Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Memelihara Karakter". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND : Pak Paul, ada sebuah guyonan atau sindiran bahwa di Indonesia ini kita bisa membangun sesuatu tapi sulit untuk merawat. Hari ini kita berbicara tentang memelihara karakter. Apakah ini berarti tatkala seseorang sudah memiliki karakter yang baik, kebaikannya ini bisa hilang jika tidak dijaga?
PG : Sama seperti hal lainnya, Pak Necholas, karakter bukan saja perlu dibangun, karakter pun perlu dipelihara. Tanpa pemeliharaan, karakter akan berkarat dan akhirnya rusak. Kita sudah melihat begitu banyak contoh orang yang tadinya berkarakter baik akhirnya berubah menjadi buruk. Itu pertanda orang tersebut tidak memelihara karakternya. Nah, sewaktu karakter rusak, rusak pulalah segalanya sebagaimana dikatakan oleh Pdt. Billy Graham sewaktu kekayaan hilang tidak ada sesuatu pun yang hilang, sewaktu kesehatan hilang ada sesuatu yang hilang, sewaktu karakter hilang segala sesuatu pun hilang. Dalam bahasa Inggris kutipannya adalah "When wealth is lost nothing is lost, when health is lost something is lost, when character is lost everything is lost".
ND : Kutipan dari Pdt. Billy Graham ini sangat menginspirasi. Pada umumnya manusia menganggap, hal terutama dalam hidupnya adalah kesehatan. Disini karakter ditempatkan di atas kesehatan, jika karakter begitu krusial dalam hidup seseorang bagaimana kita bisa memelihara karakter-karakter baik yang telah kita bangun?
PG : Pertama memelihara karakter dimulai dengan kesadaran bahwa kita belum tiba di tempat tujuan. Maksud saya kita harus selalu mengingatkan diri bahwa Tuhan masih belum selesai dengan diri kita dan bahwa selama kita hidup kita masih harus bertumbuh. Ibarat bangunan kita adalah proyek Tuhan yang belum selesai, kita masih lebih dapat mengasihi, kita masih lebih dapat murah hati. Kita masih lebih dapat berani mengakui kesalahan dan sebagainya. Nah, kesadaran ini penting sebab begitu kita beranggapan bahwa kita sudah baik, tinggal masalah waktu sebelum kita akhirnya mulai merosot turun ke bawah. Tuhan tahu hal itu sebab itulah Ia senantiasa menghadirkan situasi demi situasi untuk mengingatkan bahwa kita belumlah seperti yang Ia kehendaki dan bahwa kita tidak sebaik yang kita pikir. Dari pihak kita seyogyanyalah kita memelihara kepekaan sehingga kita dapat membaca dan mendengar bisikan Tuhan.
ND : Lalu bagaimana, Pak Paul, orang yang sudah punya karakter baik ini bisa peka bahwa dia masih harus bertumbuh?
PG : Untuk tetap peka, penting bagi kita untuk memelihara hubungan yang erat dengan Tuhan, Pak Necholas dan itu diperoleh lewat pembacaan dan perenungan Firman-Nya dan ketaatan pada pimpinan-Nya. Kita harus menjaga disiplin untuk tidak berhenti membaca dan merenungkan firman Tuhan, sebab Tuhan berbicara melalui firman-Nya. Sewaktu kita merenungkan firman Tuhan, di saat itulah Roh Kudus membisikkan ke hati kita hal-hal apa yang dikehendaki-Nya dan makin kita menaati suara-Nya, makin peka dan jelas kita mendengar suara-Nya berbicara ke sanubari kita. Firman Tuhan di Filipi 3:12-14 mengingatkan, "Bukan seolah-olah Aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkah aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus. Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang dihadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus". Tuhan belum selesai, Ia masih terus memahat karakter kita, maka kita pun tidak boleh menganggap diri cukup baik, selalu ada ruang untuk kita bertumbuh.
ND : Jadi kita tidak boleh cepat puas dengan apa yang telah kita capai dan sepatutnya terus mendorong diri untuk bertumbuh. Apakah ada aspek lain yang perlu kita awasi dalam upaya kita memelihara karakter ini ?
PG : Untuk memelihara karakter, kita mesti memfokuskan perhatian pada apa yang tidak seharusnya dan bukan hanya pada yang seharusnya. Maksud saya, bukan saja kita memfokuskan pada membangun dan memelihara apa yang baik, kita pun perlu memfokuskan pada apa yang tidak baik, yang ada pada diri kita. Mohandas Gandhi berkata, "Tidak seorang pun tanpa salah, bahkan orang-orang yang paling rohani sekalipun mereka menjadi orang yang rohani bukan karena mereka tanpa salah melainkan karena mereka menyadari kesalahan mereka, mereka berusaha melawannya, mereka tidak menyembunyikannya dan senantiasa siap untuk memerbaikinya". Dalam bahasa Inggrisnya, "There is no one without faults not even men of God. There are men of God not because there are faultless but because they know their faults they strive against them, they do not hide them and ever ready to correct themselves". Dengan kata lain, kita memelihara karakter dengan cara terus memerhatikan kelemahan diri dan bukan dengan memerhatikan kekuatan kita. Sewaktu kita mengabaikan kelemahan diri itulah saat dimana kita mulai lengah dan membuka diri terhadap kejatuhan. Kita memelihara karakter bukan saja dengan cara membangun karakter yang baik, tapi juga dengan cara mengikis karakter yang tidak baik. Itu sebab kita tidak boleh mengabaikannya. Nah, pada umumnya kita tidak mau memerhatikan kelemahan diri sebab kita tidak suka melihat kelemahan diri kita. Kelemahan diri mengingatkan kita akan diri yang tidak kita sukai, akan masa dalam hidup ini dimana kita terpuruk dan akan perlakuan orang terhadap kita yang tidak baik karena kelemahan diri ini. Memang tidak menyenangkan mengingat kelemahan dan kegagalan tapi itu perlu. Melupakan kelemahan sama dengan menyambut kejatuhan. Firman Tuhan di I Korintus 10:12 mengingatkan, "Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!"
ND : Boleh dikatakan pada saat karakter kita tampak menawan, kelihatan sangat baik, justru kita mudah melupakan bahaya dan oleh karena itu kita senantiasa diingatkan akan ancaman dosa dan kelemahan kita.
PG : Berkali-kali Tuhan Allah lewat hamba-Nya Musa mengingatkan Israel untuk tidak berdosa. Salah satu caranya adalah mengingatkan mereka akan kelemahan mereka dan akan masa dimana mereka jatuh berulangkali ke dalam dosa. Pada akhirnya sebelum Musa meninggalkan mereka, sekali lagi Musa mengingatkan mereka akan masa kelam dan masa dimana mereka terpuruk sebagaimana dicatat di kitab Ulangan, salah satunya adalah Ulangan 9:7, "Ingatlah, janganlah lupa, bahwa engkau sudah membuat TUHAN, Allahmu, gusar di padang gurun. Sejak engkau keluar dari tanah Mesir sampai kamu tiba di tempat ini, kamu menentang Tuhan". Tuhan ingin kita mengingat kelemahan kita, bukan untuk membuat kita dirundung rasa bersalah dan terus terpuruk didalam lubang kelemahan, bukan ! Tuhan ingin kita mengingat kelemahan kita supaya terus berjaga-jaga dan tidak lengah, Tuhan tidak mau kita jatuh kembali. Ia terlalu sayang kepada kita untuk melihat kita jatuh ke dalam dosa. Tuhan tahu betapa merusakkannya dampak dosa dalam kehidupan kita.
ND : Saya lihat disini ada keseimbangan, di satu sisi memacu diri membangun karakter-karakter yang baik, di sisi lain tidak lengah dalam mengawasi kelemahan-kelemahan diri agar tidak jatuh. Pak Paul, apakah ini juga ada peran dari lingkungan sosial tempat kita beraktifitas sehari-hari ?
PG : Ada ya, Pak Necholas, kita memelihara karakter dengan cara menjaganya dari pengaruh yang buruk. Firman Tuhan di I Korintus 15:33 mengingatkan, "Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik". Nah, kata kebiasaan disini dapat juga diterjemahkan karakter. Jadi ayat ini dapat juga diterjemahkan, pergaulan yang buruk merusakkan karakter yang baik, saya kira semua bisa mengamini peringatan ini. Betapa seringnya kita terpengaruh oleh pergaulan yang berakhlak tidak baik. Namun selain pergaulan, kita pun perlu mawas diri terhadap pengaruh pengalaman hidup. Ada kalanya kita mesti mengalami sesuatu yang buruk, misalkan kita dipecat dari pekerjaan secara tidak adil, nah jika tidak berhati-hati pengalaman demi pengalaman tidak menyenangkan dapat menanamkan benih kepahitan dalam diri kita. Akhirnya kepahitan ini menguasai dan mewarnai pandangan kita terhadap hidup dan orang. Misalkan, tadinya kita melihat orang sebagai orang yang layak dipercaya, sekarang tidak lagi. Kalau dulu kita mudah percaya, sekarang kita cepat mencurigai maksud baik orang. Bila dulu kita sigap menolong sesama, sekarang kita tidak mau menolong sama sekali. Jika dulu sabar dan pengampun. Sekarang pemarah dan pendendam.
ND : Mengenai kepahitan hidup ini mungkin Pak Paul ada kisah dua orang yang sama-sama mengalami sebuah peristiwa tidak menyenangkan dalam hidup mereka kemudian yang satu menjadi getir hatinya namun yang satu mampu keluar dari kepedihannya dan malah bertumbuh lebih tinggi lagi.
PG : Kisah di Alkitab yang mencerminkan apa yang dikatakan oleh Pak Necholas adalah kisah kehidupan Yusuf. Seharusnya Yusuf itu menjadi seorang yang penuh dengan kepahitan dan kebencian dalam hidupnya sebab ia diperlakukan dengan sangat tidak adil dan tidak baik oleh saudara-saudaranya. Ia ditangkap, dibuang ke sumur. Belakangan dijual sebagai seorang budak kemudian dijual lagi kepada seorang Mesir akhirnya difitnah, dijebloskan ke penjara. Waktu dia berhasil menolong orang yang sama-sama ditangkap dengannya dan minta orang itu untuk mengingat bahwa dia itu tidak bersalah. Orang itu lupa setelah keluar dari penjara. Jadi Yusuf selama bertahun-tahun harus menunggu dan menunggu tapi tidak pernah memperolehnya. Dia tidak pernah dibebaskan, dia tidak pernah akhirnya dibuktikan tidak bersalah. Namun ternyata rangkaian yang tidak menyenangkan itu adalah pimpinan Tuhan dalam hidupnya. Akhirnya kita tahu dia bisa mengartikan mimpi Firaun dan diangkat menjadi tangan kanan Firaun dan saudara-saudaranya datang. Nah, untuk mempersingkat cerita, mereka akhirnya pindah ke Mesir mendapatkan pertolongan dari Yusuf. Waktu ayah mereka meninggal dunia mereka ketakutan, mereka bertanya, mereka minta kepada Yusuf agar jangan membalas dendam tapi Yusuf berkata, "Apakah aku di tempat Tuhan? Di posisi Tuhan? Tidak. Dia berkata, "Kamu memang mereka-rekakannya untuk yang jahat tapi Tuhan mereka-rekakannya untuk yang baik". Dengan kata lain, Yusuf melihat pimpinan Tuhan lewat semua ketidakadilan dan hal-hal yang buruk yang menimpanya itu. Jadi kalau kita mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hidup, memang kita harus menengadah melihat semuanya dari kaca mata Tuhan. Dari kaca mata Tuhanlah kita bisa berkata, "Ternyata semua ini adalah pimpinan Tuhan untuk membawa kita masuk ke dalam kehendak-Nya". Kalau kita tidak dapat melihatnya dari lensa Tuhan, kita akan diisi dengan kebencian, kita akan diisi dengan kepahitan. Akhirnya kita bukannya berterima kasih kepada Tuhan, kita malah tidak mensyukuri. Bukannya kita baik kepada manusia, kita jahat. Salah satu contoh di Alkitab orang seperti itu adalah Raja Saul. Dia tidak mengingat Tuhan berbuat baik kepadanya, dia tidak ingat Daud menantunya adalah orang yang setia kepadanya, tapi dia hanya melihat yang buruk-buruk. Dia tidak bisa bersyukur, maka akhirnya hatinya penuh dengan kedengkian. Dia selalu berusaha untuk menghilangkan nyawa Daud, dia tidak mengingat apa yang Daud telah lakukan baginya. Dia tidak mau melepaskan takhtanya meskipun dia tahu itu adalah pemberian Tuhan. Sampai akhir hayatnya, raja Saul menjadi raja yang penuh dengan kebencian, kepahitan. Nah, kita tidak mau menjadi seperti raja Saul, kita mau menjadi seperti raja Daud dan juga kisah yang tadi itu adalah seperti Yusuf.
ND : Teladan dari Yusuf ini begitu luar biasa, ya. Boleh dikatakan Yusuf berada dalam lingkungan yang tidak kondusif dan pengalaman hidupnya begitu pahit. Tadi Pak Paul katakan bahwa keyakinan Tuhan berada di balik semua peristiwa itu, membuat Yusuf mampu bertahan.
PG : Betul. Jadi pada saat itu sebetulnya masa penentuan bagi Yusuf, kalau Yusuf tidak berhasil melihat masalah hidupnya, ketidakadilan, pengalaman buruk yang menimpanya dari lensa Tuhan, dia akan berubah menjadi seorang yang penuh dengan kepahitan dan kebencian dan menjadi orang yang sangat negatif. Nah, dengan kata lain, peristiwa-peristiwa yang dialaminya berpotensi sangat besar mengubahnya, membuat karakternya menjadi sangat sangat buruk. Tapi karena dia melihatnya dari lensa Tuhan, bukan saja karakternya tidak menjadi buruk, malahan karakternya menjadi baik. Dia tidak membalas saudara-saudaranya, dia mengampuni mereka, dia mengundang mereka datang untuk tinggal bersamanya. Jadi benar-benar dia membalas kejahatan dengan kebaikan. Nah, itu pertanda karakter Yusuf bukan saja sama, karakter Yusuf malahan bertumbuh menjadi begitu indah.
ND : Untuk memelihara karakter ini, tadi Pak Paul mengangkat bahwa kita juga harus memerhatikan kelemahan diri kita. Dalam pribadi Yusuf apakah dia juga berusaha mengatasi kelemahan yang ada dalam dirinya? Kalau ada apa itu yang dia berusaha perjuangkan untuk dia bisa lepas dari itu?
PG : Kita memang tidak tahu dengan pasti ya, Pak Necholas, tapi kita bisa menduga, yaitu Yusuf memang karena diperlakukan begitu istimewa oleh ayahnya, akhirnya ia sedikit angkuh, sedikit mementingkan diri meskipun ia adalah seorang pemuda yang sangat sangat bertanggungjawab. Kita melihat dia bertanggungjawab misalkan waktu ayahnya menyuruh dia mengantarkan persediaan makanan kepada saudara-saudaranya, nah waktu dia sampai disana, saudara-saudaranya sudah pergi ke kota yang lain. Dia bisa pulang karena berkata, mereka sudah pergi. Pasti Yakub juga akan mengerti, tapi dia tidak pulang. Dia bertanya kemana mereka pergi kemudian Yusuf menyusul. Dia memberikan persediaan makanan itu kepada saudara-saudaranya. Dengan kata lain, dia bertanggungjawab. Ini karakternya yang baik, dari kecil anak ini anak yang bertanggungjawab memikirkan saudara-saudaranya, mau melakukan tanggungjawab dengan sebaik-baiknya. Tapi juga saya duga ada sedikit kesombongan, waktu dia bermimpi seolah-olah semuanya itu akan menyembah dia. Itu yang dia sampaikan kepada semua, baik itu ayahnya maupun saudara-saudaranya. Nah, mungkin kalau kita dalam posisi Yusuf, kita tahu kakak-kakak kita tidak senang dengan kita karena kita diperlakukan dengan istimewa oleh ayah kita, ya kita lebih berhati-hatilah. Jangan bicara, cerita mimpi-mimpi yang menambah kemarahan kakak kita kepada kita. Tapi Yusuf seolah-olah tidak pusing, ya tidak apa-apa, saya ceritakan, mau terima bagus, tidak mau terima ya tidak apa-apa. Saya duga, waktu Yusuf bercerita, dia sebetulnya sedikit banyak tahu mimpi itu adalah tentang dirinya, yang akan menjadi penguasa yang akan dihormati dan mereka semuanya akan tunduk kepada dia. Tapi sekali lagi kalau kita jadi Yusuf, besar kemungkinan kita akan berpikir, ya janganlah cerita-cerita kalau pun ini akan menjadi kenyataan, ya sudah kita simpan sendiri saja, tapi Yusuf perlu menceritakan kepada semua saudaranya. Kalau saya boleh menduga saya akan berkata mungkin itulah kelemahan Yusuf, dia sedikit angkuh. Lewat pengalaman hidupnya yang begitu buruk, dia benar-benar akhirnya direndahkan serendah-rendahnya, sebagai seorang budak, dia adalah orang yang berdiri di posisi paling rendah dalam masyarakat pada saat itu. Apalagi di Mesir, dia adalah orang Ibrani, berarti dia berada di negara adijaya untuk saat itu dan dia adalah bangsa yang saat itu tidak ada apa-apanya. Dia benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Mungkin sekali itu jugalah yang membawa dia lebih dekat kepada Tuhan dan membuatnya terus melihat apa yang menimpa dalam hidupnya dari lensa Tuhan.
ND : Kalau belajar dari Yusuf yang semula memiliki kelemahan, dia malah dibentuk melalui kesulitan-kesulitan yang dia alami didalam hidupnya. Bagaimana dengan Saul yang sebetulnya situasi hidupnya cukup nyaman karena dia berada di antara bangsanya sendiri. Mengapa ia bisa mengembangkan suatu sikap yang begitu negatif dan semakin menurun dan akhirnya dia begitu jauh dari Tuhan?
PG : Saya kira kalau kita mau menarik akarnya, dia memang tidak lagi melihat hidupnya, apa yang menimpa dalam hidupnya dari lensa Tuhan. Dia melihatnya dari lensa matanya sendiri, kepentingannya. Memang awal-awalnya kita tahu Tuhan memberkatinya, Tuhan memberikan kemenangan kepadanya dalam peperangan, sehingga dia yang tadinya dianggap rendah, diremehkan oleh bangsanya akhirnya dihormati sebagai raja. Tapi waktu dia tidak taat kepada Tuhan, harusnya Saul melenyapkan, benar-benar menghukum bangsa Amalek, tapi dia bahkan menyelamatkan nyawa raja Amalek, si Agag itu, akhirnya kita tahu Tuhan marah lewat Samuel. Seharusnya Saul sadar, Saul bertobat. Seharusnya juga ketika Tuhan mulai berkata kepadanya bahwa kerajaannya akan diambil darinya, harusnya dia terima. Dia tahu ini pemberian Tuhan, dia tidak pernah melamar menjadi raja dia tidak pernah misalnya menurunkan raja yang berkuasa, jadi dia tahu ini pemberian Tuhan sepenuhnya, tapi dia tetap tidak rela melepaskannya. Saya kira akarnya adalah dia gagal melihat apa yang terjadi dalam hidupnya dari kaca mata Tuhan.
ND : Baik, sebelum menutup pembicaraan kita mungkin Pak Paul boleh sampaikan kesimpulan dari upaya memelihara karakter ini.
PG : Kita perlu memelihara karakter sebab karakter tidak tumbuh begitu saja dan tidak terus bertahan tanpa usaha untuk menjaganya. Kita mesti melindunginya dari pengaruh yang buruk dan kita pun harus menanam serta menumbuhkannya. Selain itu kita tidak boleh lalai mengikis karakter yang buruk, kita tidak boleh lupa bahwa kita belum selesai, Tuhan masih terus membentuk dan mengasah kita. Mintalah kekuatan dan pertolongan Roh Kudus untuk terus mengubah dan menumbuhkan karakter kita agar terus menghasilkan buah Roh sebagaimana dicatat di Galatia 5:22-23, yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.
ND : Pak Paul, kalau bicara karakter ini apakah karakter seseorang dimulai sudah sejak lahir, apakah itu dibentuk atau terbentuk oleh lingkungannya ?
PG : Sebetulnya campuran dari keduanya, Pak Necholas, sebab kita ini adalah produk orangtua kita jadi tidak bisa tidak akan ada hal-hal yang kita wariskan dari orangtua kita. Namun pada akhirnya juga kita akan berinteraksi dengan pengalaman hidup kita dan pengalaman hidup kita juga nanti akan membentuk kita. Tidak ada orang yang bisa berkata, "Memang karakter orangtua saya buruk, saya mewarisi yang buruk, saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi". Tidak, salah ! Karena kita masih bisa berbuat apa-apa, tidak bisa kita berlindung di baliknya, memang sudah begitu dari dulunya, dari lahirnya, tidak ! Tuhan memberikan pada kita Roh Kudusnya sendiri untuk tinggal dalam kita. Jadi bukan saja Tuhan memimpin dari luar, Dia memimpin dari dalam dan memberi kekuatan dari dalam. Jadi kalau kita mau berubah, Dia bisa memberikan kekuatan pada kita untuk berubah. Kalau kita memunyai kelemahan-kelemahan tertentu, mintalah Tuhan mengubahnya, hadirkan situasi-situasi dimana kita bisa berubah dan saya yakin akhirnya kita berubah.
ND : Baik, terima kasih, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memelihara Karakter". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.