T 211 A
Lengkap
"Kebohongan Dalam Keluarga" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kebohongan Dalam Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, sekarang seseorang itu menganggap bohong sebagai sesuatu yang biasa, yang setiap hari mereka lakukan. Tetapi kalau ini terjadi pada misalnya pasangan suami istri, padahal dalam hubungan suami istri dibutuhkan rasa saling mempercayai; lama-lama kalau salah satu dibohongi terus-menerus bukankah ini bisa menimbulkan masalah?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, saya kira kita ini menjadi manusia yang makin hari tidak peka dengan kebohongan. Karena begitu seringnya terjadi kebohongan sehingga pada akhirnya toleransi kitamakin membesar.
Kita makin membolehkan diri sendiri untuk berbohong dan kita makin banyak membuat perkecualian-perkecualian; mengapa dibenarkan berbohong dalam situasi ini, dalam situasi itu, akhirnya daftar kita itu makin hari makin panjang.
GS : Biasanya yang dijadikan bahan untuk bohong itu apa Pak?
PG : Biasanya kita berbohong itu dengan satu tujuan, yaitu mendapatkan yang kita inginkan. Jadi ada sesuatu yang memang kita mau peroleh, misalkan keamanan, penilaian orang yang positif, anggaan orang yang baik terhadap kita; biasanya itu ada yang kita inginkan.
Kita ingin lepas dari konsekuensi atau dari sanksi maka kita berbohong. Jadi sekali lagi kebohongan biasanya berakar pada kepentingan, sesuatu yang ingin kita dapatkan.
GS : Uniknya makin sering orang berbohong, rasanya makin mahir dia berbohong, Pak Paul?
PG : Makin mahir karena dia makin tahu bagaimanakah caranya berbohong. Dia makin bisa mengerti orang-orang yang seperti ini dapat dibohongi dengan cara seperti ini; orang-orang yang seperti it dapat dibohongi dengan cara seperti itu.
Kalau ini adalah sebuah keluarga, dia memang sudah mengenal pasangannya dengan baik, jadi dia sudah mengerti dimanakah titik kelemahan pasangannya dan bagaimanakah cara membohongi pasangannya. Ini bisa berlaku antara suami-istri atau bisa juga berlaku antara orangtua-anak atau kebalikannya anak terhadap orangtua.
GS : Dan kalau kita di dalam relasi keluarga itu tahu dibohongi, itu akan sangat menyakitkan, dibandingkan kalau kita itu dibohongi oleh orang luar.
PG : Karena dengan pasangan, dengan orangtua, dengan anak, kepada merekalah kita menaruh kepercayaan. Tatkala kepada orang kita menaruh kepercayaan, lalu kita dibohongi, itu benar-benar suatu uka, suatu rasa sakit yang mendalam sekali.
GS : Jadi kalau kita tahu bahwa ada anggota keluarga kita yang membohongi kita, sebaiknya apa yang bisa kita lakukan?
PG : Sekurang-kurangnya ada beberapa hal yang kita akan coba bahas pada kesempatan ini. Pertama adalah tatkala kita menyadari pasangan kita itu kerap berbohong, kita mesti mengintrospeksi dirimelihat diri kita.
Bertanyalah apakah kita berbagian dalam persoalan kebohongan ini. Kenapa saya meminta agar kita mengintrospeksi diri, sebab adakalanya kita melakukan hal-hal yang menjerumuskan pasangan kita untuk berbohong kepada kita. Sudah tentu saya tidak mengatakan bahwa kita bertanggung jawab penuh atas kebohongan pasangan. Apa pun yang kita lakukan tetap pasangan yang berbohong bertanggung jawab terhadap keputusannya untuk berbohong. Namun saya kira langkah pertama kita harus melihat diri sendiri, apakah ada hal-hal yang telah kita lakukan yang membuat pasangan kita akhirnya terjerumus ke dalam kebohongan.
GS : Misalnya hal-hal apa Pak Paul, yang bisa membuat pasangan kita itu terpaksa berbohong?
PG : Salah satu yang paling umum adalah kecenderungan kita membatasi ruang gerak pasangan kita. Misalkan kita melarang dia untuk pergi dengan teman-temannya, baik itu teman-teman yang sejenis tau bukan sejenis; pokoknya kalau pergi dengan teman ramai-ramai, kita tidak mengijinkannya; kalau pergi dengan teman sejenis, sudah tentu pada tempatnya kita melarang.
Tapi ini masalahnya dalam kelompok, kita tidak begitu suka, kita melarangnya. Atau kita tidak suka dia berbicara berlama-lama dengan keluarganya atau mengunjungi keluarganya, membantu keluarganya. Kalau kita memberikan sikap seperti itu kepada pasangan, membatas-batasinya; sikap seperti ini mudah sekali melahirkan kebohongan pada pasangan.
GS : Tapi waktu kita melihat diri kita sendiri, tentu kita mempunyai alasan yang kita anggap benar untuk melakukan hal itu Pak Paul?
PG : Pada dasarnya kita akan berkata pada diri kita, sebab pasangan kita itu tidak tahu batas, sembarangan bergaul jadi kitalah yang turun tangan mengatur dan membatasinya. Supaya dia lebih tau diri jangan sampai berbuat hal-hal yang tidak-tidak.
Atau pada dasarnya kita merasa keluarga pasangan kita itu terlalu dekat dengan pasangan kita, semua urusan dicampuri oleh keluarganya; kita tidak suka maka kita mencoba memisahkan dia dari keluarganya. Atau kita ini cemburu, kita merasa kita harus menjadi yang paling utama, paling spesial dalam hidup pasangan kita. Sudah tentu benar kita harus yang utama dalam hidup pasangan kita, namun kita juga harus mengerti bahwa meskipun kita yang utama tidak berarti pasangan kita tidak boleh menjalin relasi dengan orang lain terutama dengan keluarganya sendiri. Kita tidak bisa terima, kita membatas-batasi karena kita cemburu. Pada dasarnya kita tidak rela berbagi dia dengan keluarganya atau dia dengan pelayanannya di gereja. Jadi kita benar-benar posesif sekali, membatasi semua ruang geraknya. Nah pada waktu dia pulang, kita akan tanya, kita akan korek informasi darinya kemana dia pergi dan sebagainya. Pada akhirnya yang terjadi adalah dia merasa makin hari makin terdesak, terdesak dan terdesak. Kadang-kadang mungkin dia harus ke rumah keluarganya, tapi dia tahu kalau kita cerita dia akan marah, mulailah dia menyembunyikan perbuatannya. Dan akhirnya pada waktu ditanya, dia mengatakan hal yang berlainan, dengan kata lain mulailah dia berbohong.
GS : Jadi selama kita masih punya alasan kenapa kita malarang dia dan sebagainya, dan kita membenarkan diri kita, kita tidak bisa berbohong terhadap diri kita, Pak Paul?
PG : Betul, jadi alasan itulah nantinya yang memang harus kita dengan kritis melihatnya. Kita sudah tentu akan merasa diri benar, bahwa sudah semestinya saya bersikap seperti ini, itulah biasaya yang kita katakan kepada diri sendiri.
Yang diperlukan adalah keberanian, kerelaan untuk bertanya misalkan dengan teman-teman kita. "Kalau saya berbuat seperti ini, menurut kamu apakah saya sedikit keterlaluan?" Jangan bertanya dengan orang yang pasti akan menyetujui semua yang akan kita lakukan, bertanyalah dengan seseorang yang matang, yang dewasa, dan mintalah pendapatnya. Mungkin dari beberapa orang bukan hanya dari satu orang, sehingga kita menerima masukan apakah perilaku kita itu berlebihan atau tidak. Susah buat kita menerima perilaku kita berlebihan, kita memang mau melihat diri kita itu baik, sempurna, susah untuk akhirnya kita mengakui, "Ya, memang kita yang berlebihan." Tapi kalau memang itulah yang dikatakan oleh orang-orang di sekitar kita, bahwa kita berlebihan; terimalah, akuilah dan cobalah ubah. Kita mungkin harus mengendorkan tuntutan kita, pembatasan kita yang berlebihan itu.
GS : Andai kata kita menanyakan langsung kepada pasangan kita yang membohongi kita, alasannya dia berbohong; kira-kira dia menyebutkan alasan yang sebenarnya atau tidak?
PG : Kalau akhirnya kita berbicara dengan dia dengan bukti bahwa dia memang telah berbohong, dia akan mengemukakan alasan yang sebenarnya. Dan biasanya alasan yang akan dia katakan adalah "sebb saya tahu, kalau saya katakan yang sebenarnya yang terjadi adalah seperti hari ini, yaitu engkau marah.
Saya tidak mau menyebabkan pertengkaran dalam rumah tangga, maka saya mencoba untuk menghindar, Tapi karena kamu bertanya-tanya terus ya harus saya jawab, jadi saya jawab dengan kebohongan. Tapi kenapa saya harus berbohong, ya karena memang menurut saya tindakanmu, tuntutanmu itu tidak lagi pada tempatnya. Tapi kamu tidak bisa diberitahukan; kalau saya ngomong baik-baik, saya beritahukan baik-baik, kamu terus marah, bertengkar dengan saya, tidak mau menerima, mengatai saya tidak peka, tidak mempedulikanmu, tidak mengasihimu dan sebagainya. Tapi saya 'kan harus tetap berhubungan dengan keluarga saya ini, bagaimanakah mungkin saya terus memutuskan hubungan dengan mereka. Meskipun saya tahu kamu tidak suka dengan keluarga saya, keluarga saya adalah tetap keluarga saya, akhirnya saya terpaksa berbohong." Kira-kira itulah jawaban yang akan diberikan pasangan kita waktu kita mengkonfrontasinya.
GS : Ya, itu kalau dia berani, kalau dia tidak berani dia akan lebih membohongi kita lagi Pak Paul?
PG : Ya, kalau dia tidak berani, dia akan lebih membohongi kita lagi. Makanya dari pihak kita kalau kita sadar, "Ya, memang saya ini berlebihan." Kita mesti mengaku kepada dia seperti ini, "Sya mempunyai masalah, masalahnya bukan pada kamu tapi pada diri saya.
Saya memang takut sekali kehilanganmu, saya takut kamu nanti semakin hari semakin berat kepada keluargamu, saya takut sekali kamu nanti makin hari makin melupakan saya." Nah itu ketakutan kita yang membuat kita misalnya membatasinya atau cemburu kepadanya, kita akui. Misalkan kita akhirnya cemburu, akui. Saya akhirnya temukan jarang ada orang yang berani berkata, "Saya cemburu," tapi tindakannya itu merefleksikan kecemburuannya. Namun waktu ditanya, "Kamu cemburu?" "O....tidak, saya tidak cemburu." Jadi sekali lagi kita itu tidak suka melihat diri kita kurang sempurna, tidak seperti yang kita inginkan. Akuilah, kalau kita memang cemburu, katakanlah, "Saya cemburu, nah saya minta bantuanmu. Sekarang saya akui saya mempunyai problem ini tapi saya minta bantuanmu, tolong saya untuk mengatasi hal ini, beri saya waktu juga. Saya mungkin akan tergoncang, tidak suka, mungkin jengkel mendengar kamu ke rumah orangtuamu tapi saya akan coba tutup mulut, saya akan coba tidak berbuat apa-apa. Tapi mohon kamu jujur, daripada kamu diam-diam pergi tidak bilang-bilang ke rumah orangtuamu, tolong kamu jujur apa adanya ngomong dengan saya. Sehingga saya tahu, meskipun saya bereaksi tidak suka atau apa saya akan coba tahan." Ini saya kira lebih baik, daripada pada akhirnya terus-menerus berbohong; yang langsung akan rontok dalam relasi itu adalah kepercayaan. Dan begitu kepercayaan tidak ada lagi runtuhlah pernikahan itu.
GS : Kalau kita sudah mengintrospeksi diri dan ternyata secara jujur kita sudah tanyakan orang-orang, tidak ada yang salah dengan diri kita tetapi pasangan kita berbohong, apa yang bisa kita lakukan?
PG : Kita memang mesti mencoba memahami kenapa dia itu berbohong. Ada orang-orang yang berasal dari latar belakang yang kurang positif, misalkan dia dibesarkan di lingkungan di mana hampir sema temannya, sanak keluarganya, kerabatnya itu berbohong.
Berbohong menjadi begitu umum dilakukan oleh lingkungannya. Bagi anak yang dibesarkan di lingkungan seperti ini, dia akan mengadopsi berbohong itu dengan begitu alamiahnya, sehingga dia kehilangan hati nurani, dia akan mudah sekali berbohong. Nah itulah latar belakangnya yang bisa menjerumuskan kita ke dalam kebohongan. Yang kedua adalah ada sebagian orang yang dibesarkan dalam rumah yang keras sekali, begitu kerasnya sehingga kalau orangtua minta harus dituruti, dituntut apa oleh orangtua harus berikan, kalau tidak sanksinya sangat-sangat dahsyat, dia dipukul dan sebagainya. Nah dua latar belakang ini dengan mudah mengkondisikan orang untuk berbohong. Yang satu dari latar belakang yang sering berbohong, sehingga dia tidak lagi tahu salah benar, terlalu biasa, berbohong sebagai gaya hidup yang umum dan normal. Di contoh yang kedua, latar belakang yang terlalu keras; dia sampai besar, sampai dewasa senantiasa membawa ketakutan dalam dirinya, dia takut kalau-kalau dia berbuat salah nanti ketahuan, ketangkap, bakal kena hukuman. Jadi dengan kata lain dia cenderung melihat hidup itu dan orang di sekitarnya sebagai pengawasnya yang siap untuk menerkamnya, seperti dulu orangtuanya.
GS : Jadi kalau begitu Pak Paul, kalau memang dari kecil dia dikondisikan seperti itu, bukankah dia tidak merasa bersalah kalau dia berbohong?
PG : Dalam kasus yang pertama ya, jadi lingkungannya berbohong, benar-benar dia tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah; mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Sebab teman-temanya berbohong, orangtuanya berbohong; misalkan datang tukang tagih, orangtuanya langsung berkata kepadanya, "Ke depan, bilang papa dan mama tidak ada."
Berbohong. Ada apa lagi yang terjadi, "bilang tidak ada." Berbohong lagi. Teman-temannya di sekolah juga begitu, terhadap guru juga berbohong, dengan sesama teman juga berbohong. Jadi benar-benar berbohong itu merupakan gaya hidup. Kalau kita dibesarkan di lingkungan seperti itu akhirnya kita tidak tahu ini benar atau salah, ini benar-benar sudah menjadi gaya hidup.
GS : Celakanya bagi pasangan yang tidak terbiasa dengan kebohongan-kebohongan seperti itu; bohong dalam satu hal, yang lain juga dianggap bohong, Pak Paul.
PG : Betul sekali, karena memang akhirnya banyak terjadi kebohongan. Cuma untuk kasus yang pertama ini mungkin masih lebih gampang menghadapinya Pak Gunawan, karena kita bisa mengajaknya mengeal kebenaran; apa yang Tuhan minta, apa yang Tuhan tetapkan, nah dia perlahan-lahan mulai belajar membedakan benar dan salah.
Yang lebih repot memang kasus yang kedua, yaitu kasus di mana seseorang terbiasa dipukul, diberikan hukuman yang berat, karena tuntutan orangtua yang begitu tinggi yang tak dapat dipenuhinya. Anak-anak seperti ini kalau sudah besar, memang dia terus-menerus dihantui oleh ketakutan dan dia selalu diawasi, makanya sering kali berbohong.
GS : Kita sebagai pasangan, sebenarnya bagaimana bisa menolong pasangan kita yang suka berbohong itu?
PG : Yang pertama, kita minta dia untuk bercerita, kenapa akhirnya kamu sering berbohong. Dia mungkin akan cerita, "dulu orangtua saya marah, memukul, menghukum dengan berat kalau saya tidak bsa ini, saya gagal itu.
Jadi akhirnya saya memang sering berbohong supaya tidak kena hukuman." Terus kita meminta dia melihat fakta dalam relasi kita, apakah pernah atau sering kita marah kepadanya, kalau ia gagal melakukan sesuatu. Apakah kita mengawas-awasinya, jadi mintalah dia memberikan masukan. Misalkan dia bilang, "Adakalanya kamu begitu, sama saya, marah." "OK, coba berikan saya contoh." Jadi kita juga mau introspeksi, kita tidak langsung menyalahkannya, kita mau melihat diri kita juga. Kalau memang kita pernah marah, "OK, bisa nggak kamu mengerti kenapa saya marah," kita jelaskan, "Sebab memang saya sudah tanya, saya sudah minta, kamu berkali-kali bilang ya, tetapi kamu tidak lakukan, akhirnya saya marah. Tolong perhatikan bukan hanya dari sisi kamu, tapi dari sisi saya juga kenapa saya bisa marah." Nah setelah itu kita ungkapkan, dia juga ungkapkan kemudian kita minta dia untuk mulai melihat kita sebagai kita, diri yang terpisah dari keluarganya atau orangtuanya. Yakinkanlah dia bahwa kita itu bukan seseorang yang ingin mengejar-ngejar dia dengan sebuah tongkat dan siap untuk memukulnya. Inilah yang terus-menerus kita akan coba ingatkan dia, bahwa kita bukanlah orangtuanya, bukanlah pengawasnya, bukanlah mandornya, jadi tolong perlakukan saya sebagai saya.
GS : Berarti kita menciptakan rasa aman untuk dia, yang sebenarnya dia tidak perlu berbohong, apa pun yang terjadi, Pak Paul?
PG : Tepat sekali, karena memang dia di dalam hatinya tidak ada ketenteraman, dia selalu merasa diawasi dan siap untuk dihukum. Tidak aman sama sekali, kita ingin meyakinkan dia bahwa, "Kamu d sini aman, kami tidak mengejar-ngejar kamu, jadi tolong jangan lihat saya seperti itu.
Dan kalau misalkan kamu tidak setuju dengan apa yang saya minta atau saya katakan, silakan kamu mengutarakan pendapatmu. Saya ingin mendengar kamu juga, bukan hanya kamu mendengarkan saya, tolong kamu juga bicara." Dalam kelanjutannya, kalau kita bicara dengan dia atau apa dia mungkin diam, cenderung menyimpan dan tidak berani bicara, kita yang berinisiatif berkata, "Saya ingin mendengar pendapat kamu, sebetulnya kamu setuju atau tidak." Orang-orang seperti ini tidak terbiasa mengutarakan perbedaannya, sebab dulu kalau dia mengutarakan perbedaannya, habis dipukul orangtuanya. Disangka melawan, kurang ajar dan sebagainya, jadi dia akan ketakutan. Nah kita katakan, "Kamu coba beritahu saya apa pendapatmu saya mau dengarkan." Makin berani dia mengutarakan pendapatnya, ketidaksetujuannya, makin dia merdeka dari ketakutannya. Nah kita sampaikan langsung pujian kita kepadanya, "Saya senang sekali kamu sekarang lebih terbuka kepada saya, berani mengatakan ketidaksetujuan kamu." Makin dipuji, mudah-mudahan dia makin berani mengutarakan dirinya.
GS : Pak Paul, selain kebohongan ini terjadi antara pasangan suami-istri, adakalanya juga orangtua bersekongkol untuk membohongi anaknya. Sebenarnya itu bagaimana?
PG : Contoh-contohnya yang mungkin kadang-kadang terjadi orangtua membohongi anak misalnya orangtua yang pergi, yang sebetulnya mau ke mana tapi bilangnya mau ke mana. Biasanya orangtua itu bia melakukan hal seperti itu, umumnya yang lebih positif karena mereka menganggap si anak tidak perlu tahu, masih kecil.
Dalam kasus seperti itu meskipun bisa menjurus kepada bahaya yang lebih besar, masih bisa kita toleransi. Namun yang saya khawatirkan adalah kalau kita membiasakan diri seperti itu, takutnya nanti terbiasa. Lama-lama kita jadinya sangat mudah berbohong kepada anak-anak; mau pergi ke mana kita bilangnya mau ke mana suruh tunggu anak-anak di rumah. Misalkan kita mau pergi jalan-jalan, shopping; kita bilang "Papa, mama mau ke gereja." Padahal mau shopping. Takutnya nanti kalau kita bilang mau shopping, anak-anak mau ikut. Tapi bukankah yang lebih baik adalah kita katakan, "Papa-mama mau shopping dan papa-mama perlu pergi berdua untuk shopping." Anak mungkin menangis, kita mesti belajar tegas dan berkata, "Kamu diam di rumah, kamu tidak usah ikut karena papa-mama juga perlu membagi waktu berdua." Inilah justru yang perlu kita lakukan, tapi adakalanya orangtua mau mengambil gampangnya, jadi langsung saja bilang mau ke gereja, padahal shopping. Inilah perilaku yang harus kita ubah dari awal, dari anak-anak masih kecil. Sehingga nomor satu si anak belajar mengekang diri, tidak bisa menuntut harus selalu ikut; lama-lama dia terbiasa melihat papa-mamanya pergi berdua dan tidak apa-apa.
GS : Ada lagi orangtua yang memang tujuannya mendidik anaknya supaya hemat, tetapi dia mengatakan kepada anak mereka bahwa penghasilan papa ini sedikit. Namun di dalam kehidupan sehari-hari anak ini tidak melihat bahwa orangtuanya hemat, orangtuanya justru boros. Nah anak menjadi bingung.
PG : Mula-mulanya bingung tapi lama-lama marah, sebab mereka tahu bahwa papa-mamanya berbohong, karena kita hanya bisa menutupi fakta itu sampai anak-anak usia sekitar 8, 9 tahun. Begitu mulai10 tahun ke atas, si anak sudah mulai mengerti barang murah, barang mewah, mereka mulai bisa membedakan.
Dan waktu mereka mulai melihat barang-barang di rumahnya itu barang-barang mewah, dia tahu orangtuanya tidak semiskin yang orangtuanya katakan. Tapi kalau terhadap anak, orangtuanya tetap memberikan kecukupan, uang jajan yang cukup, mungkin sekali tidak berdampak apa-apa. Namun kalau orangtua terhadap anak juga sangat-sangat hemat, saya kira itu bisa menjengkelkan si anak dan si anak nantinya bisa tergoda untuk mencuri uang orangtuanya, sengaja berhutang, nanti orangtua yang harus bayar. Jadi melahirkan perilaku yang tidak sehat.
GS : Kalau orangtua menjumpai anaknya sering berbohong, sebaiknya bagaimana tindakan konkritnya?
PG : Kita mengintrospeksi diri apakah kita terlalu keras kepada anak, itu yang pertama. Yang kedua, kita juga mesti melihat apakah kita realistik misalkan di dalam soal uang. Apakah kita realstik di dalam memberinya uang jajan, sebab kadang-kadang tidak cukup.
Ada anak yang akhirnya berbohong, dia perlu ini perlu itu, dia minta uang kepada kita, padahal tidak ada yang dipakai untuk keperluan itu. Jadi langkah pertama adalah introspeksi, setelah bicara secara baik-baik dengan anak, meyakinkannya, jujur itu lebih baik. Kami akan berjanji tidak marah asal kamu jujur, itu terus yang kita tanamkan kepada anak.
GS : Apakah dalam hal ini ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Efesus 4:25 berkata, "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." Dusta itu mesti dibuang bukan disembunyikan atau dipelihra, harus dibuang.
Dan Tuhan meminta berkata benar, ini adalah tuntutan Tuhan bukan hanya tuntutan manusia. Tuhan melihat dan mengawasi, dan Dia tidak bisa dibohongi, jadi kita mesti berhenti berbohong.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kebohongan Dalam Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.