Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Seni Menegur" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, setelah kita membahas berbagai pedoman dan masukan yang Bapak sampaikan melalui dua sesi kemarin, kali ini kita mau membahas bagaimana mengaplikasikan seni menegur ini misalnya dalam keluarga, Pak ?
SK : Ya. Menegur itu sebuah seni, sehingga untuk beberapa situasi yang berbeda, membutuhkan rambu yang berbeda pula.
H : Misalnya antara orang tua dengan anak, Pak. Bagaimana mengaplikasikan seni menegur dalam situasi ini ?
SK : Untuk orang tua dengan anak, prinsip pertama yang penting adalah teguran itu memang untuk membangun, bukan untuk meruntuhkan harga diri atau meruntuhkan hal-hal positif yang sudah ada pada anak tersebut. Tegurlah perilakunya secara spesifik, sampaikan dengan kata-kata yang lugas dengan pesan "Saya", misalnya "Papa tidak suka, papa tidak setuju dengan caramu menyelesaikan masalah ini. Kamu memang tidak serius dalam menghadapi masalah!" jadi jangan menyerang. Yang kedua, sampaikan dalam dialog. Misalnya,"Apa sebenarnya yang terjadi ? Papa ingin dengar langsung dari kamu, nak. ceritakanlah" kalau situasinya memungkinkan, usahakan kita bertanya dulu, supaya kita bisa mengkaji apakah sepenuhnya yang kita dengar itu benar atau hanya potongan karena kita dengar dari pihak lain seperti istri atau gurunya dan bukan dari yang bersangkutan. Di sisi yang lain juga lewat cara kita menanyakan, mengembangkan dialog itu memberi ruang untuk tidak menggurui. Menolong anak untuk mengasah refleksi dirinya, apa yang sebenarnya terjadi. Agar anak terlatih untuk mengevaluasi diri dan terlatih untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf tanpa kita membuka masalah itu terlebih dulu. Itu edukasi yang baik.
H : Itu baik sekali dipupuk sejak anak masih kecil, ya Pak ? Bagaimana kalau komunikasinya sudah terhambat ? Sekarang banyak terjadi, orang tua sulit berdialog atau berkomunikasi dengan anaknya. Waktu orang tua menyediakan ruang dialog, anak cenderung menghindar dan langsung masuk kamar, apalagi kalau anak sudah remaja. Bagaimana ini, Pak ?
SK : Inilah yang dimaksud dengan tabungan emosi, seperti yang kita bahas di sesi sebelumnya, Pak Hendra. Memang menegur itu bukan hal yang mudah, bahkan sulit. Sulitnya jika sebelumnya kita tidak mengisi tabungan emosi tersebut. Penting terutama orang tua kepada anak, sejak anak masih kecil jangan abaikan membangun hubungan baik dengan anak. "Bisa apa sih, waktuku begitu berharga lebih baik bekerja dapat uang yang banyak. Lebih baik pelayanan di gereja daripada aku bermain permainan yang konyol dan remeh bersama anakku. Buang-buang waktu saja." Tidak ! Itu investasi. Itu tabungan emosi. Kalau kita bermain menemani anak, bagi kita tidak penting tapi bagi anak itu sangat penting karena itu mengisi tabungannya. Lewat percakapan-percakapan dan dialog yang alamiah dan anak akan mengungkapkan perasaan suka dan tidak sukanya. "Aku suka ini, Ma. Aku tidak suka ini, Pa." Nah akhirnya dari situ kita bisa mengerti hati anak dan mengerti bahasa yang tepat bagi anak kita. Anak kita pun akan bisa mengerti hati orang tuanya bahwa orang tuanya menyayangi dia. Sayang bukan hanya sayang karena "saya orang tuamu" tapi karena dia merasakan lewat cara kita memperlakukan dia. Kalau hal itu terjadi selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, ketika memasuki masa remaja, akan tetap bahwa anak remaja itu akan punya telinga untuk mendengar kita bahwa kita orang tuanya peduli kepadanya. Dan cara-cara yang digunakan juga cara-cara yang membangun dia, bukan hendak memojokkan atau menyerang dia. Ini memang perjalanan pertumbuhan orang tua dalam mengasuh anaknya.
H: Tapi bagaimana misalnya komunikasi antara orang tua dan anak sudah terlanjur jauh atau terputus, Pak? Anak sudah masuk masa remaja namun tabungan emosi ini sudah terlewat masanya, bagaimana ini Pak ?
SK : Sayangnya dalam relasi tidak ada cara yang instan, Pak Hendra. Orang tua tetap perlu banyak menabung di tabungan emosi anaknya. Saya suka dengan ungkapan istilah jawa "Ono rego ono rupo", untuk hasil yang bagus, membutuhkan harga yang bagus juga. Semakin kita berani membayar harga mahal, semakin kita mendapatkan hasil yang berkualitas juga. Kalau mau mempunyai relasi yang baik, harus berani memberi waktu. Kalau ingin membangun anak yang baik, berikan waktu kita untuk anak-anak kita. Ini hukum alam yang tidak bisa kita tabrak atau abaikan begitu saja. Dalam konteks ini kalaupun masa kanak-kanak sudah lewat atau dikatakan sudah terlambat, tetap ada ruang orang tua untuk memperbaiki situasi yang pendek di masa remaja. Beranilah beri waktu kepada anak. Saya salut, ada beberapa kasus orang tua mengabaikan anaknya ketika usia 0-10 tahun mereka tidak banyak memberi waktu. Tapi ketika anak memasuki remaja, orang tua berani mengurangi beberapa kegiatannya demi mempunyai waktu lebih banyak dengan anaknya. Dengan demikian, orang tua bisa lebih memahami anak dan anak juga mengerti bahwa orang tuanya peduli. Dalam proses itulah akan terbangun dialog yang membangun anak itu. Penting sekali, satu prinsip yang berlaku untuk semua usia, tidak disetiap peperangan kita harus menang. Dalam konteks jangan untuk hal yang remeh, orang tua terlalu kaku dan suka menyerang. Belajarlah toleran untuk beberapa hal. Sedangkan untuk hal moral, bersifat sangat prinsip, orang tua harus tegas. Misalnya model baju atau selera music, kalau itu tidak sampai menyentuh hal moral, ijinkanlah selera anak berbeda dengan anak kita. supaya ketika kita perlu menegur hal-hal yang prinsipiil, anak masih punya ruang hati dan telinga untuk mendengar. Seringkali tanpa sadar orang tua terlalu sering menegur termasuk untuk hal yang remeh atau yang bersifat selera, bukan hal yang prinsip. Sehingga ketika orang tua menegur untuk hal yang prinsip, anak sudah capek untuk mendengar dan lebih suka untuk menolak. Apapun yang dikatakan orang tua, tidak ada ruang di hati hati. Sayang 'kan ?
H : Tidak ada jalur instan tapi juga tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki segala situasi ?
SK : Ya! Sekalipun masa lalu tidak begitu saja bisa kita tebus. Paling tidak di masa remaja masih ada sedikit ruang bagi orang tua untuk memperbaiki relasi dengan anak.
H : Sebaliknya Pak, kalau anak ingin menegur orang tua, bagaimana seninya ?
SK : Tidak mudah. Dalam konteksnya begini, penting bagi anak untuk membahasakan teguran itu dalam bahasa yang positif. Prinsipnya, tekankan bahwa anak tetap hormat pada orang tua, anak berterima kasih untuk hal baik yang sudah dilakukan orang tua. Kalaupun mau menegur, itupun dalam konteks rasa hormat dan terima kasih. Jadi rasa hormat dan rasa terima kasih ini perlu dibahasakan secara verbal dengan kata-kata yang jelas dan eksplisit.
H : Contohnya bagaimana, Pak ?
SK : Misalnya, "Pa, saya berterima kasih Papa sudah begitu baik dan bertanggung jawab. Papa mencari nafkah buat keluarga, mencukupi kebutuhan keluarga, Papa juga tetap berusaha menemani saya dalam beberapa kegiatan. Ada yang saya perlu bicarakan dengan Papa. Saya akan lebih senang bila Papa mau menemani saya di kegiatan sekolah. Bagi saya itu suatu dukungan. Bolehkah saya minta Papa hadir di sekolah saya ? Saya butuh papa hadir." Ini permintaan. Beda dengan yang begini, "Papa dari dulu tidak pernah peduli dengan saya. Saya ini apa sih ? Anak Papa atau bukan ? Kalau Papa memang sayang saya, kenapa Papa hanya berani memberi uang dan fasilitas ? Kenapa Papa tidak pernah hadir dalam hal penting di hidup saya ?" Berbeda 'kan? Ini cara mengemas teguran, ini penting.
H : Itu seninya ya, Pak. Kita sedikit keluar dari ruang lingkup keluarga, kalau untuk ruang lingkup profesionalisme dunia kerja, juga butuh seni menegur ya, Pak. Bagaimana cara mengaplikasikannya?
SK : Dalam hal ini kita perlu jelas memahami di benak kita tentang batasan-batasan, wilayah kedudukan, wilayah teritori pekerjaan, harus melekat di benak kita. Sehingga kita bisa menata pikiran, hati dan perkataan dalam batasan yang jelas. Kemudian dalam mengungkapkannya, tetap dalam nada positif. Itu jauh lebih baik terutama kalau kepada rekan sebaya atau dalam satu jenjang. Apalagi dengan atasan kita, benar-benar dalam bahasa yang positif, dibungkus dengan rasa hormat, mengakui batasan-batasan yang ada dan mungkin bisa diawali dengan permintaan maaf bila mungkin kurang tepat, tapi tegaskan kalau maksud kita ingin membangun, dan kita juga terbuka kalau ada koreksi kepada kita, kita juga mau mendengar. Jadi konteksnya memang untuk membangun, bukan untuk mencampuri. Jadi kata-kata awal tentang motivasi teguran kita harus diungkapkan dengan sejelas mungkin. Tentunya juga perhatikan tempat dan waktunya, jangan di hadapan empat orang, sebaiknya di tempat yang ada privasinya, empat mata dan dalam suasana yang nyaman, dan waktu dimana dia nyaman untuk mendengar, bukan saat dia terburu-buru atau atau sedang kelelahan sehingga tidak fokus mendengarkan. Dalam hati kita juga harus sudah siap untuk menegur.
H : Kalau kita konkretkan, misalnya atasan kepada bawahan, bagaimana seni menegurnya ?
SK : Dalam hubungan atasan-bawahan akan lebih mudah bagi atasan untuk berlaku semena-mena kepada bawahannya. Hindarilah. Jangan atas nama kekuasaan kita berlaku semena-semena, karena itu artinya kita sedang menarik dari tabungan emosinya. Di hadapan kita dia mengiyakan, tapi di belakang kita dia marah, dendam dan melakukan tindakan agresif pasif seperti menyabotase karena dia tidak terima dengan cara kita menegurnya, jadi bukan karena isi teguran kita. Sebagai atasan pun kita perlu sopan dan menghormati bawahan kita, jangan lupa secara prinsip firman Tuhan, saya dan bawahan kita adalah sama-sama manusia ciptaan Allah, kita harus bertanggungjawab kepada Allah sebagaimana bawahan kita pun bertanggung jawab kepada Allah. Sikap hati bahwa kita pun adalah hamba di hadapan Allah yang sama itu penting.
H : Itu kalau atasan dengan bawahan, bagaimana kalau setara atau satu jabatan, itu juga tidak mudah, Pak. Kalau kita sebagai bawahan yang menerima teguran dari atasan, kita mungkin masih sadar dia atasan kita dalam hubungan subordinat yang wajar. Tapi kalau setara 'kan ada kesulitan tersendiri, Pak. Bagaimana penerapannya, Pak?
SK : Mungkin bisa dibungkus dalam bentuk diskusi atau percakapan, Pak Hendra. "Bagaimana ini, apa yang bisa kita lakukan untuk mengembangkan unit kita ? Menurutmu apa yang bisa kita lakukan?" kemudian menyisip, "Ngomong-ngomong, dalam soal pekerjaan, apakah memungkinkan bila bagianmu ditingkatkan kecepatan kerjanya ? Karena kalau bagianmu ritme kerjanya seperti ini, akan mempengaruhi bagianku sehingga tidak bisa leluasa mengerjakan karena waktunya terkurangi."
H : Terima kasih, Pak. Sekarang saya mau tarik lagi, bagaimana kalau di dalam pelayanan ? Kalau tadi dalam dunia profesi, kadang-kadang orang bisa berusaha bertahan dalam situasi yang kurang menyenangkan atau kurang nyaman karena konteksnya bekerja untuk mendapatkan nafkah. Bagaimana kalau di dunia pelayanan, Pak ? Bukan hal mudah ketika kita menerapkan seni menegur ini ? Bisa Bapak bagikan bagaimana menerapkannya di dunia pelayanan ?
SK : Memang berbeda di dunia pelayanan. Kalau orang tua ke anak hubungan darah daging yang jelas, rekan kerja pun ada ikatan finansial dan ada tanggung jawabnya. Sedangkan pelayanan sifatnya 'volunteer' atau kesukarelaan, di sini teguran harus dibungkus dengan lebih cantik. Kembali seperti di awal, relasi itu penting itu tidak bisa digantikan. Tabungan emosi itu tidak bisa digantikan. Yang kedua, tebarlah pengakuan positif, penghargaan, apresiasi sebanyak dan setulus mungkin. Nyatakan rasa salut, rasa homat, rasa terima kasih. Eksposlah itu secara personal maupun secara kelompok, persekutuan, panitia, tim kerja, pertemuan pengurus. Atau kalau perlu wartakan ucapan terima kasih itu. Bentuklah atmosfer yang positif sehingga memberikan rasa nyaman. Ketika menyampaikan teguran lebih baik menggunakan dialog, "Menurut kamu, apa yang bisa kamu kembangkan dari pengalaman tadi ?" Evaluasi diri. Sebelum kita memberi umpan balik, kita ijinkan orang itu untuk mengevaluasi dirinya. Seringkali kata evaluasi itu berkesan menilai dan negatif. Pakailah semangat umpan balik dan semangat untuk mengembangkan. Akuilah apa yang kurang, mungkin kita bisa meminta maaf bila salah dan mengembangkan apa yang kurang. Ini juga bisa diterapkan dalam relasi kerja, bukan hanya di pelayanan. Saya menerapkan ini dalam kepanitiaan atau kepengurusan, kemajelisan, "Ayo, coba kamu ungkapkan apa berkatmu selama jadi panitia ini ?" Kemudian di respons, "Saya merasa makin mengenal Tuhan, belajar pentingnya kerjasama." Okey, mari kita tepuk tangan untuk apa yang dialaminya ini. Atau, "Hal-hal apa yang kalian anggap positif dari teman-teman kita ini ? Sisi-sisi positif apa yang bisa kalian lihat dari Bagian Acara ?" Ekspos dulu hal-hal yang positif. "Bagus! Meskipun tidak mudah mereka tetap berusaha hadir." "Meskipun hasilnya tidak bagus, tetapi mereka setia, ayo kita tepuk tangan." Ajak orang-orang untuk saling memuji. Setelah itu masuk ke sesi berikutnya, "Sekarang masing-masing kita silakan ungkapkan hal apa yang kita rasa belum tepat, masih kurang atau perlu kita kembangkan dalam diri kita atau dalam seksi kita untuk kedepannya."
H : Jadi kita yang melemparkan kesempatan untuk menjawab sendiri ?
SK : Ya! Membuat pengakuan. "Ya, saya akui saya kurang loyal, saya lebih mengutamakan pekerjaan saya, saya minta maaf ya." Begitu 'kan lebih cantik. Setelah itu barulah kita adakan ruang untuk pertanyaan apabila ada sisa waktu. "Mungkin ada rekan yang ingin mengklarifikasi atau menanyakan sesuatu ?" tetapi lebih dulu kita sudah memberikan kesempatan orang-orang saling memuji kemudian mengakui kekurangannya dan apa yang perlu dikembangkan, kemudian sisanya yang belum terungkapkan karena dia tidak berani bicara, barulah orang lain yang mengungkapkan. Itupun dengan semangat membangun. Ini penting, ini paradigmanya: membangun atau meruntuhkan. Sebenarnya ketika kita tidak mengevaluasi atau mengecek kembali paradigma ini, kita cenderung lebih banyak meruntuhkan daripada membangun. Makanya kita perlu mengecek paradigmanya lalu menyusun strateginya untuk memastikan bahwa kita hendak membangun. Kalau perlu kita mengutip firman Tuhan, tegaskan bahwa kita sedang melayani Allah yang kekal. Yang terutama adalah kesetiaan, bukan hasil yang gegap gempita. Yang kedua adalah pertumbuhan karakter kita yang serupa dengan Kristus. Jadi kalaupun ada kekurangan, tidak apa-apa, silakan akui. Itu menjadi titik pijak kita bertumbuh semakin serupa dengan Kristus. Kita tegaskan juga caranya. Ketika memberi umpan balik, pilihlah kata-kata yang membangun, bukan perkataan kotor, bukan perkataan yang meruntuhkan. Jadi itu memberi bingkai awal. Sehingga rentetan rapat evaluasi itu memiliki semangat membangun, bukan semangat meruntuhkan.
H : Saya tertarik dengan langkah-langkah yang Bapak jabarkan tadi. Langkah pertama yaitu memberi pengakuan positif, itu 'kan juga menjadi tabungan emosi, sebuah investasi positif. Dan yang kedua, kita memberi mereka ruang untuk mengakui kelemahannya. Dan yang ketiga, sisa-sisanya yang belum dibahas, di situlah kesempatan kita untuk bertanya. Yang saya kuatirkan di bagian yang ketiga ini, ketika orang lain yang bertanya, di langkah ini sebenarnya dibutuhkan seni menegurnya, meskipun dia tahu ini dalam konteks untuk membangun tetapi penyampaiannya itu, Pak. Apakah Bapak bisa memberikan contoh bagaimana membangun tetapi seni menegurnya juga diaplikasikan ?
SK : Kita bisa sampaikan, "Tadi saya sudah mendengar apa yang sudah diakui, terima kasih untuk hal itu. Kalau boleh saya ingin menyampaikan hal yang lain. Saya melihat di dalam hal tadi ada hal yang belum diungkapkan. Ini 'kan di dalam proses kerja sebenarnya yang terjadi hanya dua orang yang bekerja untuk menyiapkan dekorasi dari lima anggota, tetapi tidak ada laporan kenapa demikian ? Apa boleh dijelaskan apa yang sebenarnya terjadi ?" Kita tetap menggunakan nada bertanya walau kita tahu apa yang terjadi, misalnya tiga anggota itu memang bermalas-malasan, tetap kita tanyakan. Mengijinkan mereka membuat pengakuan. Kalau misalnya orang itu menjawab dengan terbata-bata mencari cara untuk membenarkan diri, mungkin kita bisa bicara, "Apa boleh lebih berterus terang ? Kalaupun ada sesuatu yang keliru tidak apa-apa, mari coba ungkapkan. Ini bagian yang baik karena poin terpenting bukan hasil kerja, tapi kita bisa bertumbuh. Kalau pun ada kesalahan, mari akui, ada kasih karunia untuk itu."
H : Terima kasih, Pak. Di akhir percakapan ini dan untuk menutup seluruh topik "Seni Menegur", ayat firman Tuhan apa yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Saya bacakan dari Efesus 4:15, "Dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia Kristus yang adalah Kepala." Kalau saya bandingkan dengan bahasa sehari-hari dikatakan "Kita harus menyatakan hal-hal yang benar dengan hati penuh kasih, sehingga dalam segala hal kita makin lama makin sempurna seperti Kristus yang menjadi kepala kita." jadi kebenaran dan kasih itu bukan wilayah yang perlu dipertentangkan. Seringkali orang sulit menegur karena dia merasa menegur itu berarti menyakiti. Tidak ! Menegur harus dengan hati yang penuh kasih. Seringkali orang kesulitan, hanya kasih, namun kasih yang sejati juga harus ada kebenaran. Mari menegur dengan semangat kebenaran dan kasih dalam hati kita dalam cara kita mengungkapkan. Jangan lupa poin terpenting, sasaran teguran itu adalah pertumbuhan karakter. Bahwa kita dan orang lain diubah dengan menegur ini, mengungkapkan kebenaran dengan hati penuh kasih ini, untuk makin serupa dengan Kristus. Tanpa itu akan terhambat dan kita mengalami kegagalan sebagai manusia yang sudah ditebus Allah. Jadi menegur itu adalah bagian dari gaya hidup yang sehat untuk kita makin serupa dengan Kristus.
H : Terima kasih untuk percakapan yang sangat menarik ini, Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Seni Menegur" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.