Prospek Keluarga dan Terapi Keluarga
Ada beberapa problem sosial yang kerap muncul baik dalam pemberitaan media massa maupun dalam wacana penelitian, misalnya tawuran antar-remaja, penggunaan narkoba, pergaulan seks bebas, aborsi, dan tindak kriminal yang dilakukan oleh para remaja. Bak ular, menurut saya, semua problem ini merupakan tubuh dan ekor ular belaka, bukan leher atau kepalanya. Bagi saya, leher ular ini adalah disintegrasi keluarga. Dengan kata lain, semua problem sosial yang saya sebut di atas keluar dari atau berkaitan dengan disintegrasi keluarga. Jadi, program pencegahan ataupun penyelesaiannya haruslah terintegrasi dengan program peningkatan kehidupan berkeluarga.
Memang akan ada yang berargumen bahwa penyebab semua masalah sosial tadi ialah kesulitan ekonomi. Sudah tentu faktor ekonomi berperan dalam kesejahteraan keluarga, namun kekurangan ekonomi bukanlah penyebab langsung munculnya problem sosial tersebut. Ada banyak keluarga miskin yang berhasil menumbuhkan anak-anak yang berjiwa sehat. Sebaliknya, ada banyak keluarga kaya yang mencetak anak-anak yang berperilaku buruk.
Disintegrasi Keluarga
Saya mendefinisikan disintegrasi keluarga sebagai retaknya hubungan antara suami dan istri serta kurangnya atau memburuknya relasi antara orangtua dan anak. Secara sekilas, saya akan menjabarkan anatomi keterkaitan antara retaknya keluarga dan retaknya pribadi anak. Merujuk pada pendapat Virginia Satir, saya setuju bahwa poros keluarga adalah hubungan suami dan istri. Asumsinya adalah, apabila terjadi gangguan pada poros utama ini, maka akan terganggu pulalah kehidupan keluarga itu. Hubungan suami-istri yang retak akan mempengaruhi fungsi kedua orangtua yang akan berdampak pada terganggunya proses pemenuhan kebutuhan emosional anak. Pada akhirnya, perkembangan atau pertumbuhan jiwa anak turut terhambat atau terselewengkan dan ini akan menciptakan pribadi anak yang retak pula.
Pribadi yang retak adalah pribadi yang tidak utuh dan pribadi yang tidak utuh tidak berfungsi wajar. Ia akan mencari-cari pemenuhan kebutuhan jiwanya dengan cara yang keliru dan di tempat yang salah, misalnya menjadi anggota geng guna memperoleh identitas diri yang didambakan. Atau, ia bisa menggunakan sarana yang salah untuk memperoleh yang ia butuhkan, misalnya untuk mendapatkan pengakuan, ia pun memaksimalkan tindak keberaniannya dengan cara membunuh musuh kelompoknya. Contoh lain yang klasik adalah, agar ia mendapatkan ketenangan dari konflik orangtua yang berkepanjangan, ia memakai narkoba dan akhirnya tercandu. Semua ini memperlihatkan bahwa pribadi yang tidak utuh rawan terhadap pengaruh luar dan haus akan pemenuhan kebutuhan emosionalnya yang belum tersedia dengan cukup di rumah.
Ada banyak cara untuk melihat fungsi eksistensi keluarga, namun dari sudut praktisnya saya melihatnya sebagai wadah pemenuhan kebutuhan anggota-anggotanya. Masing-masing anggota membawa sejumlah kebutuhan yang ia harapkan untuk dipenuhi oleh anggota-anggota lainnya. Apabila kebutuhan-kebutuhan itu terpenuhi, maka berjalanlah keluarga itu dengan tanpa hambatan. Sebaliknya, bila kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka terhambatlah perjalanan hidup keluarga itu.
Kebutuhan Emosional dan Pemenuhannya
Sekarang, kita perlu menyoroti faktor-faktor yang menghambat proses pemenuhan kebutuhan anggota-anggota keluarga. Pertama, gangguan pada relasi suami-istri bukan saja akan mengurangi kemampuan keduanya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, gangguan itu juga akan membatasi ruang gerak mereka dalam memberi perhatian dan pengawasan kepada anak-anak mereka. Gangguan pada hubungan suami-istri akan menguras energi mental suami-istri itu sendiri sehingga mereka tidak dapat berfungsi sebagai orangtua dengan efektif. Hati yang penuh derita lebih membutuhkan perhatian daripada siap memberi perhatian; jiwa yang terganggu oleh konflik tidaklah sanggup memberi ketenteraman kepada anak. Tangan yang lemah lunglai oleh beban hidup tidaklah akan kuat menerapkan disiplin yang konsisten kepada anak di rumah.
Kedua, kesibukan orangtua ternyata berdampak negatif terhadap pemenuhan kebutuhan emosional anak—kasih, disiplin, panutan, sahabat, pengarahan, dan pengertian. Tugas mengorangtuai memerlukan waktu dan waktu telah menjadi komoditas yang mewah dewasa ini. Membesarkan anak tidak mengenal jalan pintas; orangtua harus menyediakan waktu untuknya. Tanpa waktu, kita hanyalah membesarkan tubuh anak, bukan jiwanya. Jiwa yang kosong gizi emosional adalah jiwa yang keropos dan rapuh, tinggal menunggu waktu untuk roboh diterpa badai hidup.
Produk Keluarga bermasalah
Busa yang Kering. Berikut ini saya akan memaparkan dampak masalah orangtua pada anak secara lebih konkret. Ibarat busa, anak seyogianya menyerap air atau masukan emosional dari orangtuanya. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian. Ada anak yang sama sekali tidak memperoleh kesempatan memperoleh air karena absennya orangtua. Ada pula anak yang malah menyerap minyak, bukan air, yakni pertengkaran dan ketegangan dari orangtuanya.
Busa yang kering melambangkan anak yang kurang menyerap apa pun dari orangtuanya akibat terbatasnya waktu berinteraksi dengan orangtua. Ada beberapa ciri busa atau anak yang kering ini. Pertama, anak ini cenderung memiliki keyakinan diri yang lemah. Keyakinan diri berkembang dari tanggapan-tanggapan orangtua atas keberhasilan anak mengerjakan tugas-tugas pertumbuhan yang seturut dengan usianya, mulai dari menggambar bebek sampai pada naik sepeda bebek. Tanggapan-tanggapan yang positif akan mengalirkan keyakinan diri pada diri anak. Masalahnya ialah, orangtua tidak hadir di rumah untuk memberikan tanggapan tersebut. Akibatnya, anak tidak tahu dalam hal apakah ia sanggup berkarya dan memberi sumbangsih.
Kedua, anak ini bisanya mengembangkan identitas diri yang lemah pula. Identitas diri bertumbuh dari tanggapan orangtua terhadap apa yang anak katakan dan perbuat. Identitas diri merupakan pengetahuan tentang apa itu dan apa itu yang bukan diri anak. Identitas diri tidak bisa keluar dalam semalam; identitas diri merentang melalui proses waktu dan interaksi. Orangtua yang tidak hadir di rumah tidak akan bisa menyediakan tanggapan-tanggapan yang diperlukan anak.
Ketiga, anak ini mempunyai arah diri yang lemah. Keyakinan diri diperlukan dalam pembentukan identitas diri; kesadaran akan kesanggupan (dan ketidaksanggupan) menjadi dasar terbentuknya jati diri yang jelas dan berimbang. Jati diri yang sehat merupakan busur yang dapat menembakkan anak panah ke arah yang tepat. Tanpa jati diri dan keyakinan diri, anak tidak tahu arah hidupnya.
Kesimpulannya, anak yang seperti busa kering adalah anak yang tersesat dan ia akan menjadi orang yang tersesat. Orang yang tersesat adalah orang yang tidak tahu arah hidupnya, tidak kenal siapa dirinya, dan buta akan kebisaannya. Ia perlu dibimbing dan rawan terhadap tindak penyesatan. Ia adalah seseorang yang bingung dan dalam kebingungannya, ia mudah mengambil keputusan yang keliru, bahkan keputusan yang merugikan orang lain.
Busa berminyak. Anak yang hidup di tengah orangtua yang sering bertengkar akan menyerap banyak ketegangan dan ketakutan. Saya mengibaratkannya bak busa yang penuh minyak. Ciri pertamanya ialah, ia menyimpan kemarahan yang berlebihan kemarahan yang berasal dari kemarahan terhadap ketidakharmonisan orangtuanya dan dari kemarahan terhadap dirinya sendiri yang tidak mampu berbuat apa-apa. Anak ini akan bertumbuh menjadi anak yang agresif; kecenderungannya adalah melampiaskan kemarahannya keluar—kepada orang-orang yang tidak selayaknya menjadi sasaran kemarahannya. Ia akan mencari dan menantikan peluang untuk mengumbar kemarahannya. Ia rawan terhadap perilaku merusak dan mudah terjerat dalam sikap antisosial.
Kedua, anak ini memendam kepahitan yang berlebihan—kepahitan yang muncul akibat kebencian yang terus menerus diserapnya dari orangtua yang mencipratkan minyak kepahitan. Kehidupan orangtua yang pahit menjadi bagian hidupnya sekarang dan pada akhirnya ia bertumbuh menjadi orang yang tak peduli dengan lingkungan dan hidup. Ia berjalan sendiri dan tidak membutuhkan orang. Ia tidak mengenal apalagi membagikan sentuhan altruistic kepada yang lainnya. Ia tidak mau diganggu dan tidak berminat pada kehidupan bersama. Ia sinis dan tidak terbuka terhadap orang lain.
Ketiga, anak ini mempunyai kesedihan yang berlebihan—karena terlalu sering menangisi keadaan keluarganya dan kerap kali terpaksa menyerap tangisan orangtuanya. Hati yang terisi tangisan bertumbuh menjadi jiwa yang depresif, hampa kesegaran dan kosong sukacita. Ia cenderung menyendiri atau kalaupun berdua, ia mudah tersedot ke dalam hubungan kebergantungan. Pada akhirnya ia menjadi beban bagi yang lainnya dan hidupnya dipenuhi kecemasan.
Kesimpulannya, anak yang bak busa berminyak adalah anak yang melarikan diri. Ia dapat melarikan diri ke mana-mana, bahkan ke tempat yang sangat salah, seperti pelacuran, narkoba, atau kelompok bermasalah lainnya. Ia senantiasa mencari tempat untuk bersembunyi dari realitas yang baginya terlalu menyakitkan.
Profil Masyarakat
Selain daripada ciri-ciri tersendiri ini, baik busa kering maupun busa berminyak membagi beberapa ciri umum yang berkembang akibat pengaruh sosial-budaya pula. Pertama, anak ini cenderung terlibat dalam keintiman yang dini. Maksud saya, dalam ketersesatannya atau upayanya menemukan tempat berlindung, ia mudah terperosok masuk ke dalam hubungan intim pada usia yang relatif muda. Pada usia remaja awal ia sudah menampakkan kebutuhan akan keintiman yang lebih lazim dialami oleh seorang pemuda. Seakan-akan ia melompati fase pembentukan jati diri dan langsung masuk ke fase keintiman. Keintiman dini berisiko tinggi karena biasanya berbuntut perilaku seksual bebas dan aborsi.
Kedua, anak ini terpikat dan terikat pada materi. Orientasi pada materi merupakan kompensasi kehilangan kasih dan perhatian orangtua. Bukankah orangtua yang absen karena kesibukannya atau orangtua yang tidak harmonis sering kali dihantui oleh rasa bersalah sehingga mudah terjebak dalam perilaku membelikan barang atau mainan sebagai penebusan atas rasa bersalahnya? Akibatnya, sejak kecil, anak ini telah membiasakan diri untuk menyenangkan hatinya dan mengisi waktunya dengan benda atau materi. Sikap hidup ini akan dibawanya terus sampai dewasa dan akan menjadi nilai hidupnya.
Ketiga, anak ini memiliki penguasaan diri yang lemah. Baik yang kering serapan maupun yang tercemar oleh konflik orangtua, keduanya tidak terbiasa mengendalikan hasrat dan emosinya. Rumah yang kosong membuat anak menjadi raja kecil yang tidak mengenal batas atau disiplin. Rumah yang penuh keributan membuat emosi anak mudah bergelegar dan pertengkaran niscaya mengerosi wibawa orangtua untuk mendisiplin anak—jika masih ada energi yang tersisa. Ia bertumbuh menjadi orang yang sukar mengendalikan kemauannya dan rawan terhadap penggunaan narkoba.
Keempat, anak ini condong pada orientasi hidup yang menekankan kepuasan diri. Ia sukar berempati dan terlalu hemat memikirkan kepentingan orang lain. Ia mudah egois dan cenderung mementingkan kepuasan pribadinya. Ia tidak mau tahu dengan kesusahan orang lain dan tidak mudah prihatin. Ia tidak siap untuk menderita dan akan berupaya menjauhkan kesusahan dengan segala cara, salah atau benar. Dengan kata lain, ia tidak siap, tidak kuat, dan tidak tangguh mengatasi stres.
Terakhir, anak ini menjalani hidup yang hampa. Ia haus makna hidup dan senantiasa mencari-cari arti hidupnya. Ia tidak tahu ke mana ia pergi dan tidak menyadari untuk apa ia hidup. Ia berfungsi sebagai mesin yang bisa bekerja tetapi tidak mengerti apa itu yang ia hasilkan dan untuk apakah semuanya itu.
Profil Keluarga
Berdasarkan tanda-tanda di atas ini, kita dapat memformulasikan profil generasi mendatang ditilik dari konteks pernikahan dan keluarga. Pertama, penguasaan diri yang lemah dan orientasi pada kepuasaan diri membuat seseorang tidak siap untuk menjalani kehidupan suami-istri. Kesuksesan relasi nikah sangat bergantung pada kemampuan individu untuk mengalah, menunda kepuasaan sesaat, dan mendahulukan kepentingan pasangannya. Tanpa kualitas-kualitas ini, pernikahan akan sarat dengan benturan yang tak terselesaikan dan mudah berakhir dengan perceraian.
Kedua, keintiman yang dini dan hidup yang hampa makna membuat seseorang tidak siap menjadi orangtua. Membesarkan anak memerlukan kecukupan emosional; tanpa itu, orangtua akan hanya berperan sebagai orang yang lebih tua namun tidak lebih matang dan dewasa. Orangtua yang masih berada pada tahap pencarian makna hidup tidaklah mampu memberi bimbingan kepada anak-anaknya. Pada akhirnya, akan lebih banyak muncul masalah remaja—kurun di mana problem pada anak mulai mencuat.
Terakhir, generasi mendatang akan menjadi generasi yang sinis rohani. Generasi ini cenderung mencurigai dan mempertanyakan ketulusan dan kebaikan serta meragukan relevansi agama dalam kehidupan manusia. Kehampaan hidup memang membuatnya mencari jawaban rohani namun setelah menemukan jawabannya, ia akan berkata, "Apa iya?" baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan berkeluarga, ia cenderung tidak melibatkan Tuhan dan memperlakukan Tuhan hanya sebagai konsep pikir yang menarik namun tidak cukup menggugah apalagi menuntun jiwa.
Kesimpulan
Pada awal makalah ini, saya mengibaratkan problem sosial yang tengah berkembang sebagai tubuh dan ekor ular, sedangkan disintegrasi keluarga sebagai lehernya. Orang yang bijaksana tidak akan mencoba menangkap ular dengan memegang tubuh atau ekornya; sudah tentu ia akan berupaya menggenggam lehernya. Terapi keluarga dan penyuluhan yang berkaitan dengan keluarga, bagi saya, merupakan upaya menangkap leher ular. Intervensi terapiutik mesti berorientasi pada keluarga dan untuk itu dibutuhkan lebih banyak terapis keluarga. Pencegahan selalu lebih baik daripada perawatan; pemulihan keluarga merupakan upaya pencegahan sebelum keluarga itu menghasilkan pribadi-pribadi yang retak.
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 10261 kali dibaca
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Sab, 14/03/2009 - 10:24pm
Link permanen
saya pikir ini sebuah
TELAGA
Kam, 19/03/2009 - 1:09pm
Link permanen
Terima kasih untuk
Anonymous (tidak terverifikasi)
Sen, 30/03/2009 - 12:54pm
Link permanen
Setelah kami tanyakan kepada