Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan. Dan telah hadir juga di studio bersama kami Dr. Yanti, Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Dan kali ini kami akan berbincang-bincang bagaimana mendampingi atau merawat anggota keluarga kita yang sakit parah dan bahkan menjelang ajal. Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Dr. Yanti, ada beberapa pasien yang mungkin menjadi anggota dari keluarga kita, orang yang kita kasihi, kemudian dokter menyatakan sudah tidak ada harapan. Yang ingin saya tanyakan bagaimana seorang dokter itu bisa tahu bahwa pasien itu harapannya tipis atau tidak ada harapan, Bu?
YT : Ya misalnya kanker, kanker ada yang menyebut harapannya cuma 5 tahun hidup, kalau tidak ada harapan berarti sebelum 5 tahun dia akan meninggal. Karena dilihat dari penyebarannya sudah smpai ke paru-paru, atau mungkin sudah sampai ke pencernaan akan mengganggu seluruh fungsi tubuh, tidak ada harapan lagi kalau sampai batas akhir stadiumnya.
(1) GS : Sebenarnya apa tujuannya, dokter mengatakan kepada keluarga bahwa pasien itu tidak ada harapan?
YT : Misalnya sakit ginjal, menurut saya kalau dia harus cuci darah terus-menerus, tetapi tetap tidak menyembuhkan. Sebetulnya cuci darah itu untuk menunggu transplantasi, kalau cuma dicuci,dicuci sampai kapan, seluruh kekayaan habis tidak akan sembuh.
Jadi kita memberitahu kepada keluarga bahwa sebetulnya harapannya itu tipis untuk sembuh karena harus tranplantasi atau mungkin karena kanker ini mungkin sudah stadium terakhir sudah tidak bisa ke mana-mana. Jadi sudah tidak bisa dioperasi, sudah tidak ada harapan. Jadi mempersiapkan keluarga dan orang yang sakit itu mungkin karena nanti kalau tidak diberitahu tiba-tiba meninggal, pasien dan keluarganya bertanya ke pada dokter kenapa dokter tidak memberitahu, mungkin ada hal-hal yang harus dibereskan atau yang lainnya.
IR : Jadi sebenarnya dokter tidak perlu menutupi, kalau keadaan pasiennya itu memang sudah tidak dapat ditolong.
YT : Ya biasanya begitu. Saya biasanya kalau mendiagnosa kelihatannya tidak ada harapan, saya tetap memberitahu.
GS : Lalu apa biasanya reaksi keluarganya ?
YT : Ya mungkin pertama bingung, dia bingung mungkin tidak percaya pada saya, dia akan bertanya lagi pada dokter lain atau mungkin berobat ke yang lain. Tapi kita berusaha menjelaskan sedetal mungkin dari hasil pemeriksaan, ini dengan bahasa yang awam supaya ia mengerti.
GS : Tapi di satu sisi ada keluarga-keluarga yang memang tidak siap untuk menerima kenyataan seperti itu, masa suami saya atau istri saya itu harus pergi secepat itu.
YT : Ya memang siapa yang merasa kuat kalau misalnya tiba-tiba serangan jantung atau apa, tapi kalau kenyataannya seperti itu kita harus bisa memberikan penjelasan secara kedokteran, secara lmiahnya, yang terjadi itu seperti ini.
VS : Waktu Ibu Yanti menjelaskan, pada pasien sendiri atau pada keluarganya?
YT : Pada keluarga biasanya, kadang-kadang keluarganya ada yang tidak mau saya memberi tahu pasien dulu.
VS : Kalau menurut Ibu Yanti sendiri bagaimana, apakah pasiennya harus tahu?
YT : Harusnya ya, karena dia yang mempunyai tubuh, tapi kode etik di Indonesia itu seharusnya pasien dulu yang tahu. Tapi di sini kebanyakan keluarganya yang minta agar tidak memberitahu pad pasien.
VS : Apa betul pasien tidak diberitahu tapi bisa merasakan, karena tubuhnya makin lama makin lemah ?
YT : Mungkin ya, tapi tidak mungkin menduga secepat itu misalnya sakit kanker, kadang-kadang dipikir sakit biasa, tidak terasa tahu-tahu sudah menyebar sampai ke mana-mana. Kalau sakitnya seerti jantung, dia sudah bertahap mengalaminya, jadi dia sudah tahu.
Tapi kalau tiba-tiba diagnosa misalnya leukimia, ini bisa mengagetkannya .
VS : Kalau keluarga menolak memberi tahu pada pasien, apa saran Bu Yanti sebagai seorang dokter?
YT : Saya menyarankan supaya diberitahu, waktunya kapan tapi tetap harus diberitahu karena yang mempunyai tubuh adalah pasien. Dengan pendekatan yang baik, kita persiapkan, setelah dia siap,baru diberitahu.
(2) GS : Kalau pasien itu marah setelah mendengarnya, karena tidak siap dan tidak disiapkan, tanggapan dokter biasanya apa?
YT : Marah terhadap siapa?
GS : Marah terhadap dokter yang memberitahu, dia biasanya menyatakan dokter tidak mampu dan lain-lain.
YT : Itu biasa tidak apa-apa, kalau merasa lebih baik cross-check pada dokter lain ya saya persilakan, tapi dari pemeriksaan tidak bisa dikelabui. Misalnya saya dokter umum, saya anjurkan taya kepada dokter yang lebih ahli.
Nanti dokter ahlinya mengembalikan kepada saya, tinggal saya memberitahu hasilnya dari ahli-ahli yang sudah memeriksa itu kepada pasiennya.
GS : Bu Vivian, menghadapi pasien yang sudah dinyatakan tidak ada harapan oleh dokter. Sebagai keluarga dekat misalnya anak, suami atau istri, sebenarnya apa yang bisa kita lakukan?
VS : Yang terpenting, kalau bisa kita menerima keadaan itu. Kalau kita menerima keadaan itu lalu sikap kita akan berubah.
GS : Jadi tidak menambah permasalahan, ya Bu?
YT : Sikap menerimanya memang yang sulit.
GS : Tadi sudah disepakati itu sulit ya, tetapi harus ditumbuhkan, menumbuhkannya bagaimana Bu Vivian?
VS : Ya mungkin harus sungguh-sungguh yakin dulu hasil pemeriksaan itu, memang betul mungkin dia akan cross-check ke dokter lain, kalau sudah betul harus mau menerima kenyataannya.
GS : Tapi memang kita itu agak sulit di sini, seperti tadi harus cuci darah, padahal sudah pasti tidak bisa tranplantasi. Kalau kita sebagai keluarga tidak mengupayakan cuci darah, nanti orang luar mengatakan, kita itu tidak mau mengobati orang sakit. Bagaimana menghadapi ini, seperti dilematis?
YT : Ya memang dilematis sebetulnya, kalau cuci darah cuma untuk memperpanjang hidup dan orangnya menderita sekali sebetulnya. Kalau pendapat saya, siapkan saja pasiennya dan keluarganya, jagan terlalu mendengar orang lain bicara.
Tapi kalau misalnya si pasien dan keluarganya sudah bisa ada komunikasi, bisa siapkan baik-baik, mungkin bisa menghadapinya ya. Kita tidak bisa, ya sudahlah tidak perlu cuci darah, itu keputusan keluarga tetap untuk memberitahu. Sebetulnya dengan ini pun tidak akan menyelamatkan, cuma untuk memperpanjang.
GS : Ada juga pasien yang sebaliknya, setelah tahu dia tidak ada harapan, dia juga melarang keluarganya untuk membawa dia ke dokter atau berobat, buat apa mengobati itu sia-sia, bagaimana Bu kalau ada tanggapan pasien seperti itu?
YT : Kalau saya misalnya ada pasien yang menolak untuk di operasi itu hak pasien, kita tidak boleh memaksa, karena dia yang mempunyai tubuh. Kita tidak boleh memaksakan suatu tindakan di lua persetujuan pasien.
Jadi kalau memang dia tidak mau kita tidak berhak memaksa, keluarganya pun seharusnya tidak boleh, itu hak pribadi dia. Itu menurut saya.
GS : Apakah Bu Vivian ada tanggapan?
VS : Ya memang itu pilihan dia, tapi saya kira obat itu untuk meringankan sedikit rasa sakit terutama kalau kanker.
YT : Kalau itu pasiennya pasti mau, karena sakit. Tapi sebetulnya, obat itu tidak meringankan tapi harus di makan, kadang-kadang pasien suka menolak. Tidak ada gunanya kalau obat yang untuk enstillen/menahan sakit pasti itu pasien mau, tidak mungkin tidak mau, tapi kalau cuma supplemen itu kadang-kadang ya tetap tidak mau.
Tapi kadang-kadang ada juga yang memang harus diberi pasiennya tidak mau juga. Ya kalau begitu, seharusnya diberi tapi pasiennya tidak mau.
Kalau misalnya pasien tidak mau itu haknya pasien, dan keluarganya, kecuali keluarga bisa membujuk misalnya pemberian transfusi, kadang-kadang ada yang tidak boleh masuk darah atau apa. Padahal gawat harus masuk transfusi, kalau tidak dia meninggal, terserah kalau misalnya tidak mau, kita tidak bisa memaksakan itu sulit. Itu kadang-kadang tidak logis, tapi menurut kepercayaan transfusi itu tidak boleh.
GS : Untuk penyakit-penyakit yang tergolong berat ya Bu Vivian, apakah kita dari pihak keluarga mendampingi pasien ini untuk sepanjang waktu?
VS : Saya kira, kalau kita bisa mendampingi, kalau 24 jam sehari mungkin sulit ya, tapi paling tidak ada orang yang di sekitar situ, jadi dia tidak merasa sendiri. Justru orang yang sakit teminal seperti itu, dia merasakan harus ada orang yang mendampingi, pendampingan itu yang penting.
Dulu saya mengingat mama saya sendiri, kalau kami pulang sekolah itu agak terlambat, kok lama sekali. Dia membutuhkan pendampingan dari orang yang terutama dia kasihi, orang yang paling berarti, jadi tidak membutuhkan orang-orang lain yang tidak begitu berarti bagi hidupnya. Tapi dia membutuhkan orang yang paling berarti yaitu keluarga yang mendampingi terutama pada saat-saat terakhir.
(3) GS : Biasanya penyakit seperti itu makin lama makin parah, itu yang secara fisik bisa kita lihat. Dalam hal ini tadinya pasien itu masih bisa bicara, bisa berkomunikasi, lama-lama dia tidak mau berkomunikasi, bukan tidak bisa tapi enggan berkomunikasi, merasa sudah tidak ada gunanya lagi. Bagaimana kita bisa menolong orang-orang yang selain fisiknya memang sakit, mentalnya juga jatuh?
VS : Orang yang seperti itu, kalau dia ini orang Kristen kita tetap bisa mendoakan dengan buka suara, tetap bisa pegang tangannya, kita menyanyi untuk dia, membacakan firman Tuhan. Jadi dia asih merasakan bahwa kita ini masih memperhatikan, mungkin dengan begitu dia akan dibangkitkan kembali.
YT : Mungkin juga konsep dia ya, pemahamannya misalnya, tidak ada gunanya hidup, mati saja. Tapi kalau konsep tentang kematian itu jelas mungkin dia tidak akan merasa seperti itu, karena say punya pengalaman, teman saya sendiri sama-sama kedokteran, diagnosa kanker nasofaring ya dia tahu prognosanya berapa lama.
Apa yang dia lakukan, dia marah walaupun dia sebetulnya orang Kristen yang baik, rajin, aktifis segala macam, cuma itu konsep yang salah, dia tidak bisa menerima, kenapa ini terjadi pada saya. Akhirnya dia apatis.
GS : Memang dalam kondisi seperti itu seseorang bisa melupakan segala sesuatu yang dia pelajari, dia ketahui, Bu Vivian.
VS : Tapi justru akhir-akhir kehidupannya, justru dia lebih sadar ke mana tujuannya. Jadi waktu itulah kita bisa bicara dengan baik-baik, bukan berkhotbah tapi berkomunikasi, cerita-cerita utuk mempersiapkan dia mau ke mana setelah ini.
GS : Mungkin yang dibutuhkan adalah perhatian yang besar.
VS : Dan juga mungkin disiapkan, sebetulnya ini waktunya sudah singkat jadi bagaimana kamu mempersiapkan diri untuk bertemu Sang Pencipta. Tadi saya ceritakan mama saya sudah sakit 13 tahun api dia sungguh-sungguh mempersiapkan diri 2 minggu sebelum meninggal.
Dia masih mempunyai harapan akan hidup, masih semangat hidup meskipun stadiumnya sudah sangat lanjut. Tapi 2 minggu sebelumnya itu ada orang yang mengingatkan, Bu kamu harus siap untuk mengakhiri kehidupan ini, barulah dia sungguh-sungguh sadar, ternyata saya tidak bisa lagi untuk hidup, jadi dipersiapkan. Dia orang Kristen yang baik, bagaimana kita ini mau bertemu Tuhan.
GS : Ya, apa itu yang dilakukan mamanya Bu Vivian?
VS : Tentunya sebagai orang Kristen dia mengakui segala kesalahan yang pernah diperbuat, baik sengaja maupun tidak sengaja, membereskan kehidupannya dengan Tuhan, membereskan dengan sesama trutama membereskan ke semua anaknya.
Jadi satu-satu anaknya dipanggil, diberi pesan-pesan. Jadi ketika pesan-pesan terakhir itu diberi kesempatan. Dan kesempatan dia juga untuk menangis, saya ini tidak bisa berjumpa lagi dengan kamu semua. Keluarga di situ menangis bersama dia. Jadi itulah satu kesempatan untuk dia, ada orang yang memperhatikan dia.
GS : Berarti dia sadar terus sampai meninggalnya?
VS : Ya, hanya beberapa jam sebelum meninggal baru tidak sadar.
GS : Mungkin yang sulit lagi menghadapi keluarga yang koma, mungkin Bu Yanti bisa bantu. Kita maunya berkomunikasi dengan dia tapi komanya itu lama sekali. Ada orang yang koma bisa sampai setahun, itu bagaimana Bu?
YT : Sebetulnya kalau dia belum meninggal ya, mungkin kita bisa membisikkan, berbicara mungkin dia dengar.
GS : Masih bereaksi, dari kelopak matanya itu kelihatan masih bergerak dan sebagainya.
YT : Biasanya kalau koma tidak bergerak, cuma reaksi pupil cahayanya masih bagus, itu belum meninggal. Tapi kalau sudah meninggal berarti percuma dipasang alat bantu karena dulu pengalaman sya waktu masih baru-baru lulus itu saya kerja di ICU menolong orang.
Ceritanya kecelakaan kemudian saya pasang alat-alat bantu semua di resussitasi semua jalan tapi ternyata meninggal, saya kena marah, kamu ini meninggal di tolong. Seharusnya kematian otak walaupun jantung dipacu, diberi obat, semuanya jalan karena dia masih 18 tahun. Tapi sekarang bingung bagaimana, mau sampai kapan seperti itu. Padahal itu sudah meninggal harusnya, jadi kalau misalnya diagnosa dokternya sudah meninggal ya seharusnya sudah. Kecuali kalau belum begitu, ada dokter ahlinya nanti konsultasi bagaimana begitu.
(4) GS : Ada satu hal lagi yang masih kontroversi, orang yang sudah dinyatakan tidak ada harapan, lalu ada keluarganya yang memutuskan tidak perlu ditolong atau yang lainnya, kalau perlu diberikan suntikan supaya cepat meninggal. Bagaimana kalau ada yang begitu?
YT : Itu euthanasia, tidak boleh itu.
GS : Itu yang sulit ya Bu?
YT : Ya itu tidak mau, euthanasia kalau di sini banyak yang begitu.
GS : Di sini itu di Indonesia maksudnya?
YT : Ya, soalnya hukumnya belum jelas, pernah satu kali ada pasien, nyata-nyata dia itu, Dr. Sara mendiagnosa paralyses yaitu pernafasan tapi mungkin karena firal dia itu dalam dua minggu hausnya sudah bagus, jadi pakai resusitasi diberi kantilator.
Tapi kalau itu dicabut dia tidak bisa nafas. Lalu keluarganya minta dicabut saja. Saya katakan, Bu ini harus ditunggu dua minggu, tidak mau, cabut sekarang, ya itu dilema ya, seharusnya tidak boleh tapi di Indonesia belum tahu. Jadi kita tidak bisa melarang, kalau saya yang jadi dokter jaga, saya tidak mau. Saya menyuruh ibu itu mencabutnya sendiri jangan perawatnya, tapi itu pergantian jaga terus, akhirnya dia cabut.
GS : Ya memang biasanya kalau di sini, itu alasan-alasan ekonomi yang dijadikan dasar, biayanya besar, tanggungannya masih banyak, jadi lalu diputuskan seperti itu. Tapi itu tetap bertentangan dengan hukum Tuhan saya rasa. Kita tidak berhak mencabut nyawa seseorang. Tapi memang serba dilematik ya, Bu Vivian, yang saya katakan di tengah-tengah kita banyak membutuhkan biaya untuk yang hidup, nah ini menghadapi orang yang kita kasihi sedang menderita sakit yang parah sekali, yang sudah dinyatakan tidak ada harapan Bu, itu bagaimana?
VS : Kalau saya masih mengingat, Tuhan ini Tuhan yang hidup meskipun dokter mengatakan tidak ada harapan, kita bersandar pada Tuhan, jadi mencoba yang terbaik yang bisa kita lakukan, meskipu membutuhkan biaya yang banyak untuk orang yang kita kasihi.
Jadi menurut dokter yang terbaik dan kita bersandar penuh pada Tuhan. Karena saya juga pernah melihat dokter mengatakan ini tidak ada harapan, tapi Tuhan menyatakan mujizat.
GS : Mujizat itu masih tetap ada sampai sekarang, itu yang kita percayai. Tetapi ada juga masalah lain Bu, yang seringkali dihadapi oleh keluarga-keluarga pasien yang berat seperti ini, di mana tentu ada kebosanan ya Bu , mendampingi pasien yang tidak bisa diajak komunikasi, sakitnya makin lama makin parah. Sehingga kalau tadinya kita bisa tiap hari melawat, kalau ini kebetulan dirawat di rumah sakit, lama-lama dua hari sekali, tiga hari sekali itu bagaimana Bu, mengatasi kejenuhan, kebosanan?
VS : Itu saya kira tergantung hubungannya dengan si pasien, kalau hubungannya dekat saya kira tidak akan kebosanan, tidak akan jenuh. Justru pasien tambah sakit, kita ingin mendampingi, itu ang saya alami sendiri dengan ibu saya, dia tambah sakit saya tambah ingin lama di rumah sakit itu.
Dulu kalau menjenguk berapa jam, sekarang menjadi sepanjang siang, sepanjang malam. Jadi kalau kita mempunyai hubungan dekat tentu tidak akan jenuh.
IR : Bu Vivian kalau si penderita sakit ya, seringkali tidak mau dikunjungi oleh teman atau yang lain, mengapa Bu? Apa ada teknik-teknik tertentu bagaimana kita menghibur orang sakit?
VS : Teman yang menghibur orang sakit?
IR : Ya.
VS : Saya kira kalau kita sebagai orang yang mengunjungi itu harus tahu dirilah, tahu diri terutama dalam hal waktu. Jangan terlalu lama dan juga kalau kita di sana sebagai pengganti keluarga. Sering saya lakukan itu dulu, menggantikan anggota keluarga lain yang sudah lelah, supaya tidak jenuh yaitu,"coba Ibu pergi ke mana saya jagakan di sini berapa jam". Kalau semacam itu saya kira akan diterima .
GS : Tapi biasanya keluarga tidak mau digantikan oleh orang luar.
VS : Kalau orangnya dikenal baik, pasti mau.
GS : Seharusnya itu bentuk pelayanan yang baik sekali, apalagi kalau keluarganya itu keluarga kecil ya Bu, cuma punya anak dua atau satu mungkin. Untuk pasangan berat sekali.
VS : Malah keluarganya itu berterima kasih.
GS : Selama menggantikan, Bu Vivian biasanya melakukan apa terhadap pasien itu?
VS : Apa saja yang diminta, jadi kalau waktu itu harus disuap ya menyuap, kalau waktu itu saya pernah mendampingi, menggantikan orang itu dimana perlu membersihkan tubuhnya, waktu itu tubuhna kotor semua dengan kotorannya itu, saya ya harus melakukannya juga.
Jadi apa saja yang bisa dilakukan, ya mau siap segala macam.
GS : Apakah itu terbawa pengalaman Ibu mendampingi mamanya Bu Vivian?
VS : Ya saya kira itu karena dulu saya sejak kecil itu merawat mama saya jadi saya mau saja melakukan apa saja yang katanya orang jijik, saya mau.
GS : Sudah terlatih.
VS : Sudah terlatih dan karena saya menawarkan diri, jadi saya tahu apa resikonya saya mau.
GS : Menghadapi tadi ya kita kembali lagi ke pokok pembicaraan, kalau pasien sudah makin kritis keadaannya, biasanya keluarga akan dipanggil untuk hadir di sana. Sebenarnya apa pengaruhnya terhadap si pasien?
VS : Si pasien akan merasakan dia tidak sendiri, bagi orang yang akan meninggal itu yang paling sulit, dia akan meninggalkan dunia ini sendirian. Jadi kalau didampingi oleh orang-orang yang aling berarti dia akan mendapat dukungan, jadi dia tidak sendirian untuk menghadap Tuhan.
GS : Tapi sebaliknya ada orang yang sehat itu merasa takut, atau merasa tidak enak mendampingi orang yang akan meninggal, ia justru menjauh, apakah ini perlu dipaksakan atau bagaimana?
VS : Kalau dia takut, sebaiknya dengan anggota keluarga lain, jadi tidak sendirian.
GS : Supaya tidak sendirian ya.
VS : Tidak sendirian, mungkin kita panggil pendeta.
IR : Menghadapi saat-saat terakhir, kira-kira kata-kata apa yang tepat untuk kita katakan kepada pasien?
VS : Mungkin kata-kata yang tepat untuk pasien ialah dia akan meninggalkan dunia yang penuh kesengsaraan dan dia ini akan terlepas dari semua penderitaan, terutama pasien yang sudah sekian lma sakit dan juga jangan khawatir dengan keluarga-keluarga yang ditinggalkan, Tuhan akan mengatur.
GS : Apakah mungkin pasien yang sangat parah sakitnya itu masih mempunyai rasa khawatir terhadap keluarga yang akan ditinggalkan?
VS : Saya kira, dulu karena pengalaman saya dengan ibu saya sendiri sebelum dia meninggal itu, khawatir dengan anak-anaknya terutama anak-anaknya yang masih kecil. Saya itu anak bungsu, jadipaling khawatir tentang saya.
Ini siapa yang merawat, nanti siapa yang bisa membesarkan kamu.
GS : Jadi sebenarnya selain seorang dokter yang terus mendampingi perawat, saya rasa seorang psikolog juga penting untuk mendampingi orang-orang seperti ini.
VS : Kalau yang terutama saya kira adalah keluarga dan pendeta. Karena ini perjumpaan dengan Tuhan, orang yang bersama-sama berjalan bersama-sama melewati lembah ini supaya tidak sendirian.
(5) GS : Bu Yanti, sebenarnya bagaimana kita tahu bahwa pasien itu benar-benar sudah meninggal, kalau ini di rumah?
YT : Misalnya nadinya sudah tidak ada, atau pupilnya melebar biasanya, jadi kalau kita senter cahaya pupilnya akan mengecil. Tapi kalau sudah melebar berarti sudah meninggal, tidak ada refles cahaya lagi pupilnya.
GS : Dalam waktu yang singkat ini mungkin Bu Yanti bisa memberikan saran, apa yang bisa kita lakukan sebagai keluarga kalau ternyata pasien itu, anggota keluarga kita itu dinyatakan meninggal. Apa kita harus menghubungi dokter, atau yang lainnya?
YT : Ya kalau misalnya orang awam biasanya, belum yakin ia ini sudah meninggal atau belum. Biasanya diminta menghubungi dokter supaya diagnosa pastinya dia meninggal. Tapi kalau kita sudah ykin sekali ya sudah tidak perlu menghubungi dokter.
Seperti papa, saya itu tidak tahu meninggalnya karena waktu tidur, sudah jelas kalau meninggal jadi tidak perlu menghubungi dokter lagi.
GS : Tahunya itu kenapa tidak bangun-bangun.
YT : Sudah lembam, mayat sudah biru, tapi kalau baru kadang-kadang belum pasti ya, siapa tahu masihhidup atau bagaimana atau koma, ini cuma berhenti jantung sebentar. Tapi kalau refleks cahaanya, pupilnya sudah melebar berarti sudah meninggal.
GS : Mungkin di pihak keluarga harus bisa menerima kenyataan itu juga, ya Bu Vivian?
VS : Tapi membutuhkan waktu, itu proses.
GS : Memang ada waktu yang dibutuhkan, itu biasanya berapa lama Bu Vivian?
VS : Tergantung kedekatan orang itu dengan sang pasien, kalau orang itu lebih dekat, lebih lama itu untuk menerima kepergian orang yang dikasihi. Kalau dia itu hanya biasa-biasa saja, lebih ela, lebih cepat.
IR : Mungkin Bu Yanti pernah membisikkan kata-kata untuk pasien yang akan meninggal yang berkaitan dengan firman Tuhan. Mungkin ada firman Tuhan yang disampaikan ke pasien pada saat terakhir itu ?
YT : Ya, biasanya kalau pasien itu Kristen saya ingatkan kembali tentang Kristus yang mati disalib yang menebus dosa, supaya ingat. Ya tentang berita Injil, tentang Rumah Bapa, biasanya sayaingatkan itu.
Tapi sulit kalau bukan Kristen ya.
GS : Ya mungkin sebagai dokter yang dihadapi tidak yang Kristen saja. Tapi kalau ada keluarga yang mendampingi atau rohaniwan yang ada di sana bisa menolong itu. Jadi saya rasa kita semua juga suatu saat harus menghadapi kenyataan seperti itu, tapi bagi kita orang-orang yang beriman kita tahu ke mana kita pergi setelah kita meninggalkan dunia ini.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda, sebuah perbincangan tentang bagaimana mendampingi orang sakit yang menjelang ajal bersama Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Ibu Dr. Yanti di dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami mengucapkan banyak terima kasih untuk perhatian Anda sekalian dan apabila Anda mempunyai saran-saran serta pertanyaan-pertanyaan tentang masalah ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Kami percaya acara ini bisa menjadi berkat bagi kita sekalian. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran- saran, pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami berempat mengucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
PERTANYAAN KASET T35 B
- Apa tujuan seorang dokter memberitahukan kepada keluarga pasien, bahwa pasiennya tidak ada harapan untuk sembuh?
- Bagaimana sikap seorang dokter ketika menghadapi pasien yang marah karena suatu hasil diagnosa atau memberitahu kenyataan yang tidak bisa diterima oleh pasien?
- Pertolongan apa yang dapat diberikan bagi pasien yang tidak hanya sakit secara fisik tapi mental juga?
- Apa tanggapan terhadap keluarga yang meminta agar diberikan suntikan kepada pasien supaya cepat meninggal, dengan alasan sudah tidak ada harapan, tidak tega melihat orang yang dikasihi menderita sakit?
- Bagaimana mengetahui bahwa pasien benar-benar sudah meninggal?