Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Mega akan berbincang-bincang dengan Bp. Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kepribadian Agresif Pasif". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
M : Topik diskusi kita pada hari ini adalah kepribadian agresif pasif, saya melihat dari judulnya sangat menarik yaitu agresif tapi juga pasif, itu bagaimana dan mungkin bisa dijelaskan secara singkat?
SK : Jadi memang benar kata Bu Mega bahwa ini menjadi hal yang unik karena selama ini agresif yang kita mengerti sebagai pola sikap dan perilaku yang menyerang, menyakiti, melawan baik secara fisik atau lewat kata-kata, namun dia pasif. Agresif yang selama ini kita kenal adalah aktif, tapi kalau ini adalah kebalikannya. Pasif artinya tidak langsung di hadapan orang itu, jadi kadang orang itu tidak menyadari bahwa dia mendapatkan serangan hal-hal yang bersifat menyakiti, melukai, merugikan, dia tidak menyadari, jadi ibaratnya menusuk, menusuknya dari belakang. Kalau pun dia menyadari jika sudah tertusuk, tapi dia tidak tahu siapa yang menusuknya. Itulah kepribadian agresif pasif.
M : Ini semacam gangguan kepribadian ya, Pak?
SK : Benar. Jadi satu sisi spektrum gangguan kepribadian salah satu jenis, tapi bisa juga kita melakukan perilaku agresif pasif sekalipun kita lihat dalam kategori itu. Maka disini letaknya pentingnya pembahasan ini, bukan hanya "Aku tidak mengalami gangguan kepribadian agresif pasif, aku normal" bukan hanya itu, tapi mungkin dari pembahasan ini kita bisa berkaca, "Benar ya, walaupun aku tidak pada level yang tinggi, level yang berat tapi mungkin dalam skala tertentu aku juga mungkin melakukannya".
M : Kalau begitu apakah bisa diberikan contoh-contohnya pak, jadi kita dan juga pendengar bisa mawas diri. Kira-kira apa kita juga punya sedikit dari ciri-ciri dari gangguan kepribadian semacam ini?
SK : Jadi memang poinnya adalah agar perilaku-perilaku yang sebenarnya tidak setuju, tidak mau mendukung, tidak sepakat tapi kita tidak menyatakan secara langsung, secara asertif pada orang tersebut, tapi perasaan dan pikiran ketidaksetujuan, ketidaksepakatan tetap ada dan akhirnya memunculkan manifestasi dalam bentuk yang bertentangan. Misalnya "Setuju pak, aku dukung, ini memang rencana yang baik, program yang baik saya siap membantu, saya dukung" kita ingin mendapatkan pengakuan, "Saya sendiri yang mendukung pimpinan saya, mendukung atasan, ketua panitia, ketua pengurus" tapi sebenarnya saya merasa keberatan, "Ini tidak pas, ini tidak cocok" akhirnya "Kamu yang laksanakan ini dan itu, tapi akhirnya dilakukan dengan setengah hati hanya sekadarnya dan hasilnya buruk atau ditunda-tunda, saya kerjakan dengan mendongkol, dengan jengkel, dan ditunda-tunda sampai lama "Ini kenapa terlambat?" dia menjawab "Iya ada ini dan itu" padahal dalam batin memang, "Saya tidak setuju tapi saya tidak menyatakan" atau mungkin dalam hal lain, "Saya marah dan ini kesempatan untuk membalas, saya akan dukung tapi saya akan sabotase, saya sengaja mau menyatakan hukum nantinya hasil kerjanya buruk supaya dia kapok kenapa dulu sudah menyakiti saya". Jadi hal seperti itu yang terjadi dalam diri orang yang agresif pasif.
M : Dari yang dijelaskan oleh Pak Sindu ini, saya memunyai dua pertanyaan dimana saya membayangkan seperti ini, apa alasan dibalik dia melakukan hal seperti itu? Sebetulnya dia bisa saja mengungkapkan ketidaksetujuannya dari keputusan atasan. Dia bisa mengungkapkannya secara tegas tapi dia bisa memilih tidak. Dan dia memilih untuk menyimpan, apa alasan dibalik itu. Dan pertanyaan yang kedua, saya melihat ada sisi balas dendam? Atau bagaimana?
SK : Jadi memang ada dua sisi yang tadi saya jelaskan. Satu sisi dalam bentuk tidak asertif, tidak berterus terang dan sisi yang lain dalam mungkin kasus yang berbeda adalah bentuk pembalasan dendam. Jadi yang saya ceritakan tadi bisa jadi dua situasi berbeda. Point yang pertama adalah memang sangat bisa terjadi orang tersebut lewat proses hidup yang panjang terbentuk pikiran-pikiran keyakinan-keyakinan yang keliru dalam kehidupannya, misalnya bahwa tidak boleh berterus terang, terus terang itu akan menyakiti orang lain dan nanti akan menyakiti dirimu.
M : Berarti dari keluarga ya, Pak?
SK : Bisa. Jadi dari keluarga, dari lingkungan kehidupan masyarakat dimana dia bisa bergaul, berterus terang itu akan membawa bencana, misalkan ada asumsi seperti itu. Dan kemudian juga tumbuh dengan pengalaman-pengalaman emosi tertekan, tertindas oleh figur-figur otoritas. Jadi kalau orang tua berkata, "Kamu lakukan ini!" dan dia bilang, "Tidak setuju nanti dimarahi, dipukul, dihajar" akhirnya dalam proses yang panjang terbentuk apa pun yang diminta oleh orang lain harus dilawan tapi kalau tidak bisa dilawan, maka dilakukan dalam bentuk agresif pasif, dilakukan tapi dengan setengah hati. Jadi terbentuk sebuah model, sikap perilaku yaitu benci dan menolak terhadap tuntutan orang lain. Kemudian juga bisa muncul sikap hati sinis, cemberut cenderung bermusuhan dengan orang-orang yang meminta atau menuntut darinya. Kemudian dari pertanyaan yang lain tadi tentang membalas dendam tadi, jadi yang sehat harusnya ketika dilukai ketika disakiti maka harus berterus terang, "Aku merasa tersakiti, aku merasa terlukai" dan kemudian dia mengambil langkah untuk membereskan luka hatinya ini, minimal dengan Tuhan sehingga dia tidak membawa sampah jiwa. Langkah kedua kalau memungkinkan melakukan upaya perdamaian dengan orang itu, menjelaskan dan mengajak untuk adanya rekonsiliasi, tidak menyimpan akar pahit, tapi beberapa orang tidak terbiasa terbentuk demikian sehingga menimbulkan rasa dendam, sakit hati disimpan bertahun-tahun dan nantinya muncul dalam perilaku-perilaku agresif pasif.
M : Apa bisa kita kaitkan dengan orang seperti ini yaitu ingin diterima, jadi dia memilih untuk mencari cara aman di dalam dia berkomunitas baik di dalam keluarga ataupun di dalam komunitas yang lain?
SK : Sangat bisa, karena memang orang berkepribadian agresif pasif di belakang itu adalah rasa rendah diri. Orang yang punya penghargaan diri yang sehat, gambar diri yang sehat, dia tidak akan melakukan tindakan agresif pasif, tapi dia akan asertif berterus terang dengan pilihan kata dan nada yang baik. Jadi orang yang harga dirinya rendah, rendah diri, minder lebih banyak dia akan melakukan tindakan-tindakan agresif pasif karena bagaimana pun emosi yang negatif mau tidak mau mengganggu kita.
M : Karena tidak bisa keluar.
SK : Karena tidak bisa keluar maka mengganggu diri kita, gelisah, tertekan dan mengganggu relasi kita dengan orang lain. Akhirnya muncullah secara spontan, secara refleks perilaku yang agresif pasif termasuk dalam bentuk sindiran, misalnya, "Saya jengkel pada seseorang pada teman saya tapi saya tidak bisa mengungkapkan kejengkelan di masa yang lalu" misalnya dia bisa beli mobil baru, atau dapat undian mobil kemudian kita katakan, "Akhirnya kamu punya mobil, setelah bertahun tahun lamanya kamu berdoa, menabung akhirnya dapat mobil juga, selamat ya buat kamu" satu sisi pujian tapi sisi lain setelah bertahunnnnn tahunnnn jadi kasihan sekali kamu "Akhirnya dapat juga ‘kan". Itu adalah bentuk kata-kata sindiran, itu adalah agresif pasif. Orang yang sehat, berkepribadian sehat, dia tidak akan melakukan sindiran atau menyisipkan sindiran di tengah pujiannya. Pujiannya adalah pujian yang tulus kemudian terluka dengan peristiwa lalu maka dia akan bereskan perasaannya dengan Tuhan. Dan langkah kedua mungkin dia akan melakukan tindakan untuk membereskan dengan orang yang telah melukai itu.
M : Pak Sindu, kalau saya melihat contoh seperti ini, kalau kita mengungkapkan pujian dengan sindiran yang terselubung sepertinya cukup umum dikatakan oleh kita-kita semua. Jadi pertanyaan saya sebetulnya perasaan atau pemikiran agresif pasif seperti ini disadari atau tidak oleh penderitanya sendiri?
SK : Sangat mungkin dalam sekian persen tidak disadari karena beberapa hal itu kultural, sesuatu bersifat budaya bisa dikatakan itu budaya sakit, budaya tidak sehat tapi kita bisa jadi tanpa sadar hidup dalam budaya yang demikian kita akhirnya anggap itu normal misalnya termasuk budaya bohong, jujur itu hancur jadi akhirnya apa-apa dilakukan dengan berbohong sehingga akhirnya berbohong itu tidak apa-apa, bohong kecil-kecilan, memberi suap itu tidak apa-apa karena itu hanya uang pelicin, uang terimakasih. Jadi suap dianggap biasa sehingga akhirnya korupsi pun tidak apa-apa, karena itu hanya bagian yang mengambil bagiannya. Jadi itu sebenarnya budaya yang tidak sehat sehingga orang yang melakukan mungkin tidak menyadari bahwa itu sesuatu yang tidak sehat.
M : Kalau kita sampai tidak sadar bahwa kita juga mungkin memiliki kepribadian semacam ini entah dalam tingkatan seperti apa, saya pikir pendengar juga akan bertanya-tanya darimana kita tahu batasan sehat dan tidak sehat itu sejauh apa?
SK : Dengarlah dengan setia siaran TELAGA ini atau memelajari dari transkrip-transkripnya yang ada di situs telaga.org jadi sebagian hal bersifat edukasi, kita mau belajar baik dengan membaca, mendengar, mendiskusikan sehingga kita tahu karakteristik dari kepribadian yang sehat itu, termasuk dalam hal ini sisi kepribadian agresif pasif sesuatu yang tidak sehat. Dengan pembahasan ini kita bisa lebih mawas diri dan kita bisa melakukan tindakan secara sengaja untuk memisahkan dari pola yang tidak sehat ini.
M : Kalau dari pengalaman Pak Sindu, kepribadian agresif pasif ini lebih banyak ditemui penderitanya perempuan atau laki-laki?
SK : Jadi memang dari catatan yang muncul dari penelitian lapangan, ternyata secara gender lebih banyak wanita yang melakukan sikap perilaku agresif pasif.
M : Kira-kira bisa dijelaskan kenapa lebih banyak wanita daripada pria?
SK : Sangat mungkin juga bersifat budaya secara alami tercipta sebuah budaya perempuan itu tidak boleh asertif, perempuan itu tidak boleh blak blakan, perempuan yang berterus terang adalah perempuan yang kurang sopan, kurang feminin, kurang keibuan, kurang kewanitaan sehingga akhirnya muncullah dalam bentuk sikap dan perilaku agresif pasif. Tapi beberapa pria juga bergulat dalam perilaku agresif pasif sehingga pria jangan merasa, "Aku tidak ada pergumulan seperti itu dan ini hanya kaum wanita saja" tidak demikian, faktanya juga secara jumlah populasi sekian banyak pria juga bergulat dengan sisi kepribadian agresif pasif ini.
M : Jadi dengan demikian kalau saya bisa tarik kesimpulan secara sederhana, kepribadian agresif pasif ini muncul dari keinginan atau harapan yang sebetulnya di ‘refresh’, saya mau bicara A tapi tidak berani, saya mau bicara B tapi nanti takut salah. Kalau seperti itu berarti budaya Timur lebih rentan dibandingkan budaya Barat?
SK : Kalau berbicara budaya Timur dan budaya Barat, sejauh ini kalau saya punya pendapat itu bersifat relatif, masih bersifat relatif artinya budaya Timur itu budaya Timur yang mana dulu, karena Indonesia mencakup Indonesia bagian Timur dan Indonesia bagian Barat. Kalau saya punya kesan yang Indonesia bagian Timur, itu justru lebih mungkin asertif daripada Indonesia bagian Barat, itupun masih bisa dipilah dan juga secara perilaku agresif pasif dalam kenyataannya banyak di negara Barat. Jadi saya pikir tidak bisa dihitam putihkan, budaya Timur dan Barat.
M : Untuk ciri-ciri lainnya mungkin ada lagi, Pak? Supaya pendengar juga bisa mengerti dengan jelas.
SK : Kepribadian agresif pasif oleh para ahli juga diberi nama kepribadian negatifistik. Jadi karena mereka punya kecenderungan untuk dikuasai emosi perasaan negatif dan akhirnya memengaruhi cara pandangnya negatifistik. Jadi cenderung orang yang berkepribadian agresif pasif lebih mungkin untuk memamerkan hasil terburuk untuk kebanyakan situasi yang mereka hadapi bahkan ketika berjalan "Ini pasti akan gagal, ini akan kesulitan, tidak mungkin bisa berjalan lancar sesuai dengan rencana kita, kalau ini masih bisa lancar itu kebetulan saja, nanti lihat saja akan ada kesulitan." Jadi dia ada sisi seperti itu, sisi yang lain lagi kecenderungannya adalah ada kekaburan sikap hatinya antara bergantung dan mandiri, satu sisi dia ingin mandiri, ingin berjalan melakukan langkah sesuai kehendaknya memutuskan sesuai pikirannya tapi dalam faktanya dia lebih banyak menunggu orang lain, bergantung kepada orang lain yang dia pandang lebih kuat atau orang yang bisa membantu. Ketika dia bergantung kepada orang lain, sebenarnya dia juga bergantung dan minta bantuan, sisi lain untuk menunjukkan kemandiriannya dia menyerang dengan mengkritik, memberi sindiran dan kalau pun dia tidak setuju dia tidak berani berkata tidak dan meninggalkan orang itu untuk independent dan mandiri, tapi dia tetap ada di dalam kelompok yang sama tapi ketidaksetujuannya dinyatakan dengan perilaku yang menyakiti secara tersembunyi, misalnya pura-pura lupa kemudian sengaja menggagalkan satu hal, melakukan sabotase ini dan itu tanpa disadari oleh si orang yang diserangnya. Tiba-tiba saja "Kenapa komputernya rusak" dia menjawab, "Iya kenapa ya" padahal dia yang merusakkan. Jadi ada sisi itu, itu ciri-ciri dari orang berkepribadian agresif pasif.
M : Jadi apakah memungkinkan kalau kepribadian seperti ini dipupuk dengan orang ini tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membuktikan dirinya.
SK : Tepat. Jadi tidak punya kesempatan atau sisi yang lain ketika ada kesempatan dia tidak berani mengambil kesempatan itu. Jadi itu sebuah proses yang panjang, sebuah proses yang panjang misalnya tumbuh dari proses keluarga yang apa-apa dia dinegatifkan, "Seperti itu saja kamu bangga, kamu kurang bisa lihat itu lebih bagus, sedangkan kamu kurang bisa, makanya yang rajin" memotivasi tapi juga dikatakan kamu tidak bisa seperti yang lain akhirnya itu membentuk cara pandang diri, gambar diri, konsep diri "Mengapa aku tidak bisa". Sehingga waktu ada kesempatan dia sudah merasa kalah duluan, kalah mental dan tidak berani mengambil kesempatan itu, "Kamu saja yang ambil kesempatan itu, aku hanya membantu kamu saja" dia terjebak dalam situasi itu.
M : Jadi mungkin Pak Sindu bisa berikan solusi, bagaimana orang tua bisa mendidik anaknya supaya mereka itu tidak rentan memiliki kepribadian semacam ini di masa dewasanya. Kira-kira apakah ada satu atau dua tips?
SK : Jadi orang tua perlu menawarkan sistem pola asuh yang demokratis artinya bahwa anak boleh memberi pendapat setuju atau tidaknya dan alasannya apa, hargailah itu. Dengan cara itu anak terasah untuk mengenali pikiran perasaannya, kedua untuk mengungkapkan secara asertif dan orangtua secara demokratis tawar-menawar. Jadi bukan pikiran dan kehendak perasaan orang tua yang harus didahulukan tapi dengarkan ide anak, dengarkan perasaan anak, berempatilah. "Benar ya, kamu keberatan dengan tuntutan ayah untuk kamu bisa juara 1" dan anak menjawab "Benar, itu berat aku tidak sepintar dia", Orangtua berkata, "Kamu merasa tidak sepintar dia". Anak menjawab, "Benar, aku bisanya dalam bidang yang lain". Ayah menjawab, "Jadi kamu ingin seperti ini" dengan begitu anak tidak akan tumbuh menjadi pribadi agresif pasif, dia bisa selesaikan dengan baik dengan orang tuanya dengan figur otoritas dan akhirnya dalam perjalanannya tidak akan resisten atau merasa figur otoritasnya sebagai ancaman karena dia dengan ayah dan ibunya baik-baik saja, ada rasa dihargai oleh orang-orang diatasnya maka diapun akan merasa sentosa, merasa aman dengan figur-figur otoritas itu.
M : Ini nasehat yang berharga, saya yakin pendengar juga merasa bersyukur bisa mengetahui beberapa hal yang dapat mereka lakukan untuk melindungi anak-anak mereka dari pertumbuhan yang mungkin kurang sehat nantinya di masa dewasa. Pada saat kita sekarang dewasa ini tentu kita dalam komunitas sekolah, entah di gereja ataukah di tempat pekerjaan tentunya kita bertemu dengan orang-orang semacam ini entah dalam level 1 atau level 10. Bagaimana kita bisa menghadapi mereka supaya relasinya juga bisa berjalan dengan baik, orang-orang seperti ini juga bisa bisa menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu sepertinya menyakiti orang lain.
SK : Betul. Jadi yang pertama Bu Mega, kita bisa bersikap jujur terhadap orang yang demikian, jadi jujur ini juga dalam arti jujur dan asertif, bersikap asertif terhadap orang itu artinya kita bisa berkata, "Maaf ya, aku cerita apa adanya kamu ini sebenarnya tidak setuju hanya kamu tidak berani bicara dengan aku dan sebenarnya bagi saya baik saja kalau kamu tidak mau, dan aku lebih senang mendengar langsung apa yang ada di hatimu, menurut kamu bagaimana?". Jadi kita bisa mengungkapkan langsung secara asertif dan melakukan upaya dialogis, itu pilihan pertamanya yaitu jujur atau "Aku melihat seperti ini, kamu menyatakan mendukung, kamu setuju bergabung dengan tim ini tapi peristiwa ini, peristiwa yang kedua, peristiwa ketiga menjadi sepertinya tidak nyambung, tidak konsisten, aku bukannya mau memojokkan kamu tapi justru karena aku menghargai kamu sebagai rekan kerja, aku bicara ini dan aku ingin kita semakin maju, mari bersama-sama semakin mengembangkan relasi kerja kita, menurut kamu kenapa bisa begitu?" atau kita bilang, "Menurut saya sepertinya kamu tidak suka, hanya kamu sungkan untuk bicara, apa benar seperti itu?". Kita bisa membuka diri secara asertif, itu langkah pertama.
M : Langkah berikutnya, Pak?
SK : Yang kedua dalam kesempatan yang lebih cair, lebih leluasa kita bisa membuka percakapan, "Kelihatannya kamu pada situasi seperti ini ya?" atau "Ada peristiwa apa mungkin di masa kecilmu?", atau kita bisa bicara yang lain, "Ceritakan pengalamanmu dulu dengan ayah dan ibumu seperti apa" kemudian lewat percakapan yang mengalir akhirnya kita bisa memetakan latar belakangnya. "Oh, wajar kalau seperti itu karena kamu waktu kecil sering tertekan, sering dibanding-bandingkan, tidak boleh bicara, kalau tidak bicara salah tapi bicara juga salah" sehingga dengan seperti itu kita bisa lebih mengerti dia. Dan kita bisa mengajak, "Bagaimana kita melakukan perubahan, apa yang bisa kubantu untuk menolong kamu supaya kamu bisa lebih nyaman berterus terang".
M : Jadi pada intinya yang bisa kita lakukan untuk menolong orang-orang yang mungkin kita curigai dalam memiliki kepribadian seperti ini adalah penerimaan, penerimaan dan juga keterbukaan di dalam kita memberikan input yang positif buat dia sehingga dia bisa keluar dari kepribadian kurang sehat. Dia sebenarnya tidak sehat baik dari luar maupun dari dalam dan tugas kita adalah menerima dia dengan nilai-nilai positif dan juga dengan kehangatan yang bisa kita tawarkan.
SK : Betul.
M : Kalau dari orang yang memiliki kepribadian ini sendiri apakah bapak ada sedikit nasehat dan apa yang dikatakan oleh Alkitab di dalam hal ini?
SK : Saya bacakan dari 2 Korintus 7:2-4a, "Berilah tempat bagi kami di dalam hati kamu! Kami tidak pernah berbuat salah terhadap seorang pun, tidak seorang pun yang kami rugikan, dan tidak dari seorang pun kami cari untung. Aku berkata demikian, bukan untuk menjatuhkan hukuman atas kamu sebab tadi telah aku katakan, bahwa kamu telah beroleh tempat di dalam hati kami sehingga kita sehidup semati. Aku sangat berterus terang terhadap kamu tetapi aku juga sangat memegahkan kamu". Ini merupakan kutipan dari surat panjangnya rasul Paulus, surat curahan isi hati dan disini kita bisa baca dari sepenggalnya betapa seorang Paulus, seorang yang asertif berterus terang dan mungkin juga membeberkan dengan cukup baik apa yang ia hargai dari jemaat Korintus dan apa yang dia rasa tidak sepakat dengan jemaat Korintus, dia memberi apresiasi positif dan dia juga menyampaikan ganjalan hatinya, mari kita yang bergulat dengan beberapa sikap perilaku agresif pasif, mari kita meneladani langkah rasul Paulus ini, melatih keterusterangan kita, kalau kita merasa sulit itu wajar, mencari pertolongan, carilah konselor yang bisa menjamin kita atau rekan hamba Tuhan dan siapa pun yang bisa mendengar memahami dan membantu kita mengurai benang kusut yang ada di masa lalu kita. Yang kedua yaitu melatih pola yang baru yaitu pola asertif.
M : Jadi tugas dari orang-orang yang mungkin dari kepribadian orang semacam ini melatih dirinya untuk bersikap asertif, untuk berterus terang, berani menyatakan pendapat, pikiran dan perasaan seperti itu ya?
SK : Ya.
M : Dan tentu saja didukung oleh komunitas yang saling memberikan keterbukaan, komunitas yang saling mendukung satu sama lain.
SK : Betul.
M : Terima kasih banyak Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Penginjil Bp. Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kepribadian Agresif Pasif". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.