Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Hendra dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Stella Kurniawan, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini mengenai topik "Solusi Kecanduan Game". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, saya ingat dalam salah satu rekaman kita sebelumnya, Bapak sempat menyinggung tentang kecanduan game. Bapak juga sudah sebutkan beberapa kriterianya, tapi yang jadi pertanyaan adalah bagaimana solusi mengatasinya, Pak ?
SK : Iya. Jadi game ini memang bisa menjadi candu ya. Sebagaimana sebenarnya fenomenanya sama seperti kita kecanduan narkoba, rokok, minuman keras, dan yang lainnya. Memang satu yang pasti, namanya semua bentuk kecanduan atau ketagihan itu, untuk berhenti, untuk menjadi solusinya adalah kita harus mengambil jarak, meninggalkan objek dari kecanduan ini. Jadi karena topiknya adalah kecanduan game, berarti kita dalam posisi yang sudah kecanduan, berarti kita harus keluar dari orbitnya, gaya gravitasi, medan magnet dari game ini. Itu berarti harus mengambil langkah ekstrem meninggalkan game. Dalam hal ini sama seperti begini, Pak Hendra. "Saya mau berhenti dari kecanduan rokok. Sudahlah saya turunkan saja eskalasi rokoknya. Dari dua bungkus, menjadi satu bungkus. Kemudian menjadi lima batang, empat batang, kemudian tiga batang." Tidak bisa! Kalau kita mau berhenti dari kecanduan rokok memang harus ambil langkah tegas, ekstrem, sama sekali tidak merokok. Dan ini memang menimbulkan masa-masa penderitaan. Kalau dalam bahasa sehari-hari disebut masa-masa sakau. Sakit karena selama ini rokok membuat dia nyaman, tidak merokok membuat pusing, mual, muntah, susah konsentrasi. Tapi memang membutuhkan masa yang tidak selamanya akan sakau atau sakit ini. Itu hanya fase yang mungkin cukup dalam hitungan minggu atau bulan. Sebulan dua bulan masa sakau itu akan lewat. Tubuh dan jiwa kita akan lebih mungkin untuk bisa seimbang kembali dengan tanpa rokok atau dalam hal ini tanpa game.
St : Tapi bagaimana kalau misalnya kita punya teman-teman yang memang pemain game ? Jadi kita sama-sama bermain gamenya.
SK : Iya ya. Ini memang tidak mudah, Bu Stella. Tidak mudah bukan berarti mustahil. Justru ini sebuah tantangan yang tentunya para pemain game itu ‘kan suka tantangan. Nah, mari menyambut tantangan dan mengalahkan tantangan ini untuk bisa keluar dari kecanduan game. Memang langkah ekstremnya terpaksa karena sudah masuk ke lingkar kecanduan game, maka dia harus meninggalkan game. Yang kedua berarti juga meninggalkan komunitas game itu sendiri. Sama juga kasusnya orang-orang yang kecanduan narkoba, terpaksa karena sudah overdosis, dia masuk tempat rehabilitasi, bebas dari kecanduan narkoba. Tapi ketika dia sudah rawat inap katakan selama 3-4 bulan, eh dia keluar dan kembali lagi kepada komunitas pemakai narkoba, ya kembali lagi ke kubangan yang lama. Dalam hal ini berarti memang untuk lepas dari kecanduan game terpaksa dia harus tinggalkan komunitas pemain game itu dan mencari komunitas yang baru yang bukan pemain game.
St : Oh, jadi pertama-tama pasti merasa ada kesepian, ya Pak ?
SK : Iya. Kesepian, sakit, menderita dan berbagai hal. Maka sejalan dengan itu, itu bukan satu sisi ya. Jadi satu sisi menanggalkan yang lama, sisi yang bersama dengan itu mengenakan yang baru. Bersama dengan itu berarti dia perlu menjalani fase untuk berkomunitas, berkelompok, berteman, bersahabat dengan teman-teman yang baru. Berarti dia memang membutuhkan kelompok pendukung atau ‘support group’ yang bukan pemain game supaya bekas pemain game ini yang kecanduan ini mendapatkan orbit yang baru, yaitu pertemanan yang bukan pemain game. Dalam hal ini juga begini, Bu Stella dan Pak Hendra, soal jiwa. Game ini sebenarnya soal jiwa. Bukan hanya soal fisik atau otak, tapi soal jiwa, mentalitas, rasa puas, rasa bangga. Berarti perlu ada substitusi atau penggantian faktor jiwani ini. Kepuasan bermain game ini diganti dengan kepuasan dengan hal yang benar. Jadi ada sisi komunitas, ada sisi restorasi jiwa, restorasi atau pemulihan batinnya. Kalau ini dijalankan maka efek sakit atau penderitaan karena lepas dari game, lepas dari komunitas pecinta game, akan lebih tergantikan dengan kepuasan yang baru ketika mendapatkan kepuasan jiwani yang baru dan kepuasan dukungan dari komunitas yang baru.
H : Pak, kalau boleh saya simpulkan sementara, berarti solusi yang pertama adalah dia harus memisahkan diri dari game dan komunitas pemain game itu.
SK : Betul.
H : Yang kedua dia harus punya semacam akar batiniah, begitu ?
SK : Iya. Jadi meninggalkan itu menggantikan dengan yang lain. Menggantikan dengan yang lain adalah soal batiniah atau jiwaninya yang puas dengan game itu perlu digantikan dengan kepuasan oleh yang bukan game.
H : Nah, cara mengetahui dan cara menggantikannya bagaimana, Pak ?
SK : Yang pasti, Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon), bahasa kita waktu SD dulu, artinya makhluk relasional. Dan Allah menciptakan kita berelasi dengan diri-Nya dan berelasi dengan sesama manusia. Itulah kepuasan yang sejati. Allah ciptakan kita sebagai makhluk teknologi. Allah ciptakan kita bukan sebagai makhluk game. Tapi Allah ciptakan kita sedari mulanya, rancang bangunnya, software yang Allah rancang dan install dalam diri manusia adalah makhluk relasi dengan Tuhan dan sesama manusia. Nah, inilah soal kepuasan jiwani yang perlu dibangun bagi orang-orang yang mau lepas dari kecanduan atau ketagihan game.
H : Artinya dia harus membangun relasi dengan Tuhan terlebih dahulu, begitu Pak?
SK : Iya. Bersama dengan itu, relasi dengan orang-orang lain secara sehat.
H : Jadi relasi dengan orang-orang secara sehat itu adalah relasi dengan kelompok pendukung yang Bapak sebutkan tadi ?
SK : Iya. Termasuk di dalamnya itu. Jadi kalau boleh ditarik akar, Pak Hendra dan Bu Stella, mereka ini pecinta-pecinta game khususnya pecandu game ini, sebenarnya sedang melakukan sebuah proses pembalikan. Sebuah proses pelarian dari hakekat kepuasan dengan Tuhan dan sesama manusia secara sehat diganti dengan kepuasan dengan game dan komunitas pemain game. Ini sebuah penyimpangan. Dan usaha ketika lepas dari kecanduan adalah mengembalikannya. Bagaimana caranya ? Caranya yang pertama, dia harus mengakui bahwa itu salah. Mencintai game begitu rupa sampai kecanduan sebagai hal yang salah dan dia rela menyalibkan hal itu di dalam nama Yesus, kuasa yang bekerja, Dia rela menyampahkan kenikmatan yang didapatkan. Dia rela menyalibkan dengan manusia lamanya. Kita pakai bahasa Alkitab ya, "Tuhan, saya mau pisahkan diri dari pola-pola kenikmatan yang palsu, kenikmatan yang menyesatkan ini saya lepaskan, saya salibkan di dalam nama Yesus dan saya mau menerima yang baru yaitu relasi dengan-Mu, Tuhan." Bentuk-bentuk kenikmatan palsu rela dia lepaskan. Satu demi satu akui itu salah, lepas dan mau menerima yang baru dari Tuhan. Jadi itu restorasi secara spiritual. Sejalan dengan itu dia mulai proses bimbingan rohani, bimbingan pemuridan untuk menikmati bagaimana berelasi dengan Tuhan. Dengan intim dan menikmati kepuasan itu bersama dengan menjalin relasi keintiman dengan manusia lain secara sehat.
St : Jadi kelompok pendukung ini bisa berupa kelas pemuridan, Pak?
SK : Ya. Bukan hanya kelas tapi artinya ada relasi personal, relasi pribadi dengan pembimbingnya dan juga dengan teman-teman pemuridan ini. Jadi ada komunitas baru, pengganti dari komunitas para pemain game. Kalau boleh dilacak lebih lagi, Pak Hendra dan Bu Stella, beberapa hal untuk pemain game yang mau berhenti dari kecanduan game ini, ada peluang memunyai keterlukaan relasi dengan kedua orang tuanya.
St : Kok bisa, Pak? Bagaimana prosesnya ?
SK : Fondasi kenikmatan kita sebagai manusia, sesungguhnya itu pertama dan utama harus kita terima dari relasi yang sehat dari kedua orang tua kandung kita. Beberapa orang tidak menerimanya secara penuh bahkan mungkin terluka dari relasi dengan ayah dan ibu kandungnya. Kemudian itu membuat celah kemungkinan pribadi-pribadi demikian lari, salah satunya kepada game sebagai obat dari rasa sakit atau kekosongan jiwani ini. Maka dalam titik ini, dia perlu mengakui kekosongan yang mungkin tidak diterimanya dari kasih ayah dan ibu yang sehat. Dan dia mengambil langkah iman mengakui satu-demi satu, menyerahkan pada salib Yesus dan mengampuni ayah dan ibunya dan mengundang kehadiran Bapa Surgawi untuk mengisi ruang-ruang kosong yang dulu tidak diisi oleh ayah dan ibunya ketika dia tumbuh sebagai anak. Masa lalu tidak bisa diubah, terutama masa kecil. Tetapi masa lalu bisa ditebus di dalam nama Yesus. Jadi relasi dengan Allah Bapa bukan lagi sebagai Allah yang jauh, tapi relasi Bapa Surgawi, relasi yang intim, bahwa saya adalah anak Bapa Surgawi dan Dia mengisi ruang-ruang kosong saya sebagai seorang anak kecil. Maupun mengisi ruang-ruang di masa kini sebagai anak yang sudah berusia dewasa. Tapi saya tetap bisa menikmati keintiman secara emosional, spiritual dengan Bapa Surgawi. Nah, saya melihat ini sebagai jantung bagaimana seseorang bisa lepas dari kecanduan apapun termasuk kecanduan game. Yaitu fokus pada sisi manusia batiniahnya ini, kenikmatan surgawi dengan Bapa Surgawi. Sejalan dengan itu membangun kenikmatan dalam relasi yang sehat dengan orang-orang lain secara nyata, bukan secara virtual.
H : Tapi yang jadi pertanyaan begini. Berbicara mengenai kelompok pendukung, Pak. Kalau dia sebelumnya adalah pemain game, dan dia punya komunitas sesama pemain game. Itu ‘kan satu minat satu hobi. Ketika dia memutuskan meninggalkan komunitas tersebut dan masuk kelompok pendukung, katakanlah kelompok pemuridan di gereja, itu ‘kan dunia yang sangat berbeda dengan dirinya. Apa dia bisa nyaman begitu, Pak ? Maksud saya seefektif apa kelompok pendukung ini bisa merangkul dia dan dia bisa nyaman disana ?
SK : Memang tidak mudah, saya akui. Dalam percakapan konseling saya khususnya dengan para remaja yang sudah kecanduan game, memang tidak mudah. Poinnya begini. Pertama perlu ada kesediaan keputusan "Ya, aku mau lepas" dari pribadi itu. Beberapa situasi konseling yang saya hadapi itu orang tuanya yang ingin anaknya lepas dari kecanduan. Susah ! Karena anak itu belum menyadari kalau dia perlu lepas dari kecanduan itu karena dia mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dari kecanduan game ini. Jadi itu yang sulit. Tapi kalau pribadi itu, baik yang usia remaja atau usia dewasa yang berumur 30 tahun ke atas misalnya, menyadari kecanduan game, itu lebih mungkin. Karena sudah ada tekad kesediaan dari dirinya sendiri, masih mungkin.
H : Apakah kelompok pendukung ini bisa dalam bentuk kelompok minat yang lain? Misalnya olah raga, begitu Pak. Klub olah raga tertentu, misalnya, atau kelompok lainnya yang lebih positiflah. Yang bukan kelompok komunitas pemain game.
SK : Bisa, bisa. Saya setuju. Komunitas ini bisa diperluas. Komunitas pemuridan itu di satu sisi, karena bisa membangun sisi manusia rohani atau batiniah atau manusia jiwani untuk menggantikan kepuasan yang didapat dari game itu. Sejalan dengan itu, komunitas juga bisa dimaknai komunitas hobi yang sehat seperti yang dilontarkan oleh Pak Hendra. Saya sangat bisa mengiyakan dan mengamini, misalnya komunitas olahraga fisik. Men sana in corpore sano, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Game itu cenderung statik, tubuhnya tidak bergerak, tidak berolahraga, paling hanya jari-jarinya yang bergerak. Nah ini akan menyehatkan. Betul, Pak Hendra.
H : Selain dia membatasi dan menemukan kelompok yang tepat, dia juga mungkin perlu tahu bagaimana membangun batasan-batasan yang konkret, yang seharusnya, mengembangkan gaya hidup yang sehat tanpa harus terobsesi dengan game. Bagaimana pembekalannya, Pak ?
SK : Pembekalannya perlu ada komunitas pendukung dan pembimbing atau mentor, coach, atau pelatih. Maksudnya bukan pelatih olahraga tapi pelatih hidup ya. Ini perlu. Maka dalam bentuk yang lain, ada kasus nyata kisah sukses seorang psikiater bidang anak di Korea Selatan, anak remajanya sudah kecanduan game. Orang tuanya sudah menyerah. Akhirnya apa yang dilakukan ? Mereka yang tinggal di Korea Selatan ini mengirim anaknya bersekolah di Amerika Serikat. Karena rupanya di Amerika Serikat ada batasan sengaja dari pemerintah untuk hal-hal yang berkenaan dengan game. Entah mungkin batasan jaringan wifi atau yang lainnya ya, sehingga aksesnya jauh lebih sulit daripada di Korea Selatan. Karena dia studi dengan lingkungan yang berbeda, komunitas yang berbeda, dia dicabut dari komunitas pemain gamenya ini lalu masuk ke dalam komunitas asing dimana akses internet dan gamenya terbatas. Ini membuat anak ini membangun struktur hidup yang baru, dengan komunitas yang baru, dengan suasana hidup yang baru, sehingga dia mudah keluar dari jerat kecanduan game.
H : Itu ‘kan dalam konteks Korea Selatan dan Amerika Serikat, Pak? Kalau dalam konteks Indonesia bagaimana ya ?
SK : Iya ya. Makanya memang satu sisi dibutuhkan tempat rawat inap. Seperti yang saya lihat di Korea Selatan, di Indonesia juga perlu rawat inap. Untuk level-level kecanduan ini sangat tertolong kalau selama beberapa bulan menjalani rawat inap. Kita jangan anggap ini hal sepele sehingga buat apa rawat inap. Kasus ini bisa sangat berat dan bisa disetarakan dengan kecanduan narkoba. Kalau kecanduan narkoba ada rawat inap, mengapa tidak kita kembangkan rawat inap untuk yang kecanduan game? Memang diperlukan suatu fase transisi dari sana dibangun struktur hidup barunya bahwa dia bisa keluar dari masa sakaunya, menikmati latihan-latihan baru termasuk membangun batas-batas yang sehat. Hidup bukan berarti main game. Pada saat di tempat rehab seperti itu selama sekian bulan, misalnya gadget tidak boleh dimiliki, akses bermain game tidak ada sama sekali. Yang ada apa? Bermain olahraga, bermain catur, kegiatan belajar, kegiatan rohani, berkomunitas yang sehat, mengembangkan hobi yang baru. Setelah sekian bulan setelah muncul pola yang baru, barulah dia lebih siap untuk kembali ke tempat asalnya.
St : Jadi sementara ini seperti memang harus ada kesadaran dari diri sendiri untuk berhenti dari kecanduan game. Kemudian juga perlu suatu langkah konkret, langkah perubahan yang mungkin harusnya cukup besar. Meninggalkan komunitas dan mungkin juga masuk rehab. Seperti itu, Pak?
SK : Iya. Bu Stella dan Pak Hendra, dalam hal ini kalau seseorang anak ya, anak kecil atau remaja, dalam hal ini orang tua masih sangat besar pengaruhnya. Maka orang tua pun perlu mendukung secara aktif.
St : Maksudnya memberi batasan waktu, begitu Pak ?
SK : Bisa. Batasan waktu salah satunya. Atau orang tua sendiri ya jangan bermain game juga. Jadi kalau orang tua juga bermain game, maksudnya menggoda anak itu dengan dia tetap aktif main game di depan anak itu, maka anak itu akan terangsang untuk bermain kembali dan akhirnya masuk kembali ke kubangan game ini. Jadi orang tua juga perlu mendukung baik mencarikan tempat yang mungkin untuk bisa menggantikan tempat dimana bebas bermain game ini, misalnya dikirim ke desa selama 10 hari atau satu bulan, terutama di masa liburan diisi dengan aktivitas yang sehat. Aktivitas fisik, aktivitas aksi sosial, kerja bakti. Sehingga membangun makna hidupnya. Bahwa hidupku berharga bukan karena dapat skor poin-poin ini, mengalahkan ini dan itu. Tapi aku juga di dunia nyata aku berarti lewat kerja bakti, kerja sosial bagi orang lain, dan ternyata orang lain juga berterima kasih. Jadi tetap ada aspek jiwaninya, kepuasan, prestasi juga diisi tapi dengan bentuk yang sehat. Komunitas atau tim juga dikembangkan. Misalnya lewat permainan sepak bola. Bagi wanita mungkin lewat permainan lain di dunia nyata. Misalnya itu tadi, di desa atau di tempat tertentu yang tidak memiliki akses internet. Ini memang langkah ekstrem, tapi ini sehat. Tanpa itu, orang yang sudah kecanduan tidak bisa lepas. Oh saya kurangi saja, dari sekian jam. Tidak bisa ! Harus ekstrem bagi yang benar-benar kecanduan ya. Kecuali bagi yang belum level kecanduan ,masih mungkin bukan dengan bentuk yang ekstrem. Masih peluangnya ada. Tapi kalau sudah kecanduan, terpaksa langkahnya ekstrem.
H : Ekstrem dalam hati betul-betul putus total ya. Bukan mengurangi kadarnya ya, Pak ?
SK : Betul ! Putus total. Putus komunitas dan sejalan dengan itu diisi dengan hal yang lain, yang berbeda dan berguna.
H : Saya ingin bertanya, Pak. Bukankah banyak juga kondisi kecanduan yang masih belum ekstrem, Pak. Berarti itu lebih masuk ke langkah-langkah antisipasi.
SK : Betul.
H : Kira-kira apa saran Bapak untuk mengantisipasi agar jangan sampai kecanduan game ?
SK : Kita harus berani melakukan puasa game, Pak Hendra. Jadi misalnya kita tetapkan satu hari selama seminggu kita tanpa game. Satu hari dalam seminggu. Jadi supaya manusia hidup bukan dari game saja, manusia hidup dari permainan-permainan yang lain juga. Itu bisa kita lakukan. Disiplin rohani untuk puasa game. Dengan demikian kita bisa yakin, tanpa game pun aku tetap bisa hidup, bisa bahagia dan menikmati hidup, bisa puas dengan hidupku.
H : Untuk anak-anak ada batasan usia, Pak ?
SK : Saran umum, sebaiknya balita jangan diperkenalkan kepada game. Bahkan lebih lanjut lagi kepada bentuk-bentuk permainan elektronik lainnya ataupun tayangan-tayangan elektronik ya. Karena itu masa-masa pembentukan otak. Jadi kalau otak sudah distimulasi atau dibanjiri dengan stimulasi-stimulasi elektronik, itu membuat otaknya tidak bisa tenang kalau tidak ada stimulasi yang bersifat elektronik, yang notabene itu ‘kan stimulasinya banyak ya. Karena ada warna yang berubah-ubah, ada gerakan, ada suara. Sehingga anak itu ketika dibawah usia 5 tahun dibiasakan dengan game dan tayangan-tayangan elektronik, maka dia akan punya bakat untuk tidak mudah tenang di masa usia-usia berikutnya. Masa 5 tahun ‘kan masa pembentukan fondasi. Jadi lebih baik game elektronik sedapatnya diperkenalkan di usia, saya sarankan, kelas 3 SD usia 8 tahun. Atau kalau bisa ditunda lagi di kelas 4 atau kelas 5, itu jauh lebih baik.
H : Saya jadi terpikir seorang teman saya yang dulunya pecandu game. Dia main game terus. Dan ketika dia sudah berkeluarga, sudah punya pekerjaan tetap, rasanya hidupnya sudah lebih bermakna. Sekarang dia sudah tidak suka main game, Pak. Jadi peran makna hidup juga penting, ya ?
SK : Ya, betul. Saya sependapat. Memang bahasa ilmu sosialnya ini ‘kan juga fenomena gunung es. Yang kelihatan itu 10% yaitu kecanduan game, secara terlihat mata, tetapi di bawah permukaan air laut, 90% ini masalah-masalah psikologis, masalah jiwani, masalah batiniah, masalah rohani, masalah makna hidup. Dan inilah yang kita perlu fokuskan. Jadi jangan hanya "Buang game! Berhenti game!" tapi makna apa yang aku dapatkan dalam bentuk yang lain itu dapat dari mana. Makanya kembali ketika saya menyebutkan relasi dengan Tuhan dan sesama yang sehat, ini menjadi sebuah isu sentral dari kecanduan game ataupun kecanduan-kecanduan lainnya.
H : Nah dalam konteks orang tua mendidik anak, orang tua juga mesti berperan penting juga, Pak, dalam membantu anak itu menemukan makna-makna hidupnya ?
SK : Sependapat, Pak Hendra dan Bu Stella. Jadi memang orang tua jangan hanya berani memberi uang, memberi benda, gadget, atau memberi game. Orang tua perlu berani memberi dirinya, hadir, ada relasi. Memuridkan anak-anaknya. Menanamkan nilai-nilai firman Allah, nilai-nilai hakiki tentang kemanusiaan. Dan itu juga dalam bentuk relasi yang intim, relasi yang hangat dengan anaknya. Jadi kalau ada relasi hangat maka anak tidak mudah mengalami kekosongan dan beralih lari ke game. Dan juga karena ada relasi yang hangat, orang tua lebih bisa mengarahkan. "Ayo, nak, main gamenya dibatasi segini aja ya." Anak akan mau dengarkan. Karena apa ? Relasinya hangat dan harmonis.
St : Jadi tidak perlu ada keributan di dalam rumah ya, Pak ?
SK : Betul. Tidak perlu ada omelan. Dan mengapa ? Nanti kalau anak sudah beranjak remaja, mengomel dan main belakang ("backstreet") dan orang tua ‘kan tidak bisa mengendalikan anak.
H : Terima kasih, Pak. Pesan terakhir dari firman Tuhan apa yang bisa Bapak sampaikan ?
SK : Saya bacakan dari Amsal 3:26, "Karena Tuhanlah yang akan menjadi sandaranmu dan akan menghindarkan kakimu dari jerat." Jadi dari bagian firman Tuhan ini kita bisa melihat keterjeratan itu selalu akan ada. Tapi sentral bagaimana kita bisa lepas dari jerat kehidupan ini, termasuk dari jerat game atau kecanduan game, ketika kita menempatkan Tuhan sebagai sentral, pusat dari hidup kita. Tuhan dan firman-Nya, gaya hidup yang Allah kehendaki sesuai dengan firman-Nya, mari kita kembangkan. Bukan berarti larinya doa melulu, puasa melulu, ke gereja melulu. Tidak ya. Tuhan juga mau kita bekerja, berelasi, berkarya, memberi manfaat bagi orang lain secara sehat. Bermain, tidak apa-apa, tapi proporsional. Ada waktu bermain, ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk menyendiri, ada waktu untuk bersama dengan orang lain. Dengan cara kita menata hidup sesuai dengan desain Tuhan sebagai pencipta kita, maka kita akan bisa keluar dari jerat kecanduan game. Ketika pun kecanduan game, kita perlu kembali kepada apa yang Tuhan rancang bangun. Inilah yang sesuai dengan firman Allah ini, kita bisa terhindar dari jerat, atau lepas dari jerat kecanduan game.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Terima kasih, Bu Stella. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang mengenai topik "Solusi Kecanduan Game". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.