Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini akan membahas tentang "Kesalahan dalam Mendisiplin Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, sebagai orang tua kita tidak sempurna, banyak kesalahan yang kita lakukan terutama dalam mendidik anak. Mungkin kesalahan ini bersifat umum tapi dampaknya khusus mengenai anak kita. Namun kalau kita tidak mendisiplinnya, kita kuatir anak kita menjadi nakal atau kurang pandai karena tidak rajin dan sebagainya. Sebenarnya bagaimana cara mendidik atau mendisiplin anak dengan benar ?
PG : Sudah tentu ada banyak hal yang terlibat untuk dapat mendisiplin anak dengan tepat, Pak Gunawan. Kita tidak bisa membahas semuanya itu, tapi pada kesempatan ini kita akan memfokuskan pada beberapa hal yang kerap kali kita lakukan yang kalau bisa kita perbaiki. Yang pertama adalah kita perlu ingat bahwa tujuan pendisiplinan anak bukanlah untuk menciptakan kepatuhan total tanpa kesempatan untuk memilih atau berkehendak sama sekali. Dengan kata lain, mendisiplin anak tidaklah bertujuan untuk mengecilkan ruang gerak anak sampai sedemikian rupa sehingga dia tidak memunyai kebebasan sama sekali. Nah, kadang kita memunyai tujuan atau anggapan bahwa kita mendisiplin anak supaya akhirnya dia patuh total kepada kita. Sebetulnya bukan, karena kita juga ingin memberi anak kesempatan untuk berkreasi dan melakukan kehendaknya. Memang kita perlu membatasi ruang gerak anak di masa kecil. Memang kita tidak boleh memberikan kebebasan penuh kepada anak, terutama di usia dini, karena kita tidak mau membiarkannya bertumbuh besar tanpa rem. Tapi kita juga perlu menyeimbangkan pembatasan dan pembiaran agar anak dapat mengembangkan dirinya pula. Sebagai contoh, kita menyadari bahwa pada umumnya anak senang bermain dengan air. Itu sebabnya sewaktu mandi anak cenderung berlama-lama dan sulit disuruh keluar dari bak mandi. Jika kita tahu bahwa dia dapat ditinggal sendiri di bak mandi, sebaiknya biarkan dia bermain dan berlama-lama di bak mandi. Kalau kita tidak mau dia bermain-main dengan sabun mandi lalu menghabiskannya, maka sediakan mainan atau ‘bubbles’ yang dapat dia gunakan bermain di bak mandi. Oleh karena tidak mudah memintanya keluar dari bak mandi, maka kita memberikan kepadanya tiga peringatan. Sudah tentu peringatan pertama kita sampaikan setelah dia menghabiskan waktu yang cukup lama di bak mandi. Setelah peringatan pertama, kita memberi waktu jeda misalkan sekitar 10 menit sebelum memberi peringatan kedua. Peringatan ketiga kita berikan setelah memberinya waktu sebanyak 10 menit lagi. Pada saat itu barulah kita memaksanya untuk keluar dari bak mandi. Saya yakin jika kita melakukan ini secara konsisten, misalkan sekitar tiga kali, maka anak akan memahami yang namanya prosedur mandi. Dia tahu bahwa dia dapat bermain sewaktu mandi dan dia tahu bahwa ia memunyai cukup banyak waktu untuk bermain di bak mandi, dia pun tahu bahwa peringatan pertama masih memberinya waktu lumayan lama untuk meneruskan permainannya. Nah, lewat cara seperti ini, disiplin terlaksana, namun disiplin tidak menghilangkan kesempatan anak untuk mengekspresikan dirinya.
GS : Orang tua justru kesulitan menentukan batasan atau sampai dimana atau sampai kapan dia boleh membiarkan anaknya bermain-main, misalnya di bak mandi tadi. Atau kapan dia harus menentukan cukup sampai disini saja, tidak boleh lagi. Jadi menunjukkan otoritas sebagai orang tua.
PG : Betul. Saya mengerti kadang ada juga masalah keterbatasan waktu. Misalkan anak mau mandi bermain-main lama, ada waktunya kita harus berkata, "Maaf, kali ini kamu tidak bisa bermain lama-lama. Mama atau papa harus pergi. Jadi mama hanya memberikan waktu lebih cepat. Nanti kalau mama bilang sudah selesai, kamu harus sudah selesai ya." Misalkan kita biasanya memberi dia 15-20 menit baru kita memberikan peringatan, kali ini kita persingkat, setelah 5 menit kita beritahu dia. Sudah tentu dia tidak langsung keluar dari bak mandi. Kita berikan lagi peringatan kedua dalam jarang 3-4 menit. Seperti itu. Kadang selain dari soal waktu, kita melihat anak memang keras kepala. Apa yang dia mau harus dia dapatkan. Kadang karena kita tahu dia begitu, kita sengaja melarangnya. Karena kita tahu kalau kita turuti dia terus, dia akan makin keras kepala. Jadi batas-batasnya memang tidak ada yang pasti, tidak ada rumusnya. Setiap anak berbeda-beda. Namun saya mungkin bisa memberikan salah satu kriterianya adalah kalau memang anak itu keras kepala dan kehendaknya sukar dibendung, mungkin kita juga harus lebih berani membendung kehendaknya dan membatasi dia.
GS : Seringkali kalau anaknya masih tunggal, orang tua cenderung membiarkan. Toh masih anak-anak dan tidak ada saudaranya yang mau mandi lagi, maka biarkan saja. Tapi kalau anaknya sudah 2 atau 3 orang, biasanya yang lain ini yang dijadikan alasan. "Kakakmu mau mandi ! Ayo cepat keluar!" itu yang seringkali digunakan oleh orang tua.
PG : Ada waktunya kita seperti itu dan itu baik. Karena kita mau mengajarkan kepada anak untuk tenggang rasa. Bukan karena dia sedang dalam kamar mandi maka dia bebas memakai kamar mandi semaunya dia. Dia harus memikirkan adik atau kakaknya yang juga hendak memakainya. Jadi sekali lagi kita mesti menyeimbangkan antara pembiaran dan pembatasan. Nah, yang mau kita ingat adalah kita berusaha mendisiplin anak - memang itu baik dan seharusnya kita lakukan - namun tujuannya bukanlah supaya anak patuh total atau secara membabi buta kepada kita. Jangan, kita mau dia memunyai kesempatan untuk menunjukkan kehendaknya dan kreatifitasnya.
GS : Tapi kalau setiap hari kita selalu melakukan "perpanjangan waktu" -10 menit lagi, 10 menit lagi - itu diingat oleh anak, maka otomatis anak akan menggunakan hak ini. Dia merasa ini sebagai haknya. Sehingga jika suatu saat hak ini dikurangi, dia akan berontak.
PG : Makanya pada akhirnya anak harus melihat kita dengan jelas, yaitu melihat keseriusan kita dari nada suara kita. Misalkan dalam soal mandi, kalau memang tidak ada apa-apa kita bisa biarkan dia dan kita bisa berkata kepada anak, "Kamu boleh bebas mandi. Nanti kalau sudah siap, mama datang ya. Mama panggil kamu keluar." Tapi kalau kita memang tidak punya waktu dan kita mau dia benar-benar langsung keluar dari bak mandi atau mengerjakan tugas yang lain, memang kita bisa menekankan itu lewat nada suara kita. misalkan kita bisa berkata, "Lain kali boleh. Kamu ingat ‘kan kamu selalu boleh ? Tapi hari ini tidak bisa karena ada … misalkan ada hal lain yang kita atau dia harus kerjakan". Lewat nada suara itu, anak juga bisa mengenali bahwa, "Ok, kali ini tidak bisa." Tapi anak perlu tahu bahwa tidak selalu begitu. Misalnya kalau anak akhirnya tahu bahwa pokoknya kalau papa atau mama bicara, harus dilakukan. Saya kira itu juga tidak sehat. Jadi perlu berikan ruang buat anak untuk mengembangkan dirinya, tidak langsung ketika kita suruh dia langsung mengerjakan. Kepatuhan seperti itu akhirnya terlalu memupus diri si anak.
GS : Ini tidak hanya berlaku untuk mandi, tapi juga berlaku ketika anak menonton TV atau main games, ya. Jadi tetap harus ada pembatasan waktu ya, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Memang kita mau dia bisa santai dan bermain, tapi dia juga mesti tahu batasannya. Dan misalkan kalau kita berkata kepada anak, sekali kita panggil dia belum datang, dua kali kita panggil dia belum datang, kita berkata, "Ok, Mama akan panggil ketiga kali. Kalau kamu tidak datang juga dan kamu tidak matikan games kamu, mama langsung matikan games kamu." Kalau kita sudah berkata begitu, kita harus tepati janji kita. kita datang, dia tidak mengerjakan tugasnya, kita harus langsung matikan games-nya.
GS : Berikutnya, hal lain yang bisa dilakukan ? Yang sering keliru tapi kita harus perbaiki.
PG : Hal kedua yang selayaknya kita ketahui adalah bahwa mendisiplin anak bukanlah bertujuan untuk melenyapkan perilaku anak yang negatif dengan menghalalkan segala cara. Singkat kata, kita senantiasa harus memonitor cara kita mendisiplin anak agar cara itu tidak malah menghancurkan diri anak. Nah, salah satu kesalahan yang umum diperbuat oleh orang tua adalah terlalu memfokuskan pada penghilangan perilaku negatif anak tanpa memperhatikan dampak buruk dari pendisiplinan yang berlebihan. Memang dengan mendisiplin secara keras, hampir semua perilaku negatif anak akan hilang. Namun pada akhirnya yang hilang bukan saja perilaku tapi juga diri anak itu sendiri. misalkan ada orang tua yang menyekap anak dalam kamar yang kecil dan gelap. Memang besar kemungkinan hukuman itu akan menghentikan perilaku anak yang negatif, namun dampak hukuman itu bisa membuat anak trauma dengan ruangan sempit. Tiap kali dia berada dalam ruangan sempit dia akan sesak nafas dan dicekam rasa takut yang melumpuhkan. Jadi sebelum memberi hukuman kepada anak, pertimbangkanlah dampak buruknya.
GS : Memang hal ini sering dilakukan oleh orang tua, termasuk kami pernah menyekap anak dalam gudang. Memang lebih mudah melakukan hal itu daripada dia terus-terusan nakal atau terus melawan kami, tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya. Kami hanya berpikir, "Toh hanya sekali ini." Tapi itu bisa berulang kali kalau itu memang jalan yang mudah bagi kami. Tetapi cara apa yang bisa kita gunakan supaya harga diri atau pribadi anak itu tidak hilang, Pak Paul ?
PG : Misalkan kita menyuruh anak belajar. Kemudian dia bukannya belajar, waktu kita datang ke kamarnya dia sedang bermain games. Mungkin kita sangat marah saat itu. Ada orang dalam kondisi marah karena anaknya tidak menurut perkataannya – disuruh belajar malah main games – langsung melakukan sesuatu yang keras. Misalnya dia mengambil mainan itu lalu membantingnya ke lantai, dia injak-injak! Nah, perbuatan itu biasanya meninggalkan trauma pada anak sewaktu melihat orang tuanya membanting peralatan elektroniknya, memecahkannya, menginjak-injaknya, sambil berteriak-teriak. Nah, dampak buruknya akan dipikul oleh si anak. Mungkin dia akan sangat takut ketika orang meninggikan nada suaranya dan sebagainya. Jadi yang harus kita lakukan, nomor satu memang kalau kita marah, kita harus berusaha keras mengendalikan emosi kita, itu nomor satu. Jangan kita berpikir pokoknya melampiaskan kemarahan itu dan pokoknya kita berusaha menghukum dia supaya dia tidak melakukan perbuatan itu lagi. Kita harus ingat bahwa cara kita menghukum bisa-bisa bersama dengan anak untuk waktu yang sangat lama. Jadi saya sarankan, lebih baik kita berikan teguran yang keras dengan suara yang lebih keras. Kita tunjukkan bahwa kita marah kepadanya karena dia tidak belajar malah main games. Kita juga langsung berkata, "Matikan sekarang juga!" dengan suara yang sangat tegas. Jadi langkah pertama yang saya sarankan adalah gunakanlah suara, terutama pada masa kecil anak. Umumnya anak kecil takut dengan suara yang keras dan tegas. Jadi gunakan suara yang keras biar dia takut. Belakangan kalau misalnya dia sudah mulai besar dan tetap tidak begitu memberi respons waktu kita menggunakan suara yang keras, barulah kita gunakan pukulan. Misalkan kita pukul pantatnya atau tangannya. Sedapat-dapatnya kita pukul dengan perkiraan, jangan sampai berlebihan. Kenapa saya tidak menganjurkan dari awal langsung pukul saja ? Karena kalau dari awal kita sudah menggunakan disiplin yang keras, lama kelamaan anak akan terbiasa dan kita harus menggunakan yang lebih keras lagi supaya anak-anak memberikan respons seperti yang kita harapkan. Sewaktu hal itu tidak berhasil dan dia tidak mendengarkan kita, maka kita akan gunakan yang lebih keras lagi. Itu tidak sehat. Jadi, sedapatnya gunakanlah suara yang tegas dan keras supaya dia takut. Lama kelamaan kalau tidak memberi respons yang kita harapkan, barulah kita menggunakan pukulan.
GS : Selain menyekap anak, bentuk disiplin apa lagi yang bisa menimbulkan trauma pada anak ?
PG : Selain dari tempat gelap, yang umum kita lakukan meskipun tidak sampai menyekap anak adalah menakut-nakutinya dengan mengatakan bahwa, "Kami mau jual kamu ! Kami mau buang kamu ! Kami mau serahkan kamu kepada orang lain (misalnya figur-figur yang yang menakutkan)." Itu juga tidak sehat karena membuat anak merasa orang tuanya gampang sekali membuang kami. Bukankah seharusnya orang tua menyayangi anaknya, tapi kok begitu gampang membuang anak. Itu juga bentuk-bentuk yang tidak sehat. Ada juga orang tua yang memukuli anak dengan histeris. Jadi bukan saja dia pukul, tapi sembari itu wajah dan matanya menunjukkan dia sedang histeris. Seringkali itu membuat anak ketakutan. Karena sekali lagi waktu melihat orang tuanya bersikap begitu histeris sambil berteriak-teriak memukuli dia, itu sangat menakutkan buat jiwa anak yang masih rapuh. Sedapatnya kita sebagai orang tua berusaha keras untuk tidak menghukum anak secara berlebihan.
GS : Kadang kalau pasangan kita yang melakukan hal itu, kita tidak enak mau menolong anak itu. Nanti anak itu bingung. Misalnya oleh ibunya dia dimasukkan ke dalam gudang, tapi ayahnya malah membukakan pintu. Nah, mana yang harus anak ikuti, ‘kan membingungkan.
PG : Iya. Maka sebagai orang tua kita mesti bersepakat hal-hal apa yang akan kita lakukan kepada anak sewaktu dia berbuat kesalahan. Sebab waktu kita mulai bercabang, ibu mau kemana ayah mau kemana, anak tahu nanti bahwa orang tua tidak lagi sehati. Itu tidak sehat. Karena ada kemungkinan nanti anak akan memanipulasi orang tua. Dia mau minta apa, dia minta kepada orang tua yang akan memberikannya. Dia tidak suka pada orang tua satunya, misalnya dia akan bilang, "Papa jahat! Tapi mama baik!" nah, kata-kata seperti itu. Jadi sebaiknya memang kita sehati. Saya juga mengerti kadang susah untuk sehati. Kenapa ? Sebab kita cenderung mengagungkan cara kita dibesarkan. Katakanlah kita terbiasa dipukuli oleh orang tua kita, kita cenderung nanti menganggap dipukul itu hal yang baik jadi seharusnya kita juga memukul anak. Tapi misalnya pasangan kita tidak setuju, juga repot. Maka sangat perlu sebelum menikah atau pada awal pernikahan kita sering-sering berdiskusi dengan pasangan kita, atau membaca buku tentang bagaimana menjadi orang tua yang bisa mendisiplin anak dengan baik. Supaya kita bisa sehati.
GS : Ada orang tua yang bahkan kalau marah bisa sampai mengusir anaknya. Walaupun anaknya tidak berani keluar karena dia tidak tahu mau kemana. Tetapi itu juga menimbulkan trauma pada diri anak itu.
PG : Betul. Pengusiran anak sudah tentu sangat berdampak panjang, Pak Gunawan. Besar kemungkinan sewaktu anak itu sudah mulai bisa mandiri, dia akan langsung keluar dari rumah. Masalahnya dia keluar dari rumah dengan kepahitan yang sangat dalam. Hal lain yang saya tahu kadang orang tua mengikat anak. Ada yang mengikat anak, baik itu di dalam rumah atau di luar diikat di pohon. Sudah tentu itu cara yang tidak sehat ya. Bukan saja membuat anak sangat ketakutan harus diikat dan kalau di luar dia akan sangat malu karena dilihat orang. Tapi dia akan melihat bahwa orang tuanya itu bisa tidak berbelaskasihan. Hal lain yang mesti kita ingat adalah tentang dampak yang panjang ini. Apa yang mereka alami pada saat itu memang membuat mereka ketakutan. Tapi karena terbiasa, nanti setelah mereka besar dan menjadi orang tua, mereka akan mengulang. Mereka akan melakukan itu kepada anak-anak mereka. Ini yang tidak mau kita lakukan ya. Kita tidak mau memperpanjang sesuatu yang tidak sehat.
GS : Hal lain yang perlu kita ingat dalam mendisiplin anak apa, Pak Paul ?
PG : Pelabelan cenderung terus melekat pada diri anak. Jadi janganlah melabeli anak dengan label yang menghina atau merendahkannya. Sebagai contoh, oleh karena anak tidak berprestasi akademik yang baik, maka anak menerima label "bodoh". Jika label ini didengar anak pada saat dia remaja dan duduk di bangku SMA dan sebelumnya dia tidak pernah tinggal kelas, besar kemungkinan label "bodoh" ini tidak begitu mempengaruhi anak, karena usianya sudah agak dewasa dan selama ini dia baik-baik saja dalam hal prestasi akademik. Sebaliknya, bila label "bodoh" misalnya dikenakan kepada anak kelas 1 atau 2 SD, besar kemungkinan label ini akan melekat pada diri anak dan memengaruhi prestasi belajarnya di tingkat selanjutnya. Saya mengerti tujuan kita sebagai orang tua adalah baik. Kita hanya ingin memotivasi anak. Namun sayangnya pelabelan akhirnya melekat dan memengaruhi pandangan anak terhadap dirinya. Sehingga kepercayaan dirinya ikut melorot. Satu hal lagi, berhati-hatilah dengan olokan yang berisikan pelabelan. Misalkan cukup sering orang tua menyebut anaknya "gembrot" atau "rakus" mungkin buat kita kata-kata ini sekadar guyonan. Namun tanpa kita kehendaki, anak malah menyimpan kata-kata ini dan mengembangkan ketakutan yang berlebihan terhadap kegemukan. Akhirnya dia terobsesi dengan masalah dengan berat badan dan makanan yang sehat. Hal ini tidak sehat dilakukan oleh seorang anak.
GS : Kalau pelabelan itu sudah kita cegah, kita sebagai orang tua tidak melakukan pelabelan, tapi dia memperoleh pelabelan itu di luar rumah misalnya di sekolah atau di tempat dia bermain. Kita tahu kalau dia beri label oleh guru atau teman-temannya. Bagaimana sikap kita, Pak Paul ?
PG : Kita tidak bisa selalu berada di samping anak untuk membelanya ya. Namun misalnya kita tahu anak kita sering diolok-olok seperti itu atau istilahnya "bully" dalam bahasa Inggris, tidak ada salahnya – apalagi kalau dia masih kecil, kelas 1 atau 2 SD – kita datang ke sekolah, bicara dengan gurunya dan minta gurunya untuk mencegah anak-anak lain mengolok-olok anak kita. Saya kira lebih baik sedini mungkin kita cegah hal-hal seperti itu. Sebab kalau guru melihat anak ini memang diolok-olok terus kemudian guru dengan tegas melarang anak-anak lain mengolok-oloknya dan kalau terus mengolok-olok nanti mereka akan dihukum, maka akan berhentilah olokan-olokan itu. Saya cukup sering mendengar orang yang sampai dewasa membawa olok-olokan itu. Melihat diri mereka seburuk yang dikatakan oleh teman-teman mereka. Jadi kalau kita tahu dia diperlakukan seperti itu, tidak ada salahnya kita ke sekolah. Atau kalau dia mulai besar, kita ajarkan dia membela diri. Misalkan kita beritahu dia, "Kalau teman kamu olok-olok kamu, kamu bisa lawan balik, atau kamu bilang jangan olok-olok saya. Atau laporkan pada guru." Nah dengan cara itu teman-temannya akan berpikir dua kali sebelum mengolok-olok.
GS : Kenapa walaupun anak itu tahu bahwa orang tuanya hanya bercanda dengan memperolok dia, misalnya tadi pelabelan karena postur tubuhnya yang gemuk, namun hal itu begitu melekat di pikirannya ?
PG : Karena biasanya olokan itu adalah suatu label yang buruk. Sebetulnya tidak ada orang yang suka diolok-olok dengan label yang buruk. Misalkan diolok-olok seperti, "Wah kamu pintar seperti Einstein." Tidak masalah ! Tapi kalau kita diolok-olok seperti orang yang paling bodoh yang mereka kenal, hal itu nanti bisa melekat pada anak, bahwa dia seperti itu. Jadi, olokan itu akhirnya menjadi ejekan. Memang dilakukan secara bercanda, tapi kalau sering dilakukan dan selalu dengan olokan yang buruk, tidak bisa tidak itu adalah sebuah ejekan. Dan memang itu bisa membuat anak merasa dia tidak sebaik itu.
GS : Kalau pelabelan secara negatif bisa menimbulkan dampak negatif, apakah pelabelan positif dapat menimbulkan dampak yang positif, Pak Paul ?
PG : Pertanyaan baik, Pak Gunawan. Kalau kita sering-sering bicara pada anak, misalnya "Kamu anak yang rajin. Kamu anak yang sering menolong orang, kamu anak yang pemurah." Label itu juga akan tinggal pada anak. Jadi, label positif melekat pada anak, label negatif juga melekat pada anak.
GS : Seperti di awal saya katakan, kita manusia penuh kekurangan. Sebagai orang tua juga seringkali berbuat kesalahan. Namun sebelum kita mengakhiri perbincangan ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Amsal 3:35 mengingatkan "Orang yang bijak akan mewarisi kehormatan. Tetapi orang yang bebal akan menerima cemooh." Membesarkan anak dengan pendisiplinan yang bijak memang tidak menjamin anak akan bertumbuh menjadi orang yang kita harapkan. Namun setidaknya bila kita mendisiplin anak dengan bijak, maka anak tidak mudah mencemooh kita. Dia mungkin tidak setuju dengan kita namun dia tetap dapat menghormati kita dan pada akhirnya hormat atau respek ini dapat menjadi jembatan relasi antara orang tua dan anak.
GS : Jadi apa yang harus dilakukan orang tua sesuai firman Tuhan ini ?
PG : Dengan kata lain, kalau orang tua mendisiplin anak dengan bijak, pada akhirnya dia akan menuai respek dari anak, Pak Gunawan. Sebaliknya kalau tidak menanamkan disiplin yang bijak kepada anak-anak, setelah anak-anak besar, dia akan menuai cemooh dari anaknya.
GS : Dan tentu kita sebagai orang tua tidak mengharapkannya ya. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kesalahan dalam Mendisiplin Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.