Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Tahun Pertama Pernikahan" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita berbicara tentang tiga hal yang perlu dikerjakan oleh pasangan yang baru menikah khususnya pada awal tahun pernikahan mereka. Kita akan lanjutkan perbincangan ini, supaya para pendengar kita kali ini punya gambaran yang lebih lengkap tentang apa yang kita perbincangkan mungkin Pak Paul bisa mengulang secara ringkas apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau.
PG : Pada dasarnya kita membicarakan tentang pentingnya memancangkan hal-hal yang positif di awal tahun pernikahan kita. Sebab ini akan menjadi modal yang dapat membuahkan buah-buah yang baik di dalam pernikahan kita kelak, misalnya kita membicarakan tentang pentingnya menetapkan aturan, aturan misalnya didalam kita menyelesaikan konflik, jangan sampai akhirnya konflik itu berkepanjangan. Misalnya saya mencatat tentang kita tidak boleh main tangan dan kita harus meredam suara kita, kita juga sudah membicarakan aturan misalnya dalam hal berhubungan dengan mertua atau keluarga pasangan, kita jangan sampai sembarangan berbicara kepada mertua kita, kita harus batasi dan jangan sampai nanti menimbulkan rasa sakit hati. Kita juga membicarakan tentang pentingnya menyuarakan pengharapan kita, jangan sampai kita menyembunyikan apa yang terkandung dalam isi hati kita, bicaralah apa adanya dan jangan sungkan-sungkan untuk membicarakan hal-hal yang peka misalnya seperti pengaturan keuangan, uang di tangan siapa dan bagaimana memakainya, itu adalah hal-hal yang harus dibicarakan. Pengaturan rumah, siapa yang mengatur makanan dan membersihkan rumah, tentang perkembangan karir dan pembayaran anak dan juga hubungan intim. Itu semua adalah hal-hal yang harus kita bicarakan. Yang ketiga adalah kita juga harus mulai menabung kebaikan di dalam celengan pernikahan. Yang saya maksud dengan kebaikan adalah bukan saja kita mengatakan kita mengasihi pasangan kita, tapi kita juga harus mewujudkannya dalam tindakan konkret yaitu menolongnya, makin banyak kita memberikan bantuan kepada pasangan, itu nanti akan menjadi tabungan sehingga jika nanti terjadi konflik maka pasangan akan mengingat kebaikan kita dan itu akan meredam kemarahan atau ketidakpuasannya. Jadi itulah hal-hal yang telah kita bicarakan di awal-awal tahun.
GS : Pada awalnya suami dituntut untuk mengetahui kebutuhan dasar istrinya yaitu rasa aman. Jadi selama istri bisa merasa aman dan si suami menciptakan rasa aman, rasanya sebagian besar kebutuhan emosional dari istri terpenuhi, sebaliknya kita sebagai suami membutuhkan rasa nyaman di rumah. Pulang kerja lelah, bisa merasa nyaman di rumah sampai malam, apakah itu menjadi kebutuhan mendasar, Pak Paul ?
PG : Sangat baik sekali, Pak Gunawan merumuskannya dan saya sangat setuju, pada umumnya perempuan merindukan rasa aman; tugas kita sebagai laki-laki untuk menyediakan rasa aman misalkan kesetiaan kita, perlindungan kita atas masalah-masalah yang muncul, bagaimana menghadapinya, bagaimana kita menjaga perasaannya, itu semua akan menimbulkan rasa aman dalam dirinya. Dan dari pihak istri kita membutuhkan rasa nyaman, jadi sebaiknya istri juga menyiapkan rumah, menyiapkan suasana rumah yang nyaman sehingga ketika suami ada di rumah dia merasakan benar-benar ini merupakan tempat dia beristirahat yang dia tidak bisa temukan lagi di luar rumah.
GS : Kadang-kadang membicarakan jumlah anak yang diinginkan, itu juga sesuatu hal yang penting dibicarakan di awal pernikahan karena ada suami yang menginginkan anak banyak, tapi istri mengatakan, "Enak saja karena kamu tidak ikut mengurusi anak-anak" di sini juga diperlukan suatu titik temu, Pak Paul.
PG : Jangan ragu untuk menyuarakan pengharapan, sudah tentu tidak berarti begitu menyuarakan pengharapan pasangan kita langsung menganggukkan kepala dan berkata "Oke". Jadi kadang-kadang perlu waktu untuk bisa menyelaraskan dua pengharapan yang berbeda namun tetap ini penting dilakukan di awal-awal pernikahan. Jangan sampai kita memendamnya sehingga nanti akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dan kepahitan di dalam hidup kita. Jadi kita harus bicarakan kalau tidak ketemu titik temunya sekarang ini, maka tunda dulu nanti bicara lagi, kalau masih tidak bisa ketemu di tengah-tengah mungkin kita harus mencari orang ketiga, seorang pendeta atau konselor untuk menolong kita untuk bisa akhirnya sampai kepada titik temu.
GS : Ada kesepakatan antara suami dan istri. Pak Paul, pada kesempatan yang lalu Pak Paul sudah mengutarakan tiga hal yang perlu dikerjakan di awal pernikahan, maka hal yang keempat apa, Pak Paul ?
PG : Yang keempat adalah kita harus membiasakan diri menyelesaikan konflik sampai tuntas, jadi yang ingin saya garis bawahi adalah tuntas. Godaan terbesar pada awal pernikahan adalah membiarkan atau menghindarkan konflik, masalahnya adalah konflik yang tak terselesaikan akan menjadi masalah yang terpendam yang akan dapat muncul kembali. Jika konflik yang tak terselesaikan menumpuk itu berarti sewaktu muncul, dia akan muncul dengan kekuatan yang lebih besar karena waktu kita ingat satu dan belum selesai dan kemudian ingat lagi yang satunya maka kita marah, ingat yang satunya lagi tambah marah, belum selesai yang satu sudah ingat yang satunya "Kamu juga pernah berbuat seperti ini kepada saya", jadi akhirnya merentet tidak habis-habis dan lebih susah untuk menyelesaikannya.
GS : Biasanya jalan ini ditempuh dari pada ramai-ramai, masih pengantin baru tapi sudah ramai karena pertengkaran, maka lebih baik ada yang diam yang tidak mau membicarakan atau tidak mau berkonflik dalam hal ini, bagaimana Pak Paul ?
PG : Sudah tentu ada waktunya, maka kita harus diam dan tidak ribut, tidak apa-apa. Namun yang saya mau tekankan adalah jangan sampai itu menjadi cara kita berhadapan dengan konflik, "Diam saja dan tidak usah bicara lagi", jangan seperti itu sebab pada akhirnya ketidakpuasan akan terus berakar dan nanti suatu hari kelak akan keluar, maka untuk menariknya keluar bisa begitu berat karena banyak yang nanti harus dibahas.
GS : Pak Paul, seringkali apa yang menjadi masalah di dalam keluarga ini sehingga bisa menimbulkan konflik ?
PG : Ada beberapa, yang pertama misalnya kesalahpahaman, dua pribadi yang berbeda tentulah memunyai gaya bicara yang berbeda, gaya mendengarkan berbeda, gaya menyuruh yang berbeda, gaya bersuara berbeda, dan gaya-gaya lainnya yang berbeda. Itu sebabnya kesalahpahaman mudah sekali terjadi. Tidak bisa tidak, kita harus sering-sering menjelaskan maksud perbuatan atau perkataan kita supaya kesalahpahaman tidak terulang dan berkepanjangan.
GS : Masalahnya ini dalam komunikasi saja, bagaimana kita mengkomunikasikan agar pasangan kita bisa mengerti apa yang kita komunikasikan. Tapi seringkali tidak ketemu juga.
PG : Jadi kita pada akhirnya harus bersedia mengubah gaya kita, tidak bisa kita berkata, "Pokoknya ini gaya saya dan saya tidak punya maksud seperti itu sehingga saya tidak peduli kamu melihatnya bagaimana". Harus ada hal-hal yang kita ubah dan tidak berarti semua harus kita ubah, tidak. Tapi ada hal-hal yang harus berani kita ubah. Sebagai contoh ada orang yang kalau minta tolong tidak bisa berkata, "Kamu bisa tolong saya ambil itu ?" Dia tidak bisa seperti itu tapi dia selalu langsung ke poinnya "Ambilkan itu". Pasangannya akan berkata, "Memangnya saya ini pegawaimu, sehingga kamu menyuruh saya seperti itu" yang satu berkata, "Saya biasa bicara seperti ini bahkan kepada kakak dan adik, saya juga seperti ini bicaranya". Kita tidak bisa berkata kepada pasangan kita, "Karena saya seperti ini maka saya akan seperti ini terus". Jadi kita juga harus berpikir lagi apakah kita bisa tambahkan kata "tolong", dan kita pikir lagi apa susahnya menambah kata tolong, jadi kita mencoba untuk berubah.
GS : Pada intinya kita mau berubah atau tidak, kita mau belajar dan berubah atau tidak. Hal lain yang menjadi sumber konflik apa, Pak Paul ?
PG : Perbedaan. Ada banyak keputusan yang harus diambil bersama dalam pernikahan dan tidak bisa tidak dua pribadi yang berbeda akan melihat sesuatu secara berbeda pula, sebagai akibatnya terjadilah perbedaan pendapat yang berakhir dengan pertengkaran. Ada banyak sekali keputusan yang harus diambil bersama. Biasanya di tahun pertama pernikahan, tahun dimana kita menempati rumah yang baru, berarti harus membeli perkakas atau perabotan, dan itu bisa menjadi sumber konflik karena akan ada yang melihat kegunaan, ada yang akan melihat keindahan. Jadi yang satu menekankan keindahan, yang satu akan berkata, "Buat apa indah tapi tidak ada gunanya", yang satu berkata, "Buat apa membeli yang seperti itu, simpel minimalis tapi tidak ada unsur keindahan". Jadi itu bisa menjadi bahan keributan. Memang perbedaan adalah hal yang muncul secara alamiah di dalam pernikahan.
GS : Atau tentang cat tembok, satu minta warna yang ini dan yang lain minta yang itu dan seringkali tidak ada titik temu.
PG : Betul sekali, ada teman saya yang memunyai rumah baru dan dia bangun rumah itu dan mereka memanggil seorang pemborong, ada arsiteknya untuk membangun, untuk menggambar tapi idenya dari suami istri ini, dan dia katakan kepada saya bahwa dia kapok/jera, lebih baik membeli rumah yang sudah jadi karena ribut terus, istrinya mau ini dan dia maunya itu dan itulah yang terjadi.
GS : Apakah ada hal lain yang bisa menjadi sumber konflik, Pak Paul ?
PG : Kekecewaan, tidak selalu pasangan melakukan apa yang kita kehendaki. Sudah tentu hal ini akan menimbulkan kekecewaan, namun adakalanya pasangan bukan saja tidak melakukan apa yang kita inginkan ia pun melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan. Sudah pasti perbuatan ini akan menimbulkan kekecewaan yang dalam. Jadi intinya adalah konflik harus diselesaikan dan untuk itu diperlukan usaha yang terus menerus. Semakin sering kita mengusahakan penyelesaian konflik maka makin mampu kita bisa menyelesaikannya, sebaliknya makin jarang kita mengusahakan penyelesaian konflik maka makin kurang mampu kita menyelesaikannya. Jadi di awal pernikahan jangan takut untuk berkonflik selama masih ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya.
GS : Kelelahan fisik dan mental seringkali juga menjadi penyebab konflik di awal pernikahan. Biasanya kita di rumah orang tua, semua sudah ada yang mengatur entah itu orang tua atau pembantu rumah tangga. Di awal pernikahan dimana keuangan juga masih minim, kita tidak menggunakan jasa pembantu rumah tangga, kita harus melakukannya sendiri, siang hari sudah bekerja dan ketika di rumah juga bekerja dan kelelahan ini seringkali memicu konflik.
PG : Betul sekali, apalagi jika dua-dua bekerja berarti dua-dua letih dan kalau tidak ada orang yang membantu di rumah maka seringkali itu bisa menimbulkan konflik.
GS : Sebenarnya pada waktu kita masih segar dan bugar omongan itu tidak memicu masalah, tapi ketika kita lelah maka perkataan sedikit lalu menimbulkan kemarahan.
PG : Betul. Maka kita harus tahu bagaimana mengatur waktu, mengatur kapan kita bicara dan sebagainya, memang ada baiknya ini semua sudah dibicarakan sehingga kita tahu waktu kita pulang ke rumah, apa yang menjadi tugas kita dan apa yang menjadi tugas dia. Jadi masing-masing mengurus tugasnya masing-masing dan baru malamnya bisa rileks, menikmati waktu bersama.
GS : Hal lain yang perlu dikerjakan di awal pernikahan apa, Pak Paul ?
PG : Kita harus membiasakan diri melakukan aktifitas yang menumbuhkan keintiman. Jadi sejak awal biasakan untuk pergi bersama, berekreasi, menikmati musik atau film, bercengkerama sebelum tidur dan berhubungan intim secara teratur. Semua ini adalah kegiatan yang berpotensi menambah kedekatan di antara kita. Sebab dalam dunia yang penuh kesibukan ini kita harus "berkelahi" melawan hal-hal lain yang dapat menyedot perhatian kita dan membuat hubungan kita makin merenggang, itu sebabnya penting bagi kita memulai pernikahan dengan kebiasaan baik ini. Juga kita harus menyadari bahwa keintiman adalah seperti air yang membasahi daun yang membuatnya tidak mudah terbakar, relasi yang kurang keintiman menjadikan relasi itu seperti daun yang kering, yang mudah terbakar. Jadi singkat kata, tanpa keintiman relasi pernikahan mudah terbakar konflik dan kemarahan, sebaliknya relasi yang diisi dengan keintiman akan membuatnya tidak mudah tersulut oleh api konflik.
GS : Justru yang seringkali terjadi di awal-awal pernikahan, keintiman itu mulai memudar dibandingkan dengan masa bulan madu, dimana mereka bisa intim apalagi dengan masa pacarannya. Karena kesibukan kerja sehari-hari pulang sampai sore, untuk melakukan kegiatan intim bersama juga sulit bagi suami istri yang memasuki tahun pertama ini.
PG : Betul. Jadi memang perlu ada komitmen bersama untuk menetapkan waktu bahwa ini penting kita lakukan. Jadi kita harus sediakan waktu untuk itu, kalau tidak maka cepat sekali dua-duanya akan terbawa arus tuntutan kesibukan masing-masing sehingga tanpa disadari relasi mereka makin merenggang.
GS : Apalagi dengan hadirnya anak pertama, itu juga bisa merenggangkan hubungan mereka, si istri sibuk sekali dengan anaknya dan bagi si suami ini kesempatan untuk melarikan diri.
PG : Maka perlu ada komitmen kalau kita mau menjaga relasi agar jangan sampai makin merenggang, jadi harus ada komitmen untuk membagi waktu bersama.
GS : Dan itu bukan hanya komitmen tapi ada harga yang harus dibayar dan kemungkinan dia tidak lagi bisa menikmati hobinya atau tidak bisa menikmati sesuatu yang di senanginya, begitu Pak Paul ?
PG : Benar, dan itu adalah bagian dari pernikahan. Kita harus rela melepaskan hal-hal yang tadinya kita senang lakukan dan karena sekarang sudah ada anak maka tidak bisa lagi, maka kita harus terima itu dan tidak bisa kita paksakan diri terus sebab akhirnya kalau kita paksakan maka pasangan kita akan berkata, "Kamu ini begitu egois dan kamu tidak bisa melihat saya begitu sibuk dan kamu terus saja melakukan apa yang senang kamu lakukan".
GS : Jadi kalau si istri itu adalah seorang wanita karier yang bekerja, pulang kerja sudah kelelahan. Tapi kalau si istri adalah ibu rumah tangga dia kelelahan tapi kalau di rumah dia bosan, dia mau mengajak suaminya untuk jalan-jalan namun suaminya yang kelelahan karena sudah bekerja seharian dan sore masih mengantar istrinya jalan-jalan. Di sini kadang-kadang tidak ketemu, Pak Paul.
PG : Maka di sini harus ada pembicaraan, misalnya suami berkata, "Saya mengerti kamu itu jemu, kamu ingin pergi keluar maka sekarang kita tetapkan dalam satu minggu ada satu hari misalnya hari apa". Kita pria yang bekerja tahu hari apa yang tidak terlalu sibuk maka kita bisa pulang agak pagi dan kita tetapkan hari itu sehingga kita siap untuk bisa bersama dengan dia.
GS : Pak Paul, apakah ada hal lain yang harus kita kerjakan di awal pernikahan ?
PG : Yang terakhir adalah sejak awal kita harus mengutamakan Tuhan di atas segalanya. Jadi biasakanlah untuk menjadikan hari Minggu sebagai hari Tuhan dimana kita berbakti, kita melayani Tuhan dan biasakan membaca Alkitab dan bersaat teduh setiap hari dan biasakan untuk memberi persembahan kepada Tuhan sesuai dengan berkat yang dilimpahkan-Nya kepada kita untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada-Nya. Biasakan untuk berdoa bersama setiap malam dan biasakan untuk berbagi berkat rohani. Jadi dengan kata lain jadikan Tuhan pusat kehidupan dan tunduklah kepada kehendak-Nya, biasakan sejak awal untuk mencari kehendak-Nya dalam memutuskan sesuatu, biasakan menomor duakan materi dan menomor satukan semua yang penting bagi Tuhan seperti membangun relasi dengan sesama dan mengenalkan Kristus kepada sesama. Jadi kalau dari awal kita sudah mengambil komitmen untuk mengutamakan Tuhan di dalam kehidupan kita, ini menjadi lebih mudah untuk nantinya kita teruskan. Peliharalah kebiasaan-kebiasaan yang baik yang memang merupakan kebiasaan rohani yang sehat itu, jangan sampai karena kita menikah semua kebiasaan itu luntur, seperti kebiasaan membaca Alkitab, kebiasaan membaca buku rohani, kebiasaan berbagi cerita tentang pengalaman rohani, biasakan untuk terus melakukan semua itu dan ini akan bisa bukan saja mengikat kita berdua dalam pernikahan yang harmonis, tapi akan tetap menjaga kedekatan kita dengan Tuhan pula.
GS : Dalam banyak kasus sekalipun mereka seiman tapi pertumbuhan iman mereka itu tidak bisa atau tidak sama pertumbuhannya sehingga yang satu menyukai hal-hal rohani dan pasangannya kurang menyukai, bukan membenci tapi kurang menyukai, Pak Paul.
PG : Memang jarang sekali dua-dua memunyai pertumbuhan rohani yang sama, adakalanya yang satu sudah bertumbuh tapi yang satunya belakangan sudah mulai tua dan baru mulai memunyai minat rohani, itu yang sering terjadi. Jadi yang akan dilakukan kadang-kadang yang lebih sehat adalah daripada menuntutnya, mengharuskannya atau memarahinya, "Kenapa dia tidak begitu dan begini" maka lebih baik kita hanya dalam hati mendoakannya, daripada kita menuntut-nuntut, bukannya membaik tapi memburuk, lebih baik mendoakannya dan biarlah nanti Tuhan yang berbicara langsung kepada dia dengan cara Tuhan secara khusus sehingga dia disadarkan untuk mencari Tuhan dalam hidupnya.
GS : Itu sebabnya Alkitab mengatakan, "Yang kuat harus menolong yang lemah dalam hal ini".
PG : Betul sekali. Lebih baik lewat contoh-contoh kehidupan yang konkret, kehidupan kita yang saleh, kita mencerminkan kasih Kristus kepadanya sehingga lama kelamaan dia akan kembali untuk mencari Tuhan kembali.
GS : Seringkali kita itu lebih gampang bersaksi atau menolong orang lain yang tidak punya ikatan pernikahan dengan kita daripada pasangan hidup kita yang setiap hari melihat tingkah laku kita.
PG : Itu sebabnya kita harus hati-hati dengan menyuruh pasangan yang berkaitan dengan hal-hal rohani karena kita tidak sempurna, karena kita hidup serumah dengan dia. Kalau hidup kita masih banyak kelemahan, itu justru akan menjadi bumerang, karena dia akan merasa tawar hati sebab dia melihat kalau kita menyuruh-nyuruh dia berbuat ini dan itu tapi dia melihat hidup kita tidak begitu beres, kita masih banyak kemarahan dan kita kalau bicara kasar dan suka membicarakan orang, maka dia akan berkata, "Dia tidak begitu, tapi kamu begitu dan kamu menyuruh-nyuruh saya untuk dekat dengan Tuhan dan sebagainya". Jadi sekali lagi kalau kita mengikuti perintah Tuhan maka tidak salah, perintah Tuhan dengan jelas berkata di 1 Petrus, yang kita menangkan bukan lewat perkataan tapi lewat perbuatan.
GS : Seringkali istri yang dulunya memang aktifis di gereja sampai menikah pun kadang-kadang tidak bisa atau sulit melepaskan kegiatan itu. Banyak suami yang mengeluh ketika pulang kerja istrinya tidak ada dan ternyata di gereja dan ini menimbulkan ketegangan pada awal pernikahan, Pak Paul.
PG : Bisa, sekali lagi di awal pernikahan dua-dua harus saling menyuarakan pengharapannya, tentu kita tidak bisa berkata kepada istri kita, "Pokoknya saya pulang kerja kamu harus selalu ada di rumah", kita juga harus fleksibel tapi kita juga tidak bisa istri kita hampir setiap hari tidak ada di rumah, jadi harus ada kesepakatan, "Kalau mau terlibat pelayanan apakah bisa misalnya di hari biasa hanya satu malam saja dan selebihnya jangan". Jadi memang harus ada saling menyesuaikan.
GS : Pak Paul, dalam hal ini apakah yang di katakan firman Tuhan ?
PG : Di Ulangan 4 :5-7 firman Tuhan berkata, "Ingatlah, aku telah mengajarkan ketetapan dan peraturan kepadamu, seperti yang diperintahkan kepadaku oleh TUHAN, Allahku, supaya kamu melakukan yang demikian di dalam negeri, yang akan kamu masuki untuk mendudukinya. Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa yang pada waktu mendengar segala ketetapan ini akan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi. Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya seperti TUHAN, Allah kita, setiap kali kita memanggil kepada-Nya?" Ini adalah perkataan Musa kepada umat Israel, jadi Musa mengingatkan kepada orang Israel untuk terus menaati perintah Tuhan dengan setia, sebab kata Musa ini akan memerlihatkan kebijaksanaan dan akal budi mereka di mata bangsa-bangsa lain. Jadi kita sebagai keluarga Kristen kita juga harus mengejar hal-hal baik, hal-hal yang berguna untuk saling membangun dan yang berkaitan dengan damai sejahtera, supaya nanti orang lain bisa melihat dan berkata bahwa, "Memang keluarga ini atau pernikahan ini adalah pernikahan yang bijaksana dan berakal budi" karena kita dekat dengan Tuhan, jadi akhirnya pernikahan kita membawa kemuliaan bagi nama Tuhan".
GS : Saya percaya perbincangan ini makin mengukuhkan mereka yang akan menikah, mereka tidak takut untuk memasuki tahun pertama pernikahan walaupun banyak gejolak yang terjadi di sana, karena pedoman ini sudah disampaikan cukup jelas dan terlebih firman Tuhan yang Pak Paul bacakan. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tahun pertama pernikahan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Comments
Dating Insight
Min, 13/04/2014 - 8:58pm
Link permanen
Link untuk pembahasan Christian Dating