Mengapa Yang Buruk Malah Menempel, Yang Baik Tidak ?

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T541B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Karena manusia berdosa sehingga memiliki kecenderungan lebih besar untuk menyerap hal-hal yang buruk atau tidak benar dan melampiaskannya dengan melukai orang lain. Kedekatan relasi, pengalaman pribadi dengan orangtua, contoh buruk yang dilihat dan direkam oleh otak, dan seberapa besar kesempatan untuk keluar dari lingkungan yang buruk merupakan faktor besar mengapa yang buruk malah menempel yang baik tidak.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi

Tuhan tidak menempatkan kita di keluarga yang sempurna. Sama seperti kita, orangtua adalah orang berdosa; di samping kekuatan, mereka pun memiliki kelemahan. Idealnya kita memetik hal-hal yang baik dan membuang hal-hal yang tidak baik yang kita temukan pada orangtua. Sayang, itu tidak kita lakukan; kebanyakan kita malah mewarisi sifat dan kelakuan yang buruk yang ada pada orangtua. Mungkin kita bertanya-tanya, "Mengapa demikian?" Kita bingung sebab sesungguhnya kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Namun, kita tidak mengerti mengapa hal yang tidak kita sukai, itu yang malah kita serap. Sesungguhnya yang baik dan yang buruk, sama-sama berpotensi menempel. Berapa banyak yang menempel bergantung pada beberapa faktor. Berikut akan dipaparkan penjelasan mengapa yang buruk menempel sedang yang baik, tidak.

  1. Faktor kedekatan. Bila kita memiliki kedekatan dengan orangtua yang memunyai sifat yang buruk, maka kita cenderung lebih menerima dirinya apa adanya, termasuk kelemahannya. Nah, tidak bisa tidak, kita pun akan lebih terbuka untuk menerima hal yang buruk itu dan mengintegrasikannya menjadi bagian diri kita. Sebagai contoh, bila seorang anak laki dekat dengan ayahnya, yang kebetulan mempunyai kelemahan dalam hal wanita, maka besar kemungkinan setelah besar, bukan saja ia lebih menoleransi perbuatan selingkuh orang, ia pun berpotensi melakukan perbuatan yang sama, kendati ia tahu betapa menderitanya ibunya dikhianati oleh ayahnya. Begitu pula dengan hal yang positif. Makin dekat kita dengan orangtua yang memunyai hal yang baik pada dirinya, makin besar kemungkinan kita akan menyerap hal yang baik itu. Sebaliknya, makin jauh hubungan kita dengan orangtua yang memiliki hal yang baik itu, makin sedikit yang baik darinya akan menempel pada diri kita. Sebagai contoh, jika orangtua kita adalah orang yang pemurah dan kita dekat dengannya, besar kemungkinan kita akan mewarisi sifat pemurah itu. Sebaliknya, jika orangtua tidak dekat dengan kita, besar kemungkinan sifat pemurah itu tidak melekat pada diri kita.
  2. Faktor pengalaman pribadi dengan orangtua yang bersangkutan. Misalkan, gara-gara ayah sering berselingkuh, ibu sering berkeluh kesah kepada kita dan ini akhirnya bukan saja menyusahkan hati kita, tetapi juga membuat hidup kita penuh kegetiran. Nah, biasanya setelah besar kita akan mengembangkan sikap yang tidak suka, bukan saja dengan ayah yang melukai ibu, tetapi juga dengan semua orang yang tidak setia kepada pasangannya. Dengan kata lain, makin negatif pengalaman yang mesti ditanggung akibat hal yang buruk dari orangtua, makin kecil kemungkinan hal yang buruk itu menempel pada diri kita. Begitu pula dengan hal yang baik. Makin positif pengalaman kita akibat hal yang baik dari orangtua, makin besar kemungkinan hal yang baik itu akan menempel. Sebaliknya, makin negatif pengalaman kita karena hal yang baik dari orangtua, makin kecil kemungkinan hal yang baik itu akan menempel pada diri kita. Mungkin contoh berikut ini dapat membantu. Bila kita menikmati pengalaman positif akibat sifat orangtua yang pemurah, maka besar kemungkinan kita akan mengadopsi sifat pemurah itu. Sebaliknya, bila pengalaman kita justru buruk gara-gara orangtua pemurah, maka besar kemungkinan kita tidak akan mewarisi sifat pemurah itu. Misalkan, gara-gara orangtua pemurah, maka berkali-kali mereka ditipu atau setidaknya, dimanfaatkan orang. Sebagai akibatnya, beberapa kali keluarga jatuh bangkrut dan harus menderita. Nah, pengalaman buruk ini akhirnya membuat kita berbalik arah: Kita menjadi orang yang tidak pemurah.
  3. Faktor pembelajaran. Meski kita tidak menyukai sifat orangtua yang buruk, namun bila kita terus melihatnya, tanpa disadari kita akan memelajarinya dan menjadikannya bagian dari hidup kita. Singkat kata, kita tetap menyerap hal-hal yang buruk yang kita lihat, walau sesungguhnya kita tidak mau dan tidak suka, sebab otak kita telanjur mencatatnya. Misalkan, sewaktu bertengkar orangtua sering membanting barang, baik itu pintu maupun piring. Nah, kendati kita tegang dan takut tatkala menyaksikannya, namun karena terlalu sering kita menjadi saksi mata pertengkaran mereka, akhirnya terekamlah adegan itu di otak. Setelah dewasa dan menikah, bertengkar dengan pasangan, tiba-tiba tanpa direncanakan sebelumnya, kita membanting barang-barang di sekitar. Yang terjadi adalah pada saat bertengkar, memori yang terekam di otak sekonyong-konyong dihidupkan dan melahirkan tindakan yang sama seperti di rekaman yakni membanting barang. Di dalam keluarga bermasalah, pertengkaran adalah menu sehari-hari. Itu sebab, walau ada hal baik yang dilakukan dan dimiliki orangtua, hal yang baik itu akhirnya tenggelam di dalam kolam perselisihan. Tidak heran, bila kita dibesarkan dalam keluarga di mana orangtua kerap bertengkar, kita lebih banyak menyerap hal-hal yang buruk ketimbang hal-hal yang baik dari orangtua.
  4. Faktor seberapa tersedianya pilihan lain di luar rumah. Makin tersedia kesempatan untuk memelajari hal-hal yang baik di luar rumah, makin besar kemungkinan hal-hal yang buruk yang kita pelajari di rumah mengalami penyusutan. Sebaliknya, makin terbatas kesempatan memelajari pilihan lain yang positif, makin bertahan hal-hal yang buruk itu. Jadi, kita yang terbiasa melihat ayah dan ibu berteriak sewaktu bertengkar, tetapi kemudian bergaul akrab dengan teman-teman yang menyelesaikan pertengkaran tanpa berteriak, pada akhirnya meninggalkan kebiasaan yang buruk itu. Firman Tuhan di Amsal 19:8 memberi kita nasihat, "Siapa memperoleh akal budi, mengasihi dirinya; siapa berpegang pada pengertian, mendapat kebahagiaan." Firman Tuhan sarat dengan hikmat, jadi, belajarlah hikmat dari FirmanTuhan. Hikmat Tuhan akan mengikis hal buruk yang tertanam dalam diri kita.