Kata kunci: Terima keterhilangan dan rangkullah dukacita, terkejut dan menyangkal, marah, tawar-menawar, depresi, menerima, terapkan manajemen krisis
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Emosi Tangguh Di Masa Krisis". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y: Pak Sindu, tema yang sangat menarik tentang "Emosi tangguh di masa krisis" padahal kita tahu di masa krisis banyak orang menyerah dan putus asa, sebab saya mengamati dan membaca akhir-akhir ini fenomena bunuh diri semakin meningkat. Bagaimana kita menyikapi hal ini justru di masa yang sulit, yang cenderung menyerah, cenderung putus asa, kita punya emosi tangguh. Seperti apa tangguhnya, Pak Sindu ?
SK: Dalam hal ini, Bu Yosie, saya ingin memerjelas apa yang dimaksudkan dengan tangguh. Tangguh kalau kita cek dalam kamus bahasa memiliki pengertian kokoh, handal, ulet, sukar dikalahkan, tahan banting. Jadi disini itulah gambaran ketangguhan. Bila diwujudkan dalam sosok hidup, saya tertarik untuk mengangkat seorang sosok manusia. Saya terinspirasi gambaran ketangguhan itu ada pada seorang gadis cilik tanpa kaki. Gadis cilik ini bernama Xian HongYan, usianya 10 tahun. Dia ada di daerah Zhuangchia, di negeri Tiongkok.
Y: Apa yang menarik dari anak yang masih sekecil itu, Pak ? Tangguhnya dimana?
SK: Yang menarik pada waktu Hongyan ini usia 4 tahun, dia mengalami kecelakan mobil, Bu Yosie. Dia bersama orangtuanya dan di dalam kecelakaan mobil tersebut, singkat kata, terpaksa kedua kaki Hongyan ini harus diamputasi sehingga sebatas pantat.
Y: Aduh, pasti menyakitkan ya, Pak.
SK: Betul. Sejak usia 4 tahun, dia menjadi seorang gadis cilik tanpa kaki. Dia berjalan dengan kedua tangannya. Dia tinggal di daerah pedesaan, dari keluarga yang miskin. Kalau berjalan, dia mengangkat pantatnya supaya tidak menyeret di jalan. Dia angkat badannya sehingga dengan kedua tangannya berfungsi sebagai kaki. Kemudian supaya tangannya tidak juga cedera, dia memakai potongan kayu yang ada pegangannya. Dari sanalah dia menapak dengan dua kayu tersebut dan pantatnya ditutupi dengan bola basket bekas yang dibelah, supaya bila dia menurunkan badannya karena tangannya lelah, supaya pantatnya tidak kotor, ada bola basket belahan itu yang menjadi alas. Inilah gambaran tangguh.
Y: Jadi tangguh itu bukan keadaan yang selalu prima, tapi keadaan berjuang.
SK: Tepat, itulah pesan yang ingin saya sampaikan dengan kisah Xian Hongyan ini. Jadi janganlah kita mendengar aku bukan orang tangguh, aku lemah, aku manusia biasa bukan manusia setengah dewa, bukan malaikat. Ia semua sama, kita bukan orang kuat dan hebat seperti itu, kita punya kelemahan, kerentanan seperti Xian Hongyan sekalipun mungkin fisik kita masih sempurna, tapi kemampuan kita menanggung kesulitan itu juga tidak sehebat orang-orang sakti itu ibaratnya. Yang menarik di tengah kelemahan dan keterbatasan kita, kita bisa belajar seperti Hongyan, bagaimana mengelola diri untuk menjadi tangguh di masa sulit, menjadi seorang yang ulet di masa krisis. Itulah yang dimaksud ketangguhan.
Y: Yang kita maksud dengan Emosi Tangguh di Masa Krisis.
SK: Jadi memang diri yang tangguh bukanlah diri yang sempurna tanpa kelemahan dan keterbatasan, melainkan diri yang tangguh adalah diri yang bisa merespons kelemahan dan keterbatasan dengan tepat.
Y: Bukan diri yang tanpa kekurangan, yang kita idealkan, tetapi justru didalam kelemahan apa yang harus kita lakukan. Apa langkah-langkah atau bagaimana menjadi orang yang beremosi tangguh ?
SK: Untuk membangun emosi tangguh terlebih di masa krisis, maka langkah yang pertama, terimalah keterhilangan dan rangkullah dukacita kita.
Y: Ini yang tidak mudah, kadangkala kita masih berpegang pada apa yang menjadi harapan kita meskipun itu tidak terjadi, ya Pak.
SK: Betul, betul, tepat. Jadi memang manusia yang normal, manusia yang sehat adalah manusia yang punya pengharapan. Kalau kita tidak punya harapan itu tandanya kita sedang depresi dan rawan untuk mengalami kematian atau mengalami kondisi yang lemah secara emosi dan fisik. Akibatnya rentan dengan sakit penyakit dan ujungnya kematian. Manusia sehat punya harapan tetapi memang bagaimana supaya kita tidak tenggelam ketika harapan-harapan kita itu seperti sirna di masa krisis. Kondisi pandemi, kondisi wabah global, dimana ada infeksi Covid-19 atau mungkin pandemi, dulu namanya flu spanyol atau kita mengalami resesi ekonomi, mengalami bencana alam seperti di beberapa tempat di Indonesia, gunung meletus, gempa bumi, tsunami karena kita hidup di daerah cincin api, ada banyak gunung api di sekitar Indonesia, sehingga ketika bencana alam atau bencana sosial atau pun mengalami bencana karena pandemi, kita mengalami kehilangan harta benda, orang yang kita kasihi meninggal dunia. Kita kehilangan pekerjaan dan penghasilan bagaimana kita tidak tiba-tiba seperti pssstt hilang semuanya dan maaf kita memilih bunuh diri. Supaya mencegah potensi bunuh diri, tindakan-tindakan fatal mengakhiri hidup maka langkah pertama, terimalah keterhilangan dan rangkullah dukacita.
Y: Praktisnya, Pak. Atau tahapannya apa yang kita lakukan karena tidak semudah itu. Orang cenderung terlalu ekstrem, kalau tidak terlalu fokus di dukacita, mengasihani diri, berkelanjutan di dalam masa dukacitanya, sebagian orang menyangkal. Sepertinya ya inilah yang sudah Tuhan kehendaki, saya bisa menerima tidak masalah, tapi sebetulnya kalau ……menahan, teredam. Bagaimana respons yang sehat?
SK: Betul, Bu Yosie. Untuk itu memang kita perlu memahami ada 5 tahapan umum, respons, tanggapan ketika seseorang mengalami dukacita dan 5 tahapan ini perlu kita beri ruang masing-masing. Jadi tahapan itu, yang pertama tahap terkejut dan menyangkal (shock); yang kedua tahapan marah, yang ketiga tahapan tawar-menawar.
Y: Maksudnya tawar-menawar dengan Tuhan, begitu Pak maksudnya?
SK: Tepat dengan keadaan; yang kelima tahapan menerima. Jadi tahapan yang pertama itu terkejut dan menyangkal…..biasanya "tidak mungkin ini terjadi, ah kok bisa ini terjadi ? Ah tidak mungkin, ah ini hanya mimpi, ah ini hanya terjadi di negara luar tidak mungkin di Indonesia, pandemi ini; ah ini ‘kan rasanya oke tapi tidak ada yang meninggal, dia sehat, dia masih hidup cuma mengantuk atau sedang kelelahan sehingga tampaknya seperti orang meninggal; tidak tidak mati kok baru saja kemarin malam aku WA call, aku telepon, aku ketemu dia". Kadang fase ini ditandai juga untuk beberapa orang mengalami pingsan.
Y: Oh Oke, seperti tidak bisa menerima keadaan, ya Pak.
SK: Betul, pingsan itu karena sebenarnya satu posisi yang tidak bisa menerima dan saking tidak bisa menerima, akhirnya seperti tekanan darahnya memuncak, tinggi. Didalam anugerah Tuhan, Tuhan ciptakan kondisi pingsan supaya kondisi yang terguncang dengan dia pingsan menjadi seperti tertidur. Kondisi tekanan darah menjadi menurun kembali, menjadi normal.
Y: Dan bisa siuman, oh oke.
SK: Sebab kalau Tuhan tidak ciptakan mekanisme pingsan, bisa stroke, pecah pembuluh darah otaknya. Atau mengalami gangguan-gangguan fungsi organ apa pun. Paling tidak fisik atau jiwa juga bisa memang dengan pingsan, benar-benar kalut sekali dan melakukan tindakan-tindakan fatalistik yang melukai diri atau melukai orang lain, merusak barang. Pingsan Tuhan ciptakan untuk fase pause, fase istirahat, seperti memberi sabat dengan demikian tubuh jiwa menjadi lebih distabilkan kembali. "Slow down", diperlambat. Itulah satu tahap yang pertama, Bu Yosie.
Y: Menarik ya, Pak. Mungkin karena goncangannya terlalu keras sehingga kita tidak kuat menerimanya akhirnya pingsan. Lalu tahap berikutnya, marah seperti apa?
SK: Marah, mengapa ini bisa terjadi dan mulai menyalahkan. Ini pasti salahnya orang lain, mengapa orang itu diizinkan pergi dan akhirnya mengalami kecelakaan. Itu salah sekolah mengapa ada kegiatan piknik, study tour. Itu salah gurunya, salah memilih bus sehingga busnya remnya blong dan anak saya meninggal. Atau itu salah saya, saya sebagai orangtua seharusnya bisa menjaga anak saya. Seharusnya saya tahu karena sudah tiga bulan yang lalu sudah ada tanda-tanda tapi saya tidak segera membawa dia ke dokter, menganggap sepele, aduh gara-gara saya atau mulai marah dan menyalahkan Tuhan! "Tuhan, Engkau tidak adil!" Engkau ‘kan Tuhan yang berkuasa, mengapa Engkau izinkan musibah ini terjadi ? Mengapa pandemi terjadi sehingga pekerjaan bisnisku terhenti dan tergulung dan aku harus menanggung hutang yang banyak. Mengapa Tuhan, aku ‘kan sudah setia memberi perpuluhan, pelayanan, aku setia berdoa, berpuasa, memberi untuk orang lain, ke gereja Tuhan. Kenapa aku harus mengalami kemalangan seperti ini, dimana Engkau Tuhan ? Engkau tidak adil, Tuhan.
Y: Seperti protes, begitu ya Pak.
SK: Tepat. Maka didalam fase seperti inilah kita perlu memberi ruang. Kalau kita menyadari dari pembahasan ini, Bu Yosie. Ada fase terkejut, ada fase menyangkal, di fase pertama tadi. Yang kedua, fase marah dan menyalahkan dengan kita mendengar atau membaca pembahasan kita jadi mafhum dan paham. Kalau aku begitu, itu wajar dan jangan berhenti menyalahkan diri atau berhenti menyalahkan orang lain. Itulah tahap wajar, normal karena kita masih tahap penyesuaian diri dengan situasi yang menggoncangkan jiwa kita.
Y: Bagus sekali uraiannya, Pak. Silakan yang ketiga, tawar-menawar seperti apa, Pak ?
SK: Yang ketiga fase tawar-menawar, dalam bahasa Inggrisnya "bargaining". Mulai tawar-menawar terutama terhadap Tuhan. Tuhan aku berjanji kalau situasi pandemi ini, wabah mendunia ini, pada Covid-19, aku janji kalau anak yang kukasihi ini yang sedang coma ini bisa sembuh. Aku janji, Tuhan, kalau orang itu Kaubangkitkan dari kematiannya di dalam Nama Yesus. Aku berjanji, aku akan serahkan diri jadi hamba-Mu sepenuh waktu, aku akan tinggalkan bisnisku, pekerjaanku di dunia umum, di ‘market place’. Aku akan jadi pendeta, aku janji menjual salah satu rumahku untuk aku persembahkan ke gereja, ke misi, ke pekerjaan-pekerjaan sosial, Tuhan. Itu tawar-menawar. Tuhan, aku janji. Itu salah satu proses, sampai kemudian kita mengalami depresi, yang tahap ke empat, Bu Yosie.
Y: Karena tawar-menawarnya sepertinya tidak dikabulkan Tuhan, begitu ya Pak.
SK: Apa yang diharapkan tidak terjadi, apa yang didoapuasakan tidak terjadi.
Y: Permintaannya tidak dikabulkan.
SK: Mujizat pasti terjadi, tapi dalam hal ini tidak terjadi. Pandemi tetap berlangsung, yang meninggal tidak mengalami kebangkitan dari kematiannya. Yang sakit tidak sembuh, tapi tambah parah. Mulai kita berhenti berharap, berhenti memberontak tapi kita juga berhenti untuk meneruskan hidup kita secara normal. Orang depresi rata-rata ditandai kehilangan nafsu makan, kehilangan kesanggupan untuk tidur, mengalami insomnia. Atau sebagian orang hipersomnia, tidur terus, bangun lalu tidur.
Y: Seperti lari dari keadaan, ya Pak ?
SK: Seperti lelah bebannya, jiwanya terlalu berat, sehingga bangun tidur walaupun sudah 10 jam tidur, bangun tetap lunglai, ingin tidur kembali. Bukan hilang selera makan, selera makan berlipat ganda, makan…makan….makan, menjadi ajang pelarian seperti itu. Itulah bagian dari depresi.
Y: Lalu bagaimana Pak, dari depresi yang benar-benar sedih, kehilangan harapan kita bisa masuk ke tahap ke lima yang sehat yaitu menerima, merangkul.
SK: Sebelum itu saya perlu jelaskan bahwa lima tahapan ini bukan bersifat linear, satu garis lurus, tidak bisa berurutan harga mati tapi bisa naik turun, bisa seperti pendulum, maju mundur maju mundur. Maka di titik inilah supaya kita bisa menerima keterhilangan dan merangkul dukacita, izinkan untuk mengekspresikannya. Karena ketika kita mengalami keterhilangan, terciptalah danau air mata dalam jiwa kita dan tugas kita adalah mengizinkan danau air mata menyusut lewat ekspresi kesedihan kita, baik dalam bentuk tangisan atau dalam bentuk kita cerita, menyampaikan dukacita, penyesalan, rasa bersalah kita, kita cerita kepada orang lain atau cerita kepada Tuhan dalam bentuk ratapan. Tidak heran ada Mazmur ratapan, ada kitab Ratapan dan di dalam tradisi Yahudi ada yang namanya.
Y: Tembok Ratapan
SK: Iya dan ada ritual ratapan bagi orang yang meninggal dunia. Keluarga meratapi, itu keliru karena itu dalam konteks lokal kita, Indonesia, ada ungkapan, "Sudahlah jangan sedih, jangan menangis, nanti kamu menghalangi, arwahnya tidak bisa ke akhirat, tidak bisa ke surga, kecantol karena kamu tangisi". Maaf itu bukan pikiran Tuhan, bukan ajaran firman Tuhan, itu pikiran, ajaran agama-agama lain. Itu konsep ajaran di luar firman Allah, tidak seperti itu. Malah kalau kita melihat di Alkitab, tradisi orang Yahudi kembali yang berduka itu yang meratap. Seperti Ayub, Daud ketika pulang dengan pasukannya menang dalam sebuah peperangan, ternyata waktu pulang kampungnya dibakar, semua anak dan perempuan dijarah dibawa pergi. Daud merobek jubahnya, ditaruhlah abu debu di atas kepalanya, itulah tanda dukacita, menangis meraung seharian itu yang psikologis, yang spiritual dan Alkitabiah. Jadi izinkan, semakin kita leluasa mengekspresikan kemarahan kita, keterkejutan kita, kekecewaan kita kepada Tuhan, apalagi menangis ya menangis, mau menggerung-gerung silakan asal tidak destruktif, melukai orang lain, melukai diri, menghancurkan barang-barang. Tapi yang konstruktif, dengan kata-kata.
Y: Menulis bisa menjadi berkat kalau kita sudah lebih kuat.
SK: Betul, menulis, menggambar atau kegiatan-kegiatan fisik sambil olah raga. Apapunlah ekspresi itu boleh dikeluarkan, secara konstruktif itu sehat, tidak merusak diri dan orang lain. Itu malah menolong kita untuk bisa merangkul dukacita kita, bukan menolak dukacita kita.
Y: Jadi sangat penting, ya Pak, untuk memunyai paradigma yang benar. Tadi bahwa lima tahapan ini adalah bagian yang normal dan ini bukan linear. Banyak orang takut akhirnya, nanti kalau saya marah, berhenti di marah bagaimana? Sangat penting punya paradigma yang tepat, ya Pak.
SK: Ya, jadi bukankah seperti Mazmur 42 ayat 2-7, "Seperti rusa merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepda Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah? Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku, ‘Dimanakah Allahmu?’ ….Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah ! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku! Jiwaku tertekan dalam diriku, sebab itu aku teringat kepada-Mu" dan seterusnya. Inilah sebuah ekspresi keotentikan, kejujuran terhadap diri, jujur pada perasaan, jujur kepada diri sendiri, jujur kepada Tuhan. Itulah bagian dari menerima keterhilangan, merangkul dukacita, izinkan pause. Tidak apa-apa pada masa itu kadang beberapa orang cerita, "Aduh, Pak Sindu, saya tidak bisa bekerja lagi, masak, cuci baju, bersih-bersih, saya tidak bisa lagi jaga toko, saya masuk kantor seperti bengong, pandangan kosong, hampa seperti mati rasa." "Sudah tidak apa-apa, Ibu, tidak apa-apa Bapa, istirahatlah, ambil cuti dan minta yang lain membantu menangani urusan rumah tangga. Berhentilah berbuat apa-apa, diam di rumah, mengenang mendiang, mengakui keterhilangan harta benda itu, dukacita itu dan ekspresikan kemarahan, ratapan, tangisan itu. Jadi mari kita yang ada di sekitarnya, jangan mempersalahkan seperti teman-temannya Ayub, sampai Ayub mengatakan "Kamu penghibur sialan". Bukannya menghibur malah menghakimi, bukan mengangkat beban, malah beban dilipatgandakan. Maka dalam hal ini apa yang bisa kita lakukan yang di sekitarnya? Kita bantulah, misalnya, aku akan antarkan makanan besok pagi ke rumahmu, sudah kamu tidak usah bingung soal masak. Kalau kita sebuah komunitas pelayanan gereja, giliran, ayo hari ini kamu yang masak, besok aku yang masak, lusa kamu, gotong royong, arisan bantu saudara yang berduka ini. Ayo bajumu akan saya bawa untuk dicuci, atau dibawa ke laundry. Dan kalau dia menyalahkan Tuhan kenapa, Tuhan tidak adil, Tuhan dimana ? Hei, bertobat, kafir ya kamu, murtad ya kamu, ingat kamu adalah pengajar di Sekolah Alkitab. Awam tidak boleh seperti itu, dia bukan mendebat teologi, itu perasaannya. Masa abnormal izinkan untuk perilaku-perilaku yang abnormal. Dia bukan dalam situasi yang normal jadi jangan lihat di aspek teologi dan pikirannya tapi "behind the skin", di balik layar. Perasaan-perasaan yang berduka inilah membuat dia yang memunculkan perilaku-perilaku yang aneh. Terimalah perasaannya, kalau perasaan bisa terkeluarkan, danau air matanya mengempis sehingga beban jiwanya berkurang drastis lewat sebuah proses hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, barulah pikirannya akan kembali normal, akan waras kembali, bisa berpikir jernih seperti ketika dia tidak mengalami keterhilangan. Kembali juga kita yang mendampingi terimalah bahwa dia sedang mengalami keterhilangan. Kita pun membantu dia mendampingi supaya dia bisa merangkul dukacitanya. Bukannya kita yang menolak, tidak boleh kamu berdukacita, itu kita yang bersalah kepada Tuhan dan kepada tubuh Kristus itu.
Y: Karena itu penting sekali dengan edukasi seperti ini kita boleh mengerti tidak hanya bagaimana memeluk dukacita untuk diri kita sendiri, tapi mendampingi orang-orang di sekitar kita yang tidak luput dari keterhilangan, sakit-penyakit dan dukacita. Terakhir sebelum pindah ke bagian kedua, ada satu pesan, Pak Sindu ?
SK: Sekali lagi saya mau menegaskan seperti kata Firman Tuhan, "Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, berdukacitalah dengan orang yang berdukacita". Mari kita terima kehilangan kita, rangkul dukacita kita bagi kita yang ada di sekitarnya. Kita juga mengizinkan orang itu untuk menjalani kehilangannya dengan leluasa dan kita mendukung saudara kita untuk bisa merangkul dukacitanya dengan leluasa.
Y: Dan bangkit kembali.
SK: Amin.
Y: Terima kasih banyak Pak Sindu untuk pencerahannya. Para pendengar sekalian, terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K, M.Phil. dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA KeluarGA, kami baru saja berbincang-bincang tentang "Emosi Tangguh di Masa Krisis" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang atau Anda dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa dalam acara Telaga yang akan datang.