Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Media dan Keluarga" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kita sudah berbincang-bincang tentang topik "Media dan Keluarga" untuk sesi pertama dan sesi kedua. Pada kali ini kita bertemu lagi untuk melanjutkan perbincangan kita dan perbincangan yang terakhir berakhir pada topik pengaruh negatif media bagi orang dewasa. Bapak sudah menyebutkan salah satunya adalah konsumtif dan pasif statis, kemudian ada efek membuat orang Kristen menjadi orang Kristen sekuler dan duniawi. Dan terakhir Bapak juga sempat mengulas mengenai kecanduan. Ternyata ada rasa penyesalan di dalam gejala kecanduan ini ya, Pak ?
SK : Betul ! Betul ! Ada titik tertentu orang merasa hidupnya terganggu gara-gara media. Tetapi ternyata penyesalan tersebut tidak bisa terwujud dalam bentuk perubahan perilaku yang nyata.
H : Jadi penyesalan yang selalu gagal itu sudah bisa dikategorikan salah satu ciri kecanduan ya, Pak ?
SK : Betul.
H : Baik, Pak. Kalau yang keempat apa, Pak ?
Sk : Yang keempat mulai merasakan tidak nyaman, galau, murung, cepat tersinggung ketika berusaha berhenti memakai atau menggunakan media. Memang salah satu cirinya,"Oke aku harus berhenti. Aku harus bertobat." "Aku harus lepaskan ikatan dari televisi ini." "Aku harus lepas dari penggunaan internet yang tanpa batas ini." "Aku harus lepas dari penggunaan gadget yang sudah keterlaluan ini." Tapi ketika dia berhenti, dia gelisah, dia galau. Ini mirip dengan ketika orang mengalami putus obat dari alkohol atau putus dari obat-obatan terlarang. Ketika dia putus dari memakai alkohol, putus dari memakai rokok, putus dari memakai jarum suntik. Dalam beberapa jam tidak sampai satu hari dia akan gelisah atau istilahnya sakau. Sakit dan akibatnya tidak enak. Perasaan gelisah, kepala pusing, melakukan apa-apa serba tidak enak. Kondisi ini menunjukkan gejala ketika orang putus dari sumber kecanduan itu dan mengalami kondisi yang tidak nyaman.
H : Kalau mendengar penjelasan Bapak dari poin satu sampai empat, memang ini kelihatannya mirip dengan gejala kecanduan-kecanduan pada umumnya, misalnya terhadap alkohol atau penggunaan obat-obatan terlarang ya, Pak. Tapi disini objeknya berbeda, disini objeknya adalah media.
SK : Betul.
H : Kalau poin yang kelima itu apa, Pak ?
SK : Pemakaian media itu telah membawa resiko hilangnya relasi yang berarti. Bahkan hilangnya pekerjaan, hilangnya kesempatan studi, kesempatan meraih prestasi dalam sekolahnya, kesempatan untuk mengembangkan kariernya. Jadi media itu tidak sekadar untuk mengisi waktu luang lagi tetapi bahkan menggerus waktu-waktu produktifnya di dalam belajar, dalam karier, pekerjaan, termasuk dalam memelihara dan mengembangkan relasi dengan pasangan hidup, orang tua, anak, maupun dengan sahabat-sahabatnya. Ketika gangguan-gangguan tersebut dialami dengan parah, itu salah satu tanda nyata bahwa orang itu mengalami kecanduan, dalam hal ini kecanduan media.
H : Oh, jadi bisa dalam konkretnya kalau dia adalah seorang pelajar dia bisa sampai putus sekolah atau kalau mahasiswa bisa putus kuliahnya, begitu Pak ?
SK : Bisa ! Ya itu tadi. Karena tidak naik kelas akhirnya DO (Drop Out/Keluar) karena prestasinya anjlok. Tugas-tugas sekolah atau kuliahnya terabaikan, terlambat atau sebagainya sehingga mengakibatkan konsekuensi yang serius seperti tidak naik kelas, nilai tidak bagus, bahkan sampai DO.
H : Kalau untuk konteks orang yang bekerja apa mungkin dia sampai rela meninggalkan jam kerjanya hanya untuk mengakses media dan sebagainya ?
SK : Bisa! Jadi dia mulai mengabaikan, datang terlambat atau saat di tempat kerja waktu yang semestinya dipakai menyelesaikan tugas-tugas kantornya dia malah mencuri-curi waktu, dia menonton, dia memperbaharui status di media sosialnya, mengirim gambar-gambar, mengirim kalimat-kalimat. Jadi sambil bekerja, dia buka jejaring sosialnya. Ini sudah menimbulkan gangguan sampai akhirnya pimpinannya marah, mendapatkan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga, sampai akhirnya di-skorsing bahkan dikeluarkan.
H : Ini memang berkaitan dengan poin sebelumnya ya Pak. Kalau dia hentikan, dia bisa jadi gelisah, galau, atau dikatakan sakau, ya Pak ?
SK : Betul.
H : Kalau poin yang terakhir apa, Pak ?
Sk : Poin yang keenam gejala kecanduan media ditandai dengan media sebenarnya digunakan untuk melarikan diri dari masalah-masalah atau meredakan perasaan-perasaan negatif seperti rasa bersalah, cemas, depresi, kehampaan dan kekosongan dalam jiwanya.
H : Oh, jadi ada masalah-masalah yang menjadi pelarian ini ya, Pak ?
SK : Betul. Jadi sesungguhnya kalau saya mengamati dalam perjumpaan dengan beberapa orang yang mengalami kecanduan media, sebenarnya di balik itu mereka mengalami masalah yang lain. Kekosongan dalam hal relasi yang bermakna, tidak punya sahabat dan merasa kurang diterima atau kurang dimengerti, kurang punya relasi yang berarti bagi dirinya, akhirnya dia lari kepada dunia maya. Melarikan diri, merasa punya banyak teman karena punya banyak follower (teman/pengikut) di media sosialnya. Atau dia lari dengan cara menggemari tayangan-tayangan televisi, film-film tertentu, koleksi atau menonton berjam-jam untuk melupakan sesaat rasa kegelisahan, kegalauan, dan depresi dalam dirinya.
H : Apakah disadari oleh orang yang kecanduan ini Pak, bahwa dia mengalami masalah itu ?
SK : Mungkin awalnya tidak menyadari. Pokoknya dia merasa tidak enak, dia akan menonton. Tapi kalau digali lebih lanjut dia baru menyadari,"Sebenarnya saya tidak puas dengan yang saya lakukan, dengan banyak jam di depan televisi, banyak jam untuk media sosial, banyak jam untuk bermain-main dengan gadget atau game online. Sebenarnya saya tidak suka, tapi saya lakukan. Kenapa ? Sebab saya merasa jika saya kembali kepada dunia nyata, sebenarnya saya punya rasa tertekan, rasa bermasalah. Jadi saya coba alihkan, saya tutupi, saya kelabui dengan bentuk-bentuk kegiatan dengan media itu tadi."
H : OK. Dari poin, satu, dua, dan tiga pengaruh negatif yang Bapak jelaskan yaitu: konsumtif pasif statis, Kristen sekuler dan duniawi, serta kecanduan. Apakah ada lagi yang ingin Bapak tambahkan terkait tiga poin ini ?
SK : Ya. Memang begini, untuk lebih memperjelas, ada sebuah survei yang dilakukan di Amerika Serikat yang saya pikir masih bisa menggambarkan kondisi di Indonesia. Dimana ditemukan 63% orang ternyata sering menonton televisi sambil makan malam, jadi di atas 50% ya. Termasuk di antara 63% itu, 76% berusia 8 – 24 tahun. Itu berarti usia anak dan usia remaja maupun dewasa awal. Ini menunjukkan sebuah tren dimana orang-orang muda termasuk anak-anak sudah menjadikan televisi sebagai bagian dari kesehariannya dalam hal soal makan malam. Minimal ditemani oleh televisi bukan ditemani oleh keluarganya. Kemudian angka lain dalam survey yang sama menemukan bahwa 29% orang jatuh tertidur dengan televisi tetap menyala. Bayangkan ! Mungkin dia merasa jenuh, gelisah, tidak nyaman, akhirnya lari ke televisi dan dihidupkan terus. Walaupun dia mengantuk televisinya tetap dinyalakan, bahkan sampai dia tertidur, televisinya tetap menyala, bahkan mungkin kita pernah menyaksikan atau mengalami televisinya sudah gemerisik, sudah tidak ada acara yang tayang lagi. Ditemani suara gemerisik itu kita bisa tidur nyenyak. Kemudian bangun baru sadar kalau televisinya menyala semalaman. Atau bahkan terbangun karena sudah muncul berita pagi, jam 5 pagi, sudah ramai lagi. Jadi televisi menjadi sumber ketenteraman jiwa kita secara palsu. Terakhir datanya adalah 42% orang ditemukan menyalakan televisi setiap kali memasuki ruangan rumahnya. Begitu masuk tidak nyaman kalau tidak menyalakan televisi, padahal belum tentu dia menonton. Jadi dia merasa nyaman atau eksis di rumahnya kalau dia mendengar keramaian hiruk pikuk televisi sekalipun dia tidak menontonnya. Tapi suara itu membuat dia teduh. Inilah menunjukkan bentuk-bentuk tanda-tanda yang mengarah kepada gejala kecanduan televisi atau media.
H : Ini survei di Amerika Serikat ya, Pak ? Tapi tampaknya banyak terjadi di Indonesia.
SK : Ya, saya sendiri mengalami situasi seperti ini di masa kecil. Jadi televisi itu tetap menyala sekalipun kami tidak menonton. Kami beraktifitas di ruang masing-masing, mungkin di dapur, di ruang makan. Kami tidak nonton pun televisi tetap menyala. Seolah televisi itu menjadi anggota keluarga yang kesekian. Misalnya kami ada 6 anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu dan empat orang anak, televisi bisa dikatakan sebagai anggota keluarga yang ketujuh. Yang tidak disadari hadir secara nyata, tapi diakui kepentingannya dalam hidup kami. Ini menjadi bentuk yang kurang sehat, sehingga saya pun harus berproses sendiri ketika dewasa untuk bagaimana berkata tidak dan membatasi diri terhadap pola-pola yang mengarah pada kecanduan media ini.
H : Bahkan banyak rumah tangga sekarang ini yang memiliki jumlah televisi lebih dari satu, ya Pak.
SK : Benar, jadi ada kalanya seorang itu sampai punya dua televisi ditumpuk. Jadi dia bisa gonta-ganti saluran televisi. Bukan sekedar gonta-ganti tapi bisa menonton beberapa tayangan secara bersamaan. Jadi selama menonton, matanya tetuju kepada dua televisi. Itupun di tiap kamar. Itu baru satu orang, belum lagi setiap anggota keluarga memiliki satu televisi. Bisa jadi dalam satu rumah ada 5 buah televisi. Inilah hal yang seharusnya membuat hati kita miris dengan fenomena ini.
H : Kemirisan ini mungkin masuk dalam pengaruh negatif yang keempat ya, Pak ?
SK : Ya. Jadi dampak negatif yang keempat dari media adalah memiskinkan relasi keluarga. Jadi relasi keluarga ini digerus. Saya sebutkan sebuah data dimana ibu yang bekerja di luar rumah ternyata rata-rata hanya memberi waktu 11 menit untuk anaknya. Sebelas menit itu termasuk membacakan buku, bercakap-cakap antara ibu dengan anaknya, ataupun bermain bersama, kalau dihitung rata-rata 11 menit per hari. Dan ibu yang bekerja di rumah atau ibu rumah tangga, ternyata tidak jauh lebih baik. Hanya 30 menit waktu yang dia gunakan untuk berinteraksi langsung dengan anaknya. Baik itu bermain, membacakan buku maupun bercakap-cakap dengan anaknya. Ini sebuah kondisi yang nyata.
H : Apakah waktu ibu-ibu tersebut lebih banyak untuk media televisi ?
SK : Ya, ditemukan sebenarnya waktunya dirumah sekitar 3-4 jam namun sebagian besar waktu itu untuk media. Khususnya untuk televisi.
H : Kalau dengan ayah bagaimana, Pak ?
SK : Kalau ayah ditemukan hanya 8 menit untuk anak ! Dan kalau anaknya sudah menginjak usia SMP – SMA, itu hanya 5 menit ! Jadi rupanya secara alami ayah memang bukan ayah yang relasional. Jadi dia pikir dia hadir secara fisik saja sudah cukup.
H : Secara fungsional ?
SK : Iya. Secara ekonomi. Aku sudah bekerja. Itu menunjukkan tanggung jawabku. Aku membawa uang dan makanan, aku sudah menyekolahkan anak-anak di sekolah yang bagus, sudah cukup. Berbicara dengan anak-anak itu tugas ibunya anak-anak, bukan tugas saya sebagai bapaknya." Padahal seorang bapak punya pengaruh besar, kehadirannya memberi pengaruh psikis dan emosional bagi anaknya tapi tanpa disadari diabaikan.
H : Selain sudah salah paradigma dari awal ditambah dengan pengaruh media, makin memperburuk relasi ayah dengan anak ya, Pak. Kalau dengan anak sendiri bagaimana, Pak ?
SK : Jadi akhirnya situasi ini membuat anak-anak tumbuh dengan media. Orang tua karena merasa sama-sama sibuk bekerja, akhirnya merasa, "Sudahlah. Saya belikan televisi. Saya belikan komputer, saya sambungkan dengan internet. Saya belikan mainan yang baik agar dia bisa bermain di rumah. Itu sudah menunjukkan kasih sayang saya bagi anak saya." Itu yang membuat sejak kecil anak diasuh oleh orang tua yang lain, yaitu media. Akhirnya tanpa sadar terciptalah sebuah motto bagi sang anak sejak balita sampai memasuki remaja, kira-kira seperti ini: "Media itu bikin senang, tapi orang tua bikin bosan". Kelompok sebaya teman-temanku bikin senang, tapi waktu bersama keluarga bikin stres." Kenapa ? Karena orang tua bisa menuntut dan menyuruh anak belajar, mengerjakan tugas dan menghardik anak. Sementara media televisi, komputer, mainan tidak penah menuntut, bahkan melayani kemauan anak-anak tersebut. Demikian juga teman-teman sebaya, satu selera, satu pengertian, satu maksud. Sementara acara keluarga, makan di rumah, acara makan di tempat di luar rumah, liburan di masa bulan Juni-Juli, kadang liburan di tempat yang jauh, nyaman, tapi ada konflik, ada gesekan sehingga acara dengan orang tua dan keluarga itu jadi tidak nyaman buat anak-anak. Lebih baik main dengan teman-temannya sendiri. Inilah sebuah kondisi bahwa memang media itu bisa memiskinkan relasi keluarga.
H : Dan bisa dikatakan lama-lama dirinya merasa yatim piatu secara psikis ya, Pak?
SK : Iya, itu benar, Pak Hendra. Ini istilah yang sangat tajam, tapi inilah realitasnya, Pak Hendra. Jadi, orang tua ada. Ayah ibu ada secara fisik bahkan satu rumah. Ada foto keluarganya. Kita katakan,"Wah, ini keluarga yang harmonis. Keluarga yang berbahagia. Ganteng-ganteng dan cantik-cantik seperti ayah dan ibunya. Fotonya manis. Sekolahnya berhasil." Tapi kalau kita selidiki lebih jauh ternyata anak dibesarkan secara psikis dan emosional tanpa orang tua.
H : Tapi apakah dengan demikian sebenarnya anak itu mendapatkan kebahagiaan meskipun lewat media, Pak?
SK : Survei membuktikan bahwa anak-anak seperti itu tidak pernah bahagia dengan media. Jadi media itu lebih menimbulkan kesenangan yang semu dan sementara. Sesungguhnya anak-anak ini menjadi remaja kemudian menjadi orang dewasa yang merasa kesepian. Karena sebenarnya manusia diciptakan bukan untuk media, Pak Hendra. Tapi manusia diciptakan sebagai makhluk sosial oleh Tuhan. Berelasi dengan sesama manusia, terlebih berelasi dengan orang tuanya dan saudara-saudaranya dalam hubungan yang penuh kasih, penuh perhatian, kata-kata positif, penerimaan dan saling mengembangkan hal-hal baik sebagaimana yang Allah maksudkan.
H : Relasi sosial yang paling primer itu justru dalam keluarga ya, Pak ?
SK : Betul. Justru sebenarnya sebuah ironi. Bertambahnya keberhasilan secara ekonomi tidak serta merta membuat keluarga bahagia.
H : Fakta yang sangat menarik sekaligus memprihatinkan ya, Pak.
SK : Iya. Bahkan mungkin saya katakan keluarga yang kesannya di luar tidak bahagia, pas-pasan, ekonominya minim, tidak bisa liburan ke luar negeri, tidak punya mobil mewah, sekolah di sekolah biasa bukan sekolah yang elit. Justru waktu digali, mereka adalah keluarga yang bahagia. Kenapa ? Mungkin tidak gegap gempita dalam segi materi, dari yang tampak di luar, tapi mereka kaya dalam relasi, kaya dalam kasih sayang satu sama lain. Sesungguhnya inilah keluarga yang bahagia.
H : Dan itu tidak ternilai, ya, Pak ?
SK : Betul.
H : Kalau tadi kita sudah bahas tentang orang tua dan anak, kalau tentang sesama orang tua atau dalam konteks pasangan, bagaimana pengaruhnya, Pak ?
SK : Iya. Memang ditemukan tentang pasangan ini dalam sebuah survei bahwa 50% keluarga merasa mereka kekurangan waktu dengan pasangannya, baik terhadap istrinya atau terhadap suaminya. Tapi survei yang sama menemukan ternyata mereka menghabiskan waktu yang cukup banyak dengan televisi dan media lainnya. Jadi sebuah kondisi yang kontradiktif. Di satu sisi kurang waktu dengan pasangan, kurang waktu berbicara, kurang waktu untuk saling memperhatikan dan mengisi satu sama lain, tapi ternyata mereka punya waktu yang berlimpah untuk gadget, media-media, dan teknologi-teknologi yang mereka gunakan. Jadi bisa dikatakan memang televisi dan media teknologi itu menjadi pengganti keintiman antara pasangan ataupun antara orang tua dan anak.
H : Kalau begitu bagaimana Bapak menanggapi hal ini, dimana media teknologi tinggi menjadi ancaman bagi keluarga yang berteknologi rendah ?
SK : Ya, ini memang menjadi ancaman nyata, Pak Hendra. Sebuah penelitian membandingkan antara tahun 1965 dengan tahun 1990. Jadi dalam rentang 25 tahun ditemukan bahwa ternyata waktu yang dihabiskan para orang tua dengan anak-anaknya berkurang 40%. Dari tahun 1965 dibandingkan dengan tahun 1990, 25 tahun kemudian waktu bersama anak ternyata berkurang sampai 40%. Ditambah dengan penelitian lain menunjukkan kegiatan menonton televisi akan mengurangi 40% percakapan selama kegiatan tersebut dibandingkan kegiatan yang lainnya. Selama ini tercipta sebuah keyakinan, "Televisi pemersatu keluarga". Bahwa lewat media teknologi hubungan keluarga satu dengan yang lainnya semakin dekat. Ternyata tidak demikian. Memang saat menonton acara televisi keluarga bersama-sama, orang tua dan anak-anak bisa berkumpul sambil berbincang-bincang. Tertawa, bergurau, membahas sesuatu sambil menonton acara televisi itu. Tapi sesungguhnya percakapan yang terjadi itu sesungguhnya adalah percakapan yang dangkal. Dan itu 40% lebih rendah daripada saat mereka melakukan kegiatan lain, misalnya masak bersama, bersih-bersih rumah bersama, waktunya lebih banyak digunakan untuk dialog komunikasi yang membangun daripada kalau menonton televisi bersama.
H : Jadi seolah-olah kelihatannya akrab di depan televisi tapi sebenarnya dangkal, ya, Pak ?
SK : Betul, Betul !
H : Ada peribahasa yang berkata, "Jauh di mata, dekat di hati." Tetapi kini yang terjadi justru dekat di mata jauh di hati !
SK : Iya, Betul Pak Hendra. Memang itu sebuah kenyataan bahwa seringkali kita merasa tidak apa-apa berjauhan yang penting dekat di hati. Tapi yang ironis, dengan teknologi menjauhkan orang-orang yang dekat di mata kita. Misal gambaran yang mungkin juga kita alami atau kita saksikan yang sudah dianggap umum tanpa sadar itu sebuah ironi: Ayah sibuk dengan tablet-nya, ibu dengan acara sinetronnya, anak dengan handphone, anak yang lain dengan gadget yang lain. Serumah, seruangan, tapi tidak ada relasi dan komunikasi. Inilah kenyataannya bahwa keluarga terancam menjadi satu unit ekonomis saja. Berkumpul di seputar media dan sepertinya terikat satu sama lain dalam ikatan satu kasih dan komitmen. Tapi ternyata itu semu, palsu, dangkal. Tidak ada relasi kasih, relasi sayang antara satu sama lain.
H : Kalau seperti itu bukan hanya jumlah televisi yang bertambah di dalam keluarga, tetapi jumlah stasiun televisi di Indonesia juga terus meningkat. Bagaimana pandangan Bapak dengan keadaan seperti ini ?
SK : Ini menjadi godaan untuk semakin terikat dengan media, khususnya televisi dan jejaring sosial atau dengan kelompok-kelompok minat di internet, itu yang membuat semakin banyak potensi kita tercabik-cabik antara satu sama lain. Bahkan akhirnya orang tanpa sadar seringkali berkata, "Dunia sekarang ini adalah era globalisasi. Globalisasi adalah kita hidup dalam satu kampung global." Itu sebuah pernyataan yang keliru. Kampung itu menggambarkan relasi dan interaksi. Sebenarnya bukan perkampungan global tapi sebuah isolasi global. Misalnya saya hobi sepak bola. Saya akan membuat kelompok di Blackberry®, di jejaring android, di jejaring milis internet yang sama-sama minat sepak bola. Tapi untuk politik dan dunia sosial yang tidak saya minati, saya tidak mau tahu. Memang saya terhubung dengan negara-negara lain, tapi hanya dengan satu minat yaitu sepak bola. Tanpa disadari, masyarakat kita disekat-sekat berdasarkan kelompok minat. Sekalipun globalisasi dengan bangsa lain, ternyata disekat-sekat minat dan tidak mau tahu satu sama lain. Ini sebuah erosi secara sosial.
H : Penyekatan minat-minat seperti itu seolah-olah membuat orang berada pada sebuah komunitas yang seminat, seolah-olah kompak, memiliki hobi yang dan selera yang sama. Tapi ternyata itu memiliki bahayanya sendiri ya, Pak. Saya melihat salah satu bahaya yang bisa dimunculkan dalam kondisi seperti itu adalah bahaya penipuan. Bagaimana pandangan Bapak ?
SK : Ya. Memang salah satu bahaya lain yang perlu kita waspadai adalah penipuan lewat perkembangan media. Baru saja saya membaca di surat kabar beberapa waktu lalu, ada sebuah peristiwa yang cukup ironis dimana dikisahkan pekerja rumah tangga mendapat sebuah SMS, "Anda beruntung mendapatkan mobil mewah dengan merek XXX. Dan untuk itu silakan menghubungi nomor sekian..." Karena dia seorang yang sederhana secara pengetahuan, dia meladeninya. Dia menelepon nomor yang meng-SMS dia dan diminta untuk membayar sejumlah uang sebagai pajak, baru kemudian berjanji mobilnya akan dikirim kepada ibu tersebut. Ibu ini ingin tapi tidak punya uang. Apa yang dia lakukan ? Dia mencuri berlian dari majikannya ! Karena perbuatannya itu tidak ketahuan, dia mencuri lagi, sampai akhirnya dia mencuri senilai satu milyar rupiah. Dia menjual dan menggadaikan berlian itu, dia kirim uangnya kepada si penipu itu. Jadi ini sebuah ironi. Ternyata kemajuan teknologi komunikasi tanpa disertai kecerdasan pemahaman maka menjadi ajang empuk untuk penipuan. Contoh kasus lain seperti beberapa orang mengalami tindak pelecehan seksual lewat teman Facebook, bertemu, tapi akhirnya diperlakukan dengan buruk. Kasus yang lain yaitu penipuan di luar negeri. Pacaran lewat dunia maya dan tidak pernah ketemu, namun merasa intim dan mesra lewat media, tapi kemudian pada suatu saat pacarnya meminta uang dengan alasan kehilangan uang, mendapat musibah dan sebagainya. Akhirnya dia mengirimkan uang kepada pacarnya di luar negeri itu. Setelah itu ternyata pacarnya tidak bisa dihubungi. Barulah dia sadar bahwa dia telah ditipu.
H : Penipuan ini awalnya dimulai dengan hubungan yang seolah-olah baik, ya Pak, tapi ternyata dimanipulasi dan dimangsa pada akhirnya !
SK : Betul.
H : Diakhir sesi ini, apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Saya bacakan dari Kolose 3:12 dan Kolose 3:14,"Karena itu sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran. Dan di atas semuanya itu kenakanlah kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan." Teks firman Tuhan ini menegaskan bahwa manusia itu membutuhkan kasih satu sama lain. Kasih inilah yang menjadi yang utama. Lewat kasih inilah orang saling memperhatikan, saling melayani, saling mengerti. Media tetap kita butuhkan. Tapi jangan lupa, media tidak pernah menggantikan kasih. Tidak pernah menggantikan relasi. Relasi jauh lebih penting daripada media.
H : Terima kasih, Pak Sindu. Para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Media dan Keluarga" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org ; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.