Pribadi yang Sehat adalah Kunci Relasi yang Sehat( II )

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T555B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kesiapan keharmonisan pernikahan harus dimulai sejak kita muda. Sebab kunci persiapannya adalah pribadi yang sehat dan pribadi yang sehat tidak muncul dengan sekejap. Pribadi sehat berarti: mengenal diri secara tepat, menerima masa lalu namun tidak terikat dengannya, tangguh menanggung kesusahan dan kreatif menyelesaikannya, menerima kelemahan orang dan menghargainya, memikul tanggung jawab atas keputusan yang diambil, memikirkan kepentingan orang lain sama seringnya dengan memikirkan kepentingan sendiri, bersedia belajar dan berubah serta mengalah, beriman bahwa Tuhan berkuasa dan memelihara hidup kita.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

(5) Yang menjadi ciri pribadi yang sehat adalah Memikul Tanggungjawab Atas Keputusan yang Diambil dan Tidak Melepaskan Orang dari Tanggungjawabnya.. Kecenderungan kita adalah hanya memikul tanggung jawab atas keputusan yang membuahkan hasil dan mendengar pengakuan bahwa keputusan yang kita ambil ternyata baik. Bila sebaliknya yang terjadi—keputusan yang kita ambil justru terbukti salah—biasanya kita berusaha mengelak.


Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memikul tanggung jawab atas keputusan yang diambil—baik atau buruk, benar atau salah, berhasil atau gagal. Kita menyadari bahwa kita bukanlah orang yang sempurna; kita tidak bisa memastikan hasil akhir dari suatu keputusan. Kita hanya bisa melakukan bagian kita yakni mengambil keputusan dengan pemikiran yang matang, dan tidak dengan tergesa-gesa. Pribadi yang tidak sehat akan mengalami kesulitan membangun pernikahan yang harmonis dan sehat sebab kecenderungannya adalah melepaskan tanggung jawab sewaktu keputusan yang dibuat terbukti keliru. Bukan hanya melepaskan tanggung jawab, pasangan pun disalahkan. Kalau pun tidak ada kesalahan, mereka akan mencari-cari kesalahan supaya mereka tidak merasa bersalah dan bebas dari tanggung jawab. Itu sebab penting bagi kita sejak muda membiasakan diri untuk memikul tanggung jawab atas keputusan yang diambil. Walau takut salah—dan disalahkan—terimalah dan akuilah.


Namun sama dengan itu, kita pun tidak boleh melepaskan orang dari tanggung jawabnya. Maksud saya bukanlah mengejar-ngejar dan memaksa orang untuk bertanggung jawab. Maksud saya adalah, tidak mengambil alih tanggung jawab orang agar mereka belajar bertanggung jawab. Ada di antara kita yang terbiasa bertanggung jawab karena sejak kecil diserahkan tanggung jawab yang besar. Akhirnya kita cenderung mengambil alih tanggung jawab, apalagi jika kita melihat bahwa orang yang diserahkan tanggung jawab tersebut tidak dapat mengerjakan tugasnya dengan baik. Sudah tentu adakalanya itu yang mesti kita lakukan tetapi sebaiknya itu tidak selalu dilakukan.


Pernikahan didirikan di atas dua kaki; sebaik-baiknya satu kaki, suatu saat pasti terjadi pincang dan jatuh. Pernikahan yang harmonis harus didasari atas sumbangsih dan kerja sama dari dua belah pihak. Masing-masing memiliki tanggung jawabnya secara pribadi dan keduanya memunyai tanggung jawab secara berpasangan. Maksud saya, ada keputusan yang diambil secara pribadi dan ada keputusan yang diambil bersama. Ada tugas yang mesti dikerjakan sendiri dan ada tugas yang dikerjakan bersama.


(6) Memikirkan Kepentingan Orang Sama Seringnya Dengan Memikirkan Kepentingan Sendiri. Pernikahan tidaklah melenyapkan kepentingan pribadi; pernikahan hanyalah mengharuskan kita untuk memikirkan kepentingan pribadi sama seringnya dengan memikirkan kepentingan pasangan. Singkat kata, bukan saja kita memikirkan kesenangan sendiri, kita pun mesti memikirkan kesenangan pasangan. Dan ini harus dimulai sejak dini.


Ada orang yang egois; mereka tidak memikirkan kepentingan orang; mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri. Bila kepentingan orang lain kebetulan seiring dengan kepentingan sendiri, barulah mereka akan melakukannya. Inilah salah satu penyebab mengapa tidak selalu mudah mengenali sifat egois. Kita terkelabui sebab kita melihat mereka "baik hati" padahal mereka melakukan semua kebaikan itu karena kebetulan kebaikan itu juga memenuhi kebutuhan mereka. Kita baru sadar bahwa mereka tidaklah sebaik itu sewaktu mereka dipanggil untuk melakukan sesuatu buat orang lain yang tidak berkaitan dengan kepentingan pribadinya atau justru mengorbankan kepentingannya demi orang lain. Di situlah baru kita dapat menilai apakah seseorang egois atau tidak.


Ibarat air dan minyak, kegoisan dan keharmonisan dalam pernikahan tidak dapat bercampur. Itu sebab kita mesti mengikis sifat egois sejak awal bila kita menginginkan pernikahan yang sehat dan harmonis. Kita harus mendisiplin diri melakukan sesuatu buat orang tanpa pamrih dan belajar mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain. Inilah persiapan dan hadiah pernikahan yang terindah.


(7) Yang merupakan karakteristik pribadi yang sehat adalah Bersedia Belajar dan Berubah Serta Mengalah.. Pernikahan adalah sekolah yang tak pernah berakhir. Kita senantiasa belajar karena akan selalu ada pelajaran yang mesti dipelajari dan pelajaran itu adalah diri sendiri dan pasangan. Lewat pernikahan kita akan belajar banyak tentang diri kita dan lewat pernikahan kita akan belajar banyak pula tentang pasangan. Kerelaan belajar adalah kunci pernikahan yang harmonis.


Kita belajar untuk berubah; kita tidak belajar untuk membuktikan diri bahwa kita benar dan tidak perlu berubah. Itu sebab sejak awal kita mesti membiasakan diri terbuka terhadap hal baru dan berubah sesuai dengan pengetahuan yang baru itu. Memang kita tidak berubah hanya karena terjadi perubahan di luar—kita mesti mempunyai pendirian—tetapi penting bagi kita untuk membuka mata dan memertimbangkan kemungkinan lain. Pernikahan menuntut sikap lentur seperti ini.


Pernikahan pun mengharuskan kita untuk mengalah. Mungkin kita benar dan pasangan salah, namun demi kepentingan yang lebih besar, kadang kita memilih mengalah. Sikap bersedia mengalah mesti dipupuk sejak muda sebab sikap ini tidak bertumbuh dengan sekejap. Perlu kematangan dan kebesaran hati untuk mengalah. Kecenderungan kita adalah menuntut keadilan, bukan mengalah. Sudah tentu adalah baik untuk mengupayakan keadilan namun dalam pernikahan konsep ini mesti disesuaikan. Tidak selalu kita harus diperlakukan adil; kadang kita mesti mengalah—walau itu tidak adil.


(8) Beriman Karena Tahu Bahwa Tuhan Berkuasa dan Memelihara Hidup Ini. Pernikahan adalah sebuah perjalanan yang panjang dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Orang beriman dapat diibaratkan seperti perahu, yang sama dengan perahu lain bisa karam dan tersesat, namun tidak akan tenggelam dan tersesat sebab nakhodanya adalah Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita. Ia bersama kita dan Ia menunjukkan arah yang mesti ditempuh. Sewaktu badai datang, kita pun aman karena tahu bahwa topan dan ombak tunduk kepada-Nya. Ia menguasai segala cuaca kehidupan dan kita tidak perlu takut.


Sejak muda kita harus belajar beriman. Sewaktu kesusahan datang, datanglah kepada Tuhan dan bersandarlah pada janji-Nya bahwa Ia akan menyertai kita. Percayalah bahwa Ia yang menguasai langit dan bumi serta memberi makan burung di udara, sanggup memelihara hidup kita. Makin kokoh kita beriman, makin kokoh kita menghadapi hidup. Tanpa iman pada Allah yang berkuasa, kita akan diombang-ambingkan gelombang kehidupan, dan tidak bisa tidak, ini akan berimbas pada pernikahan.


Ada banyak yang mesti dipersiapkan untuk membangun pernikahan yang sehat; pada akhirnya inilah dasar dari segalanya, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." (Matius 7:12)