Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Memaafkan dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Sebagai pasangan suami istri Pak Paul, kita tidak bisa terhindar dari kesalahan yang kita buat atau pasangan kita melakukan kesalahan kepada kita, dan di situ unsur saling mengampuni dan memaafkan itu penting sekali tetapi ternyata ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan dalam hidup pernikahan walaupun kita sudah akrab. Rupanya semakin akrab akan sulit juga memaafkan, tetap menjadi persoalan di dalam kehidupan rumah tangga dan ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Saya teringat apa yang dikatakan oleh Ibu Pdt. Billy Graham jadi istri dari Pdt. Billy Graham yakni Ibu Ruth Graham, beliau berkata "Pernikahan adalah kesatuan dari dua pribadi yang salingmemaafkan".
Saya kira ini sangat tepat bahwa pernikahan memang adalah sebuah kesatuan dari dua orang yang harus saling memaafkan. Kalau suami dan istri tidak saling memaafkan, maka lebih baik tidak ada pernikahan sama sekali. Jadi ini sesuatu yang mutlak dilakukan, tapi seperti yang tadi Pak Gunawan sudah katakan ternyata tidak selalu mudah memaafkan karena ada hal-hal yang kita sudah minta berkali-kali untuk jangan dilakukan tapi tetap dilakukan. Sudah tentu kita juga mengerti ada hal-hal yang sangat sukar dimaafkan seperti pengkhianatan, perzinahan, membohongi kita dan sebagainya, itu adalah hal-hal yang sudah tentu makan waktu yang lebih panjang untuk memaafkan. Tapi kali ini kita tidak membicarakan hal-hal yang besar itu kita membicarakan hal-hal yang lebih bersifat kecil tentang gaya hidup dan sebagainya tapi toh tetap hal-hal kecil dan itu akhirnya menjadi kerikil yang membuat kita tidak terlalu dekat dengan pasangan kita untuk sementara karena sudah terlanjur jengkel, tidak bisa memaafkan untuk waktu yang mungkin beberapa jam atau beberapa hari. Dan untuk inilah kita mau membicarakannya, Pak Gunawan, bagaimana caranya agar kita suami istri lebih dapat memaafkan satu sama lain.
GS : Betul, itu memang bukan merupakan hal-hal yang besar, hal-hal yang rutin setiap hari. Mungkin perkataan-perkataan yang tanpa sengaja menyinggung, kita minta maaf dan seterusnya. Dan kalau itu terjadi, kita minta maaf dan dimaafkan, hal itu hampir tiap hari terjadi dan kita sebagai pasangan rasanya hal ini menjadi sesuatu yang biasa, setiap hari kita minta maaf dan dimaafkan. Hal ini pengaruh atau tidak, Pak Paul?
PG : Sudah tentu akan memberi pengaruh Pak Gunawan sebab bagaimana pun juga kita berharap apa yang telah kita sampaikan yang telah kita minta, tolong diperhatikan. Kalau seandainya diulang lagidan diulang lagi maka akhirnya tetap dia akan mengganggu kita.
Mari kita coba melihat beberapa hal yang mesti kita pahami tentang memaafkan ini. Mudah-mudahan dengan penambahan pemahaman kita, lebih menolong kita memaafkan satu sama lain. Yang pertama adalah, berapa mudah atau sukarnya kita memaafkan, bergantung pada berapa mudah atau sukarnya kita berubah. Maksud saya begini Pak Gunawan, orang yang kaku akan lebih sukar memaafkan, kenapa? Sebab itu berarti dia harus mengadakan perubahan akibat perubahan orang lain, misalnya kita tidak suka terlambat, kita sukanya semua tepat waktu. Kalau pasangan kita terlambat lagi dan terlambat lagi, itu mengganggu kita. Mengganggu kita artinya kita mengubah jadwal kita gara-gara pasangan kita terlambat. Orang yang sangat kaku akan sukar mengadakan perubahan gaya hidupnya oleh karena orang lain. Jadi dia akan susah sekali mau menerima keterlambatan pasangan yang berulang kali. Tapi sebaliknya orang yang lebih fleksibel akan berkata, "Baiklah terlambat 15 menit atau 30 menit itu masih manusiawi". Waktu pasangannya terlambat 15 menit atau 30 menit, dia tidak pusingkan dan tidak dipikirkan sebab dia sudah menyiapkan rencana berikutnya, rencana kalau pasangannya terlambat saya akan begini, saya akan baca buku, saya akan tunggu, saya akan lihat-lihat dulu ke toko dan sebagainya. Jadi orang yang fleksibel akan lebih mudah memaafkan. Sebaliknya orang yang kaku lebih susah memaafkan karena dia harus merubah tata cara hidupnya gara-gara orang lain dan itu yang menyulitkannya untuk memaafkan.
GS : Tapi itu bisa ditanggapi dengan dua sisi yang berbeda. Satu sisi kita mungkin dianggap terlalu lemah, jadi artinya tidak apa-apa terlambat, tidak apa-apa saya bicara ini, toh akhirnya didiamkan saja. Tapi di sisi lain kita mungkin juga kesulitan dalam menghadapi istri yang fleksibel, dan itu tidak bisa kita terapkan pada pihak lain yang bukan istri kita.
PG : Jadi dalam pernikahan kita memang harus melihat pasangan kita secara utuh, bahwa baiklah saya mempunyai kelemahan misalkan dalam soal keterlambatan tapi bukankah dalam hal-hal yang lain di justru sangat baik.
Jadi anggap sajalah ini 10% dari pernikahan yang mengganggu kita, memang betul mengganggu, tapi ini hanya 10% sebab 90%nya baik. Maka kita soroti yang 90%nya, hargai yang 90%nya dan terima yang 10% yang mengganggu kita. Tapi kalau kita orangnya kaku, kita tidak bisa terima yang 10% itu, kita tetap berkata kenapa kamu tidak bisa, saya bisa tepat waktu tapi kamu tidak bisa tepat waktu. Jadi kita mesti juga beritahu, kalau kita sudah beritahukan dia berkali-kali, bulan demi bulan, "Jangan terlambat", tapi tetap saja terlambat selalu 15 menit atau 30 menit terlambat. Akhirnya apa yang kita harus lakukan? Maka biarkan dari pada akhirnya itu menjadi bahan keributan, akhirnya kita berkata, "Sudahlah masih ada 90% ini yang memang baik dan saya hargai yang 10%, sudahlah saya terima." Dan tidak mempersoalkan.
GS : Tapi di dalam hal itu intinya kita bukan memaafkan kesalahannya, tapi kita menerima kekurangannya, Pak Paul ?
PG : Betul, jadi kita harus menerima kekurangannya dan memaafkan, dalam pengertian kalau awalnya kita melihat ini adalah sebuah kesalahan yang dilakukan untuk kita atau terhadap kita sekarang wktu kita berkata, "Baiklah saya maafkan dan tidak lagi mempersoalkan, kita tidak melihat itu sebagai sebuah kesalahan yang dilakukan terhadap kita lagi".
Tapi orang yang tidak bisa memaafkan akan berkata, "Ini memang yang dilakukannya untuk melawan saya, membuat saya marah, menjengkelkan saya". Jadi akhirnya semua itu terfokus terhadap saya saja dan ini yang memang perlu diubah.
GS : Apakah ada hal yang lain, bagaimana kita harus mengembangkan sikap yang toleran seperti itu, Pak Paul?
PG : Yang berikut adalah berapa tepatnya kita menilai keseriusan suatu kesalahan, juga akan mempengaruhi pemberian maaf. Jadi jika kita secara membabi buta, menganggap semua kesalahan itu seriu maka kita sulit memberi maaf.
Jadi setiap hal kecil, kesalahan besar dan serius itu semua adalah hal yang susah kita maafkan sebab tidak ada yang besar atau yang kecil, semuanya sama besar. Maka penting sekali kita bisa menilai sebuah perbuatan dengan tepat. Jangan menganggap semua sama seriusnya, tidak! Ada derajatnya, tidak semuanya sama. Jadi sebelum kita bereaksi, marah atau apa, coba berdiam diri dulu. Kerap kali setelah berdiam diri untuk sesaat kita akan melihat masalah dengan lebih jernih. Bukankah kesalahan yang telah dilakukan lebih bersifat gaya hidup atau kebiasaan yang berbeda, bukan sebuah kesalahan moral dosa dan sebagainya. Tapi anggaplah itu sebagai sebuah perbedaan gaya hidup, bukan sebuah kesalahan moral.
GS : Ini biasaya terjadi perbedaan pandangan bagi yang melakukan kesalahan, ini dianggap kesalahan ini kecil, "Seperti itu saja marah". Tapi untuk kita yang terkena dampaknya, merasa itu sesuatu yang serius. Dan ini mempertemukannya bagaimana, Pak Paul?
PG : Saya kira langkah pertama adalah justru kita tidak boleh meributkannya, jangan sampai kita membuka mulut, jadi langkah pertama coba diam dulu, tenangkan hati dulu. Sebab yang membuat masalh kita besar sebetulnya bukanlah pandangan mental kita, pandangan kognitif atau rasional kita, bukan! Melainkan reaksi emosional kita, sebetulnya itu yang benar-benar menggelembungkan masalah menjadi besar, reaksi emosional kita.
Maka saya anjurkan kita tenangkan diri, kita diam dulu, pikirkan lagi baik-baik. Seringkali setelah kita tenang, kita melihat dengan lebih jernih dan akhirnya "Benar ya tidak terlalu besar masalah ini, kenapa saya harus persoalkan". Tapi kalau kita langsung buka mulut atau langsung marah dan kebetulan pasangan kita juga tidak terima kemudian marah. Maka kita akan menjadi semakin bertambah marah, kesalahan itu di mata kita tambah besar. Jadi penting ada jedah, tenangkan diri supaya bisa melihat masalah dengan lebih tepat.
GS : Kalau seandainya kita sudah meluangkan waktu sejenak tapi kita tetap melihat ini sesuatu yang besar dan pasangan kita melihat itu bukan sesuatu yang besar, bagaimana Pak Paul?
PG : Ada cara yang bisa kita lakukan yaitu kita memberikan sebuah contoh, kita gunakan hal yang memang besar buat pasangan kita tapi kecil di mata kita. Kita berikan dia contoh, "Bukankah masalh itu di matamu sangat besar tapi di mataku kecil, tapi karena aku tahu masalah ini besar bagimu maka aku coba untuk koreksi.
Meskipun sekali lagi buatku itu bukan masalah besar tapi karena ini penting buatmu maka saya ikuti". Jadi kita memang bisa berbeda dalam menilai sesuatu, "Coba tolong perhatikan juga yang aku inginkan". Dengan cara seperti itu pasangan biasanya akan lebih mudah mengerti.
GS : Jadi harus tetap ada suatu dialog antara pasangan untuk menyelesaikan masalah ini ?
PG : Betul sekali dan jangan sampai akhirnya malah saling mendiamkan, tidak mau lagi membicarakannya berarti tidak selesai. Dengan adanya dialog kita terpaksa bicara akhirnya kita bisa memberikn jalan keluarnya.
GS : Atau kita memberikan alasan tepat, kenapa kita menganggap ini sesuatu yang penting buat kita atau sesuatu yang besar buat kita, Pak Paul ?
PG : Betul, jadi kalau memang ini besar atau penting buat kita berarti kita mesti memberitahukan alasannya namun tadi yang sudah saya singgung kita juga mesti introspeksi diri, apakah semua halbesar buat kita sebab ada orang yang begitu, Pak Gunawan, semua hal besar buat dia.
Jadi pasangannya akan bingung karena semua hal besar dan kamu punya alasan untuk semua hal itu. Jadi kapan kamu punya masalah kecilnya.
GS : Apakah ada hal yang ketiga yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Apakah ada unsur kesengajaan atau tidak? Kalau melihat ada unsur kesengajaan sudah tentu itu akan lebih susah memaafkan perbuatan pasangan kita. Namun ada sebagian dari kita yang mengangga bahwa semua kesalahan dilakukan dengan sengaja untuk membuat kita marah, ada orang yang seperti itu.
Kita perlu menyadari bahwa justru dalam pernikahan kebanyakan kesalahan dilakukan tanpa sengaja untuk membuat kita marah. Jarang kita melakukan sesuatu dengan sengaja untuk membuat pasangan kita marah. Saya kira kebanyakan orang yang normal, justru menghindar dari kemarahan, jangan sampai ada pertikaian. Tapi ada orang selalu melihatnya, "Kamu membuat saya marah, kamu memang sengaja membuat saya marah", tapi nyatanya memang tidak. Jadi tolong kita ubah perspektif kita, cara pandang kita, jangan menganggap orang itu sengaja membuat kita marah.
GS : Terutama pasangan kita sendiri yang tentu kita tahu dia mengasihi kita dan kita mengasihi dia, jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa dia sengaja melukai hati kita atau sengaja membuat kita marah, Pak Paul?
PG : Betul, jadi kita mesti tetap percaya bahwa pasangan kita ini sebetulnya mengasihi kita, sebetulnya dia tidak ada niat seburuk itu seperti yang kita duga. Jangan selalu menduga sampai jauh eperti itu, pasangan sengaja dan sengaja menyakiti kita , tidak! Kebanyakan tidak hanya dalam pernikahan yang sudah sangat buruk, kemarahan itu sudah terlalu besar.
Tapi besar kemungkinan waktu seseorang melakukan sesuatu itu disengaja untuk menyakiti hati pasangannya dan itu betul. Tapi sesuatu yang wajar dalam pernikahan yang normal-normal, selalu ada ketidakcocokkan dan sebagainya. Jangan menuduh pasti ada niat jahat mau membuat kita marah.
GS : Tetapi kesalahan yang berulang kali dan sama, sering kali membuat kita jengkel, Pak Paul, rasanya tidak selesai-selesai.
PG : Betul dan kalau itu yang terjadi, kita bisa berkata kepada pasangan kita, "Saya tahu bahwa kamu itu tidak ada niat membuat saya marah atau menyakiti saya, tidak! Tapi saya juga bisa mendug kenapa kamu mengulang dan mengulangnya lagi, karena kamu itu meremehkan saya, bahwa kamu menganggap tidak apa-apa dan saya akan mengerti, tidak apa-apa saya nanti juga reda, marah sebentar kemudian baik lagi.
Mungkin pikiran-pikiran itu terbersit dalam benakmu dan berarti sedikit banyak kamu telah meremehkan saya, tolong jangan remehkan saya. Kalau misalkan saya meremehkan kamu, kamu sudah bilang kepada saya kamu tidak suka saya melakukan ini, terus saya melakukan lagi dan saya berpikir tidak apa-apa, kamu nanti juga akan baik lagi sama saya, marah hanya sebentar. Saya meremehkan kamu, bagaimana perasaanmu, kamu suka tidak? Pasti kamu tidak suka diremehkan. Jadi tolong waktu kamu mau berbuat lagi, ingat kalau kamu sedang meremehkan saya. Memang benar tidak sengaja membuat saya marah tapi itu meremehkan. Apakah kamu tetap mau meremehkan saya?" Itulah cara kita menyampaikan kepada pasangan, mudah-mudahan dengan cara ini, dia lebih tersadarkan.
GS : Tapi kalau dikatakan meremehkan, pasti dia mengatakan "Tidak!". Jadi tidak ada maksud untuk meremehkan, ini suatu kekhilafan tapi kekhilafan yang berulang-ulang kali, Pak Paul?
PG : Kalau berulang kali kekhilafan, saya akan tetap mengatakan bagaimana pun juga ada unsur meremehkannya. Sebab kalau misalkan kita tahu kalau kita meremehkan, misalkan hukumannya ada hujan btu, rumah ambruk, maka kita tidak akan mengulangnya untuk dua kali, karena apa? Karena kita tidak bisa meremehkan konsekuensi yang sebesar itu.
Kenapa kita mengulangnya lagi? Karena ada unsur yaitu pasangan kita tidak akan ada apa-apa, jadi ada unsur meremehkannya.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?
PG : Apakah kita telah memberi cukup masukan dan waktu untuknya, pada prinsipnya kita harus memberinya cukup masukan dan waktu. Waktu kita mau dia berubah jangan lagi melakukannya baru kita memafkannya.
Maka kita harus bertanya, apakah kita sudah memberinya cukup masukan petunjuk "Bagaimana jangan sampai melakukan atau mengulang perbuatan itu". Jadi kita juga mesti introspeksi diri, kenapa saya tekankan hal ini? Sebab ada orang yang memang tidak mau memberitahukan pasangannya atau kalau pun memberitahukan sangat sedikit. Sebab ada orang yang berprinsip saya tidak perlu bicara panjang-panjang, tidak perlu cerita lebar-lebar, sedikit saja kamu sudah harus mengerti, ada orang yang seperti itu. Pasangannya mungkin tidak menangkap, karena terlalu samar. Dia menangkap sebentar kemudian dia lupa lagi tapi kita menjadi marah dan kita tidak memaafkan, itu salah! Maka sebelum kita marah, coba tanya "Sudahkah saya cukup memberitahukannya, benar-benar cukup tidak?" Untuk memastikannya, kita bisa bertanya kepada pasangan kita, "Kamu dengar tidak waktu saya bicara, kamu mengerti tidak waktu saya katakan ini, apakah saya belum pernah meminta ini kepadamu sebelumnya". Jadi kita mendapatkan tanggapan, "Ya memang dengar, tapi saat itu saya tidak benar-benar mengerti", kita katakan, "Baiklah, kalau begitu saya jelaskan lagi". Jadi jangan langsung mau marah saja dan kita juga mesti menyadari bahwa perubahan menuntut waktu yang tidak singkat, meskipun kita sudah beritahukan tapi apalagi yang berkaitan dengan gaya hidup biasanya makan waktu panjang untuk berubah. Jadi bersabarlah dan maafkanlah.
GS : Seringkali ada suatu pandangan yang relatif Pak Paul, buat orang yang memberitahu itu sudah dianggapnya seharusnya mengerti atau kita tanpa memberitahu pun, diharapkan pasangan kita mengerti bahwa kita tidak suka atau kita suka yang tertentu Pak Paul. Tapi di pihak yang lain, dia tidak mempunyai tanggapan yang sama, dia mengatakan saya tidak mengerti. Tapi tidak mengertinya itu berkali-kali dan ini menjadi masalah?
PG : Maka pernikahan sebetulnya bisa kita katakan sebuah seni menghidupi hidup orang lain. Sebab waktu pasangan berkata, "Saya itu terluka atau sakit hati dan sebagainya", memang kita bisa selau menjawab, "Memang salahmu, kenapa kamu harus sakit hati, saya tidak ada maksud menyakitimu dan sebagainya".
Tapi faktanya adalah dia merasa demikian karena kita mengatakan hal tertentu. Supaya pernikahan itu bisa rukun, bisa jalan, kita memang harus belajar memasukkan diri kita pada diri pasangan kita dan menghidupi hidupnya juga, dan harus berkata, "Baik, buat saya tidak apa-apa, saya tidak merasa apa-apa tapi dia menjadi terganggu dan menjadi sedih atau dia menjadi terluka, baiklah saya harus minta maaf kepadanya, saya harus menempatkan diri di posisinya". Jadi pernikahan benar-benar sebuah seni menghidupi hidup pasangan kita, orang yang tidak bersedia menghidupi hidup pasangannya memang tidak akan bisa menyatu dengan pasangannya.
GS : Itu juga butuh waktu, tadi Pak Paul katakan kegiatan atau suatu usaha yang tidak mudah kita lakukan, Pak Paul?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, ini benar-benar suatu usaha seumur hidup. Saya harus akui ada hari-hari dimana kita bisa melakukannya tapi ada hari-hari dimana kita juga susah sekali untuk melakkannya, rasanya tidak rela atau tidak bersedia menghidupi hidup pasangan kita, terlalu lelah.
Saya mengerti kita bukannya manusia sempurna jadi ada waktu-waktu dimana kita rasanya tidak mau untuk melakukannya, ya tidak apa-apa. Tapi sebisanya hari-hari "Tidak mau melakukannya" itu lebih sedikit, dan hari-hari "Mau melakukannya" lebih banyak.
GS : Dan dalam hal itu apakah pasangan kita perlu tahu Pak Paul, bahwa kita sedang berusaha keras untuk menghidupi hidupnya?
PG : Kalau kita tidak beritahukan, takutnya pasangan tidak tahu dan beranggapan kita ini kejam, dingin, kita tidak peduli dengan perasaannya. Jadi sebaiknya kita memang mengatakan seperti ini, Saya mencoba mengerti perasaanmu, saya juga mencoba untuk merasakan apa yang kamu rasakan.
Tapi mungkin saya belum bisa melakukan sebelumnya dan saya minta maaf tapi ini usaha saya". Dengan kita mengkomunikasikan seperti itu, mudah-mudahan pasangan juga bisa melihat, "Benar ya, pasangan saya berusaha. Maka saya harus terima meskipun belum sempurna hasilnya".
GS : Dan itu memotivasi pasangan kita untuk berusaha juga menghidupi hidup kita, Pak Paul?
PG : Betul, sebab ini timbal balik Pak Gunawan. Dan saya harus akui kalau saya hanya sendirian melakukannya dan pasangan kita tidak mau menghidupi kehidupan kita lama-lama semangat kita akan seakin menurun, dan akhirnya kita berkata, "Buat apa, hanya saya yang harus mengertimu, sedangkan kamu tidak mau mengerti diriku."
GS : Dan peranan pujian atau motivasi itu seberapa jauh, Pak Paul, dalam hubungan ini?
PG : Sangat penting, Pak Gunawan. Jadi kalau kita itu menerima pujian atau memberinya pujian atau dorongan maka pasangan kita akan lebih cepat dan termotivasi untuk berubah. Jadi waktu memberi aaf, berilah pujian dan dorongan pula, kita maafkan kesalahannya pula dan kita juga puji perbuatan baiknya, usahanya.
Dengan kita memberinya pujian, dia akan lebih cepat berubah sehingga kesalahan-kesalahan yang dia lakukan akhirnya dia tidak lakukan lagi.
GS : Apakah dalam kesalahan yang dia buat, kita bisa menemukan kebaikan?
PG : Kadang-kadang ada tapi kadang-kadang tidak ada, Pak Gunawan. Jadi misalnya masih ada, dia mencoba tapi salah, maka kita berikan pujian kepada yang dia telah coba itu. Tapi kadang-kadang 10% salah dan kita tidak persoalkan lagi dan kita angkat hal baik yang dia lakukan, misalkan kita berkata, "Meskipun dalam hal ini kamu tidak telaten, masih suka terlambat dan sebagainya tapi saya hargai, kamu itu dengan anak-anak baik, sabar dengan anak-anak, dengan saya kamu juga sabar, kalau saya terlambat kamu juga tidak pernah marah", kita angkat hal-hal baiknya.
Waktu kita angkat hal-hal yang baik, dia juga akan lebih termotivasi untuk tidak mengulang hal yang tadi yaitu terlambat yang membuat kita jengkel.
GS : Pak Paul, di dalam hal memaafkan ini memang kadang-kadang kita perlu melatih diri sebelum bisa betul-betul memaafkan, kadang-kadang ini hanya sekadar basa-basi di dalam hidup pernikahan dan ini yang mau dihindari Pak Paul.
PG : Pak Gunawan, ini memang sepertinya hal kecil, tapi hal memaafkan sebetulnya adalah potensi menciptakan akar pahit di dalam diri kita dan akhirnya dalam pernikahan kita. Maka kita perlu berihkan akar-akar pahit ini, jangan malah menumpukkannya, satu-satu-satu lama-lama benar-benar ini menjadi akar pahit yang masuk ke dalam hati kita dan akhirnya benar-benar memisahkan kita dari pasangan.
GS : Tapi kalau kita mengungkapkan itu dalam jangka waktu yang singkat dan terlalu sering kita mengungkapkan kesalahan kepada pasangan kita, itu juga menimbulkan akar pahit Pak Paul?
PG : Maka kita harus memilih, kalau memang hal ini kita bisa terima maka jangan dipersoalkan lagi. Jadi tidak semua hal kita tuntut harus berubah, tidak! Ada hal-hal yang memang kita pun harus elajar menerimanya.
GS : Dan ini yang sulit Pak Paul, kadang-kadang kondisi kita memungkinkan kita untuk tidak mempersoalkannya karena mungkin kita sedang senang atau tidak terlalu mempermasalahkan tapi lain kali kasus yang sama itu nanti kita permasalahkan kemudian pasangan kita berkata, "Dulu kamu diam saja sekarang kamu permasalahkan", dan kita terjepit, Pak Paul?
PG : Memang kita tidak sempurna jadi kita juga harus katakan, "Baik, saya minta maaf memang saya tidak sempurna, dulu saya tidak permasalahkan dan sekarang dipermasalahkan". Namun kita coba untk sebisanya tutup, kita tidak persoalkan, kita bicarakan, kita selesaikan dan kita tinggalkan.
Seharusnya memang begitu.
GS : Dan Pak Paul dalam kaitan ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan dari Matius 6:14,15, "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu jga tidak akan mengampuni kesalahanmu".
Ini benar-benar sebuah perkataan yang keras dari Tuhan, jadi kalau kita tidak mengampuni, maka Tuhan pun tidak mengampuni kita. Kenapa? Nomor satu karena Tuhan Allah pengampun, kita bisa diterima di hadapan Tuhan karena Tuhan mengampuni kita maka ini haruslah juga menjadi ciri khas orang kristen, mengampuni bukan mendendam. Dan yang kedua tadi saya sudah singgung, kalau kita mendendam kita tidak mau mengampuni itu benar-benar menjadi kumpulan akar pahit yang merusak hidup kita dan akhirnya merusak pernikahan kita. Jadi jangan meremehkan pemberian maaf ini. Haruslah kita berusaha sebisa-bisanya memaafkan karena kalau tidak, ini akan meracuni hidup kita.
GS : Ini sejalan dengan doa Tuhan Yesus sendiri dalam Doa Bapa Kami, Pak Paul, yang mengatakan, "Ampunilah kesalahan kami, seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami".
GS : Dan ini harus dipraktekkan lebih dahulu dengan pasangan kita itu ?
GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memaafkan dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat
telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di
www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Sel, 09/02/2010 - 3:42pm
Link permanen
keren ... hwhwhw ... ^^