Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Menjadikan Rumahku Istanaku". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Silakan Pak Sindu apa yang mau disampaikan berkaitan dengan tema yang akan kita bahas.
SK : Memang situasi hidup kita tidak selalu selamanya lancar ya, Bu Yosie, situasi bisa jadi memaksa kita akhirnya harus berada di rumah, seperti ada anjuran Pemerintah untuk belajar di rumah, bekerja di rumah, beribadah di rumah. Ini memang kondisi yang bisa terjadi kapan pun kita alami karena hidup itu tidak selalu stabil.
Y : Terutama di situasi pandemi COVID-19 yang kita alami semua secara global, tidak hanya di Indonesia. Yang memaksa kita melakukan atau berhadapan dengan hal-hal yang berbeda dari apa yang kita lakukan di masa-masa yang lalu.
SK : Memang sebelumnya kita bisa bebas beraktifitas di luar rumah dan bahkan kita akhirnya terbatasi dan kita diminta untuk lebih banyak di rumah. Awalnya kita merasa senang.
Y : Nganggur, nyantai.
SK : Semula waktu sepertinya habis di perjalanan, apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung ada istilah "tua di jalan" karena kemacetan berat yang dialami. Tapi setelah menjalani hari demi hari, minggu demi minggu kita mulai merasakan kebosanan, kejenuhan dan akhirnya kita bisa dikuasai dengan ledakan amarah dan akhirnya mungkin juga berdampak kita menjalani hidup yang tidak produktif.
Y : Belum lagi, kalau kita yang memunyai anak-anak yang tadinya anak-anak bisa sekolah, bisa menikmati dengan teman-teman, ini mereka istilahnya kekanak-kanakan mereka terpaksa tinggal di rumah, sekolah di rumah, tidak bisa ketemu teman, pasti ada gejolak-gejolak. Bagaimana kita mengatasi situasi seperti ini, Pak ?
SK : Jadi memang disini kita perlu menjadikan rumah sebagai pusat kehidupan kita dan tantangannya bagaimana menjadikan rumah kita sebagai istana kita, tempat yang menyenangkan sekalipun memang ada tantangan tersendiri.
Y : Tadinya kita di rumah hanya berapa jam, ganti baju, tidur, tapi ini benar-benar 24 jam sehari di rumah, ya Pak.
SK : Betul, inilah langkah pertama, Bu Yosie, kita perlu menerima hal ini sebagai fakta.
Y : Maksudnya menerima itu bagaimana, mau tidak mau kita terima ?
SK : Artinya sikap hati yang berlapang dada, ada kerelaan, kesukarelaan untuk menerima ini, berdamai dengan situasi bahwa rumah inilah yang akhirnya menjadi pusat kehidupan pekerjaan kita, pusat kegiatan hobi kita, pusat kegiatan belajar anak-anak kita, pusat kita memertahankan hidup adalah di rumah.
Y : Bahkan beribadah di rumah juga, ya Pak.
SK : Benar, memang sebenarnya situasi yang dialami, yang terjadi adalah situasi krisis, jadi ada perubahan drastik yang kita alami dan namanya krisis sesungguhnya memunculkan dukacita, kedukaan, ada keterhilangan yang kita ratapi, yang kita tangisi. Ada hal yang biasa kita nikmati tetapi situasi membuat kita merasakan keterhilangan. Ada dukacita, ada perkabungan. Fakta inilah yang perlu kita camkan dan kita hayati. Ada fase-fase, tahap-tahap untuk bisa berdukacita dengan benar, dengan baik. Yang pertama, biasanya orang yang mengalami krisis atau keterhilangan mengalami fase menyangkal (‘denial’ dalam bahasa Inggris), "Oh tidak mungkin, ini hanya mimpi, tidak mungkin terjadi, ini cuma sehari, cuma seminggu, pasti….. pasti minggu depan atau bulan depan akan normal kembali, pasti optimis….optimis….optimis. Menyangkal dan tidak menerima ini sebagai kenyataan. Yang kedua, fase yang umumnya orang alami marah,"Kenapa ini terjadi, kenapa sudah tiga minggu, kenapa sudah empat minggu kok tetap begini, ini pemerintah tidak becus, Tuhan sedang menghukum saya, menghukum bangsa Indonesia, menghukum dunia ini, Tuhan itu tidak adil", kita marah-marah. Fase yang ketiga tawar- menawar, "Tuhan kalau ini bisa kembali normal, bulan depan saya janji saya akan giat lagi di gereja, Tuhan saya janji kalau situasi ekonomi membaik lagi, saya janji akan mau pelayanan" sampai akhirnya lho sudah sampai minggu keenam, tidak terjadi, kita mulai depresi, mulai tertekan, murung dan menjalani hidup yang kontra produktif karena dikuasai kesuraman, kesedihan, keputusasaan dan perilaku-perilaku yang kontra produktif, menyakiti diri sendiri, menyakiti suami atau istri kita, menyakiti anak-anak kita, tidak mau melakukan apa pun, seperti perilaku depresi, tertekan dan putus asa. Inilah situasi yang kita perlu sadar ada fase-fase itu dan kalau kita mengalami itu janganlah satu sisi kita menyalahkan diri, memang kita sedang berdukacita.
Y : Menarik sekali, pak, karena sebetulnya saya sadari waktu Bapak bicarakan ini, saya juga sempat mengalaminya, minggu-minggu pertama saya menyangkal, "Wah ini pasti hanya dua minggu" karena anak-anak diliburkan sekolahnya 2 minggu awalnya. Oh ya pasti 2 minggu habis itu beres. Setelah 2 minggu, mengapa diperpanjang lagi 2 minggu. Saya mulai marah, "Tuhan, apa-apaan ini, masak saya harus di rumah sampai berapa lama ini? Saya tawar-menawar, bagaimana kalau ini Engkau bebaskan, Tuhan mau apa dari saya?" Saya kehilangan kebebasan, saya kehilangan keputusan-keputusan yang biasanya enak saya membuat jadwal, saya mau pergi, ini benar-benar tidak bisa apa-apa. Dilumpuhkan, apa yang bisa kita lakukan dalam situasi krisis yang kalau kita tidak hati-hati, benar-benar bahaya bisa mengarah ke depresi.
SK : Memang kita perlu kembali kepada poin menerima artinya begini, bahwa inilah keuntungan kita kalau kita menjadi orang percaya. Kita memercayai apa yang terjadi termasuk musibah dan krisis, itu tidak kebetulan, ada kedaulatan Allah yang mengatasi situasi krisis, musibah atau pun wabah dan pandemi, apapun itu. Kita memercayai Dia adalah Allah yang berdaulat, yang kedua bahwa Dia adalah Allah yang senantiasa beritikad baik, terlebih bagi kita yang mengasihi Dia. Maka dalam konteks inilah, itu melandasi kita, "Tuhan aku tidak mengerti mengapa itu terjadi tapi aku percaya Engkau mengizinkannya untuk juga mendatangkan kebaikan bagiku dan keluargaku, sekalipun saat ini aku tidak memahami tapi aku mau meletakkan imanku, bukan pada apa yang aku lihat di depan mata tapi aku meletakkan rasa percaya dan imanku pada janji-Mu dalam firman-Mu dan pada perjalananku pada masa lalu, bahwa Engkau juga Allah yang memelihara, Allah yang menjagai, Allah yang menolong di tengah gelombang kehidupanku, naik dan turunnya hidupku".
Y : Pandemi ini baru pertama, ya Pak.
SK : Ya pertama secara bentuk wabah dunia, pandemi, tapi secara peristiwa krisis ini bukan krisis pertama kita, kita waktu sekolah, kita waktu remaja, waktu menjadi pemuda atau mahasiswa atau di dunia kerja, kita pasti pernah mengalami krisis dan kita melihat, Allah tetap bisa hadir dan kita alami kehadiran-Nya. Akhirnya kita berkata demikian, "Tuhan, aku mau menerima situasi ini sebagai langkah iman bahwa Engkau sedang bekerja untuk mendapatkan kebaikan bahkan bukan hanya bagiku, lewat ini aku percaya kemuliaan-Mu sedang Kaudemonstrasikan, lewat hidupku, lewat keluargaku untuk juga menjadi berkat bagi orang lain". Jadi fokusnya bukan diri sendiri, tapi fokusnya pada kemuliaan Allah. Bagaimana Allah dipermuliakan lewat apa yang sedang kita jalani, kita saksikan kemuliaan Allah. Kita mengalami kemuliaan Allah dan kita saksikan kepada orang-orang lain.
Y : Betapa bahagianya kita jadi anak-anak Tuhan, ya Pak. Lalu bagian kita apa yang dapat kita lakukan? Kita bersyukur kita serahkan ke Tuhan ya.
SK : Dalam hal ini, Bu Yosie, tidak apa-apa, jangan kita menyangkal itu tadi, kita sedih tidak apa-apa, ungkapkan. "Tuhan, aku marah, aku kecewa, aku sudah punya perencanaan. Ini kalau pekerjaanku berjalan dengan baik, karierku dengan baik, kalau bisnisku berjalan dengan baik, aku punya uang, aku bisa menabung untuk anakku, aku menabung untuk membeli rumah. Padahal selama ini aku kontrak, bukankah aku rajin memberi perpuluhan, tapi mengapa ini terjadi? Tuhan, aku kecewa sekali". Tidak apa-apa kita menerima dengan otentik, menerima dengan sungguh-sungguh fakta ini, kita terimalah dulu bahwa kita memang berduka, kita ekspresikan dukacita ini.
Y : Boleh, ya Pak ?
SK : Ya, ekspresikan kemarahan, kekecewaan, kepahitan kita kepada Tuhan. Baru setelah itu kita berkata, "Tetapi Tuhan aku tidak mau dikuasai dengan amarah, dengan kepahitan, kekecewaan ini dan aku mau lepaskan ke salib Yesus kekecewaan ini, aku tidak mau dikuasai dan aku mau mengambil langkah iman untuk memercayai pemeliharaan-Mu, memercayaimu pimpinan-Mu, memercayai pengendalian-Mu, kontrol-Mu Tuhan atas situasiku dan keluargaku untuk menyatakan kemuliaan-Mu dan sekaligus membawa kebaikan bagiku dan keluargaku yang mengasihi-Mu. Juga ada 3 langkah, akui dulu amarah, kekecewaan kita pada Tuhan. Yang kedua, kita serahkan amarah dan kekecewaan itu pada Tuhan, yang ketiga kita mau katakan, "Tuhan, aku mau menerima karya-Mu, pertolongan-Mu, pendampingan-Mu dan rencana kebaikan-Mu". Jadi tiga hal langkah praktis ini akan menolong kita untuk menerima situasi krisis yang kita alami sebagai bagian hidup kita.
Y : Wow, menarik ya, Pak. Tapi tentunya menerima saja tidak cukup untuk melanjutkan hidup yang penuh tantangan, Pak, karena di depan mata kita masih tetap ada kesulitan dan tantangan. Silakan Pak, apa yang bisa kita lakukan kemudian untuk melanjutkan hidup kita?
SK : Yang kedua, Bu Yosie, adalah beradaptasi. Jadi kita menyesuaikan dengan keterbatasan, dengan perubahan bahkan perubahan drastik yang kita alami.
Y : Apa saja, Pak, yang bisa kita lakukan maksudnya dalam kehidupan kita yang sangat kompleks, yang karena pandemi ini semua terdampak.
SK : Kita misalnya kita beradaptasi dengan situasi belajar anak, yang semula anak belajar di sekolah, kita percayakan sepenuhnya kepada guru, kita hanya membantu secukupnya saat anak mengerjakan P.R. di rumah, ternyata memang akhirnya belajar dari pagi hingga siang di rumah bahkan mungkin hingga sore, sepenuhnya di rumah. Dalam hal ini kita beradaptasi, kita yang tidak paham tenang dunia digital, karena harus belajar daring (dalam jaringan) atau ‘online’, kita akhirnya harus belajar komputer. Walaupun kita tidak bisa, kita perlu mengundang orang lain untuk mengajari kita. Kita mendampingi anak kita belajar, kesibukan kita yang semula sebagian besar untuk pekerjaan, kini harus sepenuh waktu mendampingi anak belajar termasuk melaporkan tugas anak ke gurunya secara ‘online’ atau daring. Ini salah satu hal, adaptasi dengan situasi belajar anak.
Y : Kalau misalnya dalam hal pekerjaan, Pak ?
SK : Didalam pekerjaan berarti memang akhirnya pekerjaan-pekerjaan banyak hal kita pindahkan ke rumah. Misalnya ruang pribadi kita jadi kantor kita, meja-meja kita tata lagi, supaya mungkin kalau konteks tertentu kita pasang ‘webcam’ (kamera web), kamera untuk kita bisa leluasa komunikasi dengan orang lewat jaringan digital. Kemudian kita juga mengatur jam kerja, rutinitas yang baru. Kalau perlu ya tidak apa-apa pada jam kerja kita memakai baju formal, supaya itu menolong suasana kita tidak terlalu santai.
Y : Suasana psikis kita sendiri, ya Pak.
SK : Ya. Jadi memang untuk orang tertentu sangat mudah beradaptasi, tapi untuk beberapa orang tidak mudah. Tempat itu menentukan suasana hati, ingat rumah ingat santai, ingat kantor ingat kerja. Lha, sekarang kerjanya di rumah, jadi bingung. Memang tidak mudah, tapi kita diberi Tuhan hikmat, diberi Tuhan kemampuan beradaptasi, artinya kita mulai melatih kebiasaan baru. Tidak apa-apa pada jam kerja misalnya mulai jam 08.00 sampai jam 14.00 minimal misalnya kita memakai baju formal supaya kita suasananya kerja, kita mengunci di ruangan itu, mmisalnya. Di kantor dalam rumah kita, seperti itu.
Y : Menarik ya, Pak. Memang harus memikirkan hal-hal apa yang harus kita adaptasi, di dalam kondisi yang sulit ini. Bagaimana kalau dengan ibadah, tadi pekerjaan sudah, anak-anak sudah, ibadah juga tentunya terdampak.
SK : Sebelum saya membicarakan ibadah, saya teringat tentang situasi penghasilan ya, Bu Yosie. Untuk beberapa orang akhirnya tidak semudah itu memindahkan pekerjaan dari kantor ke rumah, ada orang-orang yang dirumahkan. Beberapa pekerja terpaksa dihentikan, berhenti penghasilannya. Dalam hal ini kita perlu terbuka untuk beradaptasi dengan mencari profesi baru, melihat peluang baru apa yang ada, yang bisa menghasilkan uang secara halal. Ada orang yang biasanya menjadi pengemudi bus, biasanya menjadi pilot pesawat terbang, biasanya kerja di hotel yang berbintang akhirnya dirumahkan karena semuanya terhenti. Tidak apa-apa, peluangnya apa, orang masih mau beli sayur, orang masih mau beli buah-buahan. Ya kita jual buah-buahan, jual sayur di pinggir jalan. Atau sekarang peluangnya apa-apa ‘online’, apa-apa daring dan orang juga butuh antar jemput karena lebih banyak di rumah. Oke, kita membuka jasa karena kita memunyai mobil, aku mau terima antar jemput barang atau makanan, atau kita memunyai sepeda motor, kita menjadi ojek daring. Tidak selalu harus bergabung dengan ysng sudah terkenal, kita bisa sebarkan informasi kepada teman-teman kita, temannya punya teman supaya kita punya peluang untuk kita dipekerjakan. Inilah juga bagian dari adaptasi, bagaimana bertahan, ‘survive’ di tengah situasi yang krisis ini. Kita tidak kehilangan akal, tapi kita berkreasi maka sejalan dengan itu kita bisa berdoa meminta hikmat pada Tuhan.
Y : Tuhan membukakan jalan.
SK : "Tuhan, Engkau sumber penghidupan kami berikan hikmat apa yang harus kami lakukan". Bisa kita jadikan pokok doa keluarga, ayo anak-anak, ayo suamiku, istriku, kita berdoa bersama. Justru disini kesempatan kita untuk sehati sepikir di tengah krisis bersama dengan keluarga mengalami kehadiran, pertolongan dan pemeliharaan Tuhan.
Y : Itu langsung terhubung dengan beribadah di rumah. Dalam beribadah tentunya bukan hanya nyanyi-nyanyi dan dengar Firman, tapi bagaimana mengalami Tuhan, menghadirkan Tuhan dalam hidup kita.
SK : Ya, justru disinilah di tengah kondisi yang memaksa kita menjadikan "Rumah Kita Istana Kita", kita kembali justru kepada rancangan Tuhan bahwa ibadah itu pusatnya adalah keluarga. Kalau kita ingat dalam Ulangan pasal 6 yang akrab disebut dengan kata "Shema" dalam tradisi orang Israel, atau orang Yahudi bahwa orangtualah yang diberi otoritas dan mandat oleh Tuhan untuk mengajarkan, untuk mengulang-ulang menanamkan hati yang mencintai Tuhan pada anak-anak-Nya. Itu bukan tugas Pendeta atau Guru Sekolah Minggu, pembina remaja. Mereka adalah mitra sukses, tapi tugas yang sesungguhnya ada pada orangtua. Disinilah kesempatan ibadah keluarga kita hidupkan. Mungkin kita tidak bisa daring, ibadah ‘online’ karena mungkin keterbatasan quota data kita, jaringan internet kita lemah, tapi disinilah kita kembali ke asal, dimana ada Firman Tuhan yang bisa kita baca, itu sudah cukup. Kita belajar Firman bersama, kita memuji Tuhan bersama, suami-istri-anak dan disinilah justru kembali keluarga yang beriman kita hidupkan di tengah krisis ini. Ada istilah "Blessing in Disguise", berkat yang terselubung, mari kita rayakan dalam ibadah keluarga menghadirkan Tuhan sebagai sarana adaptasi, juga sekaligus sebagai sarana mengokohkan iman kita bagi keluarga kita.
Y : Wow, menarik sekali ya, Pak. Tentunya kalau kita hadirkan Tuhan di dalam keluarga kita pastinya ada kekuatan yang baru.
SK : Benar, dan beradaptasi itu juga, Bu Yosie, tentang imunitas tubuh, tentang kekebalan tubuh. Kalau dulu kita olahraga ikut club, renang, bulutangkis, tenis, pusat kebugaran (‘fitness centre’), sekarang kita di rumah, kita siasati dengan olah raga di rumah. Misalnya badminton di halaman rumah atau di jalan yang mungkin sekarang sepi, di depan rumah kita, kita juga bermain-main dengan anak sambil bergurau, petak umpet, gobak sodor kalau kita bisa lakukan, kalau kita memunyai sekian anggota keluarga dalam satu rumah.
Y : Lompat tali, anak-anak senang.
SK : Bercocok tanam, berkebun bahkan berkebun pun tidak harus punya lahan yang luas. Sekarang berkembang pemahaman kebun vertikal, bercocok tanam vertikal, jadi tembok kita siasati dengan botol aqua, botol minuman kemasan itu kita bisa gunakan untuk menanam. Kita tinggal cari benih, dengan bercocok tanam, kita juga menikmati kehidupan, segar, fisik bekerja, emosi juga ditenangkan.
Y : Saya berbincang-bincang saja sudah langsung semangat, mendapatkan ide-ide. Selain menerima, lalu beradaptasi apakah itu cukup, Pak ? Bagaimana dengan natur kita untuk terus berkembang sebagai manusia yang berakal budi ?
SK : Tepat, Bu Yosie, saya sepakat poin yang ketiga setelah kita menerima sebagai fakta, yang kedua beradaptasi, yang ketiga kita bertumbuh. Jadi kita bukan hanya bertahan, kita berharap situasi krisis seperti ini hanya sesaat.
Y : Badai pasti berlalu………., begitu ya Pak ?
SK : Semangat….semangat…semangat seringkali orang berseloroh seperti itu. Kita tidak usah menunggu, tapi mari kita lanjutkan kehidupan untuk bertumbuh dan berkembang. Misalnya marilah kita ikuti webinar (seminar lewat web). Kalau kita diberi anugerah oleh Tuhan punya komputer, kita punya laptop atau punya telepon cerdas atau smartphone, kita bisa beli quota data, manfaatkan sebagian untuk kita ikuti seminar-seminar lewat dunia web, webinar orang menyebutnya dan kita bisa pilih ada sekian banyak seminar yang gratis. Kalau kita belum mengetahuinya, tanyakan kepada teman-teman yang ada di jaring sosial kita dan biasanya gereja-gereja umumnya pelayanan tertentu itu mereka melakukan seminar-seminar bukan hanya tentang hidup iman, tapi juga tentang peluang bisnis, tentang bagaimana mengembangkan diri. Silakan ikuti hal itu untuk mendapatkan ide-ide baru bagaimana membuka usaha/berbisnis di tengah krisis yang kita alami. Atau kita ikuti seminar-seminar untuk pengembangan diri, kualitas kita, ketrampilan tertentu dari bercocok tanam mungkin juga bisa menghasilkan uang. Ada hal-hal lain, intinya ada hikmat yang kita bisa dapatkan, tetaplah kembali berdoa. Poin yang penting untuk bertumbuh dan beradaptasi, libatkan tubuh Kristus, ciptakan kelompok pendukung, komunitas. Kita misalnya pemimpin gereja atau pengurus gereja buatlah komunitas. Berbagi ide supaya kita tidak sendirian tapi kita punya ketersalingan yang menguatkan, berkolaborasi, untuk bisa beradaptasi dan bertumbuh di tengah krisis.
Y : Setuju dengan kelompok pendukung, karena tidak mungkin sebagai makhluk sosial kita sendirian bertumbuh.
SK : Termasuk bertumbuh secara iman, selama ini kita saat teduh sebelum situasi krisis, ya sebisanya saja, yang penting kita jadi anggota gereja yang baik. Justru di tengah krisis ini menjadi alasan yang semakin kuat untuk kita makin mengenal Tuhan dan firman-Nya. Disinilah pendalaman firman bisa kita ikuti baik secara pribadi atau secara komunitas, lewat dunia online yang bisa kita akses.
Y : Terakhir, Pak Sindu, pesan firman Tuhan yang akan jadi penguat bagi setiap kita.
SK : Saya bacakan dari Yosua 1:8-9, "Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung. Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi". Di dalam konteks ini Yosua dan bangsa Israel juga menghadapi sebuah krisis, menghadapi sebuah tantangan baru untuk masuk ke negeri Kanaan, tetapi disini Tuhan mengingatkan, firman Tuhan perlu dibaca, direnungkan siang dan malam dan dilakukan dan itulah menjadi sentral sukses.
Y : Amin.
SK : Disanalah juga yang akan meneguhkan kita bahwa kita tidak sendirian, sebagaimana Tuhan memimpin bangsa Israel di masa lalu, Tuhan akan memimpin bangsa Israel di masa depan. Sebagaimana Tuhan telah memimpin kita sebelum menghadapi krisis hari ini dan Tuhan setia, maka kita dapat memercayai juga bahwa Tuhan juga setia di tengah masa krisis saat ini dan menghadapi tantangan ke depan. Marilah untuk kita pertama, mau menerima situasi krisis yang sedang kita alami, yang kedua kita beradaptasi, yang ketiga kita bertumbuh dan mari semuanya kita lakukan bersama Tuhan dan jemaat-Nya. Bersama Kristus dan tubuh Kristus.
Y : Amin, terima kasih banyak Pak Sindu untuk perbincangan kita, saya percaya ini memberkati setiap pendengar. Para pendengar sekalian, terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menjadikan Rumahku Istanaku". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.