Oleh: Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.,M.Phil.
Kata kunci: Kita makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan, perhatikan pola hidup dan pola makan kita yang harus memberi sumbangsih kepada tubuh kita sebagai bait Allah agar supaya kita tetap bisa berkarya bagi Dia.
TELAGA 2021
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Tuhan Di Piring Makanan" bagian pertama. Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y: Wah, Pak Sindu, tema kali ini cukup unik ya, "Tuhan di Piring Makanan", apa yang ingin disampaikan ?
SK: Bu Yosie, memang kita hidup sekarang di zaman yang boleh dikatakan zaman merayakan makanan. Jadi kalau saya mengingat sampai era tahun 1990-an kita malu bila menyebut diri, "Hobimu apa?" "Oh, hobiku makan". Orang akan tertawa dan mengolok-olok kita. Namun saya mengamati sejak era tahun 2005-an yaitu tepatnya sejak mendiang Bp. Bondan Winarno, menjadi host acara di sebuah stasiun televisi swasta yang bertajuk, "Wisata Kuliner" dan kemudian Bondan Winarno terkenal dengan komennya, "Mak Nyus" untuk menggambarkan makanan yang enak, maka saya mengamati sejak tahun 2005-an itulah mulai populer istilah wisata kuliner, akhirnya pada tahun 2010-an orang tidak lagi malu bahkan bangga menyebut dirinya, "Hobimu apa?" "Oh, hobiku wisata kuliner", yang sesungguhnya berarti hobi makan dari yang sekadar icip-icip sampai benar-benar mengejar di tiap daerah, di tiap kota yang dianggap khas dan populer. Bahkan Bu Yosie, orang akhirnya tidak malu-malu tetapi bisa bangga dan menganggap normal ketika menampilkan foto makanannya dan atau pun ketika dia sedang makan dengan lahap di foto atau di video dan dimunculkan di media sosial. Itu bukan sesuatu yang aneh, bukan lagi sesuatu yang kurang sopan, bukan lagi sesuatu yang menjijikkan, itu berbeda sampai saya lihat tahun 1990-an.
Y: Iya, Pak Sindu, benar sih, bahkan kadang kalau kita mau makan kita sibuk dengan foto makanan, bukan berdoa. Biasanya dulu kalau kita mau makan kita harus berdoa. Kadang orang-orang itu lupa berdoa, saya amati orang-orang itu di restoran mereka sibuk foto lalu ‘upload’ di medsos masing-masing. Merasa bangga, "Oh saya sudah pernah mencoba restoran ini dan itu", begitu ya Pak ?
SK: Benar…benar, itulah perubahan persepsi, perubahan sikap, cara pandang, perubahan perilaku sementara dalam sisi yang lain akhirnya memunculkan sebuah gejala dimana orang mengalami pola makan yang berlebihan dan memang sebenarnya ini bukan hanya terjadi di era tahun 2000-an, tahun 1990 pun sudah terjadi. Yaitu sebuah fenomena dimana orang bisa makan tanpa batas, sehingga angka kesakitan akibat pola makan yang tanpa batas ini menjadi makin tinggi dan bahkan mungkin meningkat pesat. Minimal ada data yang menunjukkan angka obesitas atau angka orang-orang yang mengalami berat badan yang melampaui batas normalnya. Di Indonesia sendiri angka usia 18 tahun ke atas meningkat drastis dari 8% di tahun 2007 menjadi 13% di tahun 2018, sementara kelebihan berat badan atau obesitas ini sesungguhnya memang memicu permasalahan-permasalahan kesehatan yang lebih serius seperti tekanan darah tinggi atau hipertensi, sakit gula atau diabetes tipe 2, radang persendian dan lain-lain.
Y: Lalu bagaimana Pak, seperti judul kita di atas "Tuhan Di Piring Makanan", maksudnya bagaimana sikap kita yang benar terhadap fenomena perilaku manusia ini?
SK: Benar yang disebutkan oleh Bu Yosie ini, persoalan yang membuat kita perlu membahas topik ini karena seakan-akan Tuhan tidak hadir di piring makanan kita. Fenomena ini bukan fenomena di luaran, tetapi di antara anak-anak Tuhan, murid-murid Kristus bahkan para hamba Tuhan pun mengalami arus yang demikian. Pola makan yang tidak sehat atau pun pola makan yang berlebihan sehingga muncul sebuah sindiran, kalau sampai katakan awal abad 20 cukup banyak hamba Tuhan yang meninggal dunia karena ditombak, karena dipanah oleh suku-suku pedalaman ketika memberitakan Injil ke daerah-daerah pedalaman atau yang mengalami penderitaan kelaparan karena hidup dalam kemiskinan dalam kondisi pelayanan yang kurang pemasukan finansial, makan seadanya atau sangat minim. Tetapi itu berubah di abad 20 khususnya kalau konteks Indonesia, setelah Indonesia di era Orde Baru, dimana peningkatan ekonomi signifikan terjadi bahkan masuk di abad 21 ini justru semakin banyak hamba Tuhan, selain tentunya jemaat yang meninggal dunia bukan karena kekurangan gizi atau karena dibunuh oleh suku-suku pedalaman, tetapi meninggal karena kelebihan gizi atau meninggal karena obesitas dengan segala penyakit-penyakit yang muncul. Ini sebuah ironi seakan-akan Tuhan hanya hadir di mimbar, Tuhan hadir di sektor-sektor yang lain yang dianggap rohani, pelayanan dan apa pun itu, tapi Tuhan tidak hadir dalam pola makan, di piring makanan masing-masing.
Y: Ini mengajar kita untuk belajar hidup dalam integritas, tidak hanya mengkotak-kotakkan bahwa Tuhan di gereja, tapi Tuhan dalam kehidupan sehari-hari kita.
SK: Tepat, memang sepatutnya ada keutuhan, ada penghayatan yang holistik, yang menyeluruh, yang menyatu dari semua visi hidup kita ketika kita menyebut diri kita sebagai milik Kristus, sebagai hamba Kristus, sebagai murid Kristus. Inilah yang membuat kita perlu menerjemahkan apa kata firman Tuhan didalam I Korintus 6:19, "Tubuhmu adalah bait Roh Kudus". Atau dalam pasal berikutnya, I Korintus 10:31, "Jika engkau makan atau jika engkau minum atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah".
Y: Benar sekali, Pak. Jadi bagaimana Pak, konkretnya menerjemahkan firman Tuhan itu, menghadirkan "Tuhan di Piring Makanan" kita ?
SK: Ini, Bu Yosie memang perlu berawal dari ‘mindset’, dari pola pikir kita, dari paradigma kita sebagai batu penjuru, atau kalau bahasa matematikanya sebagai konstanta. Konstanta adalah lawan dari variabel. Kalau variabel sesuatu yang bisa diubah-ubah. Konstanta menggambarkan suatu keadaan yang menetap, yang mutlak. Kita perlu berawal dari satu cara pandang yang bersifat mutlak, bahwa Tuhanlah yang kita sembah, bukan makanan. Kita makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Ketika makanan perlu didalamnya, ekspresi buah Roh, yang di antaranya kesabaran dan penguasaan diri. Itu perlu muncul dalam kehidupan, penghayatan pola makan kita. Akhirnya ketika kita makan, kita perlu mengkaitkan apakah yang kita makan memang memberi sumbangsih pada kesehatan tubuh kita sebagai bait Allah, agar kita semakin menghormati Allah yang menjadi Tuan kita. Lewat pola makan yang sehat itu, kita dibuat makin efektif berkarya bagi Dia. Makin efektif menikmati berkat-Nya, menikmati kehadiran-Nya atau justru sebaliknya ? Pola makan kita apakah semakin menista tubuh kita, semakin menghina tubuh kita? Semakin membuat Tuhan dihina lewat pola makan kita yang merusak bait-Nya yang adalah tubuh kita. Inilah pertanyaan kritis, paradigma, ‘mindset’. Bukan soal-soal yang kita bahas bersifat hukum Taurat-isme, tapi kita mau melandasi pada satu semangat, spirit ini, satu esensi, satu gambaran atau satu pikiran yang mendasar.
Y: Menarik Pak, banyak orang yang membahas ayat Bait Allah ini hanya mengkaitkan dengan begini, rokok, kita tidak boleh merokok, merusak Bait Allah, tubuh kita. Tetapi jarang orang mengaitkan atau menginterpretasikan ayat ini dengan kesehatan tubuh secara umum. Makanan pun bila tidak tepat atau berlebihan bisa merusak.
SK: Sama buruknya dengan rokok. Jadi memang teologi tubuh yang benar akan melahirkan teologi asupan yang benar. Sekali lagi saya katakan, kalau kita memahami tubuh dari perspektif Allah, maka kita akan pula memahami pola makan kita dari perspektif Allah. Kalau pola makan kita sembarangan, sebagaimana kita mengkritik rokok merusak kesehatan, padahal pola makan kita juga merusak kesehatan, itu berangkat dari mana? Karena kita punya teologi yang salah tentang tubuh. Kita tidak menghayati tubuh itu sebagai miliknya Allah. Kita mengakui sebatas milik Allah itu kalau perpuluhan, milik Allah itu kalau aku pelayanan di dalam gedung gereja, tapi di luar gedung gereja, di luar pelayanan rohani, itu berarti rohana atau rohina. Makanan tidak ada hubungannya dengan Tuhan, tidak ada hubungan dengan jiwa. Jiwaku sudah masuk surga, tubuhku yang penting akan mati, akan binasa, tidak usah terlalu repot-repot. Disini teologi kita keliru, tanpa sadar ini bukan teologi yang Alkitabiah tapi teologi yang bersifat platonis dari kata Plato. Salah satu filsuf Yunani yang terkenal selain ada Aristoteles, ada Socrates, salah satu yang sangat terkenal adalah Plato. Plato melahirkan satu pola pikir yang bersifat platonis, yaitu membedakan antara tubuh dan jiwa. Tubuh itu sesuatu yang hina-dina, jiwa itu sesuatu yang mulia, akhirnya lahirlah kalau kita baca di Firman Tuhan, misalnya jemaat Korintus, itu berpikir platonis, "Bukankah tidak apa-apa seks di luar nikah ? Bukankah tidak apa-apa bercabul, berzinah, tubuh ini ‘kan akan binasa ? Yang penting rohku, jiwaku sudah untuk Kristus. Tubuhku ngeseks, makan ini dan itu tidak apa-apa". Itu bukan teologi Alkitab, bukan pikiran Allah, itu pikiran manusia yang tidak mengenal Allah, pikiran yang platonis. Tanpa sadar kita seperti itu. Kalau kita memertahankan pola makan kita, tidak ada hubungannya dengan Tuhan. "Jangan sok rohani, kita memangnya di surga ? Kita di dunia, kita bukan malaikat, kita butuh makan. Jangan sok teologis, berlebihan kamu!" Maaf dalam hal ini, kita yang berkata begitu, itu yang berlebihan, karena kita diluar koridornya keselamatan. Rancangan keselamatan, rancangan pemulihan, rancangan kemuliaan yang Allah sediakan.
Y: Menarik, Pak, sebab memang sangat banyak orang yang berpendapat begini, masakan makan enak saja tidak boleh, kecuali memang dosa seks, sepertinya semua orang Kristen mengetahui itu tidak boleh, karena berdampak. Berselingkuh pasti berdampak pada pernikahan. Tapi kalau makanan sepertinya sesuatu yang ringan, tidak apa-apa, masak begitu saja tidak boleh.
SK: Benar, benar, saya sependapat yang disampaikan Bu Yosie, kalau dipikir dari gambaran di tengah-tengah kita, termasuk saya sendiri, saya juga penikmat makanan, disini bukan boleh atau tidak boleh, tapi apa kata Firman Tuhan dalam I Korintus 10:23, "Segala sesuatu diperbolehkan". Benar, tapi bukan segala sesuatu berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan". Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun". Jadi kita disini memang bukan sekadar boleh atau tidak boleh, pikiran Kristen bukan soal boleh atau tidak boleh, kita diajar untuk berpikir yang lebih mendasar, yang esensial, apakah itu berguna, apakah itu membangun, apakah itu memuliakan Allah? Dan bukan berarti apa yang berguna, membangun dan memuliakan Allah pasti semuanya tidak enak, pasti semuanya membuat lidah pahit, pasti membuat hidup kita menderita. Oh, keliru, coba kita melihat hidup iman kita. Apakah sejak kita lahir baru, sangkal diri, pikul salib Yesus, kita sepenuhnya menderita lebih dari orang dunia ? Malah kita menemukan sukacita, kebahagiaan yang sejati. Lebih daripada kebahagiaan semu orang-orang yang bermain-main dengan dosa. Sama pola makan yang sehat, yang memuliakan Allah bukan berarti makanan yang tidak enak, makan yang pahit, makanan yang membuat kita benar-benar kesakitan, malah bisa jadi lebih mungkin sebaliknya karena kita belum mengalami atau belum membiasakan diri.
Y: Saya percaya ini nanti mencerahkan juga. Lalu bagaimana perwujudannya, maksudnya praktisnya, Pak.
SK: Saya mengajak kita untuk berpatokan yang pertama, pada berat badan normal. Jadi kita lihat postur tubuh kita, kalau saya mengecek di bahasan tentang soal berat badan normal di literatur medis, kesehatan maka disebutkan untuk mengetahui berat badan normal menggunakan yang disebut rumus Broca. Dimana disini kita mudahnya mengukur tinggi badan kita dalam sentimeter kemudian dikurangi angka 100, itulah berat badan ideal kita. Misalnya tinggi kita 170 cm, berat badan normal kita 70 kg. Itulah berat badan normal sebagai standard kesehatan kita. Ini rumus Broca, ini berat badan normal berlaku baik pria maupun wanita. Bila kita melebihi berat badan normal itu sudah lampu kuning atau lampu merah. Yang kedua coba kita mencari sumber-sumber literatur yang terpercaya untuk menjadi panduan pengetahuan dan praktek kita dalam menerapkan pola makan yang sehat. Di antaranya kalau saya telusuri ada 2 nama yang bisa kita pertimbangkan, yaitu buku-buku atau literatur karya Dr. Handrawan Nadesul, dokter ini sudah lanjut usia namun masih produktif menulis. Sejak tahun 1970-an Dr. Handrawan Nadesul yang tinggal di Jakarta ini sudah mulai mengasuh rubrik-rubrik kesehatan dari berbagai majalah, menulis di berbagai media, pembicara seminar kesehatan dan puluhan bukunya telah diterbitkan. Kredibilitasnya bicara tentang kesehatan termasuk pola makan yang sehat kita masih bisa cukup memercayai apa yang beliau sarankan karena teruji dalam perjalanan puluhan tahun. Yang kedua, literatur atau sumber belajar yang bisa kita pertimbangkan untuk bisa jadi acuan atau panduan pola makan sehat kita, bisa kita pelajari dari karya Dr. Tan Shot Yen, yang menarik dari penelusuran saya tentang soal kesehatan, sejauh ini yang muncul ke publik, beliau inilah satu-satunya dokter Indonesia yang mengambil S2 di bidang filsafat di sekolah yang kredibel, yaitu Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Kemudian beliau mengambil S3 program studi gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dan beliau mengekspose suatu pandangan yang sangat radikal atau kontradiktif dari rata-rata dokter yang bisa kita kenali, beliau membongkar adanya kekeliruan fatal dalam menangani pasien yang cenderung bersifat sepotong-sepotong atau parsial. Misalnya kita datang ke dokter soal gangguan migraine, maka dokter itu cenderung hanya melihat dari sisi aspek di kepala, atau gangguan jantung ya sudah ditangani jantung saja, padahal tubuh itu satu kesatuan. Tubuh itu ada hubungannya juga dengan emosi, ada hubungannya juga dengan sisi rohani kita, sehingga penanganan medis seharusnya bersifat lintas disiplin kedokteran, maksudnya misalnya kita ke dokter mata, perlu memertimbangkan juga masukan dari dokter syaraf atau dokter ahli penyakit dalam dan sebagainya. Artinya tanpa disadari kedokteran di Indonesia hanya menangani sifatnya sepotong-sepotong dan kalau kita ke dokter, dokter lebih mengutamakan langsung memberi resep obat tanpa mengedukasi pola hidup yang sehat, yang sebenarnya menjadi penyebab dari penyakit pasien itu. Itu tidak diubah pola pikir, pola hidupnya, tapi langsung hanya diberi obatnya apa untuk keluhan itu. Padahal kalau pun diobati, sumbernya tidak diubah, penyakitnya tetap akan kambuh dan bisa makin parah. Dr. Tan Shot Yen sangat mengeritik dirinya sendiri sebagai sesama dokter. Beliau menerapkan tidak mau memberi obat kecuali maksimal vitamin C atau multivitamin. Selebihnya beliau mengedukasi, menceramahi, mengkuliahi pasien-pasien yang datang ke kliniknya untuk mengubah termasuk pola hidup termasuk pola makan yang sehat berimbang. Ini dua referensi, Dr.Handrawan Nadesul dan Dr. Tan Shot Yen yang bisa kita telusuri karya-karya tulis mereka di media digital atau pun karya cetak untuk menerapkan bahasan kita saat ini, yaitu "Tuhan di Piring Makanan".
Y: Menarik sekali, Pak. Boleh dikatakan sebetulnya sakit penyakit kita ini lebih banyak disebabkan oleh pola hidup dan pola makan.
SK: Tepat, jadi Dr. Handrawan Nadesul menulis begini, "Tubuh kita adalah otobiografi pola makan kita". Kalau kita kalimatkan dalam bahasa yang lain, "Kondisi tubuh kita hari ini tidak mengkhianati pola makan kita selama bertahun-tahun". Kondisi stamina atau kebugaran jantung saya, ginjal saya, pembuluh darah saya dan berbagai organ dalam dan organ luar tubuh saya ini merupakan hasil dari pola makan saya selama bertahun-tahun ini. Kondisi tubuh tidak pernah mengkhianati pola makan kita atau kondisi tubuh selalu akan setia dengan apa yang telah kita makan selama ini. Makanan itu ada 2 pilihan, obat atau racun. Yang kita makan akan menyehatkan kita atau yang kita makan akan justru meracuni tubuh kita. Jadi makanan tidak pernah bersifat netral, selalu hitam atau putih.
Y: Menarik ya, Pak.
SK: Memang pola makan kita tidak sederhana seperti yang kita kira, sekadar berhenti di lidah, enak atau tidak enak, dan kenyang, selesai. Yang kita makan keluar ke jamban. Tidak sesederhana itu, bersifat kompleks, apa yang kita makan dan minum itu akan menghasilkan kondisi tubuh kita mengalami kesakitan atau mengalami kesehatan dalam jangka yang panjang. Ada konsekwensi yang serius sekali. Disinilah paradigma rata-rata kita, sebagian besar kita di Indonesia, termasuk saya, kita salah konsep tentang tubuh. Bukan hanya dokter yang tadi dikritik oleh Dr. Tan Shot Yen, termasuk kita sendiri, yang mungkin sudah mengatakan aku berpendidikan tinggi, aku yang mengenal firman Tuhan, aku yang sudah berkhotbah, sangat mungkin kita sudah salah konsep bahwa tubuh itu hanya sekadar mampir makan dan minum, semuanya akan dibawa ke jamban. Sebagian dibuang ke jamban dan ampasnya, tapi yang lainnya itu akan menentukan konstruksi kesehatan kita. Jadi apa yang kita makan hari ini, atau dimakan 20 tahun pertama, 30 tahun pertama hidup kita, bisa menjadi bersifat profetik, menentukan masa depan tubuh kita akan sakit-sakitan, atau sehat, menderita, mengalami kerusakan di sisi ini atau itu, sangat bisa di"nubuat"kan dari pola makan kita waktu kita balita, 10 tahun pertama atau waktu kita remaja. Itu sudah sangat bisa ditebak.
Y: Terima kasih banyak untuk pencerahannya. Kita akan melanjutkan perbincangan kita ini dengan tips-tips yang lebih praktis di bagian yang kedua.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M. Phil., dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tuhan Di Piring Makanan" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang atau Anda dapat mengirim email ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.