Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Menunda-nunda" bagian keempat. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kita sudah membahas panjang lebar mengenai topik menunda-nunda. Di sesi ini kita semua ingin tahu apa solusi untuk mengatasi kebiasaan menunda-nunda ini ?
SK : Ada beberapa hal yang perlu kita cermati dan lakukan. Yang pertama adalah kita perlu lebih dulu mengamati diri kita sendiri, mengobservasi, memonitor diri kita supaya kita kenali pola kita seperti apa. Yang pertama, dalam hal apa kita biasanya menunda-nunda. Apakah dalam hal pekerjaan atau dalam hal mengerjakan tugas bagi mahasiswa. Kalau tugas, tugas yang seperti apa, mata kuliah apa ? Atau dalam hal urusan administrasi pribadi misalnya membayar pajak, seperti pajak STNK, BPKB atau dalam aspek membayar iuran RT. Atau aspek kerumahtanggaan, seperti menunda-nunda cuci piring, menunda-nunda periksa gigi kalau giginya sakit, menunda-nunda mengerjakan tugas pelayanan. Itu perlu kita kenali. Makanya kita perlu mengamati diri, coba monitor selama beberapa hari sampai dua minggu, di sisi mana. Yang lain yang perlu kita monitor adalah kita menunda dalam bentuk bagaimana. Misalnya ada orang yang ketika menunda itu terjadi yang dia lakukan itu apa, misalnya menghabiskan waktu nonton sinetron, televisi, mestinya mengerjakan tugas tapi dia menonton TV di rumah. Yang lain membuka internet. Waktu di kantor dia menunda pekerjaannya akhirnya dia mencari berita-berita di internet. Atau mungkin ketika semestinya mengerjakan tugas, dia malah bersih-bersih merapikan file-file di kantor atau sibuk untuk melakukan hal yang lain. Kita perlu mengenali bentuk pelarian kita. Yang terakhir, apa yang biasanya kita ucapkan secara kata-kata atau dalam hati. Pembenaran apa yang kita lakukan. Misalnya, "Memang ini belum lengkap, bagaimana mau dikerjakan ? Wajar 'kan kalau saya tunda ? Saya tunggu sampai lengkap." Atau "Saya kurang fit, terlalu sibuk dan lelah, makanya tidak saya kerjakan." Nah, kita cari kalimat-kalimat apa yang biasa kita lontarkan dalam kata-kata atau dalam hati dan pikiran, supaya dengan kita mengamati ini kita akan lebih jitu memberikan terapinya apa, obatnya apa, bentuk perimbangannya apa.
H : Jadi yang pertama adalah observasi memonitor diri yang intensif. Mengamati dari segi apa saja yang suka dia tunda, apa yang dia lakukan ketika menunda, kemudian apa pembenarannya dia melakukan penundaan itu.
SK : Betul.
H : Setelah dia melakukan fase pertama memonitor diri, apa yang harus dilakukan berikutnya ?
SK : Berikutnya, ini bisa dilakukan secara umum. Yang pertama pecahlah tugas itu menjadi bentuk yang lebih kecil. Misalnya proyek mengerjakan laporan tahunan. Dari Januari sampai Desember, kapan selesainya ? Akhirnya ditunda. Nah, lebih baik di kapling-kapling. Misalnya yang bulan Januari dikerjakan tanggal 10-12 Nopember, laporan untuk Pebruari dikerjakan pada 14-16 Nopember. Silakan dipecah-pecah sehingga yang raksasa itu menjadi pecahan yang bagi kita realistik. "Ah, ini 'kan kecil yang dikerjakan, baiklah." Jadi tidak menimbulkan rasa takut dan cemas. Berikutnya, mari kita kerjakan hal-hal yang kurang menyenangkan, yang mudah kita tunda itu di waktu terbaik kita. Misal jam terbaik kita adalah pagi hari. Bangun pagi kita merasa segar. Ya, jangan membaca koran dulu. Jangan buka internet atau ngerumpi dulu dengan teman-teman di kantor. Kerjakan yang tidak kita sukai, di saat kita fit secara fisik dan psikis. Jadi kita perlu me-manage waktunya. Kerjakan hal-hal yang kurang menyenangkan di saat pagi hari atau di saat energi pikiran, fisik dan mental kita masih maksimal.
H : Mungkin ini juga berlaku untuk jangka panjang, Pak. Misalnya untuk mahasiswa dalam waktu satu semester di awal semester energinya masih besar. Mungkin di awal-awal itu dia bisa mengerjakan yang kurang menyenangkan, begitu ?
SK : Betul. Supaya nanti di saat fisik mulai loyo, pikiran mulai jenuh, hal-hal yang menyenangkan itu menjadi 'reward', imbalan, penghargaan. Dan karena kita senang terhadap hal itu, maka walaupun energi fisik, pikiran kita mulai melemah, itu gampang saja kita kerjakan.
H : Apa lagi, Pak ?
SK : Tips yang lain, jangan menunggu mood atau suasana hati. Awali, kerjakan dulu, menangkan sisi awal. Jangan lupa, persoalan menunda itu bukan hanya persoalan gagal menyelesaikan tugas tapi juga kegagalan memulai untuk mengerjakan tugas. Awali dulu ! Sekalipun mood-nya tidak ada. Saya mengamati pemain piano. Mereka berlatih tidak selalu dalam mood yang bagus. Pokoknya kerjakan saja. Fisik saja, walau hati dan jiwanya tidak mood, tidak apa-apa, kerjakan saja. Tindakan fisik, karena terus memainkan piano itu lama-lama muncul mood-nya. Nah, sama dalam hal ini saya mau meluruskan beberapa asumsi bagi yang punya temperamen melankolik, yang memiliki jiwa seniman. "Saya menunggu wangsit ! Menunggu roh inspirasi itu menghinggapi saya. Baru saya kerjakan." Nanti dulu, semangat atau mood itu bisa kita ciptakan. Dalam hal ini saya terkesan waktu saya belajar mengamati sebuah pemaparan, ternyata seniman di negara-negara maju, mereka tidak bekerja berdasarkan mood, tapi berdasarkan proyek, komitmen, jadwal, disiplin. Jadi mood suasana hati itu bisa diciptakan. Ketika tidak ada mood, ya cari cara bagaimana agar mood itu muncul. Misalnya bicara dulu dengan orang lain, menciptakan idenya, mencari pemandangan lain, peristiwa, tindakan, suasana, supaya moodnya muncul. Begitu mood muncul, langsung kerjakan. Jadi mood tetap perlu, tapi jangan menunggu, tapi ciptakan, 'jemput bola'.
H : Jadi ini rahasia para seniman besar. Bukan karena menunggu mood, mereka justru mengupayakan mood.
SK : Betul dan itu diawali dengan tindakan mendisiplin diri. Bekerja berdasarkan sebuah komitmen. Dari komitmen itu menghasilkan mood.
H : Selain itu, tips apalagi yang bisa Bapak berikan ?
SK : Berkaitan seperti tadi, mulailah dalam ketidak sempurnaan. Jangan mengejar hasil yang luar biasa di awal. Jangan ! Apa yang bisa kerjakan, kerjakan lebih dulu. Kembali, penundaan masalah mengawali, bukan mengakhiri. Jadi awalilah. Misalnya untuk mahasiswa, "Bukunya 'kan belum lengkap !" tidak apa-apa, seberapa buku yang ada mulailah lebih dulu. "Saya belum observasi, belum meneliti semuanya" Tidak apa-apa, apa yang ada kerjakan dulu, mulai dulu. Sama juga "Semua orang belum datang, kenapa tidak menunggu semua datang ?" Tidak apa-apa, seberapa yang ada mulailah dulu. Penting untuk memulai secara dini. Jadi dengan cara demikian akhirnya kita tidak merasa berhadapan dengan raksasa. Ketika kita menunggu semuanya lengkap, bukunya lengkap, nanti kita kebingungan, "bagaimana ya cara merumuskan, mengekstraknya ? Aduh berat sekali." Begitu kalau kita menunggu semua lengkap akhirnya juga kebingungan bagaimana memulainya, mulai dari mana. Maka mulailah dari yang kecil-kecil dulu. Hati-hati juga dengan mencari pola pembenaran diri rasionalisasi. Akhirnya kita sibuk bersih-bersih, sibuk BBM-an, sibuk membaharui status media sosial kita, hati-hati dengan bentuk-bentuk pelarian ini. Jadi kalau kita melarikan diri bukan pada waktunya kegiatan-kegiatan hiburan, itu sudah ciri kalau kita sedang menunda.
H : Artinya, kalau tadi Bapak memberikan saran kita harus memulai memperjuangkan bahkan memenangkan awalan atau titik mulai itu, ketika sudah memulai, sekalipun tidak sempurna, sudah dimulai tapi kok berantakan, tetap lanjutkan ya, Pak ?
SK : Betul. Tindakan yang sangat bijak, Pak Hendra.
H : Dan itu salah satu obat untuk mengatasi penundaan ya, Pak ?
SK : Ya.
H : Ada tips yang berkaitan tentang reward atau hadiah, Pak ? Biasanya 'kan hadiah itu efektif untuk menguatkan dorongan motivasi bagi internal diri ?
SK : Saya sepakat. Reward adalah hal yang penting. Ciptakan hadiah-hadiah kecil. Jangan menunggu hadiah-hadiah besar. Misalnya bisa mengerjakan satu bab, beri hadiah. Bisa mengerjakan laporan dalam satu jam, beri reward. "Akhirnya aku bisa menyelesaikan laporan dalam satu jam." Tidak apa-apa setelah itu 5-10 menit meregangkan otot, jalan-jalan, melihat HP kita. Nanti setelah kita mengerjakan satu hari, buat pesta kecil, atau makan bakso, makan nasi goreng, makan sesuatu yang menyenangkan. Saya bukan menyarankan berhura-hura atau sesuatu yang butuh uang banyak, tidak ! Ciptakan hadiah-hadiah kecil. Belajar menghargai diri sendiri. Kadang kita tumbuh besar menjadi orang yang menghargai diri. Baru kalau juara satu, baru dirayakan, atau kalau ulangtahun saja. Itu akhirnya membuat kita kurang mencintai diri kita dan kurang menghargai diri sendiri. Mari sukses kecil apa pun, buatlah perayaan kecil.
SK : Kelihatannya Pak Sindu berpengalaman tentang membuat hadiah-hadiah kecil seperti ini ya, Pak ?
H : Ya, itu salah satu cara saya untuk termotivasi dan bertekun. Kalau cerita pengalaman kecil, misalnya saya ingat kalau saya lelah saya butuh renang. Waktu renang saya punya target 12 kali bolak balik di kolam renang sedang. Saya coba melakukan 5 kali, akhirnya saya rileks, tidak memaksa dan menikmatinya. Setelah 5 kok enak, baru yang ke-6 dan ke-7. Bentuk-bentuk menurunkan target akhirnya menikmati suatu reward. Kenapa ? Karena saya melakukan hal yang kecil lebih dulu. Ini menolong untuk hal-hal yang besar.
H : Termasuk misalnya menonton televisi juga bisa dijadikan reward ya, Pak ? kalau yang tadi televisi dijadikan pelarian, dia menunda-nunda pekerjaan malah menonton televisi. Seharusnya dibalik ya, menonton televisi menjadi reward-nya.
SK : Tepat. Jadi tindakan yang kita senangi, seperti menonton televisi, membaca koran atau membaharui status media sosial, mari kita letakkan di akhir sebagai reward. Atau di tengah-tengah sebagai reward.
H : Selain reward, apa lagi, Pak ?
SK : Buatlah target yang realistik dan terasa tidak membebani. Mirip seperti yang sebelumnya ya. Misalnya pagi ini baca dua halaman saja, seperti sharing saya tentang renang, saya mengerjakan 5 kali bolak-balik. Diawali dari 1 kali, kemudian 2 kali, kok bisa lanjut, maka tambah 1 kali putaran lagi. Jadi buatlah target yang kecil, pendek, realistik dan tidak membebani. Katakan kepada diri sendiri, cukup baca dua halaman, cukup selesaikan satu laporan lebih dulu. Kemudian beri reward kecil. Selesaikan laporan yang kedua, beri reward kecil, laporan yang ketiga dan seterusnya. Bayangan raksasa itu akhirnya menjadi kurcaci atau semut yang bisa kita mudah kerjakan. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
H : Kalau boleh saya menggabungkan saran-saran Bapak tadi, Bapak berkata di awal-awal kita harus menggunakan energi terbaik kita untuk mengerjakan tugas yang paling tidak kita sukai, itu biasanya tugas yang paling berat. Nah dalam konteks ini, ketika kita melakukan tugas terberat itu, mungkin kita melakukan bagian yang kecil-kecil ya, Pak ? Yang penting tetap disentuh ?
SK : Betul. Mari bagian yang tersentuh itu juga kita rayakan. Jangan, "Cuma satu halaman, cuma satu. Apa sih, tidak ada artinya". Jangan seperti itu. Mari hargai diri, puji diri hebat. Katakan, "Aku hebat. Terima kasih, Tuhan. Aku mampu !" menyemangati diri. Semangat, semangat !! Itu penting !
H : Saya rasa dengan dia melakukan perubahan seperti itu, akan menjadi kejutan tersendiri yang bisa menjadi mata rantai ke motivasi berikutnya, Pak ?
SK : Betul, sukses-sukses kecil itu penting. Perayaan-perayaan kecil itu membangkitkan motivasi yang lebih besar dan akhirnya sukses yang juga lebih besar.
H : Kembali ke isu kesempurnaan, saya terpikir kalau orang yang suka menunda ternyata dalam dirinya ada impian yang tidak realistik tentang kesempurnaan, berarti dia mengharapkan segala sesuatu yang dia kerjakan adalah 'master piece', karya agung. Bagaimana cara mengubahnya, Pak ?
SK : Betul, ciptakan pola pikir baru bahwa tidak semua hal harus menjadi 'masterpiece'. Tekankan sisi produktifitas. Lebih baik mengerjakan 5 – 10 hal dimana salah satunya 'masterpiece' daripada hanya mengerjakan 2 hal 'masterpiece' tapi diwarnai dengan depresi, penundaan, rasa bersalah. Jadi kerjakan. Jangan semuanya harus selalu jadi 'marterpiece'. Kita perlu realistik. Sebenarnya kepuasan ketika kita bisa mengerjakan beberapa hal sekali pun tidak semuanya 'masterpiece', kita akan lebih puas daripada kita mengerjakan 1-2 hal, padahal kapasitas bisa kita kerjakan 10 hal. Walau keduanya 'masterpiece' tapi melewati proses yang sangat menciderai, mensabotase diri kita. Ingat, pikiran untuk selalu menciptakan 'masterpiece' itu sebenarnya mengarahkan kita pada takut gagal dan takut sukses. Pikiran untuk selalu menghasilkan yang sempurna, terbaik dan 'masterpiece' itu yang perlu kita waspadai.
H : Menarik sekali waktu Bapak katakan kita harus mewaspadai pikiran ini. Bukan 'masterpiece' tetapi produktivitas. Tetapi 'kan ada kesulitan bagi orang awam kebanyakan untuk mengetahui batasan. Batasannya seperti apa, produktivitas tapi tidak mengejar kesempurnaan ? Mungkin Bapak bisa membantu mengkonkretkannya.
SK : Poinnya jelas tentang kalkulasi waktu. Artinya begini, misalkan kita punya batasan umum jam kerja 7 – 8 jam per hari. Mari dalam 7 - 8 jam atau bagi orang yang masih studi, katakan 10 jam maksimal, atau bagi yang masih lajang 12 jam maksimal. Itu saja, jangan sampai melebihi itu sehingga tercipta pola hidup yang tidak seimbang atau mengarah kepada 'workaholic' atau kecanduan kerja. Katakan dalam 8 – 12 jam itulah waktu optimalitas kita untuk bekerja, berkarya, studi mengerjakan tugas-tugas. Seberapa yang bisa kita kerjakan, itulah batas produktivitas kita. Yang penting melakukan, tidak mengerjakan kesempurnaan. Nanti kadang yang tidak ingin kita jadikan 'masterpiece' itu malah jadi 'masterpiece'. Karena kita mengerjakan sedikit demi sedikit, lama-lama muncul untuk mengedit, akhirnya menjadi 'masterpiece'. Tapi kalau orang mengawali dengan pikiran untuk 'masterpiece', maka sulit untuk memulai, sulit untuk meneruskan dan mengakhirinya pun dengan tertatih-tatih. Namun kalau orang mengawali tidak dengan keinginan menjadikannya 'masterpiece', beban mentalnya lebih ringan, dia lebih produktif mengerjakan dengan hati yang lapang, justru yang lancar ini bisa jadi 'masterpiece'.
H : Jadi pola pikirnya jangan menekan ?
SK : Tepat. Kerjakan sesuatu dengan sukacita, yang menyenangkan hati kita. sesuatu yang senang 'kan hasilnya akan lebih optimal. Daripada mengerjakan sesuatu dengan rasa tertekan atau depresi.
H : Dan dalam hal batasan waktu kalau dia bisa mengerjakan dari jauh-jauh hari, meskipun dia kerjakan dengan rileks dia punya cukup banyak waktu untuk mengevaluasi kekurangan-kekurangannya ya, Pak ? Dan akhirnya malah bisa jadi 'masterpiece' yang tidak disadari, Pak ?
Sk : Betul.
H : Adakah tips lain yang Bapak bagikan sebagai solusi ?
SK : Yaitu belajarlah untuk mendelegasikan beberapa tugas. Beberapa orang yang mengejar kesempurnaan menangani semuanya sendirian. "One man show". Belajarlah untuk berani mendelegasikan. Artinya jangan belajar untuk pasang target yang semuanya sempurna. Akhirnya semuanya harus kita kerjakan. Belajarlah untuk mempercayakan diri. Ini nanti berkaitan dengan akar masalah yang akan kita bahas di bagian akhir. Prinsipnya secara manajemen, belajar melibatkan orang lain. Apa yang bisa dikerjakan orang lain, kita percayakan pada mereka, sekali pun hasilnya tidak tepat persis seperti yang kita harapkan, belajarlah berdamai. Dan itu yang lebih sehat.
H : Yang menarik mengenai akar masalah. Maksudnya seperti apa, Pak ?
SK : Sebelum saya menyinggung akar masalah itu, kaitannya nanti juga dengan orang lain ini saya tambahkan tips, yaitu daftarkan beberapa dukungan dari orang lain. Jadi ciptakan 'support group', dukungan sosial. Kalau kita punya keterbelengguan dengan penundaan, mari jangan hadapi itu dengan diri kita sendiri, tapi mari sharing berbagi cerita pada pasangan hidup, rekan kerja, sahabat atau rekan pelayanan di gereja. Ceritakan masalah ini dan kita membuat komitmen pada 1-2 orang, kalau kita mau menghentikan kebiasaan ini. Mungkin kita minta tips dari mereka, berdiskusi atau misalnya membuat proyek bersama, tugas yang bisa kita tunda. "Oke, tolong bantu aku cek untuk melakukan ini." Kalau kita sedang berhenti, apa yang orang lain bisa lakukan untuk kita ? Kadang kita yang membuat kita malah stres. Mungkin kita bisa meminta bantuan "Kalau aku lagi berhenti, tolong temani aku berdiskusi." Ini memang sebuah proses pengenalan diri, ya. Tapi intinya mulailah dari melibatkan orang lain. Kita akan temukan pola apa yang bisa orang lain bantu supaya berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Itu akan lebih ringan. Karena menghentikan kebiasaan menunda itu tidak semudah membalikkan telapak tangan kita. Jadi mari ciptakan dukungan, berani sharing, termasuk 'social reward'. "Tolong kalau aku berhasil, tolong puji aku ya !" Kita ciptakan penghargaan, dukungan, pujian dari orang-orang terdekat kita.
H : Dan ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang mengerti, mendukung dan mengasihi kita ya, Pak. Jadi orang-orang yang ada di lingkaran dekat kehidupan kita.
SK : Betul. Termasuk bermain bersama. Kita kadang 'kan terlalu murung dengan tugas-tugas, ajak orang itu untuk bermain. "Aku lesu. Apa yang bisa membangkitkan semangatku ?" supaya menjadi pendamping kita di tengah krisis ancaman penundaan itu.
SK : Saya masuk ke akar masalah. Akar masalah berkaitan dengan 5 faktor penundaan itu. Kaitannya dengan takut gagal. Takut gagal itu sebenarnya mengejar kesempurnaan. Bahwa nilai dirinya ditentukan oleh kinerja. Jadi ini bicara tentang bagaimana kita membenahi nilai diri kita. "Aku berharga bukan karena kinerjaku. Takut sukses juga begitu, bahwa aku berharga karena aku dikasihi dan diterima orang lain. Yang takut kalah juga begitu, bahwa soal menunda. Kenapa ? Dia pertempuran tentang nilai diri. Kalau aku mengerjakan apa yang orang mau, berarti aku kalah. Jadi dalam hal ini, kalau kita punya akar-akar ini, mari kita bereskan. Datang kepada Tuhan, mengaku, "Tuhan, aku tidak merasa berharga. Nilai keberhargaanku kalau aku dihormati, diterima orang lain dan kalau aku menang atas orang lain. Ini bentuk yang tidak sehat, Tuhan, bukan sesuatu yang dari dalam tapi hanya bersifat kosmetik. Aku terluka, Tuhan." Mari kita akui kalau kita mengenal pengalaman-pengalaman apa yang buruk dan membentuk pola-pola nilai diri yang keliru itu. Kita akui. Kalau kita belum mengenali, mari minta Tuhan mengingatkan. Mungkin memang cara yang lebih baik dan lebih mempermudah, kita bisa datang kepada seorang konselor. Atau mungkin seorang hamba Tuhan yang mengerti tentang pelayanan seperti ini. Supaya menjadi rekan doa dan menggali apa akar masalah kita. Pengalaman buruk apa yang terjadi, supaya diangkat ke permukaan, dibereskan dan akhirnya dengan kita mengurai akar-akar emosional, maka asumsi yang keliru dan bersifat bawah sadar itu lebih mudah kita serahkan sesudah kita tanggalkan. Dan mulai menanamkan pola pikir yang baru sambil menerapkan beberapa tips tadi. Termasuk menciptakan dukungan sosial dari teman atau keluarga kita. Tentang akar masalah, ada tiga ketakutan yang tadi ditambah takut berpisah bahwa aku merasa tidak lengkap kalau aku tidak bergantung pada orang lain. Ada yang takut kelekatan, bahwa aku tidak mau dekat dengan orang lain karena aku punya pengalaman buruk berdekatan dengan orang lain. Berarti 'kan ada trauma. Kaitan dengan relasi. Keberadaan diri dan juga keterlukaan. Mari kita datang pada Tuhan, kenali akarnya, mengakui, datang juga pada konselor, hamba Tuhan untuk menolong kita membereskan akar-akar emosional, trauma-trauma keterlukaan ini. Tips tadi bersifat aspek terapan praktis, jangan lupa ada akar yang sifatnya emosional bahkan spiritual. Ini juga perlu kita hadapi dan selesaikan supaya akar kebiasaan menunda itu bisa kita urai dan lebih menjauh dari pola penundaan yang menghancurkan diri kita sendiri itu.
H : Jadi intinya kita berharga sebagaimana adanya kita di hadapan Tuhan, Pak? Bukan karena kita mengejar melalui kinerja atau melalui relasi dengan sesama bahkan relasi dengan diri sendiri, seperti itu.
SK : Betul.
H : Terima kasih untuk seluruh penjabaran solusi yang saya percaya sangat menolong semua pendengar dan semua orang yang mengikuti pembahasan kita ini. Di akhir sesi ini apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Saya bacakan dari Roma 12:2, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna." Jadi kata pembaharuan budi itu dalam bahasa aslinya itu 'Nous' yang bicara tentang jantung atau pusat kehidupan. Bukan hanya tentang pikiran secara kognitif tapi juga tentang emosi, perasaan juga kehendak ada di dalamnya. Inilah yang tadi kita bahas tentang solusi penundaan. Perubahan itu memerlukan perubahan dalam pola pikir, pola rasa, pola perilaku kita, jadi bersifat holistik. Mari kita hadapi semua ini bersama Tuhan, bersama saudara-saudara seiman dan orang-orang yang mengasihi kita, kita ikut sertakan untuk menghasilkan perubahan yang lebih berakar dan lebih bermakna.
H : Terima kasih Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topic "Menunda-nunda" bagian keempat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.