Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Antara Rasio dan Perasaan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, ada pandangan bahwa kaum wanita memunyai kecenderungan lebih mengedepankan perasaan daripada rasio dalam menghadapi masalah. Bagaimana tanggapan Bapak ?
SK : Itu merupakan gambaran umum ya. Saya memang menerima keluhan atau mendengar ada wanita yang emosinya meletup-letup sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional tersisihkan. Tetapi saya tidak sulit untuk menemukan pria-pria yang demikian, yang emosional dalam tindakannya, istilahnya pukul dulu baru berpikir. Jadi saya tidak berani men-stereotype-kan atau mengkotakkan bahwa kaum wanita itu emosional dan pria itu rasional. Hal itu terlalu menyederhanakan dan kurang memberi ruang bahwa ada wanita yang sangat rasional sebaliknya ada juga pria yang sangat emosional. Jadi kedua jenis kelamin ini masih ada kemungkinan mengalami pergulatan yang mengedepankan perasaan dari pada rasionalitas. Sekalipun memang mungkin kesannya wanita lebih banyak bergumul tentang hal ini.
H : Jadi, mungkin ya. Seperti kata Bapak, tampaknya bisa jadi perasaan wanita itu lebih hidup daripada rasionalitas mereka, tapi sebaliknya pria lebih mengedepankan pikiran dari pada perasaan. Mungkin sebagian besar pria atau wanita punya kecenderungan seperti itu tapi kita tidak bisa pukul rata ya.
SK : Betul. Karena sisi-sisi perasaan dan rasionalitas keduanya ada pada pria dan wanita. Dan keunikan masing-masing tetap ada tempatnya.
H : Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang akan menjadi akibat kalau misalnya kita lebih mengedepankan perasaan daripada pikiran di dalam menghadapi sebuah masalah ?
SK : Yang pertama, dia akan rentan untuk tertipu dan keliru memutuskan.
H : Contohnya seperti apa ?
SK : Misalnya kita bertemu dengan seseorang yang berpenampilan memelas. Dia berkata, "Nak, aku berasal dari tempat yang jauh untuk mencari anakku. Belum bertemu anakku eh tiba-tiba aku kecurian dan tidak punya apa-apa. Bolehkah aku minta uang untuk pulang ?" Nah, penipu seperti itu banyak di sekitar kita. Mereka mengelabui sehingga perasaan kita tergerak, tidak lagi mempertimbangkan sisi rasionalitas. Akhirnya kita tertipu atau keliru memutuskan malah memberi bantuan pada penipu ini. Atau sebaliknya, karena perasaan terluka kita menjadi reaktif langsung merespons, "Aku terluka. Dia pasti menghina aku. Dia memang sudah punya niat jahat. Dia jahat sekali!" mengedepankan perasaan akhirnya kita salah mengambil langkah, masalah bertambah besar karena kita reaktif dalam menentukan respons kita ini.
H : Termasuk misalnya kalau kita menyapa seseorang dan orang itu tidak menjawab sapaan kita, kita langsung pakai perasaan, "Wah dia menolak saya! Dia sentimen pada saya." Padahal belum tentu ya.
SK : Betul. "Wah dia sombong. Dasar orang kaya, baru saja suaminya dapat jabatan tinggi, anaknya jadi bintang kelas. Pasti dia sombong." Ketika kita mengedepankan perasaan, akhirnya kita salah dalam menilai, salah juga dalam memutuskan sikap kita ataupun keputusan kita itu.
H : Selain rentan tertipu dan keliru memutuskan, apa akibat lainnya, Pak ?
SK : Yang kedua adalah berpikir negatif dan menghakimi. Mirip ya dengan yang tadi. Berpikir negatif misalnya, "Pasti dia begini." Dan kita juga mulai menghakimi, "Memang dari kakek nenek, papa mama, anaknya, cucunya, memang semuanya sama !" jadi kita menghakimi dan memberikan label negatif, berprasangka buruk, berpraduga bersalah kepada orang yang kita kenai perasaan kita itu.
H : Ibarat pohon mangga. Ada 100 buah mangga, baru makan 3 buah semuanya busuk sudah langsung pukul rata bahwa semuanya busuk.
SK : Betul.
H : Padahal mestinya tidak bisa seperti itu ya ? Selain kita bisa menjadi berpikiran negatif dan menghakimi orang lain, apakah emosi kita sendiri jadi buruk juga ? Apakah kita bisa memiliki kecenderungan berpikiran negatif, Pak ?
SK : Betul. Itu poin ketiga. Ketika kita mengedepankan perasaan maka kita akan lebih gampang dikuasai oleh emosi-emosi negatif atau perasaan-perasaan negatif. Artinya hubungan kita dengan orang lain lebih mudah memburuk ketimbang lebih baik. Jadi karena itu tadi, kalau kita mengedepankan perasaan, lebih banyak perasaan negatif yang terstimulasi dan itu yang menguasai kita. Akhirnya beberapa orang cenderung menjauh, bersikap asosial atau menarik diri. Misalnya, "Buat apa ke gereja. Lihat cara dia memandang. dia curiga padaku." Misalnya dikatakan, "Tidak biasanya datang pagi ?" memang selama ini kita datang terlambat, tapi kita langsung marah, "Enak saja. Dia menghina aku. Memangnya aku tidak pernah datang lebih pagi !" itu karena dia anggap sapaan teman itu sebagai sikap yang meremehkan kita, dia menganggap kita suka terlambat. Akhirnya kita marah, jengkel, bahkan kepahitan dan tidak mau ke gereja, hubungan kita dengan orang itu jadi memburuk, karena kita merasa dia selalu mencari celah untuk menyakiti hati kita.
H : Yang bicara "tidak biasanya datang pagi" itu harus lebih peka juga ya kalau dia mau mengutarakan karena bisa disalahtafsirkan ya.
SK : Betul. Ada orang-orang tertentu yang memang polos sehingga kata-kata seperti itu terlontar secara refleks. Memang kalau kita sudah punya pengalaman seperti itu, lebih baik kata-kata "tidak biasanya" itu diminimalkan dari perbendaharaan kata kita. Karena kata "tidak biasanya" itu dapat memicu amarah atau sakit hati bagi orang yang sensitif atau yang lebih mengedepankan perasaan.
H : Berarti pelajaran yang bisa kita petik bila akibatnya begitu fatal dan bisa merusak hubungan, kita perlu berhati-hati, jangan sampai terlalu reaktif, jangan mudah mengedepankan perasaan tapi rasio juga harus dihidupkan ya,Pak ?
SK : Betul.
H : Tapi solusi praktisnya bagaimana, Pak?
SK : Solusi pertama, kenalilah perasaan negatif yang muncul. Kalau kita merasa tidak enak hati, coba tanyakan tidak enak dalam hal apa. Misalnya karena aku sedang jengkel, marah, tersinggung atau sedang sedih ? Coba kenali supaya kita bisa menganalisa. Kemudian kita mencari akarnya. Misalnya kenapa aku marah ? Kenapa aku tersinggung ? Oh ternyata aku tersinggung karena kata "tidak biasanya". Kenapa ? Kata "tidak biasanya" membuat aku merasa selama ini aku buruk dan hanya kali ini saja aku baik. Nah, coba kita baca perasaan kita dan dibalik perasaan itu kita kenali apa pola pikir kita, asumsi-asumsi apa yang membuat kita sedih, jengkel, perasaan tertolak. Ini bagian dari mengenali diri. Sehingga dengan demikian kita bisa masuk kepada langkah-langkah berikutnya untuk menghasilkan respons yang tepat.
H : Pak, saya jadi teringat lagu Agnes Monica yang berkata, "Cinta ini kadang-kadang tak ada logika". Maksudnya saya ingin bertanya, di dalam kita merasa pun sesungguhnya ada logika juga ya. Logika bukan hanya ranah berpikir ya ?
SK : Betul. Sesungguhnya bukan hanya pikiran atau rasio yang memiliki logika, perasaan pun juga memiliki logika. Artinya ada hukum sebab akibat. Saya marah, tersinggung atau sedih itu adalah akibat dan ada sesuatu yang menjadi penyebabnya. Oh, ternyata karena ada kata "tidak biasanya", karena dia tidak mau menerima jabat tangan saya, atau karena pada waktu berpapasan dia membuang muka. Ini yang perlu kita pahami, logika apa yang ada dibalik perasaan kita.
H : Dan untuk memunculkan logika itu memang pikiran juga harus dikerjakan, maksudnya harus dibuat aktif untuk memikirkan hubungan logika itu ?
SK : Tepat, Pak Hendra. Dengan kita mempertanyakan diri kita sendiri, kita sedang menuju arah yang baik, yang benar dan yang sehat dimana pikiran kita diaktifkan untuk menjelaskan rentetan perasaan itu.
H : Dan itu membuat kita secara otomatis mengerem sikap reaktif yang mengedepankan perasaan.
SK : Iya, sebagai langkah awal.
H : Iya. Langkah awal memang penting untuk kita melihat ke dalam diri kita, melihat perasaan negatif apa yang muncul. Tapi kadang kita ada praduga kepada orang itu, misalnya yang berkata tidak biasanya atau berkata yang tidak enak di dengar. Bagaimana mengolah perasaan negatif terhadap orang itu ?
SK : Langkah kedua adalah terapkan praduga tak bersalah kepada orang itu dan kembangkan pikiran positif. Jadi ketika kita merasa tersinggung misalnya karena dia memakai kata "tidak biasanya" atau membuang muka, maka kita berpikiran, "Pasti dia membenciku. Dia tersinggung atau marah." Coba langkah yang kedua, tetapkan bahwa dia belum tentu bersalah, "mungkin dia sedang tergesa-gesa. Mungkin dia sedang capek. Mungkin dia sedang punya masalah di pekerjaannya sehingga dia berjalan tanpa fokus ke depan, pikirannya sedang kacau sehingga dia tidak melihat dengan cermat siapa yang di depannya. Atau kenapa dia pakai kata tidak biasanya sebenarnya dia bukan mau merendahkan saya. Karena faktanya ‘kan saya punya kebiasaan terlambat. Itu hanya karena dia kaget saya datang lebih awal, diluar kebiasaan." Cobalah kembangkan pikiran yang demikian untuk menghambat perasaan negatif agar tidak menguasai kita.
H : Termasuk kita perlu memikirkan latar belakang orang itu ya. Bisa jadi dia berasal dari latar belakang budaya yang cara bicaranya memang ceplas-ceplos.
SK : Bisa.
H : Selain dua solusi tadi, langkah berikutnya apa ?
SK : Yang ketiga, kita bisa mengumpulkan fakta. Kumpulkan semua fakta dan bertanyalah. Dalam hal ini seperti yang Pak Hendra sampaikan kenapa dia demikian ? Mungkin faktanya dia memang netral saja atau mungkin dia sedang ada masalah sehingga dia tidak membalas sapaan saya, tidak segera membalas email saya, coba cari faktanya. Misalnya, "Tadi kamu kenapa kok berjalan seperti tidak melihat ke depan ? Ada apa ?" Coba klarifikasi, kumpulkan fakta. Mungkin kita juga bisa mengecek latar belakangnya kepada orang lain. "Oh, orang ini memang ketus dan pilihan katanya cenderung tajam. Bukan kamu saja yang mengalaminya, aku juga, teman-teman juga." Akhirnya kita mendapat fakta ternyata dia memang lahir dari kondisi keluarga yang sering melukai dia sejak kecil sehingga dia hidup dalam kepahitan, akhirnya yang muncul dari hatinya adalah hal-hal yang memahitkan orang lain. Hal ini bisa menjadi dasar kita untuk mengimbangi asumsi keliru dan perasaan negatif kita. Tadi dia ‘kan berpikir dia sombong, dia membenci kita, kita satu-satunya korban. Nah, dengan kita mengumpulkan fakta, kita akan punya data yang objektif, gambar besar dari kondisi yang menyeluruh, sehingga kita lebih mudah memunculkan rasa maklum. "Pantas dia seperti itu. Dia membuang muka bukan karena menolak aku tapi karena sedang dirundung masalah." "Pantas pilihan katanya tajam karena memang dia sering menjadi korban kekerasan verbal dari orang tuanya, sehingga dia hidup dalam kepahitan dan yang mudah keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang pahit dan menyakitkan. Dan korbannya bukan hanya aku." Dengan mengumpulkan fakta, kita bisa mempunyai respons yang lebih terkendali, tidak meledak-ledak, tidak impulsif, atau bersifat emosional. Tapi respons kita adalah respons yang terukur, logis dan berdasarkan fakta, berdasarkan pikiran rasionalitas kita.
H : Terkait mengumpulkan semua fakta ini, saya berpikir tidak mungkin bila untuk semua hal kita harus mengumpulkan fakta. Misalnya kalau kita memanggil dan orang itu tidak menjawab. Kalau ada yang bisa kita abaikan ya kita abaikan saja, karena akan sangat menguras energi jika hal-hal kecil seperti itu kita perhatikan juga.
SK : Betul. Tentunya hal ini untuk kasus-kasus yang cukup mengganggu kita, artinya ada hal-hal yang perlu kita abaikan dan memberi kasih karunia. Ada kaitannya dengan solusi berikutnya, yaitu pupuklah gambar diri yang positif tentang diri kita sendiri. Jadi, ada kalanya kita ini terlalu peka karena kita orang yang terluka. Karena kita terluka maka kita gampang merasa dilukai. Ibaratnya kita punya banyak bisul di sekujur tubuh kita. sehingga ketika orang lain tidak sengaja menyenggol tangan kita, kita kesakitan ! Bukannya dia yang menyakiti kita. ‘kan hanya tidak sengaja kesenggol. Tapi karena kita punya banyak bisul, sehingga dengan sedikit senggolan yang mestinya tidak apa-apa menjadi apa-apa. Poin pentingnya adalah kita perlu mengenali apakah kita memang orang yang mudah tersinggung. Kalau kita mudah tersinggung artinya kita terlalu peka, berarti ada luka dalam diri kita. Luka perasaan, kita memiliki gambar diri yang buruk, konsep diri yang negatif, penghargaan diri yang rendah, sehingga sedikit-sedikit kita merasa direndahkan, karena kita memang memandang diri rendah. sehingga kita tidak mudah menerima pujian orang lain, sebaliknya orang lain memandang hal yang bagi kita minor kita mudah membesar-besarkan hal itu. Kalau demikian mari kita cari pertolongan. Sedia dilayani dalam hal pemulihan diri, menjalani konseling yang mendalam supaya kita memiliki gambar diri yang benar, berdasarkan gambar diri Kristus, memiliki penghargaan diri yang sehat berdasarkan kasih dan penerimaan Kristus. Dan luka kita di masa lalu kita serahkan kepada Kristus untuk dibuang dari hidup kita. Kita bangun suatu penghargaan diri yang sehat dari Allah semata. Sehingga ketika orang lain sengaja menyakiti kita, kita tidak akan terlalu kesakitan, karena kita memunyai imunitas dari Allah. Faktanya orang lain memang menyakiti saya. Yang kedua, saya mengakui. Tapi yang ketiga, saya tidak terlalu kesakitan karena penghargaan diriku berasal dari Allah, aku melakukan hal yang benar, orang lain memandang aku salah, ya tidak apa-apa. Itu salib yang harus aku pikul.
H : Dengan kata lain bisul-bisul itu disadari dan disembuhkan dulu ?
SK : Betul.
H : Pak, saya coba mengulangi dari awal, tadi Bapak katakan yang pertama adalah kenali perasaan negatif yang muncul. Langkah kedua adalah terapkan praduga tak bersalah. Langkah ketiga adalah kumpulkan semua fakta dengan bertanya. Langkah keempat adalah memupuk citra diri yang positif. Dengan empat langkah ini saya apakah cukup ?
SK : Saya tambahkan langkah kelima yaitu komunikasikan dan bangunlah dialog.
H : Maksudnya bagaimana ?
SK : Dalam hal ini bagikan informasi tentang diri kita. Misalnya "Aku tadi merasa tersinggung dengan kata-katamu tadi." "Aku merasa kecewa kamu tidak hadir di pesta pernikahanku." "Aku merasa diabaikan olehmu. Keputusan yang kamu buat itu sepertinya tidak memberi ruang kepadaku dalam tim ini." Kita bisa bagikan apa yang kita alami tanpa menyerang orang itu. Dalam bahasa teknis artinya ‘Pesan Saya’ atau I Message (Saya dan Perasaan Saya). Bukan sebaliknya. Kalau yang menyerang seperti ini contohnya, "Kamu itu orangnya tidak tahu perasaan ya." "Kamu memang sombong ya!" "Kamu mengabaikan saya ya. Kalau ada kepentingan kamu mencari aku, tapi sekarang kamu mengabaikan aku. Habis manis sepah dibuang. Keterlaluan!" ini adalah Pesan Kamu. Kalau Pesan Saya, "Saya merasa terabaikan. Saya merasa tidak dihargai." Kita bisa mengkomunikasikan diri kita dan membangun dialog. Atau kita bisa membagikan apa yang terjadi, kenapa bisa demikian. Dalam hal ini kita membangun pemahaman dan mengkomunikasikan dengan cara yang baik, asertif, berterus terang tanpa menyakiti, bernegosiasi. Dan kalau memang dia melakukan sebuah kesalahan, minta dia untuk melakukan perubahan, "Lain kali kalau kamu seperti itu, tolong beritahu aku dahulu." "Kalau nanti kamu mau meminjam barangku, lebih baik kamu minta ijin dulu. Tidak apa-apa barangku kamu pinjam, tapi bicara dulu." Jadi kita minta perubahan dari orang itu dengan cara mengkomunikasikan dan dialogkan.
H : Jadi dimulai dengan kata "Saya" bukan "Kamu" ya, Pak ? Dan nadanya juga harus dijaga ya ? Sekalipun ngomongnya "Saya" tapi dengan marah-marah ya tetap saja perasaan yang dia kedepankan.
SK : Betul. Maka memang kalau kita dikuasai perasaan negatif yang begitu kuat, sebaiknya jangan langsung bertemu dengan orang itu, buang dulu "sampahnya" kepada Tuhan. "Tuhan, aku marah. Aku tersinggung dan merasa terabaikan. Di dalam nama Yesus aku menyerahkan perasaan ini kepada-Mu, aku mau menerima kasih karunia-Mu, damai sejahtera-Mu, sehingga aku tidak dikuasai amarah dan aku siap bertemu dengan saudaraku untuk menjernihkan dengan hati yang sejuk, dengan kepala dingin, bukan dengan sikap yang terluka atau sikap yang emosional." Jadi kita mengawali komunikasi dan dialog itu dengan semacam penetralan diri dari perasaan-perasaan yang meletup-letup.
H : Selain menggunakan kata yang tepat yaitu kata "Saya" dengan nada yang sudah netral, juga harus memperhatikan moment/saat atau waktunya ya ?
SK : Betul.
H : Langkah berikutnya apa ?
SK : Kalau dia memang bersalah, ampunilah dia. Atau serahkan kepada Allah, artinya tidak menyimpan sampah. Ada kalanya orang itu memang menyakiti kita, maka kita mengampuni dia. Kalau dia malah membela diri, "Itu ‘kan terserah kamu. Suka-suka aku melakukan itu. Perkara kamu tersinggung ‘kan itu perasaanmu bukan perasaanku", jawabannya begitu ketus. Ya sudah, jangan simpan kepahitan. Ampuni dia di dalam nama Yesus dan serahkan dia pada Allah. Artinya kita tidak menyimpan luka. "Tuhan aku terluka dan marah kepada dia karena caranya yang menyakiti hatiku. Tapi Engkau berkata jangan pendam amarahmu sampai matahari terbenam. Jangan dikuasai amarah dan kegeraman. Maka di dalam nama Yesus aku mengampuni dia. Aku mengampuni bukan karena dia berubah dan minta maaf, tapi karena aku sudah menerima pengampunan dari Allah secara melimpah, aku punya kuasa untuk mengampuni dia. Dalam nama Yesus aku serahkan dia dalam tangan-Mu. Aku tidak mau menyimpan akar pahit."
H : Jadi kita memberikan pengampunan tapi tidak harus sampai terjadi rekonsiliasi. Kadang ‘kan pihak yang sana belum tentu mau diajak dialog atau membereskan masalah ini.
SK : Iya. Memang mengampuni dan berdamai kembali atau rekonsiliasi itu dua kamar yang terpisah. Mengampuni adalah tindakan sepihak saya dengan Allah, tanpa orang itu datang dan meminta maaf pun, saya bisa mengampuni karena tindakan sepihak, tindakan iman. Tetapi untuk berdamai kembali seperti dulu, nanti dulu, dia mengaku salah atau tidak ? Dia sempat minta maaf atau tidak ? Apakah dia menunjukkan perubahan perilaku atau tidak ? Kalau tanpa semua itu, jangan berbaikan kembali. Artinya hati saya sejuk, ketika bertemu dengannya saya tidak lagi dikuasai amarah malah yang muncul adalah belas kasihan Allah. Tapi untuk bekerja sama sebaik dulu, lihat dulu, apakah dia sudah menunjukkan perubahan ? Atau minimal sudahkah dia mengaku salah dan meminta maaf ? Kalau tidak ya sebatas menyapa saja, tetapi untuk berdekatan dan berbagi seperti dulu tidak lagi kita lakukan.
H : Iya. Mungkin saya ingin menambahkan. Tadi Bapak singgung tentang menyembuhkan bisul-bisul kita dulu. Tampaknya mengampuni adalah satu langkah yang sangat efektif untuk menyembuhkan bisul-bisul itu ya ?
SK : Iya. Yang saya maksud dengan bisul adalah masalah yang berhubungan dengan orang itu sekarang ya. Jadi kita sudah terlalu peka, terlalu merasa mudah disakiti, terlalu mudah tersinggung bukan karena semata-mata tindakan dan perkataan orang itu, tetapi kita sudah punya luka di masa lalu. Orang ini hanya kebetulan menyenggol kita. tapi bukan dia yang membuat kita kesakitan, melainkan orang yang melukai kita di masa lalu. Itu memang salah satu langkah pembersihan sampahnya selain mengakui dan menyerahkan luka kepada Tuhan adalah dengan mengampuni di dalam nama Yesus, kita mengampuni orang-orang di masa lalu baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.
H : Yang terakhir mungkin mewaspadai saat-saat sensitif kita ya, Pak ?
SK : Betul. Ada saatnya kita lelah secara fisik, pikiran, emosi. Kering secara spiritual. Mari kalau kita sedang peka, waspadai itu dan kita menarik diri. Mudah kita merasa terluka, mudah untuk mengasihani diri sendiri, sehingga mari kita menarik diri untuk bisa disegarkan kembali sehingga kita bisa mengolah respons kita secara emosi dan secara pikiran.
H : Iya. Apa pesan firman Tuhan yang berkaitan dengan topik ini, Pak ?
SK : Saya bacakan dari Kitab Amsal 12:15-16, "Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri. tetapi siapa mendengarkan nasihat, dia bijak. Bodohlah yang menyatakan sakit hatinya seketika itu juga. Tetapi bijak yang mengabaikan cemooh." Jadi Pengamsal dengan tajam menunjukkan kalau kita mau mendengarkan, mau mengumpulkan fakta, mau mengabaikan kata-kata buruk, mengabaikan hal-hal yang menyakiti kita maksudnya meresponi dengan tepat, maka kita akan menjadi orang yang bijak, orang yang benar, orang yang akan berhasil dalam jalan hidup kita.
H : Terima kasih untuk percakapan kita yang sangat menarik ini, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Antara Rasio dan Perasaan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.