Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Menerima Teguran", bagian yang pertama. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kenapa topik menerima teguran ini penting untuk dibahas, Pak ? Pada satu sisi kita tahu menerima teguran bukan hal yang mudah.
SK : Benar, Pak Hendra. Menerima teguran itu menjadi hal yang secara manusiawi tidak mudah kita terima. Yang lalu kita membahas tentang memberi teguran, itu pun tidak mudah. Terlebih menerima teguran, karena menerima teguran itu memang secara alami kita merasa diserang, direndahkan, dipojokkan dan kita juga bisa terluka karenanya. Tetapi topik ini penting untuk kita bahas dan kita terapkan dalam diri kita masing-masing karena rupanya kalau kita melihat firman Allah, firman Allah jauh lebih banyak membahas secara eksplisit berkenaan menerima teguran daripada memberi teguran.
H : Contohnya, Pak?
SK : Paling banyak di Kitab Amsal. Contohnya di Amsal 9:8 dikatakan, "Janganlah mengecam seorang pencemooh, supaya engkau jangan dibencinya, kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya." Kemudian dikatakan dalam Amsal 17:10, "Suatu hardikan lebih masuk pada orang berpengertian daripada seratus pukulan pada orang bebal." Jadi banyak ayat yang serupa dengan dua ayat yang saya bacakan tadi - baik memakai kata kecam, hardik, tegur dan sebagainya - tentang bagaimana seharusnya sikap dan respons kita dalam menerima teguran.
H : Meskipun secara umum kita merasa diserang jika ditegur, sebenarnya tidak seperti itu ya, Pak ? Karena kalau kita lihat pesan firman Tuhan juga firman Tuhan itu tidak dalam konteks menyerang kita, tetapi berusaha mengarahkan dan mengoreksi kita.
SK : Menyerang juga iya. Ada dua sisi seperti dua sisi mata uang yang sama. Di satu sisi bila kita lihat dalam terang firman Tuhan, memang teguran itu membangun kita, makanya dikatakan, "kecamlah, hardiklah, didiklah" karena itu jalan kehidupan, karena itu akan menjadikan kita orang bijak dan berpengertian serta berbudi. Jadi itu sisi yang membangun bagi kita, tapi rupanya sisi yang lain dari mata uang yang sama, kata-kata yang sama yaitu "kecam, hardik" dan lainnya itu memang kata-kata yang keras. Memang ada sisi menyakitkan, tetapi rasa sakit yang menyembuhkan, derita yang menumbuhkan. Sisi inilah yang rupanya firman Allah ingin kita melihat, jangan hanya lihat sisi buruknya yang tidak menyenangkan kita, tapi lihatlah kebenaran, kebaikan, bahkan berkat yang terkandung di dalam teguran itu sekali pun teguran itu disampaikan dengan cara yang keliru, yang menyakitkan kita. Memang firman Allah ingin supaya kita jangan terpaku kepada kemasannya. "Aduh, kok tidak cantik kadonya ya ? Masa kado ini dibungkus dengan kertas bekas ? Ah, pasti jelek! Tidak mau, buang saja kadonya. Saya tidak mau terima kado ini. Bungkusnya saja seperti itu, pasti isinya jelek!" Jangan bersikap seperti itu ! Mungkin bungkusnya memang jelek, kertas bekas, kertas koran, kertas daur ulang, tapi sangat mungkin isinya emas, berlian, permata, kehidupan yang berharga. Rupanya firman Allah ingin kita fokus pada isinya, sekalipun bungkusnya sangat tidak menyenangkan hati kita, tapi isi yang berharga inilah yang harus kita kejar. Kalau kita demikian, maka kita akan terhitung sebagai orang-orang yang bijak, terhitung sebagai orang-orang yang berbudi, berhikmat, berpengertian dan orang-orang begitulah yang mengejar hikmat di dalam teguran.
H : Tadi Bapak sempat menyebutkan dan kita juga pernah membahas sebelumnya, bahwa memberi teguran itu bisa keliru. Nah, dalam menerima teguran juga bisa teguran. Bisakah Bapak contoh seperti apa sikap yang keliru dalam menerima teguran ?
SK : Sikap yang keliru dalam menerima teguran juga dalam beberapa bagian firman Tuhan khususnya dalam kitab Amsal, sikap yang keliru itu dikatakan menghina teguran sama saja dengan menghina hikmat yang ada dalam teguran itu. Menolak, membenci, mencemooh, mengabaikan, bahkan ada kata-kata yang cukup tajam di dalam Amsal 29:1, "Siapa bersitegang leher, walaupun telah mendapatkan teguran, akan sekonyong-konyong diremukkan tanpa dapat dipulihkan lagi." Jadi sudah mendapat teguran, tapi ngotot dan menolak dengan keras. Katakan sampai urat lehernya kelihatan, firman Allah memakai kata bersitegang leher. Ini sikap-sikap yang rupanya firman Allah katakan keliru. Kita tidak boleh membenci, menolak, mengabaikan, memalingkan wajah kita, apalagi ngotot melawan, bersitegang dengan teguran yang kita terima. Jangan ! Terimalah teguran itu, dengarlah lebih dulu dengan baik-baik, temukan mutiaranya. Itu sikap yang benar dan sikap yang keliru akan justru membawa kita pada kondisi yang diremukkan dan tidak bisa bangkit kembali karena kita terhitung sebagai orang-orang bebal dan bodoh. Jadi firman Allah memang hitam putih ya. Kalau kita mau belajar menerima teguran dengan baik, maka kita akan jadi orang yang bijak dan pandai. Sementara kalau kita menolak bahkan menolak dengan mentah-mentah dan membuang hikmat yang ada dalam teguran itu, berarti kita siap menjadi orang bodoh dan bebal.
H : Artinya kita jangan antipati dengan teguran ya, pak ?
SK : Iya. Rupanya demikian.
H : Sebenarnya kecenderungan kita sebagai manusia dalam menanggapi teguran verbal itu seperti apa, Pak ?
SK : Kecenderungannya, secara alami kita kurang suka dan secara manusiawi kita lebih cenderung bersikap defensif, jarang yang bersikap terbuka, jarang yang terbuka dan siap menerima teguran-teguran itu. Jadi karena kita merasa sensitif dengan harga diri dan rasa aman, maka sikap-sikap yang reaktif itulah yang lebih mudah muncul.
H : Jadi sikap-sikap yang antipati yang tadi disebutkan itu adalah sikap naluriah kita yang akan lebih mudah muncul. Kaena itu kita harus belajar untuk tidak antipati, begitu Pak?
SK : Betul demikian, Pak Hendra.
H : Bagaimana tipsnya agar kita bisa menanggapi teguran dengan tepat, Pak ?
SK : Dalam hal ini yang paling utama kita perlu menyadari bahwa satu prinsip sebagai batu penjuru kita, bahwa saat saya ditegur, saya menanggapi dengan cara yang memuliakan Allah.
H : Maksudnya ?
SK : Yang pertama dan utama adalah bagaimana memberi respons dalam pikiran, perasaan, perkataan, seluruh bahasa tubuh kita itu adalah tanggapan dari hati yang ingin memuliakan Allah sehingga memunculkan ekspresi yang memuliakan Allah. Kita bisa mengutip dari firman Allah dalam 1 Korintus 10:31, "... Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." Makan, minum atau apapun juga, lakukan itu untuk memuliakan Allah. Itu yang menjadi "mindset", paradigma dan batu penjuru kita dalam pola pikir kita. Apapun yang akan kumunculkan dari diriku adalah hal-hal yang memuliakan Allah, termasuk caraku menanggapi teguran, sekalipun teguran itu disampaikan dengan cara yang sangat menyakitkan, tanggung jawabku adalah menanggapinya dengan cara yang memuliakan Allah. Dengan kata lain, ini adalah sikap proaktif. Bahwa aku berpusatkan kepada hal-hal yang prinsipil, bahwa hidupku berpusatkan pada Kristus, hidupku adalah hidup yang mempermuliakan Allah. Perkara kamu mau bicara dengan sembrono, santun, bahasa sumpah serapah, sangat tertata dengan baik, itu urusanmu. Tapi urusanku, saya memuliakan Allah apapun yang aku terima aku tetap memuliakan Allah. Inilah ketetapan, sikap hati yang perlu kita bangun dari hari ke hari, perlu kita latih, kita segarkan dan termasuk siap untuk mendemonstrasikannya ketika kita mengalami situasi yang buruk termasuk menerima teguran dengan cara yang salah tadi.
H : Kalau kita mau menerima teguran tapi kita harus mengetahui kita punya prinsip untuk memuliakan Allah, tentu untuk melakukannya dalam kehidupan, kita perlu mengenali beberapa faktor yang bisa mempengaruhi kemampuan kita menerima teguran dengan baik. Apa itu, Pak ?
SK : Ada beberapa faktor. Pertama kita perlu mempelajari tanggapan-tanggapan yang benar. Yang kedua adalah membuat komitmen kepada Allah, yang ketiga bergantung pada Allah. Jadi yang pertama, kita perlu mempelajari tanggapan-tanggapan yang benar untuk menggantikan tanggapan-tanggapan yang keliru. Untuk menerima teguran yang disampaikan dengan lemah lembut dan penuh kasih itu tidak terlalu sulit untuk kita tanggapi dengan baik dan benar. Tapi kalau kita diserang, ditegur dengan cara yang tidak tepat, kita secara manusia akan tergoda untuk memberikan tanggapan yang tidak tepat. Kemarahan, sakit hati, pembelaan diri, itu cenderung mengambil alih tanggapan kita. Dengan sifat manusiawi yang berangkat dari kemanusiaan kita yang berdosa ini, maka kita perlu sengaja mempelajari tanggapan-tanggapan yang benar, menanamkan nilai dan melatihnya. Setiap kita menerima teguran dari yang paling kecil, sederhana, kita latih untuk menanggapinya dengan cara yang benar.
H : Mempelajari tanggapan yang benar. Langkah berikutnya adalah kita harus membuat komitmen di hadapan Allah, maksudnya seperti apa, Pak ?
SK : Membuat komitmen artinya membuat komitmen untuk menanggapi dengan cara yang benar tadi. Hidupku adalah hidup yang memuliakan Allah, apapun yang muncul dari diriku itu berangkat dari keyakinan jati diriku bahwa aku adalah milik Kristus, aku adalah murid Kristus, aku adalah Bait Roh Kudus dan Roh Allah diam dalam diriku, maka aku akan mengekspresikan hal-hal yang memuliakan Allah, yang Allah sukai. Yaitu hal-hal yang benar, yang mulia, yang suci, yang manis, yang sedap didengar yang disebut kebajikan, hal-hal itulah yang jadi komitmenku untuk muncul dari berbagai sisi hidupku. Baik dalam keadaan senang, lancar maupun dalam keadaan yang penuh hambatan. Ini suatu komitmen yang perlu kita bangun dalam diri kita.
H : Tapi komitmen ini bukan hanya mengandalkan diri sendiri. Tadi Bapak menyebutkan faktor ketiga, kita harus mengandalkan pada kekuatan Allah ?
SK : Benar. Faktor yang ketiga yang mempengaruhi kemampuan kita untuk menerima teguran dengan baik dan benar, kita perlu membangun kebergantungan kepada Allah sebagai sumber kekuatan untuk dapat menanggapi dengan benar. Secara manusia berangkat dari keberdosaan kita, kita sudah ditebus oleh darah Yesus tapi kita tinggal dalam kemah yang lama, jadi jiwa pemberontak, jiwa defensif, jiwa yang ingin mempertahankan ego kedagingan kita itu kuat sekali. Dalam hal ini kita sudah berpegang prinsip, kita mau berkomitmen, kita juga berusaha melatih, tapi ingat kita terbatas. Kekuatan kita tidak sedahsyat itu. Maka kita perlu mengundang Allah, "Tuhan beri aku kemampuan". Mungkin ada saatnya kita diserang dengan teguran, "Tuhan, tolonglah. Hatiku sakit dan ingin membalas. Limpahkan kasih-Mu kepadaku beri aku damai sejahtera supaya aku bisa tenang, supaya bisa menanggapi dengan tepat. Tolong, taruh Roh-Mu dalam perkataanku, dalam hatiku, kuasai jiwaku, Tuhan." Inilah hidup yang bergantung kepada Allah termasuk di tengah krisis ketika kita sedang diterpa teguran yang menyakitkan, mari berdoa berseru kepada Allah. Kita lemah, tapi kalau kita akui kelemahan kita kepada Tuhan maka kita kuat. Di saat aku lemah, maka aku kuat, karena kasih karunia Allah dalam diriku.
H : Kalau misalnya orang yang menegur itu penuh dengan kemarahan, apakah kita hadapi dengan hanya diam saja, Pak?
SK : Ya. Satu hal yang penting, tugas pertama kita adalah memberikan tanggapan dengan cara yang dapat meredakan amarahnya. Jadi hati-hati. Kalau saya suka menyitir dalam konteks ini omongan dalam bahasa Jawa: sing waras kudu ngalah, artinya yang berakal sehat, mari mengalah pada orang yang sedang emosional. Jadi, marah jangan dibalas dengan marah. Bahkan firman Tuhan dengan jelas mengatakan sebuah hikmat yang sangat indah dalam Amsal 15:1, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang yang pedas membangkitkan marah." Memang firman Tuhan menyatakan suatu hikmat yang berlaku dalam kondisi apapun termasuk ketika kita diterpa teguran yang penuh amarah. Kalau kita menanggapi dengan lemah lembut, itu lebih mungkin meredakan amarah orang itu daripada perkataan yang pedas. Itu seperti menyiram bensin ke dalam api yang sedang menyala-nyala, apinya akan tambah membesar.
H : Jadi maksudnya menerima disini kita bukan hanya diam pasif ya, Pak ? Tapi kita juga perlu memberikan jawaban tapi yang lemah lembut yang bisa meredakan amarah.
SK : Ya! Jawaban ataupun respons bahasa tubuh kita, tatapan mata kita, hal-hal yang mungkin saat kita bicara, kalaupun saatnya tepat untuk bicara, nada dan pilihan kata kita dengan ekspresi bagaimana amarahnya itu diredakan lebih dulu supaya tidak semakin memanas.
H : Tapi 'kan tidak selalu demikian, Pak? Kadang kita sudah berusaha memberikan jawaban lemah lembut, berusaha memberikan respons sebaik mungkin, tapi hasilnya tidak sesuai harapan.
SK : Ya. Itu betul. Bagaimana pun kita tidak bisa mengendalikan respons atau tanggapan orang. Ada saatnya sekalipun kita sudah menanggapi dengan benar, dengan cara yang lembut, dengan dilandasi semangat kasih, tetapi orang itu malah semakin membabi buta, semakin merasa di atas angin. Itu sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan, kita tidak bisa mengendalikan perasaan orang itu atau pun kita tidak bisa memaksa orang tersebut untuk menanggapi dengan benar.
H : Bisakah Bapak memberikan contoh, misalnya ada orang yang menegur kita dan kita berusaha memberikan tanggapan, ternyata hasilnya tidak tepat, setelah itu kita harus bereaksi seperti apa ?
SK : Dalam konteks ini mungkin saya ingin mengutip satu bagian firman Tuhan ya, Roma 12:18, "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang." Sedapat-dapatnya. Firman Allah juga mengerti tentang keterbatasan kita. Dalam konteks yang Pak Hendra sampaikan tadi, memang kita perlu menanggapi dengan cara yang benar, kita meredakan, tapi ketika orang itu marah ya apa boleh buat, kalau orang itu tetap marah. Ada kalanya 'kan orang ingin membuang "sampah" dalam konteks ini kita bisa mengambil satu perspektif atau pola pikir, "Oh, orang ini benar-benar terluka. Ya biarkan dia membuang 'sampah'nya itu. Biarkan dia membuang 'sampah'nya dulu sampai titik yang lega baru kita menanggapinya." Dalam hal ini kita bisa mengambil satu sudut pandang, "Kasihan orang itu begitu terluka. Ya sudah, biarkan dia mengeluarkan nanah, batu kerikil, pecahan kaca yang menyesakkan hati dan menggores jiwanya. Biarkan. Nanti kalau dia sudah lega bisa diajak bicara. Mungkin nanti dia akan menyesali. Tapi kalau langsung saya hentikan, dia bisa tambah naik pitam. Biarlah ini menjadi waktunya dia." Kita bisa mengambil sikap demikian. Itu tidak dalam semua kondisi ya. Dalam kondisi tertentu kita bisa menghardik. Contohnya dalam suasana rapat resmi, rapat pleno, rapat perusahaan atau tayangan langsung di ruang parlemen dan sebagainya. Tentu misalnya kita sebagai pemimpin sidang, ini 'kan bukan tentang saya dengan dia, tapi ini ada anak saya (bila di tengah keluarga), ada penonton, ada tamu-tamu yang lain, kita bisa ajak, "Mari kita pergi ke ruang sebelah, Pak." Kalau dia menolak, kita bisa meminta orang lain, misalnya satpam, untuk membawa orang itu ke tempat yang memiliki privasi dan biarkan orang itu "buang sampah" di sana. Jadi ini bukan berarti yang saya sampaikan itu berlaku membabi buta tidak melihat konteks. Kita perlu melihat konteksnya, kita bukan hanya peduli dengan orang itu tapi kita juga peduli dengan lingkungan sekitar. Misalnya di hadapan murid-murid sekolah, anak-anak kecil, misalnya kita guru dan orang itu adalah orang tua murid yang membabi buta. Kasihan anak-anak bisa trauma 'kan ? Besoknya tidak mau sekolah. Berhari-hari terbayang-bayang. Kita bisa mengambil sikap bahwa orang itu harus diminggirkan dulu. Dia boleh marah, bahkan sampai mengeluarkan sumpah serapah atau umpatan, karena nilainya begitu, tapi jangan di hadapan mereka. "Ayo kita pindah dari sini, Pak. saya siap dimarahi dan menerima seluruh umpatan Bapak. Tapi jangan di ruangan ini, ada anak-anak. Tidak terhormat marah di sini. Mari kita pindah." "Saya menghargai Bapak dan siap mendengar Bapak. Tapi saya tidak terima kalau itu disampaikan di kelas ini. Cara Bapak keliru." Kita bisa tegas ya, karena situasi yang kritis kita bisa mengambil sikap. Kembali, ini dilandasi dengan sikap yang memuliakan Allah, semangat kita bukan semangat ingin membalas tapi ingin menolong dia dan lingkungan sekitar kita.
H : Apakah boleh kalau kita saja yang menghindar ?
SK : Lari ?
H : Maksudnya ketika kita sudah berusaha memberikan reaksi seperti yang telah Bapak jabarkan tadi ternyata tidak terlalu menolong, ternyata dia lebih meledak, lalu Bapak menyarankan mengajak dia ke tempat lain. Saya membayangkan kalau dia sudah berdua dengan kita, tapi dia masih terus menyerang kita dengan membabi buta, kadang-kadang ada tahap dimana kita sulit bertahan. Apa boleh kita saja yang menghindar, begitu ?
SK : Jadi sudah berdua ya ? Itu masih mungkin bisa dilakukan ketika kita merasa kesulitan untuk menguasai diri. Dari pada batu dibalas dengan batu, api dibalas dengan api, kalau kita sudah merasa melampaui batas kesanggupan kita untuk menguasai diri, menahan emosi yang meletup-letup juga, lebih baik pergi tinggalkan dia. "Maaf Pak, saya merasa ini malah membangkitkan situasi yang lebih berat dan sulit. Saya pun merasa seperti terus diserang oleh Bapak. Maaf kalau saya bilang saya tidak tahan. Lebih baik kita berhenti dulu. Bagaimana kalau kita bertemu besok pukul 9 pagi, silakan Bapak datang lagi dan saya akan siap menerima Bapak. Kita lanjutkan besok". Ini salah satu kemungkinannya. Kalau perlu kita hadirkan mediator. Kalau kita merasa kesulitan untuk mengelola diri, kita merasa terluka, libatkan pihak ketiga untuk bisa membantu menengahi, memediasi situasi konflik kita dengan orang tersebut. Ini bisa dilakukan.
H : Tapi ketika kita menerima teguran, terutama dari pihak yang lebih berotoritas, kita kesulitan untuk bernegosiasi meminta bertemu besok saja untuk membahas lagi. Ada kalanya orang yang bersangkutan itu cenderung menginginkan kita hanya menerima dan berdiam diri. Bagaimana, Pak?
SK : Dalam hal ini, ini soal negosiasi kita, apakah kita mau bertahan dan itu berarti jabatan dan posisi kita tetap bertahan, ataukah kita tidak kuat dan meninggalkan gelanggang tanpa pamit dan itu artinya kita siap dipecat saat itu juga. Jadi tergantung seberapa harga yang berani kita bayar.
H : Yang terakhir, apakah ada perbedaan antara mengkritik, mengomel, dan menegur?
SK : Hal-hal itu bisa sama, hanya soal kata. Kata bisa memunculkan berbagai cara menafsirkan. Bisa jadi ketiga kata itu sama, bisa jadi. Tapi juga bisa jadi berbeda. Menegur prinsipnya, sebagaimana pembahasan kita di sesi yang lain, menyampaikan kebenaran dengan semangat kasih. Jadi menegur itu bisa tanpa mengomel, tanpa menyakiti orang lain. Tapi menegur juga bisa dengan mengomel atau "membuang sampah". Sedangkan menegur yang benar itu tidak "membuang sampah". Sampahnya dibuang kepada Tuhan. Kita hanya menegur dengan tujuan membangun orang itu bukan untuk membalas sakit hati kita. Mengkritik juga begitu, dalam arti membangun cara yang benar, hati yang sejuk, itu bisa. Tapi mengkritik dengan semangat "membuang sampah" dan membalas dendam, juga bisa. Jadi tergantung bagaimana kita menerjemahkan kata-kata itu.
H : Terima kasih untuk percakapan yang sangat menarik ini, Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menerima Teguran" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.