Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Heman Elia, akan berbincang-bincang dengan Bapak Sindunata Kurniawan. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Mekanisme Pertahanan Diri" bagian yang ke-tiga.
HE : Dan sekadar mengingatkan para pendengar, di bagian yang kedua telah dibicarakan juga tentang jenis-jenis mekanisme pertahanan diri, yaitu rasionalisasi dan kemudian pembentukan reaksi dan juga pengalihan. Apakah ada jenis yang lain lagi setelah ini ?
SK : Kali ini kita membicarakan jenis yang ketujuh yaitu regresi.
HE : Bagaimana itu, Pak ?
SK : Regresi berasal dari bahasa Inggris Regretion. Maksudnya adalah bentuk mekanisme pertahanan diri ketika kita kembali pada tahap ketidakmatangan emosi di waktu sebelumnya. Jadi hal ini dilakukan supaya kita merasa lebih terlindung dari tekanan kehidupan.
HE : Artinya sekarang sudah lebih baik, tapi ternyata kembali seperti ke masa sebelumnya ?
SK : Betul. Jadi dalam hal ini, misalnya ada anak kecil usia 4 tahun, dia sudah bisa cukup mandiri. Dia bisa buang air besar di kakus, sudah bisa meminum susu di gelas, tapi kemudian ternyata sekian hari atau selama satu minggu ibunya tidak ada bersama dia di rumah, dia hanya tinggal bersama sang ayah. Rupanya sang ibu sedang melahirkan adiknya. Begitu adik bayinya dibawa pulang, maka si kakak ini merasa terabaikan. Karena ibu bahkan ayahnya lebih peduli dan banyak waktu untuk si adik bayi. Di tengah rasa keterabaian inilah tiba-tiba dia mulai ngompol, mulai buang air besar di celananya sendiri, tiba-tiba menangis merengek-rengek seperti waktu dia bayi dulu. Pada kondisi inilah secara tanpa sadar dia kembali kepada masa bayi dulu, dia sedang mengalami yang disebut regresi.
HE : Ini tentu merepotkan orang tua, ya ?
SK : Betul. Jadi dia merasa stres, tertekan, tidak mendapatkan perhatian. Akhirnya dia berusaha kembali untuk merasa nyaman dengan kembali menjadi seperti bayi, dengan harapan dia bisa kembali mendapat perhatian ibu dan ayahnya. Dan seperti kata Pak Heman memang akhirnya sang ibu bingung, ayah juga bingung. "Kamu sebagai kakak sudah berumur 4 tahun kok tiba-tiba jadi seperti bayi lagi ?" memang akhirnya sang ibu kerepotan menghadapi hal itu.
HE : Apakah ini hanya terjadi pada anak-anak ?
SK : Iya, Pak Heman. Rupanya orang dewasa seperti kita pun juga bisa mengalami.
HE : Oh, orang dewasa juga bisa ya ?
SK : Ya! Misalnya kita mengalami tekanan di dalam kehidupan karena perubahan besar, karena berganti pekerjaan, karena berhenti dari bekerja dengan situasi yang mendadak di PHK, karena kematian orang yang kita kasihi apalagi kematian yang bersifat mendadak, intinya stres karena perubahan besar, membuat kita akhirnya dalam kondisi ketertekanan itu kita secara otomatis atau tanpa sadar kita kembali seperti kita pada waktu anak kecil. Kita minta diperhatikan, mungkin kita meringkuk di tempat tidur kita, diam terus, tidak berani menghadapi dunia di luar tempat tidur atau kamar kita. kita menjadi seperti anak kecil yang butuh diingatkan untuk makan, ditawari makan, yang butuh diperlakukan. Intinya menerima perhatian-perhatian sebagaimana waktu kita kecil dulu. Tiba-tiba kita yang dewasa berubah ! "Kamu ‘kan mandiri, penuh inisiatif, bahkan kamu yang menyediakan berbagai hal untuk anak-anakmu, untuk keluargamu, tiba-tiba kamu sendiri kok lumpuh seperti anak kecil, tak berdaya, paadahal kamu punya kemampuan." Nah, dia sedang mengalami regresi.
HE : Saya ingat Pak Sindunata pernah bercerita tentang mekanisme pertahanan diri ini juga karena kecemasan. Dan rupanya kecemasan kita itu dampaknya sangat banyak, ya ?
SK : Ya, betul! Jadi akhirnya tanpa sadar kita kembali pada memori atau bentuk kehidupan yang menciptakan sepertinya pembenaran bahwa kita tidak berbuat apa-apa. Itu menjadi seperti anak kecil. Dan kalau kita renungkan, Pak Heman, itu memang otomatis ya. Kita pun dalam keseharian bisa mengalami seperti itu. Jadi dalam konteks seperti itu orang-orang di sekitar, keluarga, pasangan hidup, ketika mendapatkan salah satu anggota keluarganya mengalami regresi, saran saya sebaiknya memang jangan cepat-cepat menghakimi, mempersalahkan. "Kamu ini kan selama ini hebat, bisa menghadapi berbagai hal. Masa gara-gara gini kamu seperti anak kecil ?" Nah, sebaiknya dorongan marah, jengkel dan menghakimi itu lebih baik diredam.
HE : Iya. Kalau tidak begitu, misalnya makin dimarahi makin cemas, ya ?
SK : Betul dan dampaknya bisa lebih negatif. Jadi lebih baik diterima, dipahami mengapa dia demikian. Coba mencari tahu latar belakangnya, konteksnya, akar masalahnya itu apa. "Oh, memang karena ini, begini. Ya sudah." Akhirnya kita mungkin untuk beberapa hari meladeninya. Beri dia waktu jeda, ‘time out’, waktu untuk istirahat, break dari kepenatan hidup ini. Ijinkan itu sarana restorasi diri, pemulihan diri secara fisik, mental, intelektual, emosi ataupun mungkin juga secara spiritual. Beri waktu! Kita ladeni, kita layani, kita penuhi perhatian yang dibutuhkan baik secara fisik, emosi. Nah, sambil memberi perhatian, kita bisa pada waktunya memberi peneguhan sedikit demi sedikit. Misalnya dalam bentuk empati, "Ya, saya mengerti, saya bisa ikut prihatin dengan apa yang kamu alami. Memang tidak mudah." Jadi dia tidak merasa seorang diri, dimengerti. Itu akan memberikan satu energi secara psikis, secara jiwani bagi dirinya di dalam masa ketertekanan itu.
HE : Jadi perlu kesabaran juga untuk menghadapinya, ya.
SK : Betul, Pak Heman. Sedikit demi sedikit kita bisa stimulasi, artinya bisa memberi dorongan, "Cobalah. Ayo, kita bangkit sama-sama. Jangan pikirkan yang terlalu besar, hal kecil saja apa yang bisa dilakukan." Atau mungkin kita tidak perlu berpikir tentang masalah itu, kita ajak dia berdoa, menyerahkan kepada Tuhan segala tekanan penderitaan yang dialami. Kita juga bisa dalam bentuk mengajak dia keluar rumah, aktivitas, jalan-jalan pagi. Atau dalam bentuk yang lain itu tadi, masuk kepada tantangan yang menekan itu kita intinya mendorong dia, membesarkan hati bahwa apa yang dihadapi itu bukanlah akhir segala-galanya. Jadi kita memberi semacam dorongan semangat kehidupan. Intinya semua itu perlu kita racik, kemas, perlu kita lihat waktu yang tepat kapan. Memang butuh hikmat biar kondisi di lapangan seperti apa sambil kita doakan. Atau mengajak beberapa orang ikut memberi dukungan moril. Mendoakan, itu saya yakin akan menolong orang tersebut di dalam kondisi keterpurukannya saat itu.
HE : Baru saja Pak Sindunata menyebut tentang regresi. Apakah ada jenis yang lain lagi, Pak?
SK : Jenis kedelapan adalah fiksasi.
HE : Fiksasi itu seperti apa, Pak?
SK : Fiksasi berasal dari kata bahasa Inggris fixation. Dari kata fixed, tetap atau menetap. Artinya kondisi dimana seseorang berada tetap pada tingkat perkembangan emosi tertentu. Jadi dia mengalami kemandegan, stagnansi. Misalnya ada anak kecil yang umur 2-3 tahun, kalau berbicara masih cadel. Misal, "Ma..ma..ma.. aku minta cucu.." bagi kita hal itu lucu sekali. Kita bertepuk tangan, kita tirukan. "Papa juga cuka cucu…" wah, tanpa sadar anak itu menangkap dalam pola pikir yang sederhana, "Kalau aku bicara seperti itu aku malah disukai oleh papa dan mamaku." Anak itu akhirnya mempertahankan pada kemampuan bicara yang seperti itu, padahal semestinya sejalan dengan usia perkembangan, dia sudah bisa mengartikulasikan atau mengucapkan dengan intonasi, lafal dan tekanan kata yang tepat. Tapi dia bertahan karena dia pikir itu yang disenangi. Dalam hal ini bisa kita katakan anak ini mengalami kondisi fiksasi.
HE : Dia bertahan padahal sekarang ini kenyataan yang baru harus dihadapi dengan cara yang baru juga ya.
SK : Betul. Seperti kata Pak Heman, kenyataan yang baru. Mestinya sejalan dengan perkembangan usia, dia menghadapi tantangan yang baru untuk bisa berbicara dengan lancar, bisa sekolah di Playgroup atau TK. Tapi mungkin juga ada faktor kecemasan terhadap hal atau tuntutan yang baru sehingga dia merasa lebih baik bertahan di zona nyaman yang dia kenal. Bisa juga mestinya dia sudah bisa beranjak, disapih, bisa mandi sendiri, memakai baju sendiri, mengatur diri, tidur di kamar sendiri, tetapi dia enggan. "Aku nyaman dimandikan, dipakaikan baju, tidur satu kamar atau satu ranjang dengan papa mamaku." Untuk tidur di kamar sendiri itu mencemaskan. Muncullah mekanisme pertahanan diri jenis fiksasi, bertahan dengan pola yang demikian itu.
HE : Tadi Bapak bicara tentang anak usia 2 tahun. Apakah ada contoh yang dialami oleh orang dewasa ?
SK : Iya. Orang dewasa juga bisa mengalami kondisi fiksasi.
HE : Oh, bisa ya, Pak?
SK : Bisa.
HE : Seperti apa fiksasi pada orang dewasa ? Fiksasi ‘kan tahap perkembangan yang terhenti. Mungkin Bapak bisa memberi contohnya ?
SK : Fiksasi sejalan dengan yang kita bahas tadi, misalnya usianya memang usia dewasa, berumur 20 atau 30-an, tapi dia bertahan dengan pola yang sama sejak dia kecil. Artinya, untuk mendapatkan sesuatu, kalau dia tidak mendapatkannya dia akan marah, dengan cara cemberut, marah-marah, banting ini itu, melakukan tindakan yang kekanak-kanakan. Rupanya itu pola sejak balita, SD, berlanjut SMP, SMA, hingga berumur 30-an. Jadi dia mengalami kemandegan kematangan emosi di dalam menghadapi kondisi ketika keinginannya tidak bisa dipenuhi oleh orang lain. Itu sebuah bentuk fiksasi.
HE : Jadi, kurang matangnya emosi seseorang menunjukkan bisa karena fiksasi.
SK : Tepat! Kurang matang secara emosi itu artinya tidak sesuai dengan usia secara fisik, usia kronologis. Dia umur 25 tahun mestinya kematangan emosinya untuk pribadi 25 tahun. Tapi ternyata kok tidak sesuai, berarti ‘kan dia tidak matang emosi. Itu bisa kita tengarai bahwa dia mengalami bentuk fiksasi, dia berhenti di usia belasan tahun atau di usia 10 tahun.
HE : Tentu tidak mudah menghadapi fiksasi ini. Tadi regresi saja tidak mudah. Sekarang fiksasi lebih tidak mudah lagi.
SK : Kenapa fiksasi bisa langgeng ? Berhenti di usia 7 tahun berlanjut sampai usia 37 tahun ? Selama 30 tahun bertahan di usia 7 tahun perkembangan emosinya. Karena lingkungan terdekatnya, misalnya orang tua atau pengasuh, mengijinkan atau tanpa sadar memberikan persetujuan perkembangan emosinya tetap bertahan di usia 7 tahun. Maka untuk mengubahnya, lingkungan pun harus berani memberikan konsekuensi. "Kalau kamu tetap seperti ini, kami tidak bisa terima." Kadang kondisi konsanksi sosial, konsekuensi sosial itu akan memaksa orang ini untuk, "Aku perlu berubah. Aku tidak bisa bertahan pada pola emosi yang terfiksasi di usia 7 tahun ini." Dengan cara ini dia akan belajar mendewasakan diri secara pribadi, atau mungkin dia akan bersedia mencari pertolongan orang lain, baik itu seorang konselor, psikolog, hamba Tuhan, atau orang lain yang lebih dewasa dari dia untuk melatih supaya emosinya itu sesuai dengan usia fisiknya.
HE : Jadi lingkungan itu penting ya.
SK : Betul, Pak Heman, fiksasi ini juga bisa dalam bentuk trauma. Peristiwa traumatik itu sering kita dengar di masyarakat. Dia trauma, misalnya takut pada kupu-kupu. Lha kok bisa ? Kupu-kupu ‘kan cantik! Ada warna kuning, putih, kebiruan. Kenapa ? Rupanya waktu umur 4 tahun dia sering dihajar oleh ayahnya menggunakan ikat pinggang. Nah, gesper ikat pinggang itu berbentuk kupu-kupu sehingga sampai dewasa berusia 55 tahun, begitu ada kupu-kupu mendekat, dia langsung lari terbirit-birit. Dia fobia kupu-kupu karena terfiksasi di usia 4 tahun itu.
HE : Wah, tentu tidak mudah ya. Karena kalau membayangkan seperti ini, usia masa muda itu usia yang rentan dan kadang-kadang tidak tahu bagaimana akan terjadi hal-hal yang bisa menghambat perkembangan kita. Apakah ada jenis yang lain lagi ?
SK : Jenis kesembilan yaitu kompensasi.
HE : Bagaimana kompensasi itu, Pak ?
SK : Istilah ini lebih umum kita dengar, ya. Melakukan kompensasi. Ini ketika kita berusaha menggantikan kekurangan diri kita, baik yang bersifat nyata di depan mata orang lain atau yang tidak nyata karena ada dalam diri kita, kita menggantikannya dengan hal yang positif, hal yang sehat. Itu kompensasi. Contohnya, misalnya saya merasa kurang bisa bernyanyi dengan baik, kurang tepat ambil nada, sumbang. Tapi saya bisa menggambar. Nah, akhirnya saya fokuskan energi kreatif saya pada menggambar. Oke, saya kurang baik dalam hal menyanyi, tapi saya bisa menggambar dengan luar biasa. Ini suatu bentuk kompensasi. Dari ketidakmampuan menyanyi dialihkan menjadi hal yang positif yaitu menggambar dengan sangat bagus. Suatu bentuk kompensasi.
HE : Jenis yang sebelumnya banyak yang negatif dan kita berusaha mengatasinya. Kalau kompensasi ini bagaimana, Pak ?
SK : Betul. Rupanya kompensasi ini satu hal yang positif.
HE : Mekanisme pertahanan diri, meskipun dasarnya adalah kecemasan, ternyata ada yang positif juga ya, Pak ?
SK : Iya. Bisa menjadi hal yang positif. Tapi memang kalau itu berangkat dari tidak bisa menerima diri sendiri, tetap saja bermasalah.
HE : Kenapa, Pak ?
SK : Misalnya saya merasa minder dengan fisik saya, kemudian apa yang saya lakukan ? Saya berusaha berpenampilan modis tapi tetap sopan. Tapi kalau akar masalahnya, minder ini, tidak teratasi, ya akan tetap saja. Sekalipun tampilannya sehat, tapi karena akarnya berangkat dari sesuatu yang tidak sehat yaitu tidak bisa menerima diri, ini tetap masalah. Akarnya harus diatasi. Mungkin perilakunya bisa diterima. Tapi tetap akar masalah rasa rendah diri ini bukan rancangannya Tuhan. Sejak manusia jatuh dalam dosa memang ada ketidaksempurnaan. Tetapi bukan berarti karena kita tidak sempurna dalam kondisi-kondisi fisik atau nonfisik tertentu kita boleh tetap dalam kondisi rendah diri. Sesungguhnya ketika kita menjadi milik Allah, mengalami kelahiran baru, kita diberi nilai kekal oleh Allah. Apapun kondisi fisik dan nonfisik kita, kita berharga. Dan kita bisa merasa mampu berdiri sama tinggi dengan orang lain. Jadi rasa rendah diri bukan bentuk yang sehat bahkan bisa jadi bentuk dosa, karena kita sedang tidak menghargai apa yang Allah berikan.
HE : Jadi akar persoalannya itu juga perlu kita lihat ya. Selain dari apa yang ditampilkan melalui mekanisme pertahanan diri ini.
SK : Ada juga bentuk kompensasi lain. Misalnya lahir dalam suatu keluarga yang miskin secara ekonomi, atau keluarga dari orang tua kriminal, saudaranya pernah berbuat sesuatu yang dianggap menimbulkan aib keluarga. Apa yang dia lakukan sebagai bentuk pertahanan diri di tengah tekanan dan keterpurukan nama baik keluarga ? Maka dia berprestasi di sekolah. Menjadi bintang kelas, ketua OSIS, jadi hamba Tuhan atau fulltimer, masuk Sekolah Teologi, melayani dan menjadi hamba Tuhan yang baik. Itu juga suatu bentuk kompensasi. Tapi kalau akarnya tidak dibereskan, tetap ini menjadi masalah.
HE : Adakah jenis yang lain lagi, Pak ?
SK : Jenis kesepuluh masih mirip dengan kompensasi, yaitu over kompensasi atau kompensasi yang berlebihan. Kalau kompensasi cara mengganti kekurangan dalam bentuk yang bisa diterima secara sosial, sedangkan over kompensasi adalah usaha mengganti kekurangan yang sebaliknya yaitu tidak bisa diterima secara sosial.
HE : Tidak bisa diterima sosial ? Jadi kompensasi itu lebih positif ya ?
SK : Betul. Jadi untuk tampilan luar lebih positif yang kompensasi. Yang over kompensasi lebih bersifat negatif. Misalnya ada orang yang merasa minder dengan dirinya. Ketika ada di tengah-tengah orang lain, dia menceritakan cerita-cerita humor yang tidak lucu, malah kedengaran konyol. Tapi dia tetap pada ceritanya itu. Pikirnya orang akan suka. Padahal itu membuat orang jengkel. Nah, ini suatu bentuk kompensasi yang berlebihan.
HE : Kadang kita bisa tidak mengerti kenapa orang tidak bisa menerima kita atau kita sudah berusaha dengan baik tapi ternyata relasi yang kita bangun tidak sebaik yang kita duga. Rupanya mekanisme pertahanan diri ini ya.
SK : Betul. Ketidaktepatan dalam membaca situasi sekitar. Misalnya, "Saya mau menyanyi di gereja, Pak." Dia pun menyanyi, namun dengan nada sumbang. Tapi dia terus menyanyi. Orang tidak memberikan tepuk tangan pun dia anggap mereka senang. Kemudian nanti dia minta waktu lagi untuk menyanyi lagi. Ketika ditolak, dia tidak menyadari bahwa dia kurang bisa menyanyi. Ini bentuk over kompensasi. Semacam gelap mata, tidak melihat sekeliling lagi, terlalu fokus pada dirinya. Aku merasa minder, bagaimana caraku mengangkat harga diriku di depan orang lain tapi tidak peduli, buta dengan respons orang lain.
HE : Ini kurang disadari oleh yang bersangkutan ? Sepertinya juga buta terhadap diri sendiri ? Bagaimana menghadapi orang seperti ini, Pak ?
SK : Yang pasti ini perlu dikomunikasikan. Penting kita biasakan untuk tidak bicara di belakang. Langkah pertama dalam kondisi apapun, kalau kita tahu, usahakan kita bisa mengutarakan langsung kepada yang bersangkutan, jadi tidak terjadi pergunjingan. Saya sadar ini tidak mudah. Tapi tetap usaha yang mulia kalau kita bisa bicara empat mata dengan orang tersebut.
HE : Teringat kata-kata Bapak tentang membohongi diri, distorsi. Distorsi ini rupanya bisa dikurangi kalau kita lebih banyak belajar untuk berterus terang.
SK : Betul. Ketika diri kita tidak bisa didengar pun, mungkin usaha sekelompok orang akan bisa menolong. Tapi mungkin orang itu mengeraskan hati. Dalam hal ini akhirnya menunggu reaksi yang dia terima, mungkin dia akan lebih terbuka. Dalam konteks ini kalau melayani orang ini kita perlu masuk ke akar masalah. Ini butuh percakapan konseling mendalam. Kalau percakapan persahabatan, mungkin orang tertentu tidak menyadari dan malah mempersalahkan. "Mengapa kamu bicara seperti ini ? Aku ‘kan sudah berusaha. "malah dia menyalahkan orang lain. Memang tidak ada jalan lain selain butuh percakapan konseling yang mendalam untuk membongkar akar masalahnya, supaya orang ini tidak bertahan pada benteng-benteng penipuan diri sendiri ini.
HE : Pak, apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa mendasari perbincangan kita kali ini?
SK : Saya bacakan dari Amsal 4:23, "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." Jadi menjaga diri kita untuk tetap berkoneksi dengan perasaan, nurani kita itu penting. Apa yang dikatakan hati kecil kita, jangan lekas-lekas ditindas. Apa yang dikatakan hati kecil sangat mungkin dipakai Roh Kudus untuk menyatakan seperti apa kita sesungguhnya. Terang yang kecil dari hati kecil kita itu justru malah diperdengar dan kalau kita masih kurang jelas, pertanyakan pada beberapa orang. ‘kan ada titik-titik ‘blind spot’ yang tidak kita mengerti, kita tidak bisa melihat diri sendiri apa adanya, butuh orang lain. Itu akan menolong kita untuk bisa memiliki kehidupan yang jernih dan terang karena kita mau mendengar hati kecil kita ini dan umpan balik orang lain.
HE : Baik, Pak Sindunata, kita akan melanjutkan perbincangan kita ini di kali yang lain. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Sindunata Kurniawan dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mekanisme Pertahanan Diri" bagian yang ke-tiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org.Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.