perlahan-lahan dengan lembut mesti memberitahukan bahwa inilah kondisi keuangan kita saat ini dan sekali lagi istri tidak mendesak dan memarahi tapi hanya memberitahukan suami inilah kondisinya, dan untuk lebih memberikan dukungan istri bisa berkata, "Bagaimana kalau aku yang bekerja, aku yang mencari pekerjaan supaya sementara waktu ini ada penghasilan yang bisa masuk meskipun dalam mengurus anak-anak akan berat karena tidak ada saya, tapi mau bagaimana lagi?" Dengan si istri menawarkan kesediaannya bekerja maka akan makin menggugah hati si suami bahwa, "Memang hati saya telah disakiti, hati saya sudah luka tapi sudahlah saya tidak mau mengorbankan istri saya." Sehingga akhirnya dia bangkit kembali dan termotivasi untuk bekerja lagi.
GS : Kadang-kadang suami akan melarang istrinya bekerja, dia khawatir pengalaman traumatis yang dialaminya itu akan menimpa istrinya. Dia khawatir kalau istrinya akan diperlakukan seperti dia, Pak Paul, jadi biasanya dia melarang.
PG : Ada yang seperti itu, Pak Gunawan, karena dia akhirnya menyimpulkan bahwa kalau orang bekerja dan punya uang maka akan ada hal yang berbeda, tidak bisa lagi berbelas kasihan dan sebagainya Akhirnya yang dipentingkan adalah apakah menghasilkan keuntungan atau tidak.
Ada suami-suami yang takut istrinya bekerja kemudian mengalami luka hati seperti itu. Jadi dia akan melarangnya, namun saya kira semua ini harus dikesampingkan. Kalau memang dia belum bisa bekerja dan istrinya kebetulan sudah dapat pekerjaan dalam kondisi seperti ini sebaiknya si suami membiarkan si istri untuk bekerja, sebab bagaimana pun juga kebutuhan keluarga mesti dipenuhi.
GS : Mungkin ada alasan yang lain, Pak Paul, kenapa suami tidak mau bekerja ?
PG : Ada yang tidak mau bekerja karena sukar berelasi dengan orang lain, Pak Gunawan. Jadi ada kasus dia ribut dengan rekan kerja kemudian berhenti dan akhirnya mendapatkan pekerjaan lagi dan rbut lagi dengan rekannya dan akhirnya dia berhenti, selalu menuduh orang tidak mau berelasi dengan dia, orang tidak adil dengan dia, orang mempermainkan dia, orang memanfaatkan dia, orang iri hati kepada dia dan selalu ada saja alasannya.
Tapi sebetulnya kalau ini terjadi berulang kali, maka kita bisa simpulkan duduk masalahnya kemungkinan besar ada pada dirinya, dia memang tidak memiliki keterampilan berelasi akhirnya tidak punya teman dan akhirnya mudah terjadi konflik dengan teman-teman dan masalahnya adalah ada sebagian orang yang seperti ini yang suka bekerja dengan orang lain tapi dia bukan tipe pekerja mandiri, artinya dia bukan tipe "entrepreneur" yang bisa menciptakan sebuah lapangan pekerjaan yang baru atau berwiraswasta memulai dari nol. Kalau dia tipe yang seperti itu maka lebih baik dia bisa memulai sebuah usaha yang baru dan akhirnya dia berada di atas, menggaji orang di bawahnya dan dia hanya tinggal memberi instruksi dan bawahannya harus terima instruksinya. Tapi kalau dia bukan tipe wiraswastawan itu akan menjadi masalah, karena dia berarti harus selalu bekerja dengan orang lain atau di bawah orang lain. Jika inilah yang terjadi si istri harus dengan lembut, tapi jelas menyadarkan kelemahannya ini sehingga suami itu tidak terus-menerus menyalahkan orang, mungkin istri bisa memberi solusi praktis yang berkaitan dengan kerjasama misalkan si istri berkata, "Aku juga pernah mengalami masalah seperti ini dan biasanya aku begini-begini." Berikan masukan-masukan seperti itu. Yang terpenting adalah semasa suami sedang bekerja, istri harus sering mengajaknya bicara tentang situasi dalam pekerjaan supaya bila ada masalah timbul istri dapat dengan segera memberi bantuan praktis. Kalau istri tidak terlibat dan tidak banyak bertanya hanya diam-diam saja pada akhirnya tahu-tahu pulang. "Saya diberhentikan atau saya tidak mau bekerja di situ lagi," itu sudah terlambat. Kalau bisa istri selalu mengajak suami bicara, "Bagaimana tadi, bagaimana temanmu dan sebagainya" dan terlibatlah juga dengan teman suami. Jadi istri berperan aktif untuk lebih merekatkan hubungan suami dengan rekan-rekannya, sehingga misalnya kalau pun teman-temannya mulai tidak suka dengan si suami tapi karena kenal dengan si istri, sering kadang-kadang keluar maka teman-temannya sedikit sungkan untuk memperlakukan suaminya dengan lebih keras, jadi lebih memaklumi. Dia mungkin berkata, "Kasihan juga kalau dia dikeluarkan karena istrinya begitu baik dan sebagainya." Jadi kalau istri tahu bahwa suami bermasalah dalam menjalin relasi dengan orang, istri harus lebih proaktif dengan menyuruh suaminya mengajak teman-temannya datang ke rumah dan makan bersama, sehingga mudah-mudahan lebih ada kedekatan dengan rekan-rekan kerja.
GS : Kalau dasarnya adalah kesulitan berelasi Pak Paul, kemudian istri banyak menanyakan dan sebagainya, apakah si suami ini punya kesan bahwa istrinya ini mau mencampuri urusannya itu, Pak Paul ?
PG : Mungkin harus benar-benar bijaksana dalam menyampaikan kepada si suami, mungkin dengan bertanya, "Bagaimana tadi pekerjaannya? Di awal masuk kerja, ada siapa saja yang bekerja di sana?" Jai bertanya yang sederhana saja, mungkin dari satu kali percakapan hanya dua kali pertanyaan yang paling banyak.
Jangan sampai mencecar tujuh atau delapan pertanyaan. Misalkan sudah seminggu atau dua minggu masuk kerja, istrinya berkata, "Coba kamu undang datang bersama-sama ke rumah dan saya akan masak. Mungkin kita juga bisa berkenalan dengan istrinya" nanti diundang sepasang suami istri, teman-temannya datang makan bersama, ngobrol-ngobrol. Dengan cara inilah jika si istri ingin bertanya banyak hal, si suami juga tidak akan merasa kalau dicampuri karena istrinya juga mengenal mereka.
GS : Mungkin masih ada alasan lagi, Pak Paul ?
PG : Ada satu lagi, Pak Gunawan, yaitu ini yang paling berat yaitu ada yang tidak mau bekerja karena memang dia seorang yang malas. Kita ini manusia yang tidak lepas dari kelemahan, ada sebagia pria yang maunya hidup enak tanpa mengeluarkan keringat dan merasa tidak apa-apa memanfaatkan istri dan ini adalah kasus yang berat sebab pada akhirnya demi kepentingan keluarga istri harus memikul beban supaya kebutuhan tercukupi.
Dalam kasus seperti ini saya kira pembicaraan dengan suami hampir selalu percuma sebab suaminya tidak mau bekerja, dia malas dan dia tidak merasa apa-apa, tidak ada rasa malu kalau dia tidak bekerja, malahan ada yang jahat dia sudah tidak bekerja tapi dia tetap mau dihormati, dia makin keras di rumah, makin suka marah kepada anak dan istri, suka main tangan supaya tetap dihormati oleh anggota keluarganya meskipun sebenarnya semuanya sudah tidak lagi hormat kepada dia. Jadi sekali lagi saran saya dalam kasus seperti ini dari pada bertengkar maka lebih baik diamkan saja, jangan diungkit-ungkit sudah tentu pada akhirnya relasi suami istri akan memburuk, inilah konsekwensi yang mesti dipikul.
GS : Ini bicara tentang karakter, dia memang seorang yang malas, tapi peran istri sebagai penolong yang sepadan bagi suaminya sudah tentu tidak bisa membiarkan suaminya tetap malas seperti itu, pasti ada hal-hal tertentu yang bisa dilakukan oleh istri paling tidak untuk memotivasi suaminya.
PG : Sudah tentu motivasi bisa datang dari, "Saya mencintaimu, saya mau menolongmu. Jadi apa yang bisa aku lakukan ? Aku akan lakukan untukmu." Dan dalam kasus-kasus seperti ini istri selalu meberikan semua dukungan dari bicara sangat halus sampai bicara lebih keras dan malahan suami akan cepat tersinggung dan cepat marah.
Jadi memang kadang-kadang susah, Pak Gunawan. Memang ada orang yang malas, apa pun yang istrinya katakan dia tidak mau kerjakan sebab dia mau hidup enak-enak saja, hidup hanya seperti ini juga tidak apa-apa. Jadi ada orang yang seperti itu, sehingga sudah tidak bisa lagi dibicarakan.
GS : Walau pun diberikan konsekwensinya bahwa nanti anak-anak akan mencontoh dia menjadi malas dan sebagainya ?
PG : Seringkali hal seperti ini juga tidak mereka pedulikan lagi, sebab dia tidak mau lagi sudah payah, dia mau hidup enak-enak saja, tidak peduli anak-anaknya mencontoh atau tidak. Saya pernahbertemu dengan orang-orang tipe seperti ini yang memang tidak peduli, hidupnya itu hanya untuk dirinya.
Jadi dia menikah hanya untuk mendapatkan tumpangan yang baru, dulu tumpangannya adalah rumahnya sendiri dari keluarganya dan sekarang dia perlu tumpangan yang baru dan dia juga mencari istri yang cakap yang bisa bekerja. Jadi dia tidak pusing anaknya nanti akan mengatakan apa, karena dia hidup untuk dirinya sendiri.
GS : Tapi kalau istrinya bekerja dan mendapatkan gaji yang besar, apakah tidak memperburuk keadaan ?
PG : Akan memperburuk tapi dia akan senang sehingga dia tidak perlu melakukan apa-apa karena dia bisa mendapatkan dari istrinya. Kalau tidak dihormati pun dia tidak pusingkan. Tapi ada yang perngainya buruk, begitu tidak dihormati dia marah main kekerasan.
GS : Dalam hal ini satu-satunya yang bisa merubah dia mungkin Tuhan saja, Pak Paul ?
GS : Apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Firman Tuhan di Amsal 26:13,16 berkata, "Berkatalah si pemalas: 'Ada singa di jalan! Ada singa di lorong!' Si pemalas menganggap dirinya lebih bijak dari pada tujuh orang yang menjawab denan bijaksana."
Orang yang malas selalu mempunyai alasan mengapa ia tidak dapat bekerja, jarang sekali mengakui bahwa sesungguhnya ia tidak dapat bekerja melainkan dia tidak mau bekerja. Memang sulit berhubungan dengan si pemalas pada akhirnya dia harus menanggung akibatnya. Sebagaimana dikatakan dalam Amsal 26:1, "Seperti salju di musim panas dan hujan pada waktu panen, demikian kehormatan pun tidak layak bagi orang bebal."
GS : Itu tegas sekali. Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Suami Yang Tidak Mau Bekerja." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Sen, 24/11/2008 - 1:36am
Link permanen
suami malas kerja
Anonymous (tidak terverifikasi)
Sen, 24/11/2008 - 4:10pm
Link permanen
Menjadi Istri yang disayang Suami
TELAGA (tidak terverifikasi)
Kam, 04/12/2008 - 2:42pm
Link permanen
Salam Sejahtera,
Anonymous (tidak terverifikasi)
Rab, 15/04/2009 - 1:07pm
Link permanen
tolonglah saya
TELAGA
Sen, 20/04/2009 - 6:21pm
Link permanen
Salam dalam kasih