T 215 B
Lengkap
"Bayang-bayang Masa Lalu" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Bayang-bayang Masa Lalu". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, sebenarnya ada banyak orang yang saat ini masih dibayang-bayangi oleh masa lalunya, masa lalu itu justru bukan masa lalu yang menyenangkan tapi masa lalu yang kurang menyenangkan. Tapi ada juga orang-orang yang bisa bangkit dari masa lalunya dan sekarang bisa hidup dengan baik, berprestasi dengan baik. Ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Yang Pak Gunawan katakan memang tepat, sebenarnya kita ini terus dibayang-bayangi oleh masa lalu kita, namun pada akhirnya terserah pada kita apa yang akan kita lakukan dengan masa lalu itu. Ada orang yang berhasil melewati masa lalunya karena bersedia menatap masa lalunya. Yang saya maksud dengan menatap adalah sungguh-sungguh melihat sebenarnya apakah yang telah terjadi dan apakah dampak dari masa lalu terhadap dirinya sekarang ini. Setelah pengakuan itu dilakukan, maka orang ini berketetapan hati untuk mengadakan perubahan. Malangnya, ada sebagian orang yang tidak bersedia melihat masa lalunya, mungkin baginya terlalu menyakitkan atau terlalu memalukan, sehingga dia lebih suka menggunting masa lalu dari kehidupannya. Persoalannya adalah masa lalu yang digunting itu tidak "terbang" meninggalkannya, tetap ada di dalam dirinya dan (ini yang berbahaya) terus memberi pengaruh terhadap perbuatannya, tingkah lakunya, sikapnya, cara pikirnya dan perasaan-perasaannya. Namun karena dia tidak mau melihatnya, kaitan itu dengan masa lalunya maka pada akhirnya dia terus-menerus dikuasai oleh bayang-bayang masa lalunya.
GS : Jadi usaha-usaha untuk melupakan masa lalu atau menghilangkan jejak masa lalu, itu sebenarnya usaha yang sia-sia, Pak Paul?
PG : Betul, karena memang tidak bisa kita hapus, Pak Gunawan. Jadi yang perlu kita lakukan adalah melihatnya, apa sebenarnya yang terjadi, apa dampaknya pada diri kita sekarang ini, kemudian kta mengakuinya-kita menjadi seperti ini, kita mempunyai masalah ini dan itu gara-gara masa lalu kita, kemudian mencoba untuk mengubahnya.
GS : Tapi ada sebagian orang yang tidak mau masa lalunya itu diungkit-ungkit, jadi kalau ada orang mulai bercerita atau menanyakan masa kecilnya dan sebagainya, dia selalu menghindar atau bahkan ada yang marah kalau masa lalunya itu dipersoalkan.
PG : Betul, namun kalau dia terus begitu, masa lalu tersebut akan mengikuti dan bahkan menguasainya. Sebagai contoh, kalau kita mengalami kepahitan sebagai anak akibat orangtua bercerai, tapi ebetulnya kita tidak lagi mau melihat apa yang terjadi saat itu dan apa dampaknya pada diri kita.
Kita mau menggunting masa lalu itu dari hidup kita. Saya khawatir, di masa dewasa kita menjadi orang yang sangat susah percaya pada orang lain, tapi kita menyalahkan orang bukannya melihat diri sendiri. Kita berkata: "Mana bisa saya percaya, sebab dia begini, begini." Memang betul, bahwa orang tidak sempurna pasti ada kekurangan, tapi inilah hidup dan kita membangun kepercayaan bukan di atas kesempurnaan; kita membangun kepercayaan di atas ketidaksempurnaan. Tapi orang ini selalu menyoroti kekurangan-kekurangan dan menjadikan kekurangan ini sebagai alasan tidak bisa percaya pada orang. Berarti, dia tetap diikat oleh masa lalunya.
GS : Apakah itu yang disebut masalah relasional?
PG : Ya, sebab akhirnya mengganggu relasinya dengan sesama, akhirnya dia tidak bisa membangun sebuah relasi yang sungguh dalam dan bermakna, bebas dan nyaman. Selalu nantinya berujung pada konlik atau masalah lainnya.
GS : Tetapi kalau pun kita percaya kepada orang lain, kadang-kadang itu malah mengecewakan kita?
PG : Nah, sebagian kita yang telah dikecewakan bangkit, belajar mempercayai orang lagi. Kita bisa berkata, "Ya, dia memang mempunyai kelemahan di sini, OK-lah saya memang terluka, tapi tidak brarti semua orang seperti dia."
Kita tidak menyamaratakan satu orang sama dengan semua manusia di dunia, tapi bagi kita yang masih dibayang-bayangi masa lalu, karena kekurangpercayaannya ini akan menyamaratakan semua orang, meskipun kita hanya dilukai oleh satu orang saja. Atau kita dikecewakan oleh seseorang, tapi kita masih bisa berkata dia itu terdiri dari banyak hal, satu memang telah mengecewakan tapi ada banyak hal dalam dirinya yang positif. Kita bisa melihat seperti itu, tidak langsung mengecap bahwa orang itu pasti orang yang tidak bisa dipercaya, orang yang memang berkarakter buruk dan sebagainya. Bukankah belum tentu, kita mempunyai kelemahan di satu aspek, belum tentu mempunyai kelemahan di semua aspek. Tapi kalau orang diikat oleh masa lalu, cenderung menyamaratakan-"Sudah, pasti dia itu bermasalah dan saya tidak bisa percaya dengan dia seumur hidup." Seolah-olah semua perbuatan baik yang pernah dilakukan oleh orang tersebut, tidak bisa lagi dilihat apalagi diingatnya."
GS : Pak Paul, untuk lebih jelasnya apakah ada di dalam Alkitab contoh-contoh konkret?
PG : Ada Pak Gunawan, yang coba saya angkat adalah dua contoh anak Tuhan, yaitu Yefta dan Musa. Ada beberapa kesamaan antara kedua hamba Tuhan ini, dan keduanya memperlihatkan pada akhirnya beapa masa lalu membayang-bayangi masa lalu mereka.
Kesamaan antara Yefta dan Musa yang bisa kita petik adalah keduanya orang yang tidak diterima oleh lingkungannya. Musa orang Ibrani, keluarga budak, dibesarkan di istana Firaun-bangsa yang menjajah bani Israel. Itu sebabnya pada akhirnya dia memang terus melihat dirinya sebagai seorang Ibrani. Maka waktu ada kejadian dimana ada seorang Mesir berkelahi dengan seorang Ibrani, dia marah, dia malah membunuh orang Mesir itu, dan raja begitu marah dan ingin langsung membunuhnya. Kenapa raja Firaun begitu marah, bukankah kalau cucunya yang asli yang melakukan hal seperti itu, mungkin sekali dia tidak akan ingin membunuh Musa, tapi mungkin dia merasa bahwa Musa bukan orangnya, Musa adalah orang lain, jadi reaksinya marah bahkan mau membunuh Musa. Jadi Musa memang tidak pernah pas di lingkungannya, demikian juga Yefta. Dia anak dari relasi yang haram, ayahnya mempunyai hubungan dengan ibunya di luar pernikahan. Maka dia ditolak oleh saudara-saudaranya yang lain, sebab dianggap anak yang tidak sah dari ayahnya. Jadi kita melihat keduanya itu anak-anak yang memang ditolak oleh lingkungannya. Dan tampaknya penolakan ini membuat mereka bertumbuh besar dengan kemarahan yang tinggi, ini kesamaan yang berikutnya. Musa penuh dengan kemarahan, melihat bangsanya atau orangnya berkelahi dengan orang Mesir, dia marah dan langsung dia bunuh. Padahal sebagai keluarga istana, dia bisa memerintahkan agar orang Mesir itu ditangkap saja. Tapi itu tidak dilakukannya, dia harus membunuh; itu menunjukkan kemarahan yang sangat besar. Kita juga melihat adanya masalah dengan Yefta, akhirnya masa lalu itu melahirkan masalah-masalah yang menjadi problem dalam kehidupannya. Dikatakan di kitab Hakim-Hakim 11:3, Yefta itu menjadi perampok. Merampok orang, bukankah itu meresahkan dan merugikan orang? Kita melihat di sini, masa kecil berpengaruh ke masa dewasa; Yefta dan Musa ditolak lingkungan, penuh kemarahan. Sudah dewasa menjadi pemuda yang pemarah, Musa membunuh orang dengan gampang, Yefta menjadi perampok. Kita melihat betapa eratnya kaitan antara masa lalu dan masa dewasa seseorang.
GS : Pada hal seperti Musa maupun Yefta dilahirkan di tengah-tengah kondisi seperti itu bukan atas kemauannya sendiri. Mungkin Musa tidak ingin lahir dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga Firaun dan Yefta pun tidak ingin lahir sebagai anak haram seperti itu. Sebagai orang yang ada di sekitarnya, sebenarnya apa yang bisa dilakukan supaya tidak terjadi seperti itu?
PG : Dari dua kesamaan ini, memang kita harus berani melihat masa lalu kita itu, dan mengakui bahwa itu yang terjadi, bahwa saya ditolak oleh lingkungan saya, bahwa memang saya itu sebetulnya tdak pernah memilih lahir dalam situasi seperti itu.
Tapi dalam kehendak Tuhan saya dilahirkan di situ, harus mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Kita harus menerima porsi itu, kita bisa berkata bahwa porsi itulah nanti yang akan digunakan oleh Tuhan, namun porsi itu sendiri kita harus terima. Jangan kita terus-menerus marah. Dalam kasus Yefta dan Musa, perkembangan berikutnya memang menunjukkan kemarahan itu tetap ada dalam dirinya. Tapi Tuhan baik, (ini kesamaan berikutnya) Tuhan tetap memakai kedua hamba-Nya ini. Yefta dipakai untuk melepaskan bangsa Israel dari bangsa Amon sedangkan Musa, Tuhan pakai membawa Israel keluar dari tanah Mesir untuk memasuki tanah perjanjian yaitu Kanaan. Di sini kita melihat Tuhan tetap bersedia memakai mereka, asalkan kita bersedia dipakai oleh-Nya, tapi yang pertama kita memang harus menerima porsi kita itu. Tapi sayangnya Pak Gunawan, meskipun Tuhan sudah memberikan kesempatan kepada keduanya, pada akhirnya kekurangan mereka yang sama itu tetap menjadi kekurangan dalam kehidupan mereka. Contohnya Musa, waktu Tuhan meminta dia untuk memerintahkan batu karang mengeluarkan air, dia marah. Dia pukul batu karang itu, akhirnya Tuhan menghukum Musa, "Kamu tak bisa memasuki tanah perjanjian, karena engkau tidak menghormati-Ku di hadapan umat-Ku, engkau tidak menjaga kekudusan-Ku." Kenapa Musa seperti itu, karena marah dia tidak bisa menguasai dirinya. Ironis sekali, berpuluhan tahun rentang waktu antara peristiwa membunuh seorang Mesir dan peristiwa yang kedua (baru saja saya uraikan), tapi di dalam masa Tuhan memakainya, emosi Musa sering kali menjadi titik kelemahannya. Demikian juga dengan Yefta, belum apa-apa dia sudah bernazar, "Pokoknya yang keluar dari rumah, yang pertama-tama menyambut saya setelah saya menang melawan bani Amon akan saya persembahkan kepada Tuhan." Ternyata putrinya yang menyambut dia. Apa yang bisa kita simpulkan? Yaitu impulsif, kurangnya pengendalian diri, gegabah. Kegegabahan inilah yang akhirnya menjadi titik kejatuhan mereka ke dalam lubang-lubang masalah itu.
GS : Berarti dalam kondisi seperti itu setiap orang akan mengalami lubang dalam kehidupannya, bagaimana menutup lubang itu, Pak Paul?
PG : Lubang itu pertama-tama harus kita kenali, lubang apakah itu. Dalam diri Musa, pengendalian diri demikian juga dalam diri Yefta, harus diakui sebagai masalahnya. Dan orang itu harus menjdikan ini proyek pertumbuhannya.
Tadi di awal sudah saya singgung, kecenderungan kita bukan mengakui bahwa ini masalah kita tapi menyalahkan orang lain. Sebagai contoh, kalau kita mempunyai masalah dengan pengendalian diri, tidak bisa menahan emosi, mudah meledak dan marah, sering kali kita menyalahkan orang. "Kamu sih yang membuat saya marah, kalau kamu tidak melakukan ini bukankah saya tidak marah?" Jadi yang salah adalah orang lain, orang yang membuat saya marah. Langkah pertama kita harus kenali lubang itu apa, dalam hal ini misalnya pengendalian diri. Langkah kedua, kita harus bertekad kita menjadikan ini proyek seumur hidup kita, bahwa saya akan berusaha keras melawannya, mengatasinya dengan pertolongan Tuhan, dengan datang lagi kepada Tuhan melalui pertobatan demi pertobatan dan tidak jemu-jemunya datang kepada Tuhan dengan penyesalan dan pertobatan daripada kita menyalahkan lingkungan. Selama kita menyalahkan lingkungan, kita tidak akan pernah mengalami pembaharuan sebab kita tidak pernah meletakkan masalah pada diri kita. Jadi penting kita menyadari lubang itu apa dan menjadikan lubang itu sebagai proyek yang harus kita tutup.
GS : Selain pengendalian diri, apakah ada lubang-lubang lain yang biasanya berasal dari masa lalu?
PG : Misalnya, kekurangpercayaan. Sebagian anak-anak memang harus mengalami kekecewaan yang dalam akibat perceraian orangtuanya, ketidaksetiaan orangtuanya. Sewaktu salah seorang dari ayah kia atau ibu kita meninggalkan kita, itu akan meninggalkan lubang kekurangpercayaan.
"Kalau orang yang melahirkan saya, yang mengasihi saya tega meninggalkan saya, tega mengkhianati saya, apalagi orang lain." Sesuatu yang tadinya telah menjadi bagian hidupnya yang aman akhirnya terkoyak, robek. Ternyata robekan itu berdampak panjang, sampai di usia dewasa. Kita takut dekat dengan orang, kalau-kalau nanti kita akan mengalami kekecewaan yang serupa. Kita takut percaya pada orang, nanti takut kepercayaan itu disalahgunakan dan kita akan dilukai lagi. Akhirnya kita selalu berjaga-jaga, tidak berani membangun keintiman dengan sesama kita.
GS : Kalau yang tadi contoh-contohnya adalah masa lalu yang kelam atau kurang menyenangkan, bagaimana kalau masa lalunya itu justru sesuatu yang menyenangkan dia atau dia dimanja, dicukupi segala kebutuhannya, tapi tidak memperoleh kasih sayang yang betul?
PG : Sudah tentu kalau masa lalu kita itu masa lalu yang positif, itu akan berdampak positif dalam hidup kita. Sehingga meskipun kita mengalami pengalaman yang buruk di masa sekarang, kita cenerung nomor satu melihat masalah atau pengalaman yang buruk itu secara proporsional, tepat sasaran, tepat ukuran.
Kita tidak melebihkannya atau mengurangkannya, dan bahkan ada kecenderungan kita itu tetap mau melihat aspek positifnya, kita tidak terpaku pada aspek negatifnya. Tapi sebaliknya kalau masa lalu kita buruk, bukan saja kita gagal melihat masalah secara proporsional, cenderungnya melebih-lebihkan yang negatif, kita juga cenderung tidak bisa melihat yang baik atau apa pun yang positif, terus terpaku pada yang negatifnya saja. Itu sebabnya kita sekali lagi harus berani melihat ke belakang, lubang apa yang kita miliki. Tentang lubang ini satu hal yang juga saya munculkan adalah tentang keinginan, sebab lubang itu melahirkan keinginan. Misalnya kalau lubang kita ketidakberdayaan, kita sering mengalami pemukulan, penyiksaan, dan kita tidak berdaya maka besar kemungkinan kita itu mempunyai keinginan untuk berkuasa. Kita tidak mau lagi mengalami peristiwa dimana kita diinjak-injak dengan semena-mena, atau kita disakiti maka keinginan kita setelah dewasa adalah membalas menyakiti. Maka kalau seseorang berbuat sesuatu kepada kita yang sedikit saja, kita sudah marah, kita langsung balas. Atau kalau lubang kita penolakan, dulu kita sering ditolak maka sekarang itu kita inginnya disukai dan diterima. Kita mesti hati-hati karena keinginan-keinginan itu bisa digunakan sebagai tempat masuknya serangan iblis. Iblis tahu itu yang menjadi kelemahan-kelemahan kita, maka dia akan bisa langsung memasukinya. Karena kita ingin diterima, ingin dikasihi karena dulu sering mengalami penolakan, akhirnya kita lemah. Pokoknya kalau orang menyodorkan sedikit cinta, kita sudah rela ikut dia, menikah dengan dia tanpa pertimbangan langsung bisa mengambil keputusan menikah dengan seketika, akhirnya membuahkan masalah yang berkepanjangan. Jadi berhati-hati dengan keinginan itu. Namun saya juga ingin mengingatkan para pendengar kita tentang peranan Tuhan dalam hal semuanya ini. Sebab kita bisa melihat dalam kasusnya Yefta dan Musa, Tuhan tetap memakai mereka. Ternyata masa lalu kita yang buruk tidak menghalangi Tuhan untuk memanggil dan memakai kita. Dengan kata lain kalau sampai kita dipakai Tuhan, dipanggil Tuhan untuk melayani-Nya, kita jangan juga mencari-cari alasan, "O....pasti karena saya itu fasih lidah maka Tuhan memakai saya, o....karena saya cerdas makanya saya dipakai Tuhan untuk menolong orang lain yang juga kaum intelektual." Hati-hati, jangan kita mulai mendasari panggilan kita atau alasan Tuhan memanggil kita pada diri kita bahwa ada sesuatu yang baik yang kita bisa tawarkan kepada Tuhan. Tentang Yefta, apa yang bisa Yefta banggakan? Tidak ada, memang Tuhan memilihnya. Jadi benar-benar panggilan Tuhan, menyelamatkan kita dan memakai kita, itu sepenuhnya anugerah, kita tidak boleh mencari-cari penyebabnya pada diri sendiri.
GS : Tapi memang kita melihat para rasul yang dipilih oleh Tuhan Yesus juga mempunyai latar belakang yang tidak semuanya baik.
PG : Betul sekali, masing-masing memang mempunyai masa lalunya atau perangai-perangai yang tidak positif.
GS : Dan itu masih tetap ada sekali pun mereka sudah mengikut Tuhan Yesus selama 3 tahun, itu masih tetap kelihatan ya, Pak Paul?
PG : Jelas, seperti Yohanes penuh dengan kemarahan itu masih tetap ada, Petrus sangat impulsif.
GS : Bagaimana dengan Maria Magdalena itu Pak Paul, sebagai tokoh perempuan yang juga punya latar belakang yang kurang baik?
PG : Di situ kita sekali lagi melihat Tuhan memang tidak memanggil kita atas dasar kebaikan pada diri kita. Apa adanya Tuhan pakai dan Tuhan panggil. Apa yang bisa dibanggakan oleh Maria Magdlena? Tidak ada, tapi yang jelas dia mencintai Tuhan.
Kenapa dia mencintai Tuhan, karena dia tahu Tuhan mencintainya, Tuhan mengasihinya apa adanya, dengan segala kelemahan, dengan segala masa lalunya yang kurang baik itu. Namun dalam perjalanannya kita tetap harus waspada. Tadi saya sudah singgung tentang lubang yang melahirkan keinginan-keinginan supaya kita yang dulu misalkan tidak berdaya sekarang menjadi berdaya, kita menekankan kuasa dan sebagainya. Lubang itu juga bisa melahirkan kelemahan, ibaratnya kalau bagian tubuh kita pernah patah kaki, bagian itu menjadi bagian yang rawan untuk patah kembali, bagian itu lemah. Kita mesti menyadari dimana terdapat lubang dalam hidup kita, di situlah kita akan bisa dijatuhkan oleh iblis karena di situlah daya tahan kita paling lemah. Misalnya, kelemahan dalam hal seks, kemarahan, uang, kuasa; dalam hal-hal seperti itu kita seolah-olah lumpuh, tidak memiliki daya tahan atau daya juang untuk mengalahkan godaan di situ. Jadi kita mesti berhati-hati, kalau kita mempunyai masa lalu tertentu yang memang tidak baik, tidak positif; jagalah, jauhkan diri dari pencobaan jangan mendekati pencobaan. Karena di situlah kita sangat lemah, kita mudah sekali jatuh lagi.
GS : Pak Paul, apakah ada orang yang tidak menyadari masa lalunya, jadi bukan berarti dia tidak mau mengakuinya tetapi dia memang tidak menyadari, karena mungkin waktu itu masih terlalu kecil, jadi dia belum tahu betul lalu berpengaruh pada masa sekarangnya. Apakah yang seperti itu juga ada?
PG : Sudah tentu ada, meskipun kita tidak mengingatnya tetapi masa lalu itu tetap bisa. Sebagai contoh, ada orang yang tidak tahu kenapa sangat takut dengan air, dan dia tidak pernah menyadaripenyebabnya.
Setelah menjalani terapi yang mendalam dan berkepanjangan, akhirnya muncullah ingatan tersebut. Waktu dia kecil, dia sering kali dilelapkan di bak mandi, waktu dia dimandikan oleh orangtuanya. Karena orangtuanya kurang sabar, jadi anak itu sering dilelapkan, dilelapkan dan harus kehabisan nafas, sehingga tatkala dia besar dia sangat takut mandi. Tapi peristiwa itu terjadi di bawah usia 3 tahun sehingga dia tidak lagi mengingatnya, karena terlalu kecil. Namun ketakutan terhadap air itu sudah terbentuk di dalam dirinya, karena memang manusia mempunyai "insting survival" untuk bertahan dalam hidup. Tatkala kecil insting itu sudah ada, maka waktu dia harus dilelapkan seperti itu dan dia ingin bertahan hidup, dia berusaha menghindar dari air. Dalam pertolongan terapi, barulah disadarinya bahwa itu penyebabnya. Kalau dia sudah menyadari, dia akan lebih bisa mengendalikan reaksi dari pengalaman masa lalu pada dirinya sekarang ini.
GS : Berarti kalau ada sesuatu yang buat dia janggal dalam kehidupannya, sebenarnya dia harus berkonsultasi untuk mencari penyebabnya yang kemungkinan besar terkait dengan masa lalunya?
PG : Betul, meskipun dia mungkin tidak merasa apa-apa tapi kalau ada hal-hal yang janggal yang dilakukannya atau yang dirasakannya; ada orang yang takut dengan kegelapan-tidak merasa aman dalamkegelapan, ada kalau sudah sore merasa cemas, sedih, tidak tahu kenapa kalau sore perasaan itu rasanya jatuh sekali.
Kemungkinan besar memang ada penyebabnya di masa lampau.
GS : Terkait dengan perbincangan kita ini, apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Di II Korintus 12:8-10, Rasul Paulus membagikan pergumulannya, dia manusia seperti kita, ada kelemahan yang juga harus ditanggungnya, dan dia berkata: Aku sudah tiga kali berseru kepada Tuan, supaya utusan iblis itu mundur daripadaku.
Tapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. Paulus menegaskan, kuasa Tuhan akan turun dan dinyatakan dengan sangat jelas di dalam kelemahan. Artinya, kelemahan yang kita bawa ke kaki Kristus apa adanya, minta pertolongan-Nya; di dalam kelemahan yang kita bawa kepada Kristus, Tuhan datang, Tuhan menolong dan menggunakan kelemahan itu untuk menjadi bagian dari pekerjaan Tuhan.
GS : Memang kalau kita melihat surat-surat rasul Paulus, sering kali dia tidak merasa malu untuk mengungkapkan masa lalunya yang begitu kelam, dia orang yang paling berdosa dan sebagainya, tapi dia terima kehidupan saat ini itu justru sebagai anugerah Tuhan yang luar biasa.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bayang-bayang Masa Lalu." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.