Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Susah Melepaskan Pasangan?". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND : Pak Paul, setiap pasangan pasti akhirnya akan berpisah karena kita manusia yang fana. Melihat kenyataan ini bagaimana kita bisa memersiapkan diri menghadapi kepergian pasangan kita?
PG : Saudara sekalian, kematian adalah suatu kepastian. Walau kita tahu itu tetap saja tidak mudah bagi kita untuk menerima kematian pasangan hidup. Sebaik apa pun kita memersiapkan diri, pada saat kita harus menghadapi perpisahan, kita tetap merasa seperti gelas yang jatuh hancur berkeping-keping. Pada akhirnya tidak ada persiapan yang dapat menghindarkan kita dari kedukaan. Nah, jadi pertanyaannya adalah jika kita tetap harus melewati kedukaan apakah ada yang dapat kita perbuat untuk merelakan kepergian pasangan? Jawabannya ialah ada, ada yang dapat kita perbuat. Berikut kita akan membahas beberapa saran untuk menolong kita merelakan kepergian pasangan. Pertama, kita akan lebih rela melepaskan pasangan apabila kita telah memberi yang terbaik. Dengan kata lain, jika kita menyimpan penyesalan karena tidak memberi yang terbaik kepada pasangan selama hidupnya, besar kemungkinan kita akan mengalami kesukaran untuk melepaskan pasangan. Kita terus dirundung rasa bersalah sebab kita tidak lagi berkesempatan untuk memberi yang terbaik kepadanya. Seperti kereta api yang telah lewat begitu pulalah dengan kesempatan yang sekarang sudah berlalu. Dari sini dapat kita petik satu pelajaran yaitu berusahalah untuk hidup tanpa penyesalan dan kita hanya bisa hidup tanpa penyesalan bila kita memberi yang terbaik kepada pasangan. Jadi semasa hidupnya, sayangilah pasangan. Dengan segera bereskanlah masalah, jangan menunda-nunda dan jangan menyimpan dendam. Berikanlah apa yang menjadi haknya dan jangan kita menahan apa yang seharusnya diterima olehnya. Jangan ragu untuk meminta maaf dan jangan biarkan kebencian bersarang di hati. Sewaktu ia sakit, rawatlah dengan sabar dan kasih, jangan justru memarah-marahinya. Ungkapkanlah kasih dan penghargaan kita kepadanya, semasa hidupnya. Saudara, memberi yang terbaik tidak berarti memberi yang sempurna, tidak ! Kita bukan manusia sempurna, jadi sewaktu kita memberi yang terbaik itu berarti kita memberi dalam keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Relasi nikah juga bukan relasi yang sempurna, itu sebab sewaktu kita memberi yang terbaik itu tidak berarti bahwa kita tidak pernah merasa kesal dan marah kepada pasangan. Kita pasti pernah mengecewakan pasangan sama seperti ia pun pasti pernah mengecewakan kita. Jangan membawa penyesalan karena keterbatasan dan kemanusiawian kita. Pasangan pun mafhum akan hal ini sebab ia pun manusia yang terbatas.
ND : Yang saya pahami disini kalimat kuncinya adalah setiap hari melakukan apa yang terbaik bagi pasangan. Pak Paul, bagaimana jika kita telah melakukan hal yang terbaik tetapi tetap muncul rasa sesal dalam hati?
PG : Saya sudah berjumpa dengan orang yang kedukaan dan saya cukup sering mendengar orang yang terus menyesali kenapa semasa hidupnya saya tidak berbuat ini atau berbuat itu. Saya akan berkata bahwa kita ini pasti akan bisa berkata, "Seharusnya saya lebih berbuat ini, seharusnya saya lebih ini atau itu." Pasti ya misalkan ada yang berkata, "Seharusnya saya membawa dia ke Rumah Sakit" atau "Seharusnya saya membawa ke dokter yang lebih baik" atau apa. Sudah tentu akan selalu ada hal-hal yang bisa kita lakukan dengan berbeda. Namun saya ingin mengingatkan bahwa kebanyakan kita tidak tahu pasangan kita akan meninggal dunia. Kebanyakan kita kalau sudah tahu pasangan kita akan meninggal dunia dan sakitnya seberat itu akan berusaha lebih lagi untuk menolongnya atau merawatnya. Tapi sekali lagi saya ingin mengingatkan bahwa kita tidak tahu, jadi jangan kita menyalahkan diri untuk hal yang memang kita tidak tahu. Kita hanya dapat berbuat sesuatu jika kita sudah mengetahuinya, jika kita tidak tahu bagaimanakah bisa kita mencegahnya? Terimalah kemanusiawian kita masing-masing. Memberi yang terbaik bukan berarti memberi yang sempurna. Tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Juga saya tidak mau kita menyesali diri, "Saya seharusnya lebih sabar", sebab kita tidak selalu sabar jadi maafkanlah diri kita. Merawat orang sakit itu tidak mudah, ada yang sakit tidak banyak menuntut, ada yang sakit tapi banyak menuntut. Kita manusia yang terbuat dari daging dan darah dan kadang kita tidak selalu sabar mendengar tuntutan pasangan kita yang tengah sakit. Jadi akhirnya kita marah dan jengkel kepada dia, hal-hal yang seperti ini adalah hal yang manusiawi. Reaksi-reaksi seperti ini adalah reaksi yang manusiawi. Kalau kita menempatkan diri di pasangan kita, saya yakin pasangan akan bisa mengerti bahwa kita ini manusia terbatas. Dia pun tidak akan mendendam kepada kita karena kita tidak sesabar seperti yang seharusnya. Jadi sekali lagi memberi yang terbaik penting sekali dan ini yang harus kita selalu usahakan, makin kita tahu bahwa kita telah memberi yang terbaik kepada pasangan, kita akan lebih rela melepaskan pasangan.
ND : Selain itu, saran apa lagi yang bisa menolong kita rela melepaskan pasangan?
PG : Kedua, kita akan lebih rela melepaskan pasangan apabila kita sudah menolong pasangan bertumbuh menjadi diri yang terbaiknya. Singkat kata, kita akan lebih rela melepaskan pasangan bila kita tahu bahwa kita telah berandil di dalam pertumbuhan dirinya untuk menjadi pribadi yang matang, pribadi yang terpenuhi. Sebaliknya kita akan terus dirundung rasa bersalah dan penyesalan jika kita telah menyengsarakan pasangan semasa hidupnya. Bukan saja kita tidak mendorongnya, memungkinkannya untuk menjadi dirinya yang terbaik karena kita senantiasa menghalanginya, kita juga mungkin menghancurkannya. Makin banyak perbuatan kita yang menghalangi pasangan bertumbuh atau justru menghancurkan pasangan semasa hidupnya, makin besar rasa penyesalan. Makin sulit kita berkata, "Selamat tinggal" kepada pasangan kita. Kadang kita menghalangi pasangan menjadi diri yang terbaiknya atau meraih impiannya karena keegoisan kita. Kita tidak memikirkan pasangan, kita hanya memikirkan diri kita, kita hanya memikirkan interes kita, impian kita, kita mau menjadikan semua itu kenyataan dan kita tidak memikirkan apa itu yang sebetulnya didambakan oleh pasangan kita. Pernikahan mengharuskan kita untuk tenggang rasa dan juga saling dukung, saling dorong, saling bantu sehingga masing-masing bisa menjadi diri yang terbaiknya. Bisa merealisasikan impian masing-masing, bukan impian kita saja. Makin kita sadar bahwa kita sudah memikirkan kepentingan pasangan, kita sudah berusaha memberi dia kesempatan meraih impiannya, kita rela mengorbankan diri supaya dia bisa merealisasikan apa yang menjadi aspirasi dalam hidupnya. Makin kita lebih bisa berkata, "Selamat tinggal" kepada pasangan karena sekali lagi kita tahu kita telah menolongnya menjadi dirinya yang terbaik, sekaligus kita juga telah memberi dia kesempatan untuk menjadi diri yang terbaik sehingga dia sendiri juga bahagia dengan hidupnya karena dia sudah menjadi diri yang terbaiknya itu. Makin kita menolong pasangan, mengalah, mengorbankan diri, memberi pasangan kesempatan menjadi diri yang terbaiknya, makin kita rela untuk melepaskannya pada waktu dia harus meninggalkan kita.
ND : Kesiapan kita untuk melepaskan pasangan ini tentunya perlu diiringi juga oleh kesiapan dari pihak pasangan kita juga.
PG : Hal yang ketiga yang dapat kita lakukan untuk bisa lebih rela melepaskan pasangan adalah kita tahu bahwa dia sudah rela dan siap untuk pergi. Singkat kata, kita akan lebih sulit melepaskannya jika kita tahu bahwa sesungguhnya dia belum siap untuk pergi. Misalkan kita mendengar betapa dia ingin sembuh, dia tidak ingin meninggalkan dunia. Kita tahu bahwa sesungguhnya dia belum siap untuk pergi. Nah, ini memberikan kepada kita kepedihan di hati. Kita ini rasanya sedih melihat atau mendengar dia berkata bahwa dia sebetulnya masih ingin sembuh, dia belum mau meninggalkan dunia ini, dia berat meninggalkan kita. Kita juga rasanya sedih, kita akhirnya sulit merelakan dia pergi. Jadi akhirnya kita terbeban di hati. Ini sudah tentu kalau ini yang terjadi kita tidak bisa berbuat banyak kalau orang memang tidak siap, ya tidak siap. Kita hanya bisa mungkin mengingatkan dia untuk menyerahkan hidupnya kepada Tuhan dan menyerahkan hidup orang-orang yang dikasihinya kepada Tuhan. Jika Tuhan sudah memelihara hidupnya, Tuhan akan memelihara hidup orang-orang yang dikasihinya. Kita bisa mengingatkannya bahwa ia hidup tidak bergantung pada kita, tapi pada Tuhan. Kita bisa mengatakan semua itu kepada pasangan supaya ia lebih siap untuk meninggalkan dunia ini dan memercayakan orang-orang yang dikasihinya kepada Tuhan. Mungkin kita juga harus menolongnya untuk ia berdamai dengan hal-hal yang tidak dapat dia nikmati. Mungkin ia berkata, "Saya ingin bisa menikahkan anak saya, saya ingin bisa melihat anak saya bersanding di pelaminan, saya ingin bisa menggendong cucu saya" atau apa. Nah, kita mungkin dapat menolongnya berdamai dengan kenyataan dia mungkin tidak akan dapat melihat dan berpartisipasi dalam hal-hal yang dia impikan itu. Sudah tentu memang tidak mudah untuk berkata, "Saya tidak akan bisa berkesempatan menikahkan anak saya", "Saya tidak akan bisa menggendong cucu saya" atau yang lain-lainnya, tidak mudah, tidak mudah itu tapi kita juga harus berkata bahwa "Tuhan, saya bersyukur akan hal-hal yang Tuhan sudah ijinkan saya nikmati selama ini". Jadi kita bisa mengingatkan pasangan yang masih belum begitu rela untuk meninggalkan hidup ini, untuk mengingat kebaikan Tuhan di dalam hidupnya, untuk mensyukuri hal-hal yang sudah Tuhan berikan kepadanya sampai hari ini. Kalau pun akan ada hal-hal yang tidak bisa dinikmatinya, atau dilakukannya semeninggalnya dia, katakan kepadanya bahwa "Biarkan, relakan" sebab kita sudah menerima banyak dari Tuhan, kita sudah menikmati banyak dari Tuhan. Kita patut mensyukuri apa yang sudah kita terima itu. Kalau kita sendiri yang memang menghadapi kematian atau sakit penyakit yang berat, kita memang juga harus berdamai dengan hal-hal yang tidak bisa kita nikmati atau tidak bisa berbagian lagi. Kita harus juga mengingatkan diri kita bahwa saya bersyukur akan apa yang Tuhan sudah berikan. Saya tidak mau melihat ke depan, saya mau mensyukuri apa yang Tuhan sudah lakukan dalam hidup saya selama ini. Makin kita bisa mensyukuri apa yang Tuhan sudah perbuat dalam hidup kita selama ini, makin kita dapat berkata, "Saya siap, Tuhan. Saya siap". Nah, ini yang kita bisa tekankan kepada pasangan atau kepada diri kita sewaktu kita menghadapi kematian. Dan sudah tentu kita bisa juga mengingatkan pasangan atau diri kita, bahwa kita bukannya meninggalkan hidup dan masuk ke dalam kehidupan yang lebih buruk. Tidak, kita akan meninggalkan hidup tapi kita akan masuk kedalam kehidupan yang lebih indah. Apa pun yang indah yang sudah kita nikmati selama ini bersama dengan Tuhan, nanti waktu kita meninggal dunia dan bersama-Nya di sorga kita akan dapat menikmatinya tapi dengan justru intensitas yang lebih indah lagi. Hidup bersama dengan Tuhan di dunia ini indah, hidup bersama Tuhan di sorga akan lebih indah lagi. Ingatkan pasangan bahwa bersama dengan Tuhan di dunia sudah begitu indah, apalagi bersama dengan Tuhan di sorga akan jauh lebih indah lagi.
ND : Hidup bersama Tuhan di dunia ini tentu indah apalagi kehidupan di sorga nanti. Saran lainnya yang Pak Paul bisa berikan agar kita rela melepaskan pasangan?
PG : Yang keempat atau yang terakhir, kita akan lebih rela melepaskan pasangan apabila kita percaya dan menerima bahwa kematian pasangan berada di dalam rencana Tuhan. Bukan berada di luar rencana Tuhan kadang kita sulit menerima karena kita beranggapan bahwa tidak seharusnya pasangan meninggal dunia. Dengan kata lain, kita menyimpulkan bahwa kematiannya seolah-olah berada di luar rencana Tuhan. Tidak, firman Tuhan menjelaskan di Ayub 1:21, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah Nama Tuhan". Tuhan memberi kehidupan kepada kita, Tuhan nanti yang akan mengambil kehidupan itu dari kita. Kita diminta Tuhan memuji Tuhan bukan saja sewaktu kita menerima hidup, kita diminta Tuhan memuji Tuhan sewaktu kita harus melepaskan hidup itu karena Dia akan mengambilnya dan kita juga mesti berkata kepada Tuhan, "Tuhan, saya pun tetap akan memuji Tuhan, saya pun tetap akan bersyukur kepada Tuhan karena Engkau mengambil pasangan saya dariku". Kita hanya dapat mengatakan begitu kepada Tuhan kalau kita bisa berkata kematian pasangan kita ada dalam rencana Tuhan, bukan di luar rencana Tuhan. Memang kalau kita hanya melihat situasi seputar perginya pasangan kita, kita akan sulit untuk bisa berkata, "Ini ada dalam rencana Tuhan". Misalnya pasangan kita meninggal karena kecelakaan, akan sulit buat kita berkata, "Ini dalam rencana Tuhan" sebab kita mengkategorikan kecelakaan sebagai cara untuk kita meninggalkan dunia yang tidak begitu baik, tidak begitu dapat kita terima. Kita mungkin lebih dapat menerima kalau pasangan kita sudah berusia lanjut kemudian menderita sakit di hari tua dan akhirnya meninggal dunia, itu cara yang lebih normatif, yang lebih dapat kita terima karena lebih lazim tapi kita mesti menyadari Tuhan memanggil kita pulang ke rumah-Nya dengan pelbagai cara, bukan saja dengan cara kita meninggalkan dunia ini di hari tua dan setelah melewati sakit. Kita mesti menerima kenyataan Tuhan memanggil kita pulang ke rumah-Nya kadang dengan cara yang tidak lazim, tapi itu tidak berarti kepergiannya berada di luar rencana Tuhan. Tidak berarti demikian, cara tidak penting, cara bisa berbeda-beda, yang sama adalah kepergian pasangan kita berada dalam rencana dan kehendak Tuhan. Nah, saudara kalau kita bisa meyakini ini bahwa pasangan kita pergi dalam rencana dan kehendak Tuhan, kita akan lebih dapat merelakan kepergiannya. Nah, satu bagian yang penting juga yang berkaitan dengan hal ini adalah kita juga mesti berkata bahwa kesendirian kita ditinggal oleh pasangan juga berada dalam rencana Tuhan. Satu hal untuk kita berkata kepergian pasangan berada dalam rencana Tuhan, hal yang lain kita berkata, "Kesendirian saya atau penderitaan saya akibat ditinggal pasangan juga berada dalam kehendak dan rencana Tuhan". Saya mengerti ini tidak mudah, tidak mudah, jarang saya mendengar orang berkata bahwa hidup saya setelah ditinggal pasangan makin membaik. Saya kira itu kalau pun terjadi tidak terlalu sering. Bila kita menikmati kehidupan yang indah bersama pasangan, ditinggal oleh pasangan akan membuat kita susah. Itu sebab penting bagi kita untuk dengan iman berkata, "Tuhan jika Engkau mengambil pasanganku dalam kehendak dan rencanamu itu berarti kesendirian saya sekarang, kesusahan saya sekarang karena hidup sendiri tanpa pasangan juga berada dalam rencana dan kehendak Tuhan". Jadi kita mesti menerima kehendak dan rencana Tuhan dalam hidup kita secara utuh, baik kepergian pasangan maupun kesendirian kita akibat ditinggal pasangan. Sebagai penutup, saya akan bacakan Yakobus 1:27, "Ibadah yang murni dan tak bercacat di hadapan Allah Bapa kita ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia". Kita pasti akan ditinggal pasangan, tapi kita tidak akan ditinggal Tuhan. Oleh sebab itu dari firman Tuhan tadi kita baca kita bisa melihat mata Tuhan tertuju pada orang-orang yang ditinggal, kepada yatim piatu, kepada janda-janda, mata Tuhan terus tertuju pada kita yang ditinggal. Tuhan tidak meninggalkan kita meskipun kita sudah ditinggal oleh pasangan kita. Biar ini menjadi kekuatan kita melewati masa yang tidak mudah setelah ditinggal oleh orang yang kita kasihi.
ND : Terima kasih, Pak Paul. Para pendengar sekalian, Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi telah menyampaikan empat saran yang dapat kita lakukan dalam upaya kita merelakan kepergian pasangan. Pertama, kita perlu memberikan hal-hal terbaik bagi pasangan meskipun apa yang kita berikan itu tidak sempurna karena kita pun manusia yang terbatas. Kedua, kita diingatkan untuk menolong pasangan bertumpu menjadi dirinya yang terbaik, kita belajar memikirkan kepentingannya. Ketiga, kita akan lebih rela melepas pasangan jika ia sendiri telah siap untuk pulang ke Rumah Bapa di surga, kita berdoa bagi pasangan dan mengingatkan dia untuk menyerahkan hidup dan dirinya pada Tuhan, yang terakhir kita akan lebih rela jika kita percaya bahwa apapun yang terjadi dalam hidup kita ini ada dalam rencana dan kehendak Tuhan. Kami berharap acara hari ini jadi berkat bagi pendengar sekalian. Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.