Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Mega, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Mengomel". Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
M : Pak Sindu, diskusi kita hari ini mengambil judul mengomel. Saya yakin para pendengar sudah tidak asing dengan kata ini, apalagi bagi keluarga, bagi bapak-bapak, bagi ibu-ibu, anak-anak juga. Bagaimana fenomena mengomel ini, Pak Sindu?
SK : Tepat kata Bu Mega tadi. Kata mengomel itu umum dan lumrah ya. Kita menganggap itu sebagai hal yang normatif, artinya sah-sah saja, tidak bersalah dan bagian alamiah dari pengasuhan orangtua kepada anak. Namun sayangnya itu buruk dan menghancurkan bagi relasi terlebih bagi tumbuh kembang anak, Bu Mega.
M : Saya masih bingung dan rancu, apakah mengomel sama dengan marah, Pak?
SK : Ada bedanya saya pikir, Bu Mega. Mengomel itu ada unsur rasa kecewa. Saya ingin rumah ini rapi, mengapa anak saya membuat berantakan. Kecewa. Bisa jadi marah juga ada di dalam mengomel. "Kamu ini memang anak yang clometan, anak yang berantakan. Apa-apa yang kamu pegang pasti hancur berantakan. Kapal pecah." Ada nada-nada tinggi, ada kemarahan yang terungkap dalam omelan kita sebagai orangtua.
M : Jadi, marah itu merupakan salah satu unsur dari mengomel ya?
SK : Ya, Bu Mega.
M : Tapi apakah mengomel itu bisa disamakan dengan marah?
SK : Ada bedanya. Karena kalau marah bisa jadi kata-kata kita pendek. Bisa jadi. "Saya marah. Kamu ini anak nakal !" Pergi, selesai. Tapi mengomel itu tergambarkan dengan banyak kata-kata yang diungkapkan. Ada kata dalam Bahasa Indonesia yaitu menggerutu, bersungut-sungut, itu mengomel. Beda dengan marah.
M : Jadi, mengomel itu lebih merupakan pengulangan kata, Pak Sindu?
SK : Ya. Bisa jadi dalam mengomel, dalam hal ini khususnya orangtua, sambil mengomel sambil melakukan yang anak tidak kerjakan. Jadi, ada unsur, misalnya pakaian berceceran, "Kamu ini berantakan ya! Perempuan seharusnya bisa rapi. Masa pakaian bisa tersebar dimana-mana!" sambil sang ibu memunguti pakaian anak perempuannya yang berterbaran dimana-mana, sambil dilipat, sambil terus berkata-kata mengungkapkan kekecewaan atau mungkin tuduhan-tuduhan negatif terhadap anaknya tersebut.
M : Apakah mengomel ini lebih banyak dilakukan ibu-ibu ya kalau dibandingkan dengan bapak-bapak?
SK : Saya lihat lebih mungkin dilakukan ibu-ibu. Karena mungkin di satu sisi wanita kebutuhan untuk bicaranya lebih tinggi, kebutuhan untuk mengungkapkan perasaan dalam bentuk kata-kata itu lebih tinggi. Bagi wanita umumnya, berkata-kata itu melegakan tekanan emosi. Sementara bagi laki-laki, terlalu banyak kata-kata pada batas tertentu melelahkan, sehingga mungkin langsung menghardik, langsung melakukan tindakan fisik daripada kata-kata, karena perbendaharaan kata-kata itu sudah melampaui batas, sudah enggan berkata-kata. Saya menegaskan, ini stereotype ya, bukan berarti mengomel pasti wanita, pria tidak. Oh, saya yakin itu kesalahan, sebuah kekeliruan. Pria pun masih bisa mengomel, bukan hanya wanita.
M : Tapi prosentasenya lebih banyak wanita ya?
SK : Ya.
M : Tadi saya mendengar kata-kata Pak Sindu, ketika wanita atau ibu-ibu ini mengomel, itu sedikit banyak melegakan?
SK : Betul. Untuk sesaat melegakan. Karena kejengkelan, kekecewaan diungkapkan ‘kan dengan kata-kata? Melegakan. Namun di sisi lain saya lihat, mengomel itu memberi dampak buruk, yaitu melelahkan jiwa. Melegakan sesaat tapi sebenarnya orangtua yang hobi mengomel membuat pikiran dan perasaannya lebih dikuasai oleh hal-hal negatif. Jadi, dia seperti punya pandangan negatif pada anaknya. Dia melihat juga diri ini sepertinya hanya punya satu pilihan, yaitu mengungkapkan perasaan-perasaan negatif. Dia tidak melihat alternatif yang lain bagaimana mengungkapkan dengan perasaan positif, merasakan secara positif, mengungkapkan dengan cara yang positif. Jadi, melelahkan dan sisi yang lain memenjarakan, memerangkap orangtua tersebut yang suka mengomel.
M : Memerangkap itu bagaimana, Pak?
SK : Akhirnya orangtua seperti merasa inilah cara hidup kami sebagai orangtua dalam mendidik anak. Mengomel, mengomel dan mengomel. Kalau dalam pemerintahan ‘kerja, kerja dan kerja’. Dalam menjadi orangtua mungkin mottonya ‘mengomel, mengomel dan mengomel’. Itu memerangkap, sepertinya tidak apa-apa dan lumrah, padahal itu sebuah penjara emosi, penjara relasi orangtua terhadap anak, penjara pola asuh orangtua terhadap anak.
M : Dalam pengertian lain, kalau saya bisa mengambil kesimpulan dari penjelasan Pak Sindu tadi, mengomel itu merupakan suatu bentuk komunikasi dari orangtua kepada anak, tapi cara komunikasi yang salah.
SK : Tepat ! Sepakat !
M : Kira-kira apa penyebabnya ya kenapa ibu-ibu yang lebih banyak mengomel daripada bapak-bapak?
SK : Ya tadi itu yang saya ucapkan bahwa keterbatasan perbendaharaan kata atau kebutuhan berbicara dari pria dibandingkan wanita. Wanita lebih butuh banyak bicara daripada pria. Itu di satu sisi. Sisi yang lain kalau bicara tentang mengomel, sangat mungkin orangtua yang suka mengomel dibesarkan juga sebagai anak-anak di masa lalunya dari orangtua yang juga suka mengomel. Copy paste. Tontonan jadi tuntutan. Mungkin sewaktu menjadi anak merasa capek diomeli, tapi sisi yang lain dia belajar tontonan langsung bahwa orangtua ya hanya mengomel. Sebagai ayah dan ibu ketika menjadi orangtua secara bawah sadar, otomatis dan alamiah dia pun mengulangi perilaku orangtua yang sesungguhnya dulu ketika menjadi anak tidak dia suka tapi dia akan tetap lakukan, karena tidak melakukan proses pembelajaran, proses kesadaran, hanya otomatis mengalir. Akhirnya ya mengomel. Sisi yang lain, mengomel umumnya tidak mengubah perilaku yang diomelkan itu. Misalnya seperti kisah memunguti baju. Anak berpikir, "Lho, toh dibereskan oleh mama. Untuk apa lagi saya bereskan? Baju yang berserakan ‘kan sudah dibereskan." Akhirnya anak tidak mengubah perilaku itu.
M : Pada dasarnya mengomel ‘kan tidak mengubah perilaku yang dikeluhkan orangtua kepada anaknya. Tapi kenapa orangtua tetap saja mengomel? Padahal sudah tahu bahwa perilaku mengomelnya ini tidak akan mengubah perilaku anak-anak yang diharapkan oleh orangtua.
SK : Ada sisi orangtua seperti berpikir hanya itu cara untuk mengubah anak. Sisi yang lain, mungkin orangtua perlu memeriksa motif, pikiran-pikiran, asumsi-asumsi yang ada di belakang tuntutan orangtua. Apakah itu realistik, apakah orangtua perfeksionis artinya mengejar kesempurnaan yang tidak sehat. Harus serba bersih, serba rapi, serba mulus, padahal ini anak-anak. Anak-anak khususnya masih anak di bawah 5 tahun atau ini anak-anak yang memang membutuhkan ruang kreatifitas. Bukankah ada kalimat, "Tidak kotor, tidak belajar" jadi, memang anak kadang perlu diberi ruang area boleh kotor. Misalnya, "Kamu boleh bermain kotor, main tanah, main lumpur, tapi di luar rumah. Begitu kamu mau masuk ke dalam rumah, bersihkan badanmu dulu, ganti baju, masuk." Sebaiknya diberi area. Dalam hal ini mengomel itu, "Kamu ini, meskipun di luar rumah harus anggun, bersih, wangi." Padahal ini anak-anak ! Masa bermain. Jadi, tuntutan orangtua memang perlu diturunkan, motifnya perlu diperbaiki.
M : Ya. Dengan kata lain untuk isu mengomel ini sendiri, orangtua punya andil ya. Orangtua juga harus memeriksa dirinya kenapa dia melakukan itu secara terus menerus. Biasanya kita melihat kalau orang mengomel, berarti yang diomeli yang salah. Nah, di dalam penjelasan ini berarti bisa jadi orangtua itu juga memunyai kesalahan, seperti misalnya terlalu perfeksionis itu tadi, memiliki peraturan yang kaku juga.
SK : Betul.
M : Jadi, orangtua juga harus mawas diri, kenapa dia itu mengomel dan tidak berhenti-berhenti juga.
SK : Ya.
M : Apa dampaknya kepada anak kalau misalnya seorang anak mendengarkan ayahnya atau ibunya terus mengucapkan kata yang berulang-ulang dan terkesan seperti menuduh untuk kesalahan-kesalahan yang katakanlah bisa dia perbuat, bisa juga tidak dia perbuat.
SK : Salah satunya yang saya lihat anak menjadi kurang menghargai orangtua. Wibawa orangtua menurun. Karena ayah dan ibuku hanya berucap berbusa-busa saja. Membuat telinga anak bising seperti lalat beterbangan. Anak merasa tutup telinga saja sudah, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
M : Pak, setiap kali anak mendengarkan kata-kata orangtuanya yang itu-itu saja untuk topik yang sama dan terus diulang-ulang, apakah bisa menimbulkan suatu perasaan tersendiri di dalam diri anak?
SK : Seperti bagaimana, Bu Mega?
M : Maksud saya kalau seorang anak diomeli secara terus menerus tanpa dia tahu salahnya apa. Kalau menurut sepengetahuan saya, ketika orangtua mengomel, jarang sekali memberikan alasan kenapa dia itu mengomel, yang penting dia hanya berkata-kata yang diulang-ulang, menuntut, menyatakan kesalahan. Bagaimana dampaknya terhadap seorang anak yang dia itu tidak tahu untuk apa dia diomeli, tanpa penjelasan dari orangtua.
SK : Bisa jadi anak itu akan muncul satu pemahaman diri, "Aku salah. Apapun yang aku lakukan cenderung salah di mata orangtua." Membawa diri menjadi pribadi yang kurang merasa berharga, rasa percaya dirinya rendah, atau memberi predikat kepada diri, "Aku anak nakal, aku anak yang tidak taat, aku anak yang berantakan."
M : Apakah betul perasaan-perasaan seperti ini merupakan dampak dari yang dinamakan kekerasan emosi?
SK : O iya, sangat bisa ! Akhirnya anak merasa orangtua telah menyakiti hatinya.
M : Saya melihat ketika seorang ibu atau seorang bapak yang terus menerus mengomeli anaknya tanpa memberikan penjelasan, itu berarti dia sedang melakukan yang dinamakan kekerasan emosi terhadap diri anaknya. Kita jangan membayangkan kekerasan emosi itu seperti sesuatu hal yang sangat besar. Yang marah sampai berteriak-teriak atau yang sampai memukul. Sebetulnya tidak seperti itu. Tapi ketika orang tua hanya mengatakan, "Kamu itu lho, begini saja mengapa tidak bisa? Mama ‘kan sudah bilang kamarnya dibereskan. Tapi mengapa ya tidak dilakukan." Ketika orangtua melakukan atau mengatakan hal seperti itu dan kemudian tidak diberi penjelasan, hanya mengomel, hanya menuntut, itu sama saja dengan memosisikan anak menjadi seseorang yang tidak berdaya. Kemudian anak akan berpikir bahwa, "Iya ya, mama yang benar, aku yang salah." Apalagi ketika dia melihat orangtuanya ini, ibunya ini, membereskan semua yang dituntut, semua yang diomelkan kepadanya. Hal ini akan membuat anak ini merasa dirinya itu bukan apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa, memang merupakan seseorang yang inferior yang memang patut untuk diomeli oleh orangtuanya. Dia akan merasa bahwa dirinya itu bersalah. Bagaimana, Pak Sindu?
SK : Ya. Terima kasih Bu Mega mempertajam tentang dinamika yang terjadi di balik orangtua yang mengomeli anak. Jadi, saya sepakat bahwa tanpa disadari ketika orangtua gemar mengomel, maka sebenarnya orangtua sedang mengerdilkan anak. Orangtua sedang melakukan pembonsaian anak. Orangtua seperti berkata, "Kamu memang tidak mampu. Kamu anak yang tidak berdaya. Kamu sudah umur 10 tahun tapi perilakumu seperti bayi. Ya sudah, aku perlakukan kamu seperti bayi." Jadi, orangtua melakukan penghukuman, pemasungan terhadap potensi tumbuh kembang anak secara sehat tanpa disadari dan anak terjebak dalam kotak perangkap, dalam penjara emosi, penjara citra gambar diri yang orangtua ciptakan sehingga itulah yang Bu Mega lihat sebagai bentuk kekerasan emosi.
M : Iya. Terus, dampaknya kepada anak ini bagaimana ya Pak? Selain dia bisa jadi inferior dan merasa bersalah itu tadi?
SK : Anak itu akhirnya lelah secara emosi. Burned out. Lelah telinga. Dalam istilah yang lain ya. Artinya apapun yang dikatakan orangtua dia tutup telinga rapat-rapat. Akhirnya orangtua kehilangan kuasa kata-kata. Jadi, kata-kata orangtua itu seperti menggarami lautan, kalau istilah sekarang ini ngember, tidak ada maknanya. Orangtua terlalu banyak menarik dari tabungan emosi anaknya. Jadi, ibaratnya kepercayaan dan rasa hormat itu muncul kalau orangtua banyak menghargai anak, memberi pujian. Jadi ketika orangtua menuntut satu dua hal, anak akan perhatikan. Tapi karena orangtua suka mengomel, dengan kata lain menarik banyak poin dari tabungan emosi anak, malah defisit. Sehingga di masa remajanya anak, di masa dewasanya anak, apapun kata orangtua hanya satu kata "Lawan!" "Tolak!" akhirnya orangtua marah dan bingung, tambah mengomel lagi ! Tambah lagi anak melawan dan lari ! Malah yang dikatakan orangtua, yang dilarang orangtua, anak sengaja melanggar larangan itu sebagai bentuk perlawanan !
M : Anak jadi berontak ya.
SK : Iya! Sehingga anak dikatakan, "Kamu itu bebal! Cuek ya!" semakin anak akan cuek, semakin anak akan bebal, semakin tidak menggubris.
M : Semakin anak tidak menggubris, orangtua semakin mengomel. Putar-putar terus seperti siklus ya !
SK : Betul. Lingkaran setan yang sayangnya tambah lama tambah terpuruk. Orangtua terpuruk, anak juga terpuruk.
M : Ya. Jadi, bagaimana solusinya supaya suasana di rumah itu bisa lebih enak, bapak ibu bisa lebih berkurang omelannya? Kira-kira bagaimana ya, Pak?
SK : Yang pertama, lakukan dialog. Percakapan yang sehat dan menghormati anak. "Papa dan mama mau kamu rapi. Oke, kamu boleh berantakan saat kamu main, saat kamu kerjakan PR. Tidak apa-apa di ruang ini. Tapi ketika kamu sudah selesai, bereskan mainanmu, bereskan barang-barangmu. Setuju atau tidak? Bagaimana menurutmu?" "Pa, aku capek kalau sudah main sudah bongkar-bongkar barang. Bantu dong…" "Oke, kamu capek. Makanya bagaimana kamu mainnya sampai jam segini? Supaya kamu tidak terlalu capek, masih ada waktu untuk beres-beres. Papa atau mama boleh sesekali membantu bereskan, tapi bukan berarti bergantung pada papa dan mama. Bagaimana? Setuju? Yuk, toss!" Nah, kita buat kesepakatan. Melatih, mengomunikasikan. Seperti yang Bu Mega tengarai tadi standar orangtua tidak jelas, maka dikomunikasikan, dibuat dialog, kesepakatan. Supaya anak merasa dihormati, anak merasa punya "saham" terhadap aturan itu, tidak ‘top-down’ dari atas ke bawah, tapi ada ‘bottom-up’ dari bawah ke atas. Dengan demikian ada rasa memiliki, ada rasa tanggung jawab, karakter bertanggung jawab pada anak dengan sendirinya kita tumbuhkan. Bukankah karakter itu seketika turun dari langit melainkan hasil dari proses panjang.
M : Ya. Supaya karakter ini bisa terus bertahan, berarti dialog dan kesepakatan yang dilakukan oleh orangtua ini harus dilakukan terus menerus?
SK : Betul. Konsisten. Ada kalanya kasusnya ada tamu datang, "Ayo bereskan!" tapi ketika tidak ada tamu, berantakan dibiarkan.
M : Anak bingung.
SK : Bingung standarnya apa. Nah, coba lakukan yang konsisten.
M : Oke, berarti ada tiga ya, yaitu harus ada dialog, ada kesepakatan, dan kekonsistenan yang tidak boleh dilupakan. Kira-kira ada solusi apa lagi, Pak Sindu?
SK : Orangtua perlu memilih medan peperangan. Artinya tidak perlu semua hal diatur seperti kemauan orangtua yang serba rapi, serba bersih, serba oke. Jadilah orangtua yang manusiawi. Artinya untuk beberapa hal kita perlu berani melepas. Misalnya, kamar berantakan untuk skala tertentu. Barang-barang berantakan. Atau mungkin anak kita lupa, mudah lupa untuk beberapa hal. Sudahlah kalau itu kita lihat berulang-ulang, memang anak kita tidak berdaya, terlalu banyak tuntutan, lepaskan. Lepaskan. Jadilah orangtua yang manusiawi dan menjadikan anak kita manusiawi. Karena kalau kita serba menuntut sempurna, anak kita akan jatuh perfeksionistik, tidak mudah puas diri, serba juga tidak mudah puas orang lain. Dia terkungkung. Maka dalam hal ini kita juga perlu melihat, jangan-jangan kita mengomel karena dari diri kita yang perfeksionistik, terlalu mengejar kesempurnaan yang sebenarnya tidak manusiawi bagi diri kita. Kalau kita menemukan sisi perfeksionistik di diri kita, rasa aman yang cukup rendah, mari cari rekan, cari konselor, cari kelompok yang kita boleh merasa aman berbagi, menemukan akar dan menyelesaikan, supaya anak kita tidak perlu terbebani untuk hal-hal yang terlalu detail, terlalu sempurna, terlalu remeh, sehingga kehilangan yang esensial dalam hidupnya bahwa bahagia bukan berarti semuanya harus serba lancar, serba rapi, serba bersih.
M : Ya. Kalau kita simpulkan, orangtua itu harus belajar menjadi manusia dan juga mengijinkan anak untuk juga tetap menjadi anak-anak ya, Pak?
SK : Tepat.
M : Ya. Adalagi solusi berikutnya, Pak Sindu?
SK : Orangtua perlu waktu istirahat, perlu waktu relaksasi, hobi yang sehat. Mungkin serba mengomel karena beban hidupnya berlebihan, beban stresnya melampaui batas sehingga secara sadar melihat, "Lho mengapa aku sering ngomel ya? Ada apa ya? Oh, kelelahan fisik…kelelahan mental… kelelahan emosi... sehingga tambah mengomeli anak yang lebih lemah." Sadari dan time out. Turunkan standar untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan misalnya ambil waktu untuk setengah hari dengan Tuhan, beberapa jam dengan hobi yang sehat, tidur lebih awal, makan-makanan yang bergizi, supaya energi fisik, mental, spiritual diisi ulang.
M : Jika memungkinkan punya pembantu di rumah juga boleh ya?
SK : O iya, bisa jadi. Kalau itu memang kebutuhan kita, kita kewalahan dengan urusan rumah tangga sementara kita punya tanggung jawab yang lain, tidak apa-apa. Asisten rumah tangga mungkin tidak harus setiap hari, bisa jadi itu menjadi salah satu solusi untuk menurunkan tingkat beban jiwa kita.
M : Ya. Pembicaraan kita hari ini sangat menarik, Pak Sindu. Kurang satu, yaitu firman Tuhan yang harus dibagikan untuk menjadi pegangan bagi para pendengar sekalian.
SK : Amsal 25:11, "Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti bua apel emas di pinggan perak." Firman Tuhan mengingatkan kita agar berhemat dengan kata-kata kita. Kalau kita suka berucap tanpa batas dalam bentuk omelan, malah berarti perkataan kita keliru dari segi waktu. Keliru dari segi dampaknya. Mari kita mengubah menjadi orang yang berhikmat dan menguasai diri dalam berucap termasuk terlebih terhadap anak-anak kita.
M : Terima kasih banyak untuk uraiannya yang saya yakin akan menjadi berkat bagi setia orangtua di dalam mengasuh anak-anaknya dikemudian hari, Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Mengomel". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.