Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Stella akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini mengenai topik "Berdamai dengan Perasaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
St : Pak Sindu, perasaan ini ‘kan sesuatu yang sepertinya agak membingungkan ya, Pak. Bagaimana kita bisa berdamai dengan perasaan ? Apa maksudnya itu, Pak?
SK : Memang benar kata Bu Stella. Bagi sebagian kita, perasaan itu terasa membingungkan. Karena seperti naik dan turun. Begitu, ya ? Kadang senang, kadang sedih, tiba-tiba kok perasaannya datar, terasa kosong, eh tiba-tiba merasa bersemangat. Sehingga buat sebagian kita sampai memiliki keyakinan bahwa perasaan itu tidak bisa dipercayai. Sudahlah tidak usah dirasakan, tidak usah dihiraukan perasaan itu, bahkan musuhilah perasaan itu. Karena perasaan itulah yang akan mengganggu hidup kita.
St : Bahkan ada orang yang bilang kalau terlalu pakai perasaan nanti jadi lemah ya Pak?
SK : Betul. Apalagi bagi laki-laki seperti saya ini. Lebih sering sebagai laki-laki dibesarkan dengan pemahaman demikian, Bu Stella. Yang penting berpikir cepat, bertindak sigap. Itu kunci sukses, abaikan perasaan. Perasaan hanya untuk orang-orang lemah, penulis novel, kaum wanita, bahkan untuk kaum wanita yang lemah.
St : Apakah memang kebenarannya seperti itu, Pak ?
SK : Sesungguhnya kita bisa menelisik perasaan itu dari mana. Maka kalau kita telusuri semakin awal, kita akan temukan perasaan itu ya ciptaan Tuhan. Jadi Tuhan memang menciptakan kita dengan pikiran, perasaan dan kehendak. Dan itu yang membuat kita menjadi manusia yang utuh.
St : Oh iya. Saya juga pernah dengar. Katanya yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah karena kita punya perasaan ?
SK : Betul. Sekalipun memang makhluk lain pun paling tidak sebagian kita bisa menengarai seperti binatang itu juga punya perasaan ya. Dalam skala tertentu kita bisa melihat itu. Jadi binatang saja punya perasaan, apalagi kita manusia, makhluk paling mulia yang diciptakan Tuhan. Lebih jauh lagi, bahwa sebenarnya Tuhan kita yang menciptakan manusia adalah pribadi yang berperasaan juga.
St : Makanya ada istilah Allah itu penuh kasih, penuh belas kasihan, seperti itu Pak?
SK : Betul. Allah murka dan kemudian kita bisa lihat dalam pribadi Yesus, Allah yang jadi manusia itu dikatakan "masygullah hati-Nya", dikatakan Dia marah, Dia menangis, Dia meratapi Kota Yerusalem. Dan dikatakan juga di dalam peristiwa Getsemani, Yesus mengalami ketakutan yang begitu besar sehingga keringatnya menjadi seperti butir-butir darah. Jadi Allah kita adalah Allah yang berperasaan dan memberi tempat bagi perasaan.
St : Apa maknanya berdamai dengan perasaan ?
SK : Berdamai dengan perasaan artinya memberi ruang kepada perasaan. Lewat kita mengakui perasaan itu, merangkul perasaan itu dan tidak berusaha mengabaikan ataupun menekan, dan sebaliknya juga kita tidak memberi diri dikuasai perasaan. Jadi berdamai, artinya di satu sisi kita tidak memusuhi, tapi di sisi lain kita bukan menjadi satu pribadi yang dikuasai oleh perasaan itu. Itulah yang disebut dengan berdamai dengan perasaan.
St : Jadi bisa dibilang susah-susah gampang ya, Pak ?
SK : Iya. Susah susah gampang karena ada teknik, tapi juga ada seni.
St : Wah, langkah-langkah apa yang perlu kita pahami untuk berdamai dengan perasaan ?
SK : Yang pertama yaitu dengarkanlah perasaan kita. Dengarkanlah suara batin kita. jadi dalam hal ini mari kita ketika ada sesuatu yang muncul dalam hati kita, coba dengar berbicara apa.
St : Jadi misalnya "Saya kok merasa perasaan ini tidak enak." Lalu saya perlu memberi waktu berpikir lalu merasakan "Apa ini, ya ?"
SK : Betul. Berilah nama pada apa yang kita rasakan. Berilah nama pada perasaan yang muncul itu.
St : Jadi misalnya saya merasa, "Oh, mungkin saya sedih. Atau mungkin saya kecewa." Benar seperti itu, Pak ?
SK : Iya. Sedih, kecewa, atau saya marah, atau saya tersinggung, atau saya merasa gusar atau tidak suka. Makanya berilah nama perasaan apa yang muncul. Perasaan tadi itu mewakili sebagian dari perasaan-perasaan negatif, artinya membawa suasana hati kita menurun. Tapi perasaan juga bisa berupa perasaan positif. Artinya membawa suasana hati kita menanjak, gembira, bersemangat, bersukacita.
St : Terharu, Pak ?
SK : Terharu itu percampuran antara perasaan positif dan negatif. Seperti juga rindu. Tapi yang positif misalnya puas, bahagia, cinta. Itu di antara perasaan positif. Makanya kita perlu memperkaya perbendaharaan nama-nama perasaan. Karena mungkin sekalipun kita sudah menempuh pendidikan formal yang baik, tanpa disadari kita baru mengenal sedikit nama-nama perasaan dengan wujudnya. Maka dalam kesempatan ini, mari kita perbanyak perbendaharaan nama-nama perasaan dan kita terapkan dalam batin kita. Yang saya rasakan ini saya beri nama.
St : Apakah bisa dengan kita seperti mencari di internet atau di buku-buku, apakah ada nama-nama perasaan tertentu ? Dan mungkin dengan itu saya bisa berpikir, "Oh, saya merasa seperti itu !"
SK : Bisa. Atau cara yang lain kita membagikan kepada rekan yang lain yang kita merasa cukup nyaman. "Eh, aku kok tidak tahu perasaanku ya. bingung. Ada apa sih ? Kamu bisa bantu aku mengenali sebenarnya apa yang ada di hatiku? Aku merasa tidak enak, susah makan, susah tidur, gelisah, maunya uring-uringan terus." Nah, teman kita mungkin bisa membantu kita. kalau bukan teman ya datanglah ke konselor, yang memang diperlengkapi secara pemahaman, keterampilan dan hati untuk melayani kita termasuk dalam aspek perasaan.
St : Jadi dengan berdiskusi, berdialog, kita juga akan semakin mengenali perasaan-perasaan kita ?
SK : Betul. Jadi dengan cara kita mengenali perasaan-perasaan dan memberi nama, sejalan dengan itu kita juga mau mengakui perasaan kita. Mau memberi tempat pada perasaan itu. Itu salah satu wujud langkah awal berdamai dengan perasaan, yaitu memberi tempat. "Baiklah, saya persilakan kamu masuk. Kamu bukan tamu yang mau saya usir, tapi tamu yang saya ijinkan untuk duduk dengan nyaman dan saya ingin mengenal kamu." Berdamai dengan perasaan itu.
St : Langkah selanjutnya apa, Pak ?
SK : Setelah kita memberi nama terhadap perasaan kita, yang kedua mari kita memberi pertanyaan, mengapa kok muncul perasaan ini. Jadi kita lakukan refleksi, berdialog. Melakukan dialog batin. "Kenapa aku marah ? Kenapa kok aku tersinggung ? Kenapa aku merasa tidak suka ? Kenapa aku merasa sakit hati ?" atau "Kenapa aku kok gembira sekali ? Padahal ini ‘kan berita tentang musibah yang menimpa sahabatku ? Tapi kok ketika mendengarnya aku merasa lega sekali ? Kok tidak nyambung ya ?" Nah, setelah kita memberi nama, tanyalah kenapa, ada apa dibalik perasaan ini.
St : Mungkin caranya bisa dengan berdialog ya Pak ? Atau mungkin bisa juga dengan cara menulis, seperti menulis catatan buku harian ?
SK : Bisa. Bentuknya bisa dengan berdiam saja, jadi misalnya di tengah keramaian kita menarik diri sesaat lalu merenung dan bertanya kenapa ya. Coba kita eksplorasi, kita berpikir dan nanti akan terhubungkan peristiwa-peristiwa apa yang terjadi sebelum-sebelumnya yang membentuk sebuah mata rantai sehingga saya bisa merasa senang atau sedih, merasa tersinggung dan sebagainya. Jadi kalau kita mau jujur pada perasaan kita akan muncul penjelasannya itu.
St : Saya baru tahu, Pak.
SK : Iya. Dalam hal ini perlu juga diwarnai dengan sikap mau jujur, jangan menyangkal. Kalau menyangkal, "Tidaklah. Dia ‘kan sahabatku. Aku saja yang keliru merasa gembira dalam musibahnya. Tidak. Aku tidak gembira kok. Aku gembira karena kebetulan waktu mendengar kabar itu aku sedang makan enak, makanya aku gembira." Nah, itu sebenarnya dia sedang melakukan mekanisme pertahanan diri dalam hal ini namanya rasionalisasi, berusaha membuat seperti kedengaran rasional tetapi sebenarnya dirasional-rasionalkan. Dibuat begitu logis namun sebenarnya tidak seperti itu. Jadi ini usaha kita untuk menolak perasaan itu, maka kita perlu jujur.
St : Jadi ketika kita mengakui perasaan kita, memberinya nama, kemudian kita juga berefleksi memikirkan hal-hal apa yang membuat saya merasa demikian. Dengan begitu kita makin mengenali diri kita ya, Pak ?
SK : Benar. Dengan demikian kita menjadi diri yang apa adanya, Bu Stella. Jadi kita tidak berpura-pura. Dan diri yang sebenarnya akan membawa kita lebih sejahtera. Lebih berbahagia ketika kita menjadi diri yang apa adanya ini. Mau mengakui diri yang sesungguhnya.
St : Dengan istilah lain diri kita jadi utuh ya, tidak ada bagian yang kita tolak atau berusaha kita sangkali.
SK : Betul, yang disampaikan oleh Bu Stella. Karena lebih mudah tanpa disadari dengan dunia yang hanya menghargai yang baik-baik saja, kita ikut arus pencitraan. Memang bukan berarti kita senantiasa apa adanya. "Saya apa adanya kok. Sukanya memang baju seperti ini. Saya ‘kan tidak bersembunyi?" Bukan. Bukan berarti kita menindas orang lain dengan semena-mena. Ada saatnya kita memenuhi harapan orang lain, tapi ada saatnya kita perlu menjadi diri sendiri dalam hal ini mengakui sisi-sisi kelam dari perasaan kita dan alasannya apa. Hal ini juga kalau boleh saya teguhkan, hal ini dilakukan oleh tokoh Alkitab. Pemazmur. Pemazmur di dalam Kitab Mazmur 42:6 ada kalimat demikian, "Mengapa engkau tertekan hai jiwaku dan gelisah di dalam diriku?" jadi pemazmur melakukan personifikasi, usaha untuk menjadikan seperti pribadi. "Hai jiwaku, kenapa engkau gelisah ? Hai diriku, kenapa engkau tertekan ?" Nah ini sebenarnya bagian dari diri yang sehat. Dan ini juga dilakukan tokoh Alkitab. Firman Tuhan menyetujui pola ini.
St : Jadi seperti berdialog dengan diri sendiri ?
SK : Iya.
St : Apakah ada langkah yang lain untuk berdamai dengan perasaan ?
SK : Ya. Jadi dalam berdialog dengan diri dan bertanya mengapa muncul perasaan ini, mungkin kita akan menemukan sebenarnya itu karena saya saja yang punya luka. Yang dilakukannya itu tidak salah. Dia menyatakan yang benar, "Eh Sindu kenapa kamu kok terlambat terus ? Kenapa kamu sampai bicara seperti ini ?" Dia sebenarnya menyatakan kebenaran, mengapa saya tersinggung ? Dia menyampaikan dengan nada yang benar. Rupanya karena ada sisi-sisi yang terlalu sensitif dalam diri saya. Dan kalau saya perlu tahu kenapa ya ? "Oh, saya orangnya memang minder. Saya sebenarnya punya banyak luka sering dipersalahkan orang lain sehingga ketika orang bicara sedikit kebenaran saja, saya cepat marah dan tersinggung." Nah, berarti salahnya ada pada diri saya karena saya tersinggung, bukan karena dia yang salah. Nah, jika kita menemukan hal seperti itu, maka langkah selanjutnya mari ambil tanggung jawab diri yaitu dengan mengakui, "Saya yang jadi penyebab, saya yang merasa tersinggung, saya marah." Dengan mengambil tanggung jawab ini, kita akan bisa mengambil langkah berikutnya untuk menyelesaikannya. "Baiklah, karena ini semata-mata karena saya, ya saya selesaikan. Tuhan, saya akui saya tersinggung." Datang pada Tuhan, saya menyerahkan rasa tersinggung saya ini. Ya sesungguhnya karena saya punya luka, Tuhan. Saya mau Tuhan tolong saya menangani luka saya ini. Saya mengambil langkah-langkah berikutnya. supaya saya bisa disembuhkan, berproses dan saya tidak terus menerus menjadi pribadi yang terlalu sensitif, terlalu cepat tersinggung yang sebetulnya karena saya sudah punya luka hati dari diri saya sendiri di masa lalu itu."
St : Dengan kata lain, kita tidak bisa menyalahkan orang lain atas apa yang kita rasakan, begitu Pak ?
SK : Benar, mengambil tanggung jawab. Dalam hal ini memang berbeda setelah kita merenung dan bertanya mengapa saya bisa merasa begini, kita berefleksi kita berdialog. "Oh iya memang itu salah dia. Artinya salahnya dia itu kasar sekali." "Kamu Sindu, ingat tidak dulu... dulu... dulu." Hal-hal masa lalu dikumpulkan lalu ditembakkan ! Boom !! Begitu ya. Pasti saya kaget dan marah. Dan beberapa mungkin fitnah, bukan fakta. Nah dengan mengetahui mengapa saya marah, akhirnya tahu ini memang sebagian atau semuanya kesalahan dia. Saya tidak bersalah. Dan kemarahan saya adalah kemarahan yang sehat, reaksi yang normal untuk melindungi diri. Nah, dari tahu sumber perasaan ini, misalnya sumber marah ini, saya bisa mengambil langkah berikutnya. Kalau ini karena orang lain, ya sudah, saya datang kepada Tuhan. "Tuhan saya marah ! Saya jengkel ! Saya curhat kepada Tuhan, melepaskan dan saya mengambil langkah untuk mengampuni. Dengan begitu saya tidak lagi dikuasai perasaan marah itu.
St : Jadi ketika ada orang yang menyakiti kita, kita meminta Tuhan yang menolong kita untuk bisa mengampuni orang tersebut ?
SK : Betul, betul.
St : Tapi bagaimana kalau itu perasaan kita saja, Pak? Maksudnya mungkin orangnya sudah baik, tapi kita yang masih tersinggung. Seperti yang Bapak bilang tadi mungkin ada luka, begitu ya, Pak ?
SK : Betul.
St : Jadi kita juga perlu datang kepada Tuhan, mengakui segala luka tersebut?
SK : Betul.
St : Ada langkah lain, Pak, untuk bisa berdamai dengan perasaan ?
SK : Untuk hal ini kembali seperti poin awal. Bagi sebagian kita wajar bingung, "Kok seperti ini ya? Susah sekali ya." Tidak apa-apa. Mari cari pertolongan pada orang lain. Di antaranya mari kita ke konselor atau orang-orang yang mengerti hal seperti ini dan sudah dibekali, sehingga menolong kita untuk membaca perasaan kita dan menelisik ke dalam. "Kenapa kok susah tidur ?" "Kenapa kok uring-uringan terus?" "Kenapa kok selalu anak, suami, istri disemprot padahal yang mereka lakukan itu sepele." Nah, datanglah ke orang lain dan bagikan. Orang lain akan menolong kita menggali sehingga menjadi cermin bagi kita dan kita mengenali kedalaman batin kita dengan segala dinamika, alasan, motif-motif dan latar belakang pengalaman masa lalu yang membentuk dasar batin kita ini. Inilah langkah yang sehat.
St : Jadi seperti punya mitra untuk bertumbuh ya, Pak?
SK : Tepat ! Kita membutuhkannya. Tuhan menciptakan kita bukan jadi orang yang solitaire, kesepian dan menarik diri. Tapi Tuhan menciptakan kita, melahirbarukan kita supaya kita berkomunitas, bertemu dan berbagi dengan orang lain dan orang lain pun bisa turut menolong kita.
St : Jadi perasaan ini sangat penting. Membuat kita bisa jernih baik dengan diri kita sendiri maupun dengan sesama. Begitu, Pak ?
SK : Betul. Kemudian kalau boleh tambahkan, langkah berikutnya adalah kita bisa mengembangkan ‘selftalk’, berbicara pada diri sendiri. Setelah kita tahu akar masalahnya, tahu penyebabnya, kita bisa mengembangkan hal ini. "Saya gelisah karena faktor diri saya." Okelah, kita bisa juga seperti Pemazmur tadi mengatakan di dalam Mazmur 42, "Mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku ?" kemudian Pemazmur mengatakan, "Berharaplah kepada Allah, hai jiwaku. Sebab aku akan bersyukur lagi kepada Allah, Penolongku dan Allahku." Jadi kita bisa menghibur diri. "Sudah, kamu tersakiti dan kamu sudah serahkan kepada Tuhan. Ayo jangan biarkan kamu terus berkubang dengan rasa sakit ini. Kamu bisa mengampuni di dalam nama Yesus. Ayo bangkit." Kita bisa menyemangati diri dengan kata-kata seperti itu setelah kita memproses perasaan terluka ini dengan Tuhan. Atau yang lain, kita bisa datang kepada orang yang telah melukai kita, misalnya begitu, Bu Stella.
St : Apakah tidak apa-apa datang kepada orang yang melukai kita, Pak ?
SK : Ya memang kita lihat situasi dan kondisi dulu, Bu Stella.
St : Iya ya. Jadi tergantung orang tersebut siap atau tidak untuk mendengarkan keberatan kita terhadap dia.
SK : Betul. Kita bisa membuat janji dulu. Apakah boleh suatu waktu kita berbicara enak dengan dia. Kita buat janji kemudian kita bicara, "Begini, beberapa hari yang lalu aku kok ada perasaan kurang enak berkenaan dengan kamu. Maaf lho ya aku bicara ini. Maksudku supaya hubungan kita bisa lebih baik. Tidak apa-apa ‘kan ya ?" lalu kita sampaikan, "Aku merasa begini. Aku merasa tersakiti dengan kata-katamu waktu itu. Tapi aku juga sudah belajar menyelesaikan dengan Tuhan. Aku bicara ini bukan untuk menyudutkan kamu tapi paling tidak aku bisa membuka diri dan kamu bisa memahami kondisi diriku." Dengan cara tidak menyudutkan orang itu, dia akan cenderung lebih mau mendengar dan menghargai kita serta akan ada proses rekonsiliasi. "Oh, maaf ya. Aku tidak sengaja bicara seperti itu. Aku tidak bermaksud menyakiti kamu. Aduh, maafkan aku." Dari itu baru bisa terjadi proses pemulihan atau rekonsiliasi.
St : Jadi ketika kita bisa berdamai dengan perasaan kita, kita pun ada kemungkinan bisa berdamai dengan orang lain ?
SK : Tepat ! Memang bukan pasti demikian tapi memberi ruang. Jadi jembatan bagi diri, karena kembali, perasaan itu tanah suci kita.
St : Wah, apa itu tanah suci ?
SK : Kenapa kita marah ? Kenapa kita tersinggung ? Kenapa sakit hati? Karena dia sudah menginjak tanah suci kita dengan semena-mena ‘kan? Jadi kita marah! Jadi dengan kita mengakui "kesucian" perasaan itu – kesucian bukan berarti seperti kekudusan Tuhan ya – maksudnya sesuatu yang privasi atau pribadi ini kita akui, kita proses dan bersihkan dari luka ini, maka kita akan lebih bisa leluasa untuk berelasi dekat dengan orang lain. Karena bahasa perasaan inilah yang merasa dekat atau jauh dengan orang lain. Seperti itu, Bu Stella.
St : Jadi kalau kita pun susah mengenali perasaan-perasaan kita, makanya kita bisa tiba-tiba ketus dengan orang tersebut, atau tiba-tiba kita bisa mati rasa, seperti itu, Pak ?
SK : Benar. Jika kita mengabaikan perasaan hingga menjadi pola, kita akan sampai di titik menarik diri dari orang lain, terasing, tereliminasi dari orang lain. Karena perasaanlah yang membuat kita bisa dekat. Perasaan yang ditolak membuat kita akan menjauhi orang lain dan orang merasa, "Kenapa aku dekat denganmu hanya secara fisik ya, sebatas relasi kerja. Ada banyak hal seperti kamu memakai topeng atau menutup diri." Kenapa begitu ? Karena kita tidak berdamai dengan perasaan.
St : Jadi bisa dibilang perasaan itu bisa jadi penghalang juga ya kalau kita tidak mengakuinya ?
SK : Betul. Seperti menjadi musuh. Kita jadikan perasaan itu musuh, dengan kata lain kita memusuhi diri kita sendiri dan akhirnya kitalah yang menderita.
St : Pak, adakah hal-hal yang perlu kita waspadai dengan perasaan kita?
SK : Ada. Di satu sisi jangan terlalu terfokus hanya mendengar perasaan kita. tapi mari kita juga mendengar perasaan orang lain.
St : Istilahnya tidak semuanya tentang kita, tentang perasaan kita ya ? Tapi kita juga perlu memikirkan bagaimana perasaan orang lain.
SK : Betul. Ada kalanya kita perlu mengenali perasaan orang lain itu seperti apa. Membaca atau menduga, tapi bukan menghakimi. Dan kita juga memberi ruang orang itu untuk berproses. Misalnya kita salah. Kita mengaku salah dan kita meminta maaf. Kemudian kita marah, "Lho aku sudah minta maaf, kok dia tidak memaafkanku sih? Katanya orang Kristen? Hamba Tuhan pula! Kok tidak mau mengampuni?" kita tidak boleh memaksakan proses orang lain. Orang lain kalau sudah terluka pun, kita minta maaf, dia perlu proses untuk bisa berdamai dengan luka itu, tidak bisa instan. Mungkin kita bisa cepat karena kita sudah terlatih untuk otentik, apa adanya, dan tahu langkah-langkahnya. Mungkin orang itu, bahkan sekalipun dia seorang hamba Tuhan, mungkin tidak terbiasa berproses dengan perasaannya. Sehingga dia kalau bertemu kita dia akan menghindar, menarik diri, berpura-pura baik padahal penuh kemarahan. Dalam hal ini berilah ruang. Ketika orang lain tidak menjadi seperti yang kita harapkan pun, mari kita berdamai dengan kondisi itu. Karena penghiburannya, pusat rasa aman kita yang sejati bukanlah pada penerimaan orang lain tetapi penerimaan Tuhan. Yang penting kita mengerjakan bagian kita, kita jujur pada perasaan kita, berdamai dengan perasaan kita, otentik dengan Tuhan, orang lain belum siap tidak apa-apa. Rasa amanlah karena penerimaan dan kasih Tuhan.
St : Adakah ayat firman Tuhan yang mendukung pembicaraan kita pada saat ini?
SK : Saya bacakan dari Mazmur 62:9, "Percayalah kepada-Nya setiap waktu hai umat. Curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya. Allah ialah tempat perlindungan kita." Pemazmur mendorong kita untuk memercayai Tuhan, mencurahkan isi hati, meletakkan rasa aman, perasaan kita kepada Tuhan. Dan kalau demikian, kita akan lebih lapang menyatakan kepada orang lain, memberi damai dan memberi tempat bagi prosesnya orang lain.
St : Terima kasih untuk penjelasannya, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Berdamai dengan Perasaan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.
Comments
Jenny Gwyneth
Sel, 15/03/2016 - 10:21pm
Link permanen
Konseling