oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi.
Kata kunci: Mewarisi sifat atau kelakuan buruk, faktor kedekatan dengan orangtua, pengalaman pribadi dengan orangtua yang bersangkutan, faktor pembelajaran menjadi bagian hidup kita, seberapa tersedianya pilihan lain di luar rumah.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Yang Buruk Malah Menempel, Yang Baik Tidak ?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Iya memang, Pak Paul. Judul ini sendiri membuat saya berpikir, memang yang buruk itu kebanyakan menyenangkan, bisa dinikmati yang buruk-buruk. Sedang yang baik-baik itu kebanyakan menyusahkan atau paling tidak membutuhkan pengorbanan dari kita. Tapi coba kita perbincangkan, Pak Paul , mengapa bisa seperti ini ? Kita sebenarnya mengharapkan melakukan yang baik-baik. Rasul Paulus sendiri juga mengatakan hal itu, sebenarnya dia mau melakukan yang baik tetapi yang buruk justru dilakukan. Nah, ini bagaimana Pak Paul ?
PG : Sudah tentu ini paling jelas dalam hubungan pernikahan, Pak Gunawan. Kita kadang-kadang melihat pasangan kita dan berkata, "Aduh, kamu mengapa yang buruk dari orang tuamu kamu simpan. Yang baik mengapa tidak kamu simpan ?". Kita mau membahas hal ini karena memang ini bisa mengganggu. Tuhan tidak menempatkan kita di keluarga yang sempurna, kita harus ketahui hal ini. Sama seperti kita orangtua adalah orang berdosa; disamping kekuatan mereka pun memiliki kelemahan. Idealnya kita memetik hal-hal yang baik dan membuang hal-hal yang tidak baik yang kita temukan pada orangtua. Namun sayang itu tidak kita lakukan, kebanyakan kita malah mewarisi sifat dan kelakuan yang buruk yang ada pada orangtua. Jadi pertanyaannya adalah mengapa demikian ? Kita ini bingung sebab sesungguhnya kita tahu mana yang baik, mana yang buruk. Namun kita tidak mengerti mengapa hal yang tidak kita sukai itu yang malah kita serap. Sesungguhnya yang baik dan yang buruk semua sama berpotensi menempel pada diri kita; berapa banyak yang menempel bergantung pada beberapa faktor. Jadi coba kita bahas sekarang; mengapa yang buruk menempel sedang yang baik tidak.
GS : Seringkali Pak Paul, memang yang buruk itu memberikan kesan yang lebih dalam kepada kita : memberi kesan, memberi pengaruh yang sangat kuat, yang buruk-buruk itu, sehingga untuk melepaskannya itu agak kesulitan. Tetapi untuk membalas ini kepada orangtua yang memerlakukan kita secara buruk, kita tidak berani atau memang kita sudah tidak memunyai kesempatan lagi sehingga ini yang kita terapkan kepada pasangan kita atau kepada anak-anak kita, jadi semacam balas dendam mungkin atau pelampiasan dari sesuatu yang memang sulit untuk dilupakan karena ini keras sekali.
PG : Iya. Itu betul. Jadi biasanya memang sesuatu yang menimbulkan kesan yang dalam ya, itu akan kita ingat dan memengaruhi kita. Jadi kalau yang dalam itu kebetulan adalah hal yang buruk sudah tentu akhirnya kita ingat.
GS : Kebanyakan justru yang buruk Pak Paul; yang baik-baik kita anggap, "Sudah seharusnya orangtua seperti ini."
PG : Betul.
GS : "Itu hak saya sebagai anak" jadi lewat saja itu. Tetapi yang buruk seperti pukulan atau hukuman yang berlebihan itu sangat membekas sekali, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kita mau mengangkat hal ini sebab kadang-kadang ini membingungkan, Pak Gunawan juga mungkin tahu. Ada anak yang dibesarkan oleh ayah yang misalnya penjudi dan dia tahu bagaimana ruginya, susahnya hidup dengan ayah yang penjudi. Tapi akhirnya setelah dia besar, dia menjadi penjudi juga. Nah, kenapa begitu ? Pertama karena faktor kedekatan. Bila kita memiliki kedekatan dengan orangtua yang memunyai sifat yang buruk maka kita cenderung lebih menerima dirinya apa adanya termasuk kelemahannya. Tidak bisa tidak, kita pun akan lebih terbuka untuk menerima hal yang buruk itu dan mengintegrasikannya menjadi bagian diri kita. Sebagai contoh, bila seorang anak laki-laki dekat dengan ayahnya yang kebetulan memunyai kelemahan dalam hal wanita maka besar kemungkinan setelah besar bukan saja dia lebih menoleransi perbuatan selingkuh orang, ia pun berpotensi melakukan perbuatan yang sama kendati dia tahu betapa menderitanya ibunya dulu dikhianati oleh ayahnya. Jadi faktor kedekatan itu berperan sangat besar. Begitu pula dengan hal yang positif, Pak Gunawan, makin dekat kita dengan orangtua yang memunyai hal yang baik dalam dirinya, makin besar kemungkinan kita menyerap hal yang baik itu. Sebaliknya makin jauh hubungan kita dengan orangtua yang memiliki hal yang baik itu makin sedikit yang baik darinya akan menempel pada diri kita. Sebagai contoh, jika orangtua kita adalah orang yang pemurah dan kita dekat dengannya besar kemungkinan kita akan mewarisi sifat pemurah itu. Sebaliknya jika orangtua tidak dekat dengan kita maka kemungkinan sifat pemurah itu tidak melekat pada diri kita.
GS : Iya. Tapi ini pun tidak seimbang, katakan itu, bahwa yang buruk-buruk yang jelek-jelek itu justru yang lebih gampang kita contoh daripada yang baik-baik tadi seperti pemurah dan sebagainya ini kadang-kadang kita lebih sulit mencontohnya, walaupun kita dekat dengan ibu kita dan sebagainya. Tapi apakah kedekatan itu lalu membuat seseorang hanya melihat kejelekan dari orang yang didekati atau kebaikannya juga, Pak Paul ?
PG : Memang ya kalau kita bahas secara teologis kenapa misalnya yang pemurah itu tidak kita simpan buat diri kita atau sifat misalnya yang tidak baik yang kita simpan. Kenapa ya ? Saya duga kalau secara teologis kita menjelaskannya karena kita orang berdosa, Pak Gunawan. Jadi untuk bisa menyerap yang baik lebih perlu usaha lebih susah, tapi karena kita orang berdosa maka untuk menyerap yang buruk itu lebih gampang karena lebih sesuai dengan kodrat kita.
GS : Iya. Ada kecenderungannya yang pertama dan ada kodratnya itu tadi, Pak Paul. Jadi ‘klop’ memang itu sudah, yang buruk lebih mudah terserap daripada yang baik itu.
PG : Tapi memang faktor kedekatan ini berperan penting, Pak Gunawan. Karena kalau kita dekat dengan orang maka kita cenderung menoleransi perbuatannya dan bahkan kalau orang misalnya menyerang ayah kita, misal ayah kita penjudi tapi dia dekat sama kita, dia sayang sama kita, sering berbicara dengan kita maka ketika orang menyerang mengatai ayah kita sebagai penjudi kita mungkin sekali akan marah dan membela ayah kita. Dan kita misalnya berkata, "Iya semua orang berdosa, semua orang punya kelemahan, ayah saya punya kelemahan ini tapi ayahmu juga pasti punya kelemahan yang lain. Dan apa salahnya berjudi ? Apa buruknya berjudi ?" Dan kita itu akhirnya bukan saja menoleransi tapi mulai mengurangi keseriusan perbuatan itu, yang salah itu. Maka kita juga lebih mudah masuk ke dalam perilaku yang tidak baik itu. Jadi memang kedekatan itu berpengaruh besar.
GS : Kalau sudah begitu memang makin mudah bagi kita untuk mengadopsi hal-hal yang buruk itu tadi dari orang yang kita dekati.
PG : Betul.
GS : Nah, faktor yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Faktor kedua yang memengaruhi berapa banyak yang baik dan buruk yang menempel pada diri kita ialah pengalaman pribadi dengan orangtua yang bersangkutan. Misalkan karena ayah sering berselingkuh, ibu sering berkeluh kesah kepada kita dan ini akhirnya bukan saja menyusahkan hati kita, tapi juga membuat hidup kita penuh kegetiran. Nah, biasanya setelah besar kita akan mengembangkan sikap yang tidak suka bukan saja dengan ayah yang melukai ibu, tapi juga dengan semua orang yang tidak setia kepada pasangannya. Dengan kata lain, makin negatif pengalaman yang mesti ditanggung akibat hal yang buruk diperbuat oleh orangtua, makin kecil kemungkinan hal yang buruk itu menempel pada diri kita. Nah, begitu pula dengan hal yang baik. Makin positif pengalaman kita akibat hal yang baik dari orangtua, makin besar kemungkinan hal yang baik itu akan menempel pada diri kita. Sebaliknya makin negatif pengalaman kita karena hal yang baik dari orangtua makin kecil kemungkinan hal yang baik itu akan menempel pada diri kita. Nah, mungkin contoh berikut ini dapat membantu. Bila kita menikmati pengalaman positif akibat sifat orangtua yang pemurah, maka besar kemungkinan kita akan mengadopsi sifat pemurah itu. Sebaliknya bila pengalaman kita justru buruk gara-gara orangtua pemurah, maka besar kemungkinan kita tidak akan mewarisi sifat pemurah itu. Misalkan gara-gara orang tua itu pemurah maka berkali-kali mereka ditipu atau setidaknya dimanfaatkan orang yang sebagai akibatnya beberapa kali keluarga jatuh bangkrut dan harus menderita. Nah, pengalaman buruk itu akhirnya membuat kita berbalik arah. Kita menjadi orang yang tidak pemurah. Jadi faktor kedua adalah pengalaman kita sebagai anak yang karena orangtua kita memiliki kebaikan atau kelemahan tersebut.
GS : Iya ini bedanya dengan yang pertama tadi, faktor kedekatan itu, ‘kan tipis sekali, Pak Paul. Karena bukankah orang yang dekat itu otomatis akan banyak mengalami pengalaman-pengalaman pribadi dengan orang yang didekati dia tadi.
PG : Betul. Nah, jadi bukan hanya langsung dari orangtua apa yang dialami tapi juga sebagai akibatnya dalam hidupnya itu dia mengalami apa. Jadi contohnya misalkan orangtua kita pemurah sekali, tapi ditipu kanan-kiri akhirnya kita jadi jatuh menderita, mesti pindah-pindah rumah, kontrak sana kontrak sini, karena orang tua terlalu pemurah dan akhirnya ditipu berkali-kali. Nah, biasanya itu kalau kita mengalami hal yang tidak menyenangkan karena orangtua berbuat baik seperti itu kecenderungannya adalah perbuatan baik orangtua sifat baiknya itu tidak menempel pada diri kita. Malahan kita berkata, "Kalau menjadi orang yang pemurah nanti akan menjadi seperti papa mama ditipu orang kanan-kiri". Jadi pengalaman kita akibat apa yang orangtua lakukan itu biasanya menentukan apakah kita akan menyerap sifat orangtua itu.
GS : Nah, itu kalau orangtua memunyai beberapa anak misalnya kita punya adik atau kakak, apakah pengalaman ini akan berbeda-beda, Pak Paul ?
PG : Seringkali berbeda, Pak Gunawan. Karena memang misalkan faktor kedekatan itu, anak yang tidak dekat dengan orangtuanya akan memunyai reaksi yang berbeda dengan anak yang dekat dengan orangtuanya. Jadi misalnya tadi contoh, ada keluarga yang dimana si ayah memunyai kelemahan dalam hal wanita. Tapi misalnya si ayah itu dekat dengan anak lakinya, maka anak lakinya akan cenderung menoleransi perbuatan ayahnya. Tapi anak perempuan misalnya, dia itu yang justru menjadi tumpahan tangisan orangtua atau ibunya gara-gara ayahnya itu main perempuan terus. Nah, si anak perempuan ini bisa jadi reaksinya sangat benci kepada ayahnya. Jadi anak lakinya sayang ayahnya, membela ayahnya dan kadang-kadang ikut menutupi perbuatan ayahnya, yang anak perempuan benci sekali dengan ayahnya. Jadi memang tidak sama.
GS : Jadi tergantung kedekatannya, Pak Paul ?
PG : Dan juga nantinya bergantung pada efeknya pada dirinya. Jadi kalau makin tidak enak hidupnya gara-gara apa yang orangtua lakukan maka dia makin tidak mau menerima atau mewarisi yang dilakukan oleh orangtuanya itu.
GS : Apakah ada faktor yang lain, Pak Paul ?
PG : Faktor yang ketiga adalah yang saya sebut pembelajaran. Meski kita tidak menyukai sifat orangtua yang buruk namun bila kita terus melihatnya tanpa disadari kita akan memelajarinya dan menjadikannya bagian dari hidup kita. Singkat kata, kita tetap menyerap hal-hal yang buruk yang kita lihat walau sesungguhnya kita tidak mau dan tidak suka sebab otak kita telanjur mencatatnya. Misalnya, sewaktu bertengkar orangtua sering membanting barang, baik itu pintu maupun piring misalnya. Nah, kendati kita tegang dan takut tatkala menyaksikannya namun karena terlalu sering kita menjadi saksi mata pertengkaran orangtua akhirnya terekamlah adegan itu di otak. Setelah dewasa dan menikah dan bertengkar dengan pasangan tiba-tiba tanpa direncanakan sebelumnya kita membanting barang-barang di sekitar kita. Yang terjadi adalah pada saat bertengkar memori yang terekam di otak sekonyong-konyong dihidupkan dan melahirkan tindakan yang sama seperti di rekaman, yaitu membanting ulang. Jadi sekali lagi apa yang kita saksikan apalagi kalau itu berulang kali akan terekam, ini yang disebut pembelajaran dan nanti itu akan muncul didalam misalnya pernikahan kita pula.
GS : Ini pembelajaran atau pencontohan, jadi kita mencontoh saja itu ? Karena belajar itu lain sifatnya.
PG : Jadi ini istilah saja; maksudnya itu memang mencontoh tapi di belakang kata ‘pembelajaran’ karena kalau kita mencontoh ‘kan seolah-olah kita memang sengaja mau mencontoh. Ini memang pembelajaran yang tanpa direncanakan sebab sebetulnya si anak tidak suka dan contoh tadi papa mama berkelahi membanting-banting barang tidak suka dia. Sedapat-dapatnya dia tidak mau menjadi seperti itu. Dia tidak mau mencontoh perbuatan tersebut tapi otaknya sudah telanjur mencatat, mendapatkan ilmu banting-banting barang itu. Waktu dia sudah menikah dan bertengkar dengan pasangannya, menyala ‘komputer di otak’ langsung dia banting-banting barang.
GS : Karena seringkali dengan membanting barang ayahnya itu bisa menguasai ibunya?
PG : Betul, betul. Jadi akhirnya terekam meskipun misalnya waktu dia masih kecil ibunya sering menangis dan dia sendiri juga ikut menangis, ibunya juga menderita dan dia kasihan sekali sama ibunya, tapi akhirnya setelah besar rekaman itu menyala sendiri karena otaknya mencatatnya dan dia menjadi seperti ayahnya yang dia benci itu.
GS : Dan ini akan sulit dia melepaskannya ?
PG: Seringkali memang tidak mudah.
GS : Hal yang buruk itu tadi ?
PG : Sangat-sangat sulit, Pak Gunawan.
GS : Kalau sudah menempel sulit untuk dilepaskan, ya Pak Paul ?
PG : Betul. Dia perlu usaha yang sangat keras, dia perlu menyadari memang usaha yang tidak main-main dan dia tidak boleh sama sekali membenarkan perbuatannya. Sebab kadang-kadang orang begini, Pak Gunawan, mula-mula memang merasa bersalah minta maaf sama istrinya tapi karena sudah terlalu sering dan dia tidak bisa melepaskan kebiasaan buruk itu akhirnya yang dia lakukan adalah mengurangi kadar keburukannya dengan mulai mengatakan, "Kamu juga kalau marah begini maka saya banting-banting. Kamu juga sering banting ini atau apa" Karena apa sebetulnya? Karena dia tidak bisa mengurangi atau menghilangkannya. Jadi daripada dia mengaku tidak bisa, dia akhirnya membuat perbuatannya itu seolah-olah tidak terlalu buruk.
GS : Atau memang tidak punya alternatif lain bagaimana dia mengungkapkan emosinya, Pak Paul ?
PG : Bisa jadi, Pak Gunawan. Karena anak-anak ini melihat orangtuanya kalau marah berteriak, banting barang dan sebagainya akhirnya tidak mengembangkan kemampuan yang lain untuk menghadapi masalah dalam hidupnya. Jadi waktu dia marah atau apa yang muncul adalah jalan yang dia sudah pelajari dan itu menjadi satu-satunya jalan yang dia ketahui. Nah, kalau dia menyadari kalau ini tidak benar maka dia bisa mencari konselor dan dalam konseling itu konselor bisa mulai mengajarkan dia untuk mencurahkan atau mengekspresikan kemarahannya dengan cara yang lebih baik.
GS : Jadi berarti ada faktor yang lain, Pak Paul dalam hal ini ?
PG: Ada Pak Gunawan, ini faktor yang terakhir. Yang keempat adalah seberapa tersedianya pilihan lain di luar rumah. Makin tersedia kesempatan untuk memelajari hal-hal yang baik di luar rumah, makin besar kemungkinan hal-hal yang buruk yang kita pelajari di rumah mengalami penyusutan. Sebaliknya makin terbatas kesempatan memelajari pilihan lain yang positif, makin bertahan hal-hal yang buruk itu. Jadi kita yang terbiasa melihat ayah dan ibu berteriak sewaktu bertengkar tapi kemudian bergaul akrab dengan teman-teman yang menyelesaikan pertengkaran tanpa berteriak pada akhirnya dapat meninggalkan kebiasaan yang buruk itu. Nah, ini jadi Pak Gunawan menjelaskan kenapa ada orang yang meskipun latar belakangnya buruk tapi kemudian bisa berubah. Tapi ada orang yang tidak berubah, seringkali ini faktor yang keempat berperan, Pak Gunawan. Jadi anak-anak yang akhirnya bertemu dengan teman-teman yang baik, yang bisa mengekspresikan kemarahan dengan lebih baik dan positif maka lama-kelamaan akhirnya belajar, otaknya belajar, "Oh kalau marah jangan berteriak, jangan berbuat ini tapi bicaralah dengan kepala dingin dan sebagainya". Tapi kalau tidak ada orang-orang di dalam hidupnya, Pak Gunawan, anak itu akan terus menjadi seperti orangtuanya. Ini menjelaskan kenapa anak-anak ada yang dalam lingkungan yang buruk itu memang akhirnya menjadi lebih buruk dan lebih buruk. Sebab anak-anak yang ada di dalam lingkungan yang buruk tidak ada contoh yang lebih baik, Pak Gunawan. Sebab sekelilingnya, teman-temannya sama buruknya dengan dia jadi dia benar-benar tidak ada pilihan lain. Yang dia terima justru adalah penguatan terhadap keburukannya itu, sebab teman-temannya berbuat hal yang sama. Dan akhirnya dia tambah besar maka tambah buruk.
GS : Tapi memang pilihan lain yang positif itu jauh lebih sedikit daripada pilihan lain yang negatif begitu, Pak Paul ?
PG : Ini juga seringkali bergantung kepada si orang tersebut, Pak Gunawan. Karena begini, kalau kita orang yang kalau marah tidak mau mengamuk-amuk kita cenderung mau berteman dengan yang seperti itu pula. Dengan kita yang kalau marah maunya mengamuk-amuk, membanting-banting barang dan sebagainya maka kecenderungannya mau berteman dengan teman seperti kita pula. Jadi akhirnya sifat yang buruk itu makin hari makin diperkuat bukan diperlemah begitu. Maka memang penting sekali kalau kita mau berubah, kita harus mengubah juga atau meninggalkan lingkungan yang buruk itu sebab lingkungan yang buruk itu memang tidak menyediakan pilihan lain yang lebih baik. Akhirnya anak-anak itu belajar menjadi seperti itu. Saya berikan contoh, di kota Los Angeles itu di bawahnya, di Selatannya ada bagiannya yang sangat rentan sekali terhadap kejahatan, Pak Gunawan. Berpuluhan tahun Selatannya Los Angeles itu menjadi sarang kejahatan, perampokan, narkoba dan sebagainya. Pertanyaannya kenapa tidak bisa berubah generasi-generasi yang baru di situ ? Karena mereka tetap tinggal di situ. Yang tetap tinggal di situ berarti apa ? Mereka tidak memunyai pilihan yang lain di dalam rumah itu; dalam rumah orang tuanya berkelahi, orang tuanya memakai narkoba, orangtuanya mungkin tidak bekerja jadi contoh-contoh negatif. Di luar rumah lingkungannya sama seperti orangtuanya. Berarti dia tidak memunyai pilihan yang lain lagi, jadinya dia besar menjadi seperti orangtuanya. Maka kalau kita mau mengubah memang tidak bisa tidak harus keluar dari lingkungan, Pak Gunawan.
GS : Iya dan itu menjadi suatu hal yang sangat sulit dilakukan oleh orang yang sudah terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan buruk seperti itu.
PG : Betul sekali. Jadi betapa pentingnya lingkungan yang baik, jadi saya tahu misalnya ada orang yang dibesarkan dalam lingkungan yang sangat buruk tapi kemudian mengenal Tuhan, dibesarkan di gereja, mengenal hamba Tuhan, mentor-mentor yang positif maka dia berkesempatan mengubah dirinya begitu. Jadi mengubah itu sebuah proses yang tidak gampang dan panjang. Banyak orang bertobat satu hari, tapi untuk berubah tidak bisa-bisa. Dan memang sebenarnya seperti itu; bertobat satu hari, berubah seumur hidup.
GS : Dan ini memang sebenarnya peluang bagi gereja untuk memberikan teladan atau contoh-contoh atau pilihan yang lain yang bisa dilihat oleh orang-orang yang terbelenggu oleh sifat-sifat buruknya itu, Pak Paul.
PG : Betul, betul. Selama ini puji Tuhan, kebanyakan memang lingkungan gereja menjadi lingkungan yang positif yang menyediakan pilihan yang lebih baik kepada orang dalam menjalani hidup yang memang tidak gampang ini.
GS : Tapi itu juga bergantung kepada orang itu, mau memilih yang ini atau memertahankan yang lama itu ? Bukankah pilihannya tetap pada dia.
PG : Betul, betul. Dan yang kita bisa mengerti mengapa mereka yang dari latar belakang yang buruk itu, biasanya reaksi pertama waktu bergumul dengan lingkungan yang baik, tidak nyaman, Pak Gunawan. Logikanya seharusnya dia nyaman karena bisa belajar yang baik-baik dari orang-orang ini, tapi ternyata reaksi pertama ialah tidak nyaman; justru tidak mau ke tempat-tempat dimana orang-orangnya baik-baik. Tidak mau. Maunya mencari yang seperti dia.
GS : Iya. Nah, Pak Paul ini sesuatu hal yang hampir mustahil dilakukan oleh manusia dengan kekuatannya sendiri. Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa memandu kita ?
PG : Firman Tuhan di Amsal 19:8 memberi kita nasehat "Siapa memperoleh akal budi, mengasihi dirinya; siapa berpegang pada pengertian, mendapat kebahagiaan". Firman Tuhan sarat dengan hikmat jadi belajarlah hikmat dari firman Tuhan. Hikmat Tuhan akan mengikis hal yang buruk yang tertanam dalam diri kita. Jadi bergaullah erat dengan firman Tuhan, ini kuncinya, Pak Gunawan. Waktu kita membaca firman, merenungkannya lalu kita berdoa memohon kekuatan Tuhan, berinteraksi pribadi terus-menerus setiap hari ini perlahan-lahan akan mengikis yang lama-lama dan yang buruk itu pada diri kita.
GS : Iya. Jadi akal budi ini bisa kita peroleh dari firman Tuhan yang kita baca setiap hari secara teratur dan terencana itu, Pak Paul. Dengan demikian kita mengasihi diri kita sendiri artinya supaya jangan tambah buruk keadaannya, Pak Paul.
PG : Kita mesti sayang diri sendiri.
GS : Mesti sayang diri dan mau melepaskan hal-hal yang selama ini merugikan diri kita itu.
PG : Betul.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Yang Buruk Malah Menempel, Yang Baik Tidak ?". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.