Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan saya bersama Ibu Wulan, S.Th. kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Test Pujian", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi Anda sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, terus terang saya kadang-kadagng merasa nyaman dipuji orang, sampai kadang-kadang bisa ketagihan dan segalanya. Tapi baru sekali ini kita mau berbincang-bincang bahwa ada ujian di dalam pujian itu, apa memang seperti itu Pak Paul?
PG : Memang seperti itu Pak Gunawan, jadi firman Tuhan berkata di Amsal 27:21 "Kui untuk melebur perak dan perapian untuk melebur emas, dan orang dinilai menurut pujian yang dberikan kepadanya."
Sebetulnya kata dinilai itu berasal dari kata diuji, ditest oleh pujian yang diberikan kepadanya. Jadi pujian memang mengandung ujian.
GS : Ya, Pak Paul, kalau kita sebut ujian itu tentu sesuatu yang positif jadi berbeda dengan pencobaan yang memang tujuannya untuk menjatuhkan seseorang. Tetapi bagaimanapun juga kita was-was juga, kita bisa lulus tidak di dalam ujian itu tadi. Nah bagaimana Pak Paul supaya kita, tentunya kita tidak menghendaki gagal dalam ujian, siapapun menghendaki kita bisa melewati ujian itu dengan baik. Tetapi apakah ada hal-hal tertentu yang Pak Paul bisa sampaikan, bagaimana kita harus menanggapi suatu pujian yang disampaikan oleh orang kepada kita?
PG : Pertama-tama kita harus menyadari bahwa pujian-pujian itu memang bisa menggagalkan kita, nah nanti akan saya jelaskan dalam pengertian apakah kita gagal. Tapi ada sekurang-kurangnya tiga hl yang bisa terjadi tatkala kita menerima pujian.
Pertama pujian merangsang kita untuk meraih lebih tinggi, begitu tingginya hingga kita kehilangan perspektif akan siapa kita sesungguhnya. Nah jika kita memang mempunyai sesuatu yang kita impikan, terus kita akhirnya memperoleh pujian seolah-olah kita sudah mendapatkan impian itu, kita mudah takabur, kita mudah berpikir wah saya sudah sehebat itu. Nah waktu kita berpikir kita sehebat itu, jatuhlah kita, gagallah kita. Atau sebaliknya Pak Gunawan, misalkan pujian itu berkaitan dengan sesuatu yang tengah kita gumulkan, problem kita, kita belum bisa selesaikan terus akhirnya orang memuji kita. Nah ini juga kalau kita tidak hati-hati bisa membuat kita beranggapan kita sudah sepenuhnya terbebas dari problem atau kelemahan itu, meskipun sesungguhnya belum kita masih mempunyai kelemahan tersebut. Nah pujian membutakan mata kita o....bahwa kita masih punya kelemahan itu.
WL : Pak Paul, penjelasan Pak Paul ini rasanya suatu hal yang baru, suatu hal yang menyentakkan. Saya pikir selama ini justru pujian dipakai oleh banyak hamba Tuhan termasuk saya sebagai standar untuk menilai apakah khotbah kita, ceramah kita diterima, mendarat, jadi berkat buat orang lewat pujian itu yang kita nanti-nantikan. Tapi justru penjelasan Pak Paul ini menyentakkan sekali begitu.
PG : Kita harus berhati-hati, saya teringat sekali dengan nasihat yang diberikan oleh seorang hamba Tuhan bernama Max Lucado dia ditanya mana yang lebih berbahaya kesuksesan atau kegagalan, dandengan cepat dia menjawab kesuksesan.
Ditanya kenapa, dan dia menjawab kesuksesan membuat orang berpikir bahwa dia sudah sehebat itu. Jadi misalkan dalam hal berkhotbah, kalau kita berkhotbah dengan baik dan orang terus memuji kita nah kita benar-benar misalkan dari dulu kita bermimpi kita bisa berkhotbah dengan baik, waktu orang memberikan pujian itu waduh kita benar-benar merasa diri hebat, melayang. Nah waktu kita melayang kita lepaslah dari diri kita yang sesungguhnya bahwa itu sebetulnya sesuatu yang masih kita harus raih dengan susah payah. Tapi karena kita telah mendapatkannya kita takabur, kita sudah sehebat itu nah celakanya pada moment kita menganggap kita sehebat itu, kita menuntut orang memperlakukan kita sehebat itu pula, setara itu pula, sekelas itu pula. Kita tidak akan menerima orang memperlakukan kita di bawah taraf itu.
GS : Berarti yang rentan terhadap pujian itu bukan cuma anak-anak yang bisa menggelembung karena dipuji berlebihan, tetapi kita juga sebagai orang dewasa bisa seperti itu Pak Paul?
PG : Bisa sekali, itulah yang sering terjadi pada hampir semua pemimpin, akhirnya jatuh, dan jatuh awalnya karena keberhasilan, karena keberhasilan dia mendapatkan banyak pujian dia akhirnya bepikir sehebat itu dan dia menuntut orang memperlakukannya sehebat itu pula.
Atau tadi yang keduanya yang saya sebut yaitu dia sebetulnya lemah dalam hal itu. Misalkan ada orang yang suka marah, nah akhirnya dia mulai belajar untuk menguasai kemarahannya dan banyak orang memuji-muji dia sekarang dia sabar, dia sabar. Karena terlalu sering mendapat pujian seperti itu dia terlena, dia lupa, dia masih mempunyai masalah dengan kemarahannya karena itu dia lepas pengawasan terhadap dirinya. Suatu hari waktu ada sesuatu terjadi, dia meledak, dia misalnya memukul orang dan sebagainya. Atau dosa yang umum yang sering terjadi dalam hal misalkan kejatuhan seksual. Kita gagal menyadari kita mudah atau bisa jatuh ini adalah problem kita semua, kita menganggap saya kuat tidak akan jatuh, akhirnya karena kita lengah sungguh-sungguh kita jatuh. Nah sekali lagi orang bisa buta karena pujian, jadi itulah caranya pujian menggagalkan kita.
WL : Apakah itu berarti kita lebih baik jangan menerima pujian, Pak Paul?
PG : Saya kira ada waktu dan tempatnya kita mendengarkan pujian, tapi jangan sampai kita jatuh seperti tadi itu.
GS : Tapi kadang-kadang pujian itu memang seperti sesuatu yang membuat kita itu ketagihan terus-menerus Pak Paul. Kalau tidak ada orang yang memuji itu lalu kita bertanya-tanya apa yang salah.
PG : Itu betul sekali Pak Gunawan, jadi pujian itu bisa membuat kita bergantung pada penilaian orang, akhirnya kita tidak lagi menghiraukan apa yang sebenarnya Tuhan atau kita sendiri kehendaki Kita ini akhirnya seperti hewan sirkus Pak Gunawan, kita bereaksi sesuai dengan imbalan atau pujian yang diberikan.
Hewan sirkus diberikan ikan misalnya, diberikan daging dia akan berakting seperti yang kita inginkan. Nah kita akhirnya tidak tahu lagi apakah memang kita sesungguhnya seperti itu, tidak tahu. Karena yang penting adalah apa yang orang harapkan, apa yang orang nanti akan puji dan itu yang akan kita lakukan. Contoh yang umum adalah kita seharusnya berani untuk menegur rekan kita yang salah, tapi kita tidak berani karena apa, karena rekan ini sering kali memuji kita jadi kita tidak bisa efektif menjadi manusia. Tidak bisa efektif juga menjadi alat Tuhan, tidak bisa juga mendengarkan apa yang Tuhan inginkan. Contoh yang lainnya adalah waktu Yohanes Pembaptis menegur Herodes, dia benar-benar bisa memisahkan dirinya dari pujian-pujian dan apa yang orang harapkan pada dirinya makanya dia langsung datang ke Herodes dia tegur dosa Herodes walaupun untuk hal itu akhirnya dia harus kehilangan nyawanya. Dengan kata lain kalau kita terlalu bergantung pada pujian dan penilaian orang, kita tidak peduli lagi apa yang Tuhan kehendaki, apa yang sebetulnya saya harus lakukan, tidak peduli yang penting orang senang.
WL : Pak Paul, berarti letak permasalahannya bukan pada orang yang memberi pujian berarti pada kita yang menerima pujian. Karena 'kan tetap benar teori yang berbicara tentang reward and fanisment 'kan tetap ada faedahnya, cuma yang harus berhati-hati yang menerima pujian itu Pak Paul.
PG : Jangan sampai kita bergantung pada penilaian-penilaian orang, kita mesti sadar selalu penilaian Tuhan akan diri kita dan penilaian diri kita sendiri terhadap kita ini.
WL : Cuma Tuhan tidak pernah berbicara langsung Pak Paul, kita menilai penilaian Tuhan lewat penilaian orang-orang apalagi misalnya penatua, majelis yang kita anggap itu perwakilannya Tuhan.
PG : Sudah tentu silakan kita dengarkan, harus kita dengarkan masukan orang, tapi di samping itu kita mesti sadar juga apa yang misalkan firman Tuhan katakan, apa yang menjadi standar.
GS : Pak Paul, pujian itu kadang-kadang membuat kita itu supaya tidak terlalu dipuji-puji terus saya katakan sudah cukup sampai di sini saja, artinya saya tidak mau mengambil resiko yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dari pujian yang diberikan karena makin banyak pujian itu makin banyak ujiannya Pak Paul.
PG : Pujian memang bisa memberi kita beban mental dan ada sebagian orang yang tidak tahan memikul beban mental itu, jadi daripada dia memikul beban mental, dia mengelak dari tanggung jawab. Nahada orang yang menjadi seperti itu jadi pujian menyebabkan ketakutan untuk memikul tanggung jawab.
Takut apa, takut kalau-kalau kita gagal memenuhi harapan orang atau kita takut kalau kita harus melihat fakta bahwa kita ini tidak seperti yang dipujikan orang. Nah daripada kita melihat diri sendiri gagal, kita berhenti mencoba. Nah ada orang yang benar-benar keok atau sudah KO oleh pujian yang diberikan oleh orang, dia tidak akan berani mencoba, dia tidak berani lagi mengeluarkan kemampuannya karena sudah terlalu takut. Nah jadi dengan kata lain dalam hal itu juga pujian telah menggagalkan orang tersebut.
GS : Ya tadi seperti yang ibu Wulan katakan, itu 'kan tergantung kita yang dipuji Pak Paul, jadi tingkat kematangan kita, kedewasaan kita sangat menentukan bagaimana kita menyikapi pujian yang diberikan kepada kita?
PG : Betul, jadi pada akhirnya, sekali lagi yang salah bukannya pujian atau orang yang memberi pujian pada kita, tapi kita, kita harus mempunyai sikap yang benar terhadap pujian itu. Tadi awalna saya berkata bahwa pujian itu bisa menggagalkan kita, sebetulnya apa artinya menggagalkan kita.
Saya kira kita gagal karena kita gagal atau kehilangan Tuhan, kehilangan apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita dan kita juga gagal karena kita kehilangan diri sendiri. Orang yang termakan dan dikuasai oleh pujian akan kehilangan dua hal itu, dia kehilangan Tuhan dan kehilangan diri sendiri. Dia tidak bisa menjadi seperti yang Tuhan kehendaki dan dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri juga, dia menjadi hamba atau budak dari pujian itu.
GS : Ya jadi kita tidak mungkin melarang orang itu memuji kita atau memberikan pujiannya Pak Paul, apapun motivasi orang itu yang penting adalah bagaimana kita menyikapi orang yang memberikan pujian. Nah hal-hal apakah yang harus kita perhatikan Pak Paul?
PG : Yang pertama adalah meminjam perkataannya Socrates kita harus mengenali diri sendiri. Saya akan mengambil satu perikop dari firman Tuhan yaitu dari kitab Yohanes 3:27-30. Nah i sana terjadilah dialog antara Yohanes Pembaptis dan para muridnya, dimulai dengan keluhan para murid, mereka melihat Tuhan Yesus membaptiskan orang seolah-olah muncul pesaing baru yang lebih populer daripada guru mereka Yohanes Pembaptis.
Tapi Yohanes dengan sangat terbuka dan rendah hati berkata: "Tidak ada seorang pun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari sorga." Atau dalam terjemahan lain, tidak ada seorang pun yang dapat memiliki apa pun untuk dirinya kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari sorga. Jadi yang kita miliki harus kita sadari memang berasal dari Tuhan, itu intinya. Yohanes sadar bahwa yang pertama adalah dia tahu bahwa dia bukan siapa-siapa. Jadi kita mesti menerima, ya memang bukannya saya, ya memang bukan diri kita. Dan Yohanes sadar dia memang bukan Mesias waktu orang-orang datang dan bertanya: "Engkaukah Mesias?" Dia bilang: "Bukan." "Apakah engkau nabi itu yang dijanjikan?' Juga bukan, jadi kalau begitu engkau siapa? Dengan kata lain dia berani berkata: "Saya bukan, saya bukan Mesias," tapi dia berani menghargai siapa dia yaitu dia adalah seorang pembuka jalan, dia berkata: "Sayalah orang yang berseru-seru di padang gurun, luruskanlah jalan Tuhan." Dialah pembuka jalan buat Tuhan Yesus. Jadi mengenali diri mempunyai dua aspek, pertama menerima yang memang bukan diri kita, dan yang kedua menghargai yang memang diri kita.
GS : Memang lebih mudah sebenarnya kita itu mengenal orang lain yang ada di luar diri kita daripada kita mengenal diri kita sendiri Pak Paul. Kadang-kadang kita juga tidak mengerti siapa diri kita ini, nah bagaimana caranya supaya kita itu mengenali diri dengan tepat, Pak Paul?
PG : Ini sebuah proses yang panjang Pak Gunawan, dan biasanya atau seharusnyalah diawalinya itu dari rumah. Dari tanggapan yang orang tua berikan kepada kita perlahan-lahan kita makin mengenal iapa kita dan siapa yang bukan kita itu.
Ke sekolah kita mendapatkan masukan baik dari teman, maupun dari guru, dari pelajaran, dari kebisaan-kebisaan kita, nanti setelah kita lebih besar lagi masuk ke dunia pekerjaan itu pun akan menolong kita melihat siapa kita dan siapa bukan kita. Nah orang yang berbahagia adalah orang yang mengenal dirinya, dia tahu dia bisa apa, dan dia juga bisa menerima dia tidak bisa apa. Nah yang dia bisa itulah yang dia hargai, ada orang misalkan yang hanya bisa melakukan pekerjaan seni, ada orang yang tidak menghargai itu meskipun itu karunia yang begitu besar. Dia mau menjadi seorang ahli komputer, selalu akhirnya mengejar-ngejar bagaimana menjadi ahli komputer akhirnya dua-duanya tidak dia peroleh. Kita mesti mengenali, menerima kita memang bukan siapa dan menghargai kita itu siapa.
WL : Pak Paul, saya beberapa kali mendengar ada kasus ajaran sesat begitu, lalu ada tokoh agama yang mengaku-ngaku diri sebagai Mesias di jaman ini bukan jaman Perjanjian Baru. Nah apakah orang seperti ini berarti memang dia tidak mengenal dirinya dengan tepat, ada masalah dari keluarga sejak kecil atau terus ada kaitan dengan pujian, atau apakah dia karena haus pujian atau bagaimana Pak Paul?
PG : Semuanya itu bisa terjadi, jadi kita tidak bisa memastikan, bisa jadi memang dia mendapatkan terlalu banyak pujian-pujian dari orang sehingga dia akhirnya menobatkan dirinya sebagai Mesias Waktu saya di Amerika hal-hal ini kadang-kadang saya dengar ada orang yang mengklaim dirinya sebagai Mesias nah bisa jadi juga dia terlalu tenggelam di dalam kesubyektifitas persepsinya mengenai Alkitab atau mengenai kerohanian sehingga akhirnya dia sungguh-sungguh beranggapan dia mendengarkan panggilan Tuhan dan perkataan Tuhan bahwa dia Mesias itu sendiri.
Jadi itu pun bisa terjadi.
GS : Ada orang yang sebenarnya itu kepengin dipuji, tapi selalu dia mengatakan kepada orang-orang lain, ah jangan puji saya seperti itu, saya ini tidak tahan dipuji-puji seperti itu, tapi sebenarnya dia itu mencari, kepengin itu orang lain memuji dia karena dia membutuhkan itu Pak Paul?
PG : Saya kira pujian akan menyenangkan hati kita, maka di situlah letak bahayanya. Kadang-kadang kita akhirnya mengutamakan kesenangan hati itu sendiri dan gagal melihat faktanya memangkah kit layak menerima pujian itu, dan akhirnya itu tidak kita lihat, kita abaikan dan kita lebih memperhatikan kesenangan hati kita waktu menerima pujian itu.
GS : Ketika Yohanes Pembaptis menempatkan dirinya bahwa dia bukan Mesias, dia mengatakan membuka tali kasutnya Tuhan Yesus pun dia tidak layak. Banyak orang yang mengatakan itu 'kan membuktikan kerendahan hatinya artinya bukan dia pada posisi yang sebenarnya Pak Paul?
PG : Ok, dengan kata lain ini prinsip yang kedua yang ingin saya munculkan adalah kita mesti berani melupakan diri kita, seolah-olah ini kontradiksi dengan prinsip yang pertama yaitu mengenali iri.
Bukankah mengenali diri berarti kita memfokuskan mata pada diri sendiri, jadi kita harus sadari siapa diri kita, tapi setelah menyadari siapa kita lebih seringlah kita tidak terlalu memusingkan diri. Makanya masukan atau nasihat kedua yang akan saya bagikan adalah lupakan diri. Ada orang yang terlalu terbungkus oleh dirinya dan terikat oleh dirinya, sedikit-sedikit dia marah, sedikit-sedikit merasa dirinya tidak dihargai, sedikit-sedikit mengutamakan kebutuhannya jadi terus-menerus kepentingannyalah yang dipikirkan, dirinyalah yang selalu disoroti ini juga tidak sehat. Jadi kita mesti mengikuti apa yang Yohanes katakan, dia pernah akhirnya menyimpulkan di
Yohanes 3:30, Ia (yakni Tuhan Yesus) harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil. Dengan kata lain kita hanya bisa mengecilkan diri kalau kita membesarkan Tuhan dalam hidup kita, makin kita bersujud menyembah Tuhan makin diri kita kecil dan Tuhan besar, nah itulah prinsip yang harus kita pegang. Jadi jangan sampai terlalu memikirkan diri, orang yang terlalu memikirkan diri, saya setuju tadi Pak Gunawan katakan dia akan haus pujian dan mencari-cari pujian karena memang terlalu memikirkan dirinya. Tapi kalau dia tidak memikirkan dirinya, dia hanya bertindak biasa waktu dia mendengar orang memberikan pujian, sebab itu adalah seperti cermin saja yang dia lihat, sudah begitu saja.
WL : Pak Paul, ada kaitannya atau tidak melupakan diri kita dengan penyangkalan diri yang Tuhan tuntut dari setiap orang Kristen?
PG : Sangat erat kaitannya, jadi kita tidak mendahulukan kepentingan kita, tapi demi Tuhan kita mendahulukan kepentingan Tuhan dan kepentingan orang lain.
GS : Jadi perbandingannya dengan Tuhan Pak Paul, jadi kita terhadap sesama kita masih mempertahankan kamu harus tahu saya ini seperti ini.
PG : Ya jadi begini Pak Gunawan, intinya kita hanya bisa mengecilkan diri kalau kita membesarkan Tuhan. Orang yang mencoba mengecil-ngecilkan diri tanpa membesarkan Tuhan memang orang menjadi mnder, tapi orang yang membesarkan Tuhan otomatis akan tanpa disadarinya akan mengecilkan diri, itu efek langsung.
Makin melihat Tuhan yang bekerja, Tuhan yang berbuat, saya hanyalah alat, yang saya miliki semua dari Tuhan kita makin memang tidak ada alasan dan ruangan untuk memfokuskan diri, tapi kita tahu ini semua karya Tuhan. Jadi pada akhirnya jangan sampai kita itu terlalu dimakan oleh pujian. Ada satu cerita yang saya ingin bagikan Pak Gunawan sebagai akhir dari perbincangan kita. Ada seorang hamba Tuhan dibawa mengunjungi sebuah tambang batu bara, dan kita tahu tambang batu bara itu pasti kotor, hitam. Tiba-tiba dia terkejut melihat setangkai tanaman dengan bunga berwarna putih mengkilap tanpa satu pun debu kotor pada helaian daunnya, dia kaget sekali. Kemudian dia bertanya kepada pemandu yang membawanya kenapa bunga tersebut bisa begitu bersih di tengah-tengah debu dan tanah yang hitam ini. Si pemandu berkata coba lemparkan debu kotor ke bunga tersebut, dilemparkan debu-debu kotor di sana yang dia lihat sangat mengejutkan yaitu debu-debu itu hanya sempat hinggap sebentar kemudian melorot turun jatuh, tidak bisa tinggal pada daun-daun itu atau pada bunga itu. Nah si pemandu menceritakan atau menjelaskan bahwa bunga itu mempunyai permukaan yang sangat halus, begitu halusnya sehingga tidak bisa menahan satu butir debu pun maka bunga tersebut tetap bersih dan putih di tengah-tengah debu dan tanah yang hitam. Saya kira itu contoh yang baik untuk kita, kita haruslah menjadi seperti bunga itu, kita mendapat pujian pasti nempel sedikit tapi setelah itu biarkan pujian itu turun. Sama dengan kritikan, kita juga menerima biarkanlah kena kita mesti belajar dari masukan yang orang berikan, tapi setelah itu biarkan turun. Jangan terlalu seperti lem di mana semua hal melekat pada diri kita, pujian orang melekat pada diri kita, kritikan orang melekat pada diri kita, biarkan semuanya jatuh kita dengarkan setelah itu kita tanggalkan kembali.
GS : Ya menarik sekali untuk satu ilustrasi yang tadi Pak Paul sudah sampaikan dan terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian kami juga berterima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Test Pujian." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.