Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dan beliau adalah seorang pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang kali ini kami beri judul "Mengalahkan Sikap Egois". Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kebanyakan orang itu menuduh orang lain, jarang menuduh dirinya sendiri. Dia katakan orang itu egois, menangnya sendiri, maunya sendiri saja. Tapi sebenarnya sikap egois itu apa, sampai sebatas mana Pak Paul?
PG : Egois berasal dari kata ego, ego itu adalah aku dalam bahasa Yunani, jadi orang yang disebut egois adalah orang yang memang mementingkan dirinya, mementingkan akunya. Saya menyadari baha adakalanya kita memang harus memikirkan diri kita sendiri, adakalanya kita dipanggil Tuhan misalnya untuk menegakkan kebenaran.
Kita harus melakukan itu meskipun orang lain berkata kamu menegakkan kebenaran menurut pandanganmu, tapi kalau kita tahu ini jelas dari Tuhan kita terpaksa harus melakukan meskipun orang mengatakan kita egois. Atau yang juga saya harus akui, kita ini bisa dilihat egois waktu kita mementingkan kebutuhan mendasar kita, makan, minum nah kita memang harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan kita itu. Jarang sekali di antara kita ada yang bisa berkata saya kerja kemudian semuanya saya berikan kepada orang lain dan saya tidak perlu makan atau minum lagi. Jadi dalam hal-hal tertentu memang kita akan disebut egois, meskipun bukan egois yang saya maksud. Yang saya maksud egois adalah sikap mementingkan diri di atas kepentingan orang lain tanpa batas. Artinya tidak mengenal kondisi, tidak mengenal kondisi dalam situasi seperti apakah, tidak mengenal kondisi dalam pengertian dengan siapakah kita bersama. Yang penting kita yang harus mendapatkan prioritas utama, itulah kira-kira yang saya maksud dengan sikap egois di sini.
GS : Kadang-kadang di dalam pergaulan itu ada orang yang minta diperhatikan atau yang kemauannya harus dituruti, tetapi dia tidak mau mengerti kebutuhan orang lain Pak Paul, apakah dalam hal itu juga bisa disebut egois?
PG : Kalau itu menjadi pola, caranya berelasi dengan orang-orang itu muncul secara insidentil, saya kira bukan. Jadi yang muncul secara konsisten, konstan dengan orang-orang di sekelilingnya Nah orang ini memang sukar sekali mengesampingkan dirinya, karena apa? Karena dia melihat dirinya terlalu penting untuk dikesampingkan.
Jadi dia akan berkata secara tidak sadar saya tidak harus dikesampingkan, yang harus dikesampingkan engkau atau mereka, bukannya saya. Kenapa? Sebab ujung-ujungnya dia beranggapan diri saya terlalu penting, terlalu berharga untuk saya kesampingkan atau kalau kita mau terapkan langsung pada orang lain, orang ini sesungguhnya berkata bahwa orang lain itu tidak sepenting saya, orang lain itu tidak seberharga saya, jadi mereka itu seharusnyalah berkorban demi saya, begitu.
GS : Tetapi dia sendiri biasanya tidak mau berkorban untuk orang lain, Pak Paul?
PG : Betul, kalaupun dia berkorban Pak Gunawan, itu pengorbanan yang penuh perhitungan artinya dia akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar dengan pengorbanannya itu. Misalkan waktu dia muli mencintai seseorang, dia mungkin akan berani berkorban, pergi, menjemput dan sebagainya, namun dia melakukan semua itu dengan perhitungan yang sangat jelas yaitu dia harus mendapatkan gadis itu.
Kalau dengan adanya keraguan dia tidak mungkin mendapatkannya, maka dia tidak mungkin melakukannya. Jadi dia soroti dari segi transaksi dan transaksi yang menguntungkan dirinya, kalau dia tahu tidak akan menguntungkan dirinya maka tidak dilakukannya.
GS : Kalau kita membaca kasus di dalam Injil Pak Paul, anak-anak Zebedeus itu minta yang satu di sebelah kanan Tuhan Yesus dan kiri Tuhan Yesus itu bisa dikategorikan egois atau tidak?
PG : Saya kira pada saat itu kedua anak Zebedeus yang diwakili oleh ibunya belum tentu bersifat egois, yang sudah jelas adalah dia itu hanya melihat bahwa Yesus itu dekat dengan kedua anakny, itu memang betul.
Dari ke-12 murid ada 3 murid yang dekat dengan Tuhan, 2 anak-anak Zebedeus, yang satu Petrus. Jadi si ibu ini mempunyai keyakinan kalau kedua anaknya ini begitu dekat dengan Tuhan. Nanti dalam kedatangan Tuhan yang kedua kali untuk memerintah, anak-anaknya ini akan berada di samping kiri dan samping kanannya Tuhan. Dia sendiri tidak mempunyai gambaran bahwa Yesus itu akan meninggal, Yesus adalah Juruselamat yang harus menderita terlebih dahulu sebagai orang Yahudi. Dia berpikir Yesus itu akan menjadi raja, menjadi Mesias tanpa harus menderita terlebih dahulu. Saya kira belum bisa dikategorikan egois.
GS : Pak Paul, kadang-kadang atau sering kali bahkan nampak orang-orang yang egois kelihatannya terkesan serakah ya?
PG : Pada dasarnya orang yang egois memang serakah meskipun tidak selalu nampak serakah. Sebab definisinya serakah buat kita, misalnya orang yang merampas milik orang lain, orang yang benarbenar buat kita itu melewati batas kesopansantunan.
Namun orang yang egois belum tentu sevulgar itu, tapi kita bisa katakan pada dasarnya dia serakah, kenapa? Sebab orang yang egois itu tidak bisa membagi apa yang menjadi milik atau haknya. Kalau sesuatu dianggapnya milik dia, dia akan susah sekali membagikan untuk orang lain, sebab celakanya dia dulu harus dipenuhi itu sering kali tidak ada batasnya, harus dia lagi besok dan harus dia lagi keesokan harinya. Nah dalam pengertian seperti inilah saya memanggil orang yang egois adalah orang yang serakah.
GS : Berarti ada semacam kekhawatiran di dalam diri orang yang egois, Pak Paul?
PG : Betul Pak Gunawan, jadi orang egois sebetulnya menyimpan ketakutan, kekhawatiran. Apa yang dia khawatirkan? Takut kehilangan apa yang menjadi miliknya atau haknya, maka itulah dia tidakrela kehilangan sedikitpun yang sudah menjadi miliknya.
Dia takut sekali, maka kita katakan orang yang egois sebetulnya mempunyai kebutuhan yang besar akan ketenteraman atau keamanan. Dia tidak bisa merasa aman, sebab dia merasa aman dengan misalnya 1 juta. Dia akan mempunyai keinginan besok saya harus lebih merasa aman dengan 1,1 juta dan nanti saya harus menjadi aman juga dengan 1,5 juta. Jadi sekali lagi ada kebutuhan yang besar untuk merasa aman, itu yang membuat dia susah sekali untuk melepaskan yang dianggap miliknya atau haknya.
GS : Tetapi pada dasarnya semua orang itu mempunyai sikap egois atau memang ada orang-orang tertentu yang tidak punya sikap egois, Pak Paul?
PG : Saya kira sampai titik tertentu kita ini dilahirkan bersifat egois, kita menyebutnya egosentrik, mementingkan diri. Namun waktu kita bertumbuh besar melalui bentukan-bentukan dari lingkngan, kita dipaksa untuk menyerahkan yang kita anggap milik kita.
Contoh waktu kita bermain-main sewaktu anak-anak, kita menganggap kita seharusnya menang, jelas-jelas kita kalah tapi di mata kita, kita seharusnya menang. Begitu kita tetap pada pendirian dan berkata saya harus menang, teman-teman berkata silakan, engkau anggap dirimu menang silakan main sendiri besok. Nah kita kerepotan besok main sendirian dan besoknya lagi main sendirian akhirnya kita menyerah, kita bermain dengan teman-teman lagi dan tidak bisa memaksakan diri bahwa kita menang. Akhirnya lingkunganlah yang membentuk kita menjadi orang-orang yang tidak terlalu egois, meskipun pada dasarnya kita semua lahir dengan kecenderungan egois.
(2) GS : Jadi kalau ada orang yang sifat egoisnya itu besar, penyebabnya apa Pak Paul?
PG : Ada beberapa, Pak Gunawan, yang pertama adalah sikap egois ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah diterimanya selama ini. Misalnya sejak kecil ia dijunjung dan diutamakan, ia tida pernah disalahkan dan senantiasa dibenarkan, nah orang seperti ini sewaktu dia dewasa dia menuntut perlakuan yang sama dari semua orang.
Dan dia akan gagal mengembangkan satu keterampilan yang sangat penting, yakni berempati yang artinya adalah menempatkan diri pada posisi orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, merasakan sesuatu dari perasaan orang lain. Nah dia tidak bisa mengembangkan keterampilan yang begitu penting, karena apa? Semua dia soroti dari dirinya. Sebab dirinyalah yang merupakan pusat dalam kehidupan keluarganya waktu dia masih kecil, semua orang menuruti kehendaknya, semua akan mengiakan permintaannya, tidak ada yang berani untuk melawannya karena misalkan dia anak yang terlalu dijunjung oleh orang tuanya. Orang-orang yang seperti ini akan menuntut perlakuan yang sama dari orang lain, maka tadi saya katakan sikap egoisnya ini merupakan kelanjutan dari perlakuan yang telah diterimanya selama ini.
GS : Apakah itu yang menjadi penyebab anak tunggal, misalnya mempunyai kecenderungan memiliki sikap egois, Pak Paul?
PG : Betul, ada kecenderungan anak-anak tunggal untuk egois, sebab anak tunggal tidak harus mengalah. Kepada siapakah dia harus mengalah tidak ada adik, tidak ada kakak yang akan meminjam manannya, yang akan memainkan barangnya tanpa seizin dia, tidak ada, semua dia dapatkan dengan begitu mudahnya.
Maka bagi orang tua yang beranak tunggal harus menyadari kecenderungan ini dan benar-benar memantau apakah sikap egois anak bertumbuh dengan besar. Kalau memang ada kecenderungan itu orang tua harus benar-benar bekerja keras membatasi si anak sehingga tidak mengembangkan sikap egois.
GS : Ya, atau kadang juga ini Pak Paul, anak itu sejak kecil sakit-sakitan sehingga oleh orang tuanya diberikan perlindungan yang sangat ekstra bahkan orang bicara ramai sedikit di dekat kamarnya itu sudah tidak boleh, Pak Paul.
PG : Itu sering terjadi Pak Gunawan, jadi ada sebagian anak-anak yang mengembangkan sikap egois, awalnya karena kondisi fisiknya yang lemah.
GS : Jadi walaupun dia sudah besar, sehat, tidak sakit-sakitan dia masih menuntut itu Pak Paul?
PG : Tepat, tepat itu sering terjadi.
GS : Nah apakah ada penyebab yang lain Pak Paul?
PG : Penyebab yang lainnya justru kebalikan dari yang pertama Pak Gunawan, jadi ini adalah sikap egois yang timbul dari kelaparan emosional, kelaparan finansial atau kelaparan jasmaniah. Artnya anak-anak ini memang bertumbuh dalam lingkungan yang minus, kurang mendapatkan gizi-gizi emosional, perhatian, kasih sayang dari orang tuanya atau hidupnya susah sekali secara finansial atau secara jasmaniah dia kekurangan makanan pada masa kecilnya.
Nah ada kecenderungan meskipun tidak selalu, anak-anak yang dibesarkan dalam kekurangan yang sebegitu besarnya kalau tidak hati-hati akan menjadi orang dewasa yang sangat haus atau lapar akan pemenuhan-pemenuhan itu. Sehingga waktu dia menerima, dia mencicipi dia tidak bisa melepaskan, tapi ini tidak semua. Saya tahu ada banyak anak-anak yang dalam kekurangan bertumbuh besar menjadi orang-orang yang sangat matang, justru bisa membagi, karena pernah mengalami kekurangan. Tapi entah mengapa ada sebagian yang justru tidak seperti itu, justru sangat tamak, kikir, justru sangat egois sekali benar-benar dirinya itu tidak boleh berkorban, tidak boleh dikurangi, yang menjadi hak porsinya harus didapatkan, dia tidak boleh berkorban bagi yang lainnya.
GS : Ya, atau mungkin Pak Paul, lingkungannya yang tidak kondusif itu membuat dia makin bersikap egoistis?
PG : Saya kira demikian Pak Gunawan, jadi kalau dia itu harus bekerja terus dan seolah-olah tidak mendapatkan belas kasihan orang, tidak pernah mencicipi karunia, anugerah dari orang atau dai Tuhan, kemungkinan dia akan mengembangkan sikap egois.
Tapi anak-anak yang besar dalam kekurangan kemudian mencicipi anugerah, baik anugerah manusia lainnya ataupun anugerah Tuhan yang berlimpah kepadanya. Dia melihat Tuhan itu baik, orangpun bisa baik kepadanya, nah saya percaya orang-orang seperti ini justru orang yang beranugerah besar, tidak egois.
GS : Tapi orang yang egois itu tidak bisa menyadari dirinya sendiri bahwa dia itu memang egoistis ya, Pak?
PG : Sering kali orang itu akan berkata saya itu hanyalah mempertahankan hak saya, tapi kalau dia senantiasa mempertahankan hak dan tidak pernah sekalipun melepaskan hak apa namanya. Bukanka seharusnya dia memanggil dirinya egois.
Jadi orang yang mempertahankan hak terus-menerus, tidak pernah sekejap pun melepaskan hak artinya orang yang egois.
(3) GS : Ya, itu berarti sesuatu sikap hidup yang sebenarnya harus dikalahkan, harus diperangi. Bagaimana memerangi sikap egoistis yang katakan sudah mendarah daging, Pak Paul?
PG : Ada beberapa saran yang bisa ditawarkan, yang pertama adalah kita harus memahami sumber sikap egois kita, apakah sumbernya karena kelebihan, kita terlalu banyak menerima sehingga kita mnuntut orang memberikan yang sama.
Nah kalau itu sumbernya memang agak susah untuk memaksa diri menerima kurang, sebab kita mungkin berkata sebab kalau saya bisa menerima lebih kenapa saya harus menerima yang kurang dari yang lebih itu. Tapi kita harus berpikir bahwa semakin kita bersikap egois semakin kita menjauhkan diri dari orang lain, semakin kita menjadi orang yang sengsara karena kita akan sendirian. Ataukah sumbernya kekurangan, defisit-defisit yang kita alami, yang membuat kita akhirnya egois tidak rela melepaskan hak kita dan berkorban bagi orang lain. Nah kalau misalnya sumbernya adalah kekurangan pertanyaan kita adalah apakah selalu orang itu tidak pernah memberikan kepada kita. Bukankah kita kalau bercermin melihat ke belakang, kita akan bisa berkata bahwa orang pernah memberi kepada kita, Tuhan pernah memberi kepada kita, kita tidak pernah bisa berkata saya orang yang bebas hutang, jadi itu yang pertama bisa saya sarankan.
GS : Tetapi orang itu juga yang tadi Pak Paul katakan, masalahnya dia tidak punya empati untuk bisa merasakan orang lain?
PG : Nah itu betul, jadi saran yang kedua adalah bertanya begini jika orang berada pada posisi saya, apa yang akan mereka lakukan. Saya tidak berkata jika saya berada pada posisi orang, seba orang yang egois akan berkata kalau saya berada pada posisi orang saya akan begini ya dirinya lagi yang muncul, jadi harus dibalik.
Kalau orang lain panutannya dia yang dia hormati berada dalam posisinya apa yang dia akan lakukan. Kalau Tuhan Yesus berada pada posisi dia, apa yang Tuhan Yesus akan lakukan, nah hal seperti itu yang dia juga pasti tanyakan senantiasa.
GS : Tujuan dari pertanyaan itu sebenarnya apa, Pak Paul?
PG : Belajar untuk menempatkan diri pada posisi orang, melihat dari kacamata orang, merasakan dari perasaan orang, sebab itulah yang telah mati dalam hidupnya.
GS : Tapi kalau orang ini memang betul-betul egois dan sulit mengerti orang lain, dia akan berkata kalau kamu pada tempatku kamu akan melakukan hal yang sama seperti aku.
PG : Nah kalau bisa makanya dia langsung bertanya, dia langsung bertanya kepada orang yang dekat dengan dia, kalau engkau ada dalam posisiku apa yang engkau akan lakukan. Jadi dia belajar dai orang bagaimana harus bersikap.
GS : Dan dia harus mendengarkan atau menerima apa yang orang lain katakan itu ya, Pak Paul?
PG : Betul, jangan dia membenarkan dirinya kembali.
GS : Nanti tidak selesai, selesai (PG : Tidak selesai, selesai betul) lalu apakah ada hal yang lain?
PG : Yang ketiga adalah berimanlah pada Tuhan yang memelihara hidup kita, selalu saya mau tekankan bahwa masih ada Tuhan dalam hidup ini dan Tuhan yang memelihara kehidupan kita, Dia tidak mninggalkan.
Jadi jangan takut kehilangan, waktu kita melepaskan hak, jangan takut rugi waktu kita berkorban, ada Tuhan yang melihat, ada Tuhan yang memberi berkat, ada Tuhan yang mencatat perbuatan manusia.
GS : Bagaimana dengan hal yang lain, misalnya dia merasakan khawatir, tidak cukup dan sebagainya itu bagaimana Pak Paul?
PG : Saran terakhir saya adalah ambillah secukupnya, saya tidak berkata jangan ambil, ambil yang menjadi milik kita, ambil secukupnya jangan berlebihan dan langkah kedua bagilah meskipun sedkit.
Jadi orang yang egois perlu belajar mengambil tapi secukupnya, perlu belajar membagi meskipun sedikit, itu awalnya.
GS : Dalam hal ini sebenarnya Tuhan sudah cukup banyak memberikan tuntutan atau pedoman bahkan sekaligus kepada kita ya, Pak Paul?
PG : Ada satu ayat yang bisa saya bagikan dari Amsal 3:27, "Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya." Nah inimemang sulit dikerjakan oleh orang yang egois, tapi Tuhan meminta kita jangan menahan kebaikan, padahal kita mampu memberikan kebaikan itu.
Ini perintah Tuhan, jadi saya harap bisa kita ingat baik-baik.
GS : Jadi sebenarnya walaupun orang itu egois, tetapi masih ada unsur yang baik di dalam dirinya yang bisa dibagikan kepada orang lain.
PG : Betul, meskipun dia menganggap sedikitlah atau apa, tetap dia masih bisa memberikan kebaikan.
GS : Ya sering kali yang dipertanyakan adalah apakah artinya pemberian yang sedikit, biar orang lain yang bisa memberi banyak padahal sebenarnya alasan utamanya dia khawatir kehilangan itu ya Pak? (PG :betul sekali). Jadi saya percaya bahwa apa yang Pak Paul sampaikan, khususnya melalui Amsal 3 tadi akan lebih memotivasi kita semua yang tentunya punya sifat egois untuk mengalahkan sikap ini, karena bagaimanapun juga ini sesuatu yang tidak baik dan saya percaya bahwa Roh Kudus itu akan menolong kita untuk mengalahkan sikap ini. Terima kasih sekali Pak Paul, dan saudara-saudara pendengar kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengalahkan Sikap Egois". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.