Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi,
di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen
dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang
dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling
serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali
ini tentang "Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan". Kami percaya acara
ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan
selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, sepasang suami istri yang baru memasuki pernikahan
tentunya memunyai idaman, angan-angan untuk memunyai keluarga yang sehat, yang
baik, yang rukun, yang harmonis, tetapi itu ‘kan dipengaruhi banyak faktor
kenyataannya setelah pernikahan itu berjalan beberapa lama apa yang diidamkan
itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Nah, apakah ada faktor-faktor yang
memengaruhi hal itu, Pak Paul ?
PG : Ada, Pak Gunawan, yang akan coba saya soroti pada kesempatan ini
adalah kesehatan jiwa kita secara pribadi. Memang kita seringkali mengatakan
bahwa kalau pernikahan itu bermasalah berarti kedua-duanya bermasalah, kurang
bisa berkomunikasi, kurang bisa mengerti yang akhirnya menjadi masalah. Sudah
tentu betul ada kalanya itu yang terjadi tetapi ada satu faktor lain yang juga
penting yaitu kesehatan jiwa kita masing-masing atau kematangan, kedewasaan
kita. Kita memang tidak sama, ada orang yang masuk dalam pernikahan membawa
diri yang relatif sehat, berani menghadapi hidup apa adanya, berani
bertanggungjawab atas pilihannya dan tindakannya, bisa memenuhi kebutuhannya,
tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi ada juga yang masuk ke dalam
pernikahan tidak seperti itu, akhirnya yang tidak seperti itu, tidak sesehat
itu cenderung menarik yang lebih dewasa, yang lebih matang seolah-olah
digandoli sehingga yang lebih sehat pun, yang lebih bertanggungjawab pun
terpengaruh. Lama kelamaan relasi mereka menjadi lebih buruk, misalkan yang
satu menyalahkan yang lain, lama kelamaan sesehat-sehatnya kita, sedewasa-dewasanya
kita kalau terus disalahkan seperti itu ya tidak bisa tidak akhirnya berontak,
marah, mungkin akhirnya kita mengeluarkan kata-kata yang kasar. Mulailah relasi
kita bermasalah, karena itu kalau saya boleh mengutip perkataan dari seorang
psikolog yang bernama Neal Clark Warren, ia menegaskan bahwa seberapa sehatnya
pernikahan itu bergantung pada seberapa tidak sehatnya si suami atau si istri,
karena yang tidak sehat cenderung menggandoli dan membawa yang sehat turun ke
bawah sehingga sama-sama tidak sehat.
GS : Padahal biasanya pasangan itu ketika masih berpacaran atau
pendekatan mereka salah satu mengira, yang sehat itu mengira karena dia sehat,
dia akan bisa memengaruhi yang tidak sehat supaya menjadi sehat. Katakan ada
sesuatu yang kurang baik yang terlihat pada pasangannya, ia yakin nanti setelah
menikah bisa berubah. Nyatanya tidak, Pak Paul.
PG : Betul, jadi misalkan saya berikan sebuah contoh. Kita sayang
pada kekasih kita, akhirnya kita berkata pada kekasih kita, "Apa pun kondisimu,
saya akan menerimamu", misalkan kebetulan kita mengetahui bahwa kekasih kita
mengalami banyak kepahitan dalam hidupnya sehingga menyimpan banyak kemarahan
tapi kita berkata,"Saya akan menjadi pemanis hidupmu, saya akan menolong kamu
sehingga tidak harus hidup dalam kepahitan". Kita menikah dengan dia dan baru
sadar setelah menikah kepahitan itu meluap terus-menerus dalam bentuk
menyalahkan kita, menyerang kita, seolah-olah kita yang salah terus. Maksudnya
baik pada awalnya mau menjadi penyelamat bagi pasangannya tetapi akhirnya kita
tidak tahan, kita juga berontak. Akhirnya kita berkata, "Kapan saya boleh
hidup, kapan saya boleh menikmati hidup ini, kapan saya boleh didukung ? Kamu
selalu meminta saya mengerti kamu, bahwa kamu seperti ini karena apa, Oke saya
mengerti kamu tetapi kapan kamu mengerti saya, kapan kamu menolong saya ? Sebab
semuanya ada pada pundak yang satu ini". Jadi sekali lagi kalau yang satu sehat
dan yang lain tidak sehat biasanya keduanya dibawa turun melorot semuanya tidak
ada yang sehat.
GS : Dalam hal itu apakah tidak ada jalan keluarnya, Pak Paul ?
Karena mereka sebagai pasangan tentu saja akan berusaha, hal-hal apa yang harus
mereka kerjakan ?
PG : Pada intinya kita harus kembali kepada diri kita dan melihat
siapakah diri kita. Kita mesti berubah pada intinya, saya kutipkan dari Roma
12:2, firman Tuhan berkata, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan
dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat
membedakan manakah kehendak Allah : apa yang baik, yang berkenan kepada Allah
dan yang sempurna". Dengan kata lain, kita benar-benar harus mengalami
transformasi atau perubahan dan kita tidak bisa lagi hanya melihat pasangan.
Kita mesti menengok pada diri kita dan berkata, "Ya, Oke saya memunyai masalah,
saya memunyai kelemahan di sini, mau diubahkan". Setelah kita mengalami semua
ini baru kita bertumbuh lebih dewasa. Kalau kita terus hanya menatap pasangan,
menyalahkannya terus-menerus, sampai kapan pun tidak akan ada perubahan.
DL : Berarti mengalah untuk suatu kemenangan dalam keluarga.
PG : Seringkali kita harus bersedia melihat diri kita, Bu Dientje dan
memang mengakui kelemahan-kelemahan kita supaya kita bisa mengoreksinya, jangan
sampai kita hanya membebankan semua problem kita pada pasangan kita.
GS : Tapi perubahan itu tidak bisa terjadi dalam sekejap, lalu bagaimana
Pak Paul ?
PG : Perubahan itu harus melewati fase-fase, memang tidak sekejap.
Kita juga mau mengatakan kepada para pendengar kita kalau kita merasa pasangan
kita seperti itu, kita memang harus bersabar karena pasangan itu tidak bisa
berubah dengan cepat, perlu waktu yang panjang. Pada kesempatan ini saya akan
bagikan dua langkahnya dulu dan pada kesempatan berikutnya kita akan bahas yang
dua lagi. Yang pertama yang ingin saya angkat adalah sebuah konsep "Saya tidak
bahagia", yang kedua yang akan kita bahas juga adalah konsep "Saya tidak
layak". Dalam rencana Tuhan yang memang tidak selalu kita bisa pahami, Tuhan
menempatkan kita dalam keluarga yang berbeda-beda. Ada yang ditempatkan di
keluarga yang hangat, ada yang kurang hangat, ada yang tenteram, ada yang
sering bertengkar, ada yang harmonis, ada yang sering bergontokan. Kalau kita
kebetulan ditempatkan Tuhan dalam keluarga yang tegang, dingin, sering
berkonflik akhirnya kita harus menyadari satu hal, bahwa sebetulnya orang tua
kita orang tua yang tidak bahagia. Bertahun-tahun mereka hidup dalam problem,
tidak ada kebahagiaan sama sekali akhirnya mereka benar-benar menjadi
pribadi-pribadi yang tidak bahagia. Kondisi itu mereka tidak bisa tidak akan
mulai tularkan kepada kita, anak-anaknya sehingga pada akhirnya kita akan
menerima. Mengapa begitu ? Sebab orang tidak bisa terus-menerus hidup dalam
ketidakbahagiaan, pada waktu papa tidak bahagia, mama tidak bahagia, mereka
akan melampiaskan ketidakbahagiaan itu kepada satu sama lain dan akhirnya kepada
anak-anak pula. Dimulailah sebuah siklus di sini, kita tidak merasa bahagia
kita lemparkan kepada pasangan kita akhirnya anak-anak kita juga tidak merasa
bahagia. Berputar-putarlah siklus itu, akhirnya yang terjadi adalah begitu kita
tidak merasa bahagia, kita juga melemparkan ketidakbahagiaan kita kepada orang
yang dekat kita, dalam hal ini nantinya kepada pasangan kita sendiri. Kita
adalah produk dari keluarga yang tidak bahagia, orang tua kita tidak bahagia,
ketidakbahagiaan mereka jatuh kepada kita, kita juga tidak merasa bahagia dan
akan melemparkan ketidakbahagiaan kita kepada istri kita atau suami kita. Dari
sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa ketidakbahagiaan itu menular dan
menjalar. Karena satu orang tidak bahagia, dua orang tidak bahagia; karena dua
orang tidak bahagia, tiga orang tidak bahagia dan begitu seterusnya akhirnya
satu keluarga tidak bahagia.
GS : Kalau mau kita runtut orang tua kita itu juga produk dari kakek
nenek kita, jadi tidak ada habisnya. Apakah kita bisa begitu saja menyalahkan
orang tua kita bahwa saya ini tidak bahagia karena berasal dari keluarga yang
tidak bahagia. Tidak bisa secepat itu, Pak Paul.
PG : Yang saya maksudkan adalah, saya tidak mau kita menyuburkan
sikap menyalahkan orang tua, menyalahkan keturunan di atas kita, tidak ! Yang
saya mau coba lakukan adalah mengajak kita melihat anatominya, prosesnya mengapa
sampai seperti ini. Saya coba untuk menyederhanakan konsep ini dan bahwa
sebetulnya semua dimulai dari ada dua orang yang tidak bahagia dalam keluarga
kita, oleh karena dua orang tidak bahagia, keduanya saling melemparkan
ketidakbahagiaannya kepada satu sama lain. Anak-anak yang dibawa akhirnya
menerima tetesan ketidakbahagiaan itu. Pada waktu orang tua saling menyalahkan,
bertengkar dan sebagainya, semua itu akan menetes kepada anak-anak dan
anak-anak tidak mungkin bahagia dalam keluarga yang seperti itu pula. Jadi
masing-masing menyimpan ketidakbahagiaan, kalau kita bicarakan dari sudut
kebahagiaan dan sebagainya tampaknya sangat duniawi seolah-olah kita tidak
boleh berbicara tentang kebahagiaan tetapi sebetulnya ini hal yang penting.
Kalau hati kita tidak ada kebahagiaan, tidak ada sukacita bagaimana bisa
menjalin relasi yang penuh sukacita dan bagaimana anak-anak kita bisa menikmati
relasi keluarga yang hangat, saya kira hal itu tidak mungkin.
GS : Apakah ada ciri-ciri dari relasi yang tidak membahagiakan itu,
Pak Paul ?
PG : Orang yang tidak bahagia biasanya akan menuntut orang lain untuk
membahagiakan dia, jadi artinya dia akan benar-benar memaksa pasangannya untuk
mengerti dirinya. Semakin dia dimengerti, semakin dia bahagia, harus mengetahui
apa yang dia inginkan dan apa yang tidak diinginkan, harus mengerti isi
hatinya. Dengan kata lain, sebetulnya dia menuntut orang dalam hal ini
pasangannya untuk membahagiakan dia, pada waktu orang itu tidak bisa mengerti
dia dengan begitu baik, tidak bisa mengetahui isi hatinya dengan baik, dia
marah karena dia merasa, "inilah tugasmu seharusnya membahagiakan saya".
Mengapa begitu, karena pada dasarnya dia sudah tidak bahagia.
GS : Tuntutan itu diberikan kepada pasangan maupun anaknya, begitu
Pak Paul ?
PG : Seringkali demikian, jadi akhirnya ketidakbahagiaan tersebut
makin hari makin kompleks karena misalnya suami tidak bahagia, melemparkannya
kepada si istri sehingga istri juga tidak bahagia sebab suami juga mengomel dan
mengeluh. Si istri juga tidak bisa lagi hidup dengan bahagia, pada akhirnya si
istri memikul dua ketidakbahagiaan, dia tidak bahagia, suaminya tidak bahagia,
dia membawa kedua-duanya. Si suami tidak bahagia, si istri dituntut seperti itu
tidak bahagia, dia juga memikul dua ketidakbahagiaan. Si anak menerima dari
papa dan mama ketidakbahagiaan itu, si anak akhirnya akan menyerap dua
ketidakbahagiaan, baik dari ayah maupun dari ibu ditambah dia sendiri tidak
bahagia berarti dia memikul tiga ketidakbahagiaan. Makin bertambah besar makin bertambah
kompleks. Ketika anak yang tidak bahagia melihat papa mamanya tidak bahagia
besar kemungkinan dia tidak bisa secara hitam putih menentukan siapa yang
salah, siapa yang membuat yang lainnya tidak bahagia. Kadang-kadang tidak
begitu jelas akhirnya dia merasa bingung karena dia mencoba melihat dari sisi
papanya, mamanya salah; dari sisi mamanya papanya salah akhirnya dia tambah
merasa tertekan tidak bisa melihat lagi solusinya bagaimana. Benar-benar anak
merasa bingung dan kompleks sekali ketidakbahagiaan itu dalam hidupnya.
GS : Jadi sebenarnya secara teoritis makin panjang urutan keluarga
itu, makin ke bawah makin bertambah tidak bahagia, Pak Paul.
PG : Yang saya saksikan dalam banyak kasus, anak-anak yang lebih
kecil harus menanggung misalnya kemarahan-kemarahan kakak-kakaknya,
kadang-kadang ada anak bukan saja korban orang tuanya tidak bahagia sering
konflik. Anak-anak yang di bawah, yang kecil-kecil itu juga harus menanggung
kemarahan-kemarahan, masalah-masalah perilaku dari kakak-kakaknya, jadi kena
semua.
GS : Bagi suami istri itu sendiri ketika orang tuanya atau mertuanya
masih hidup, yang dia merasa ketidakbahagiaan itu berasal dari mereka, itu ‘kan
menambah ketidakbahagiaan suami istri itu sendiri ?
PG : Betul sekali, kalau dia mengingat-ingat orang tuanya begini
begitu, tambah marah, tambah tidak bahagia jadi sekali lagi kita melihat bahwa
ketidakbahagiaan itu akan sangat kompleks sekali. Waktu ini terjadi kita
berusaha mencari solusi untuk melenyapkan ketidakbahagiaan karena kita tidak
bisa hidup terus-menerus dengan hati yang tidak bahagia, tidak bisa ! Kita mau
mencari solusi, ada yang solusinya salah, berjudi, ada yang bekerja siang
malam, ada yang berselingkuh, kalau anak ada yang mencari solusinya dengan
berbuat ulah di sekolah, bermasalah dengan pergaulan, tetapi ada orang tua yang
mencari solusinya dengan cara memberi tuntutan kepada anak untuk melenyapkan
ketidakbahagiaannya. Artinya anak dituntut untuk meringankan beban orang
tuanya. Kalau anak dituntut seperti itu, anak akan terlibat dalam relasi yang
tidak sehat, mengapa ? Di satu pihak dia mendapatkan "kehormatan" untuk menjadi
penyelamat orang tuanya, tapi di pihak lain dia harus mengabaikan kepentingan
dirinya demi kebahagiaan orang tuanya, artinya dia tidak lagi hidup untuk
dirinya sendiri, dia terpaksa hidup hanya untuk membahagiakan orang tuanya.
Akhirnya benar-benar buat dia misi hidup ini hanya satu, bagaimana
membahagiakan orang tuanya, oleh karena itu yang dituntut oleh orang tuanya.
DL : Ada juga anak yang karena keadaan begitu, dia merasa tidak usah
menikah daripada membuat orang lain menderita.
PG : Ada karena memang sudah melihat contoh yang tidak baik dalam
keluarganya. "Untuk apa yang menikah kalau akhirnya akan menjadi seperti orang
tua saya juga". Tidak usah menikah !
DL : Untuk mengatasi anak seperti ini, apa nasihat kita, Pak Paul ?
PG : Memang agak sulit kalau kita memang bermasalah, sebab bagaimana
pun juga anak akan berkata, "Papa mama tidak usah berbicara, untuk apa
memberitahu kepada kami anak-anak bagaimana memelihara pernikahan, disuruh
menikah dan sebagainya, papa mama sendiri seperti ini hidupnya !" Jadi agak
susah kalau kita sendiri sudah bermasalah.
GS : Tetapi dengan anak ini tidak menikah itu menimbulkan
ketidakbahagiaan lagi di dalam dirinya dan itu tetap akan dituntut kepada orang
tuanya atau kepada pihak lain.
PG : Misalnya kepada rekan-rekan kerjanya dan sebagainya, memang
kalau kita tidak bahagia akhirnya kita akan menuntut sana sini untuk membuat
kita bahagia. Ada satu hal lagi yang saya ingin sampaikan yaitu dampak langsung
ketidakbahagiaan orang tua pada sikap atau cara anak berelasi. Orang tua yang
tidak bahagia akan melampiaskan ketidakbahagiaannya kepada anak, seringkali pelampiasan
itu berwujud pertama keluhan dan kedua kritikan, coba saya jelaskan. Keluhan
artinya orang tua itu akan terus-menerus mengeluh tentang situasi yang tidak
membahagiakannya, gerejanya, tempat pekerjaannya, teman-temannya, hidup itu
diisi dengan keluhan, keluhan, keluhan. Yang kedua, orang tua yang tidak
bahagia cenderung melemparkan kritik-kritik kepada si anak, kamu seharusnya
begini dan begini, akhirnya anak dari kecil terus mendengar keluhan orang
tuanya dan mendengar kritikan orang tuanya. Apa dampaknya kepada anak ? Kalau
dia sering mendengar keluhan-keluhan, anak mengembangkan pandangan negatif
terhadap orang lain, tidak lagi percaya pada niat baik orang lain. Anak akan
menganggap dunia ini penuh dengan orang-orang yang tidak baik, palsu, sedangkan
anak yang terima kritikan dari orang tua "Kamu begini, seharusnya begitu" dan lain-lain
dibanding-bandingkan dengan anak lain karena orang tuanya tidak bahagia, anak
akan memandang diri dengan negatif. Ia akan melihat dirinya kurang, tidak sama
dengan anak lain, banyak masalah dan sebagainya. Si anak hidup dengan konsep
diri yang sudah buruk.
GS : Ada sebagian anak yang mengambil sikap bertahan, defensif,
apakah itu juga merupakan salah satu cara anak ini menahan kritikan-kritikan,
Pak Paul ?
PG : Normal sekali akhirnya anak tidak lagi mau menerima kritikan
karena dia harus melindungi diri, akhirnya dia mencoba melawan orang tuanya
dikritik, nah dia bawa hal ini ke dalam kehidupannya, ke dalam pernikahannya.
Dia menjadi orang yang tidak bisa diberitahu oleh pasangannya, bila pasangannya
memberitahu dia, marah, defensif tidak bisa terima karena memang sudah terlalu
sering dikritik dulu, sehingga tidak bisa mudah menerima kritikan dari orang
lain pula.
DL : Menghadapi anak seperti ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Kita harus membereskan dulu relasi kita dengan pasangan kita dan
yang kedua mengakui pada anak kita bahwa kita memunyai masalah. Yang ketiga,
kita katakan pada anak kita, "Kalau pun kamu tidak bisa, hargai kami karena
kami bukanlah contoh yang baik, tapi tolong dengarkan nasihat saya ini sebab
nasihat ini keluar dari hati untuk menolong kamu. Tidak ada motivasi lain,
kalau pun kamu tidak bisa menghargai kami tidak apa-apa, tolong dengarkan
nasihat kami". Mudah-mudahan anak masih bisa mendengarkannya.
GS : Selain merasa tidak bahagia, apakah ada hal lain yang bisa
merusak kesehatan suatu keluarga, Pak Paul ?
PG : Karena orang tua tidak bahagia, akhirnya ketidakbahagiaan
diteruskan kepada anak-anak semuanya, dampaknya pada anak, anak seringkali
merasa dirinya tidak layak untuk bahagia. Dengan kata lain, sesuatu terjadi
dalam dirinya yaitu penghargaan dirinya mulai rusak, dia beranggapan bahwa dia
tidak layak mengalami sesuatu yang baik, dia ditakdirkan untuk hidup susah. Dia
juga meyakini bahwa dia tidak akan mengalami kebahagiaan, ini bisa dimengerti
sebab dia seumur hidup tidak bahagia, melihat orang tuanya seperti itu. Dia
tidak lagi percaya bahwa dia akan dapat menikmatinya kehidupannya bahagia.
Masalahnya adalah dia mulai menyalahkan orang lain, bahwa "engkaulah
penyebabnya saya tidak bahagia". Memang betul awalnya karena hubungan orang
tuanya, tapi lama kelamaan dia membawa hal ini ke mana-mana, dia selalu melihat
orang sebagai penyebab mengapa dia tidak bahagia. Dia cenderung beranggapan orang
tidak suka kepadanya, orang memang berniat menolaknya, akhirnya dia makin hari
makin terpisah dari orang lain dan makin merasa orang juga tidak menyukainya
dan relasi mereka makin hari makin buruk.
DL : Menghadapi anak seperti ini bagaimana, Pak Paul, kalau dia
merasa tidak layak dan lain-lain.
PG : Tadi saya sudah singgung memang kita harus berbicara baik-baik
dengan dia bahwa "kami bertanggungjawab, kami memang penyebabnya tetapi coba
dengarkan jangan sampai kamu terpuruk sebab ini hidupmu, jangan sampai kamu
juga turut menghancurkan, menenggelamkan hidupmu, cobalah kamu dengarkan orang,
coba kamu bergaul dengan orang, berelasi dengan orang". Jadi kita berikan dia
tanggungjawab untuk memulai hidup yang lebih baik bagi dirinya sendiri.
GS : Tapi anak ini tetap menuntut orang lain supaya memberikan
kebahagiaan itu kepadanya. Dia tetap merasa berhak untuk mendapat kebahagiaan
itu, Pak Paul.
PG : Seringnya begitu, di satu pihak dia kasihan tidak layak menerima
kebahagiaan tapi di pihak lain dia menuntut orang untuk memberikan kebahagiaan
kepada dirinya. Tanggungjawab terbesar mengapa dia tidak bahagia akhirnya jatuh
pada pundak orang lain, kalau kita suaminya atau istrinya, kita yang akan kena.
Akhirnya kita yang terus-menerus harus menyuplai kebahagiaannya itu dan
akhirnya kita merasa lelah meskipun kita mengasihi dia tapi kita tidak sanggup
lagi menjadi pemasok kebahagiaan dia dan kita mengelak. Begitu kita mengelak,
dia akan menuduh kita, "Kamu tidak lagi menghormati saya, tidak lagi peduli
kepada saya, tidak lagi mencintai saya", dia marah, dia mengejar kita untuk
memberikan kebahagiaan itu. Makin kita dikejar, makin kita mengelak, makin kita
lari, makin dia mengejar kita dan makin dia merasa dirinya tidak layak, dia
makin menuntut kita memberikan kebahagiaan itu kepada dirinya.
GS : Jadi selalu ada pertanyaan kepada pasangannya itu, "Kamu itu
sebetulnya cinta saya atau tidak ?" Yang ditanya kadang-kadang bosan, jenuh,
seolah-olah meragukan cinta kita, atau kasih kita atau usaha kita untuk
membahagiakan dia, Pak Paul.
PG : Rasanya tidak akan pernah cukup, jadi memang akan lelah sebab
yang satu akan berkata, "Apa lagi yang harus saya lakukan, bukankah sudah cukup
saya sudah berbuat begini begini, tetapi akhirnya selalu saja ditemukan
kesalahan, kekurangan, harus begini, harus begitu. Jadi kita melihat dampak
yang dialami oleh dia pada waktu kecil itu, karena pada waktu kecil mungkin
sekali itu yang diterimanya, orang tuanya berkata, "Kamu begini kamu begitu,
kamu kurang begini, kamu kurang begitu", karena mereka sendiri juga bermasalah.
Jadi kita melihat panjang dampak keluarga kalau memang bermasalah.
GS : Semakin pasangannya tidak menghiraukan dia, dia makin merasa
tidak layak untuk dikasihi, begitu Pak Paul.
PG : Nah, akhirnya dia seolah-olah makin berkata, "Bukankah benar
saya memang tidak layak, oleh karena itu pasangan saya juga tidak mengasihi
saya", tapi dia luput melihat dia berandil, dia juga menyumbangsihkan mengapa
pasangannya tidak tahan dengan dia. Sulitnya dia tidak bisa melihat itu, dia
hanya berkata mengasihani dirinya, "Saya memang tidak layak, saya memang tidak
layak" tapi tidak mau melihat saya bersumbangsih juga dalam masalah ini.
DL : Berarti pasangannya juga harus banyak berdoa menghadapi orang
yang seperti ini.
PG : Benar-benar harus banyak berdoa, karena dengan kekuatan sendiri
tidak bisa, kita akan merasa lelah dan bisa jadi benar-benar kita mau mengelak
dari dia.
GS : Jadi kita juga tidak bisa mengharapkan dia berubah apalagi dalam
waktu singkat, satu-satunya cara ya kita yang harus berubah menyikapi pasangan
yang seperti ini karena bagaimana pun juga kita percaya bahwa itulah pasangan
yang Tuhan sediakan bagi kita, begitu Pak Paul.
PG : Meskipun letih tapi kita
berusaha untuk mengomunikasikan kepada dia bahwa "saya tetap mencintaimu, saya
hanya kadang-kadang letih dan berikanlah saya ruangan untuk menyendiri sebentar
tapi saya akan bersamamu lagi". Dia mesti mengetahui bahwa kita tidak
meninggalkannya, mungkin dengan keterbukaan kita seperti ini dan mudah-mudahan
dia bisa percaya jadi bisa berlanjutlah relasi ini.
GS : Memang bukan suatu pekerjaan atau tugas yang mudah untuk merajut
masa lalu yang sudah terkoyak-koyak itu sekaligus merenda masa depan kita dalam
suatu keluarga. Perbincangan ini semakin menarik saja namun karena keterbatasan
waktu kita akan hentikan di sini dan kita akan lanjutkan pada kesempatan yang
akan datang, tentunya kita berharap para pendengar kita akan mengikuti
perbincangan kita pada kesempatan yang akan datang.
Terima kasih, Pak
Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak
terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul
Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang
tentang "Merajut Masa Lalu Merenda Masa Depan" bagian yang pertama, kami
berharap anda bisa mengikuti kelanjutan dari perbincangan ini pada kesempatan
yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda
ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat
menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami
juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org.
Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya
dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa
pada acara TELAGA yang akan datang.