Orang Percaya dan Politik ( I )

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T561A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.
Abstrak: 
Menjadi orang percaya dan berpolitik sangat terkait erat, dalam Perjanjian Baru kita tidak dapat memisahkan Injil dan politik, ada kesatuan yang terjadi dimana Injil lahir, tumbuh, berkembang dan menyebar, disanalah ada situasi politik yang menyebar di dalamnya.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan
T 561 A+B "Orang Percaya Dan Politik" ( I + II ) dpo. Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. Latar Belakang

Di beberapa komunitas gereja dan pelayanan ada ketidaknyamanan ketika membicarakan tentang politik dan pemerintahan negara. Bahkan merasa ketakutan kalau gereja dan pelayanan terseret dengan perdebatan urusan politik, pemerintahan dan ketatanegaraan. "Gereja dan pelayanan itu mengurus hal-hal rohani dan Amanat Agung Kristus. Soal politik dan negara itu sudah ada yang mengurusi dan itu bukan tugas kita-kita yang di gereja dan pelayanan". Demikian pendapat umum beberapa hamba Tuhan dan pemimpin gereja dan pelayanan. Umumnya kepedulian terhadap situasi politik dan pemerintahan negara baru muncul menjelang pemilihan umum presiden, legislatif, dan kepala daerah. "Tolong dong, beritahu siapa yang harus dipilih." "Ayo, kita berdoa puasa agar pemilu berjalan lancar, aman dan tertib dan terpilih pemimpin dan anggota legislatif yang takut akan Tuhan". Atau juga baru muncul ketika ada pengrusakan, pembakaran dan penutupan gereja-gereja. Diadakanlah rapat antar gereja dan lembaga pelayanan dengan pemerintah. Namun ketika situasi mereda dan membaik sebagian gereja dan pelayanan seperti tiarap dan berkutat kembali hanya pada area intern yang disebut hal-hal rohani dan berkenaan Amanat Agung Kristus semata.

Pertanyaan yang muncul: sudah tepatkah cara pandang dan respons orang percaya sebagaimana gambaran di atas? Untuk itu lewat "Orang Percaya dan Politik" bagian pertama dan bagian kedua kita akan membahas bagaimana konteks zaman Yesus dan apa kata Alkitab, apa yang melatarbelakangi sikap sebagian orang percaya tadi di atas yang memisahkan kehidupan orang percaya dan politik. Lalu kita akan melihat dalam situasi masa lalu dan kekinian negara kita Indonesia serta membahas bagaimana respons sepatutnya orang percaya.

Yesus dan Kerajaan Allah

Sesungguhnya menjadi orang percaya dan berpolitik sangat terkait erat. Kemunculan Yesus sendiri di publik selama 3,5 tahun sudah menimbulkan riak politik, bahkan gelombang ombak politik secara nasional pada masa itu. Seruan-Nya bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Matius 3:2) disambut dengan penuh antusias para rakyat Yahudi yang sangat menanti-nantikan mesias politik bagi pembebasan dari penjajahan Romawi. Kemudian Yesus berkeliling ke kampung-kampung dan jalanan Galilea dan menuai banyak simpatisan kebangunan rohani yang kental dengan suasana politis. Mereka pergi mengikuti Yesus ke mana pun pergi dengan keyakinan bahwa Yesus sedang membuka lembaran baru yang mereka nanti-nantikan, yang akan membuat mereka bebas dari pajak yang berlipat-lipat dan penindasan politik yang terjadi.

Kedua belas murid Yesus sendiri mengikut Yesus dengan antusias karena menganggap pernyataan-pernyataan Yesus menunjuk pada apa yang diharapkan orang-orang Yahudi saat itu yaitu suatu revolusi sosiopolitik, menuju kepada tatanan dunia baru.

Pernyataan-pernyataan Tuhan Yesus sendiri pada saat itu memang berbau politis. Yesus mencela para penguasa dan menunjuk kepada diri-Nya sendiri. Yesus berbicara tentang kabar baik bagi orang miskin. Dia membawa banyak orang ke tempat-tempat sunyi yang bisa dipersepsi sebagai niatan melakukan revolusi. Dia menyatakan bahwa tak lama lagi Bait Allah di Yerusalem akan hancur.

Pada awal Paskah atau hari raya pembebasan Israel, Yesus mengorganisasi orang-orang di sekelilingnya dalam bentuk yang tidak mungkin tidak dianggap sebagai suatu prosesi kerajaan. Bahkan Yesus secara sengaja dan dramatis mengungkapkan suatu perumpamaan tentang kehancuran Bait Allah. Pada saat itu Bait Allah adalah pusat dari Yudaisme dalam segala hal, yang berbeda jauh dengan gedung gereja atau suatu katedral yang terbatas hanya mengurus hal-hal rohani.

Fungsi Bait Allah juga mencakup fungsi gedung parlemen atau istana kepresidenan saat ini. Terhadap institusi sentral dan vital inilah Tuhan Yesus berbicara. Maka, ketika Yesus dikenakan hukuman mati yang sangat keji lewat penyaliban, Ia pun mati sebagai pemberontak politik atau pembangkang politik. Maka, bagaimana mungkin kita berani mengatakan bahwa Yesus tidak berpolitik?

Para Rasul, Paulus, dan Kebenaran Allah

Pengakuan iman jemaat mula-mula sangat singkat, "Yesus Kurios" yang berarti Yesus Tuhan. Pengakuan ini mengandung juga unsur politik, bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang sesungguhnya, bukan Kaisar Romawi yang pada waktu itu dikultuskan sebagai ‘tuhan’. Sementara dalam Matius 28:18 Yesus menyatakan kepada para murid bahwa Ia adalah Raja yang memiliki kuasa tak terbatas: "seluruh kuasa di surga dan di bumi sudah diserahkan kepada-Ku."

Pengakuan ini eksklusif karena memunyai dampak politis yang besar terhadap perkembangan gereja pada waktu itu. Banyak orang percaya dianiaya termasuk para rasul, bahkan karena usaha pekabaran Injil, Paulus ditantang oleh penguasa karena Yesus diakui sebagai Tuhan dan Mesias.

Gereja sejak awal meyakini dirinya sebagai suatu komunitas yang berbeda, baik dari orang Yahudi masa itu maupun dari orang kafir. Tidak ada orang Yahudi ataupun orang Yunani, yang ada hanyalah gereja Tuhan (Galatia 3:28: "Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tridak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus".) Makin disadari bahwa janji-janji Tuhan telah menjadi warisan bagi orang-orang percaya di seluruh dunia. Tidak ada lagi bangsa, ras maupun geografis yang diistimewakan.

Maka, wajar sekali bila akhirnya Gereja menganggap dirinya berada di atas ketaatan terhadap penguasa-penguasa dunia. Untuk apa tunduk kepada kaisar, sementara kaisar juga tunduk kepada apa yang dia sembah? Kemungkinan ke arah pemberontakan kudus seperti inilah yang bisa melatarbelakangi Paulus menulis surat kepada Jemaat di Roma khususnya yang kita kenal di Surat Roma pasal 13.

13:1 Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah 1 p yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan q oleh Allah. 13:4 Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang 2 . Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. t 13:5 Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati u kita. Apa yang digariskan di sini adalah pencegahan terhadap sikap mencemoohkan pemerintah, seolah-olah gereja berada di atas atau di luar semua kendali sosial dan hukum. Yang dianjurkan di sini bukanlah tunduk begitu saja kepada apa yang diharapkan penguasa, melainkan suatu kesadaran bahwa menjadi orang percaya seseorang tidak perlu berhenti sebagai manusia dan dia terikat kepada kewajiban-kewajiban terhadap sesamanya. Lebih dari itu adalah kewajiban terhadap Allah yang menghendaki manusia-manusia ciptaan-Nya hidup harmonis satu sama lain. Kewajiban-kewajiban tersebut kurang lebih diabadikan dalam hukum-hukum yang dibuat pemerintah dari waktu ke waktu. Yang ditekankan Paulus bukanlah apapun yang dilakukan pemerintah pasti benar dan apapun yang mereka tetapkan harus diikuti, melainkan bahwa Allah ingin agar manusia hidup tertib; bahwa menjadi orang percaya tidak berarti melepaskan seseorang dari berbagai kewajiban terhadap tata tertib ini. Orang percaya patut tunduk, paling tidak secara umum, kepada mereka yang dipercayakan untuk menegakkan tata tertib.

Roma 13 menyatakan bahwa setidak-tidaknya menjadi orang percaya tidak berarti menjadi seorang anarkis atau pemberontak. Allah Pencipta menginginkan manusia ciptaan-Nya hidup dalam berbagai hubungan sosial, di mana diperlukan tata tertib, stabilitas dan struktur di mana orang percaya tidak terlepas dari hal ini.

Dari Perjanjian Baru ini ternyata kita tidak dapat memisahkan Injil dan politik. Kita tidak dapat menitipkan politik hanya kepada mereka yang menyandang senjata atau kepada mereka yang memegang kalkulator. Bila kita berdoa, "Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga", kita tidak bisa hanya berpikir tentang suatu keadaan yang mulai terjadi setelah semua manusia mati atau diubahkan seperti 1 Korintus 15:51 (15:51 Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia 1 : d kita tidak akan mati e semuanya 2 , tetapi kita semuanya akan diubah, f 15:52 dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi g dan orang-orang mati h akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah).

Jika kita ingin menjadi benar di hadapan orang percaya generasi pertama yang berdoa dan hidup di dalamnya, kita perlu membayangkan, bekerja dan berdoa untuk negara, masyarakat dan politik, tidak kalah pentingnya dari kehidupan rohani dan keagamaan kita.

Definisi Politik

Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara) dan πόλις (polis - negara kota). Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan memertahankan kekuasaan di masyarakat. Definisi ini meneguhkan pemahaman bahwa hidup bersama dalam masyarakat membutuhkan pengaturan. Jika sama sekali orang percaya tidak terlibat dalam pengaturan bersama, maka orang lainlah yang mengatur nasib orang percaya dan nasib kehidupan bersama. Tuhan Yesus memberi identitas pada orang percaya sendiri dalam Matius 5:13-14, “Kamu adalah garam dunia dan terang dunia.” Membawa pengaruh Kristus untuk memberkati seluruh dunia dengan kepelbagaian agama, kepercayaan, budaya, daerah, strata sosial ekonomi di manapun kita berada. Dengan kata lain, berani menjadi orang percaya, berani bermasyarakat, berani berpolitik.

Latar Belakang adanya orang percaya yang apolitik

Adanya orang percaya yakni bersikap apolitik dilatarbelakangi oleh pemikiran dikotomi yakni: pemisahan antara yang fana dan yang kekal. Ini sesungguhnya merupakan pikiran Plato dan agama dunia yang memisahkan tubuh dan jiwa. Tubuh itu fana dan jiwa itu suci. Segala aktivitas yang berhubungan dengan tubuh itu fana dan kesia-siaan, segala aktivitas yang berhubungan dengan jiwa itulah yang mulia dan kekal.

Pikiran Kristus tidaklah demikian. Pemikiran Kristus adalah lingkaran konsentris. Ada lingkaran terkecil. Di luarnya lingkaran lebih besar. Di luarnya lagi lingkaran yang lebih besar lagi. Lingkaran terkecil adalah Kristus. Berikutnya lingkaran kehidupan pribadi, lingkaran kehidupan keluarga, lingkaran kehidupan komunitas gereja, lingkaran kehidupan masyarakat kota, lingkaran kehidupan negara, lingkaran kehidupan antarnegara.

Pandangan Yohanes Calvin

Persepsi Yohanes Calvin atau John Calvin—seorang teolog dan reformator Perancis—tentang politik tampak dalam bukunya Institutio Christianae Religionis (Pengajaran Agama Kristen). Dalam uraiannya mengenai Pemerintahan Sipil, Yohanes Calvin memaparkan dua hal mendasar, yakni Pemerintahan Negara dan Kerajaan Kristus. Ia mengatakan, "Kerajaan Kristus itu berada dalam jiwa dan batin manusia dan memiliki hubungan dengan hidup kekal. Sedangkan Pemerintahan negara bermaksud menetapkan tata kehidupan yang benar dari segi sipil serta lahiriah yang memiliki hubungan dengan kekinian hidup manusia." Yohanes Calvin berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan antara Pemerintahan Negara dan Kerajaan Kristus, meskipun keduanya berbeda. Ia bahkan memberi penghargaan yang tinggi dan tulus terhadap pemerintahan negara:

"Maka oleh siapapun tak boleh diragukan lagi bahwa kekuasaan politik itu adalah suatu panggilan yang tidak hanya suci dan sah di hadapan Allah, tetapi juga yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana."

Dalam bahasan khusus tentang Pemerintahan Negara, Yohanes Calvin berpendapat maksud pemerintahan sipil bukan sekadar menciptakan kebebasan di mana kemanusiaan dijunjung tinggi. Tetapi lebih dari itu pemerintahan sipil itu menuntun warganegara terutama orang percaya agar tidak menghina kebenaran Allah, tidak menyembah berhala, dan tidak menghujat agama. Sebaliknya supaya mereka memelihara ketenteraman umum, tidak merongrong milik sesama manusia, menegakkan keadilan serta memupuk sikap ikhlas dan sopan santun di antara mereka.

Pada dasarnya yang diinginkan Yohanes Calvin adalah supaya di antara orang percaya ada bentuk ibadah yang umum dan praktik hidup sehari-hari yang mencerminkan apa yang diimani dan di antara umat manusia ada perikemanusiaan. Dengan singkat kata, Pemerintahan Negara itu penting, bahkan kekuasaan politik itu merupakan panggilan yang suci, sah, paling kudus dan paling terhormat dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana, termasuk orang-orang percaya. Lebih jauh, Yohanes Calvin menghargai mereka yang terpanggil melayani dalam Pemerintahan Negara.

Partisipasi Aktif Orang Percaya dalam Sejarah Indonesia

Ada banyak nama orang percaya yang terbukti telah berperan penting dalam sejarah politik kebangsaan dan pemerintahan di Indonesia. Antara lain: Pattimura, Christina Martha Tiahahu, Johanes Leimena, Tahi Bonar Simatupang, Radius Prawiro, Yap Thiam Hien.

Respons

Jadi bagi orang percaya dunia politik bukanlah panggung haram. Malahan sangat penting untuk orang-orang tekuni dan gumuli demi kemajuan bangsa dan kebaikan masyarakat luas. Menjadi birokrat, teknokrat, politisi adalah juga panggilan orang-orang percaya untuk bersaksi di tengah-tengah dunia ini.

Tindak Lanjut Gereja, Pelayanan dan Keluarga Orang Percaya
  1. Ajarkan kebenaran ini dalam kurikulum bina iman
  2. Ikut aktif serta dalam percakapan, dialog, dan aksi konkret bermasyarakat, berbangsa, bernegara.
  3. Dorong dan dukung warga gereja dan orang-orang percaya terjun dalam karya kemasyarakatan, politik kebangsaan, parlemen, dan pemerintahan.