Sepi di Hari Tua

Versi printer-friendly
Mei



Judul ini dipilih sehubungan dengan "Hari Lansia Nasional" yang diperingati setiap tanggal 29 Mei.


Kehadiran anak membawa perubahan yang besar. Rumah yang tadinya sepi sekarang berubah ramai. Lantai yang tadinya mengkilap sekarang cemong oleh tumpahan makanan dan minuman. Hari lepas hari diisi dengan pelbagai kegiatan yang berkaitan dengan anak—dari mengantar anak ke sekolah di pagi hari sampai meninabobokan anak di kala malam.

Jika kehadiran anak membawa perubahan yang begitu besar dalam kehidupan kita, maka dapat dibayangkan bahwa kepergian anak juga membawa perubahan besar.

Kendati semua perubahan ini sukar namun tidak bisa tidak, mesti dihadapi dan dijalani. Memang masih ada keluarga yang bersedia menampung orangtua yang uzur namun tidak semua bersedia. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan agar tidak menimbulkan dampak yang buruk pada hubungan kita dan anak. Berikut akan dipaparkan dua perubahan yang umumnya terjadi di hari tua dan cara menghadapinya.

  1. Hilangnya Kesibukan Rutin dan Makna yang Terkandung didalamnya
    Bagi kita yang terbiasa hidup sibuk, hari tua tanpa kegiatan akan menghadirkan rasa jenuh yang luar biasa besar. Kita mesti menyadari bahwa yang terhilang bukanlah kegiatan itu semata melainkan makna dan semua perasaan yang terkait dengan kegiatan itu. Itulah yang membuat hidup begitu kosong dan hambar. Berikut adalah beberapa saran untuk menghadapi kekosongan ini.
    1. Kita harus hidup dengan kekosongan ini.
      Dengan kata lain, kita harus menerima kenyataan bahwa masa tua adalah masa kehilangan. Jadi, sesuaikanlah harapan dengan kenyataan. Terimalah fakta bahwa kebahagiaan kita akan berkurang bukan bertambah.
    2. Kendati tidak ada satu pun kegiatan yang dapat sepenuhnya mengganti makna yang terkandung dalam kegiatan yang lama, seperti membesarkan anak, isilah hari dengan kegiatan lainnya – serutin mungkin.
      Kuncinya adalah rutin! Entah itu dilakukan tiap hari atau beberapa hari per minggu. Makna sesungguhnya dari apa yang kita kerjakan hanya dapat bertunas dalam jadwal yang rutin. Rasa sayang pada apa pun yang kita kerjakan hanyalah dapat tercicipi bila kita melakukannya sesering dan serutin mungkin.
    3. Peliharalah relasi yang baik dengan anak, jangan malah merusakkannya.
      Kunci memelihara hubungan dengan anak pada masa tua adalah, "hormati batas dan bersedia menolong." Hormati batas berarti senantiasa mengingat bahwa kendati ia tetap anak kita, namun ia bukan "kepunyaan" kita lagi. Artinya, kita mesti menyadari bahwa ada tanggung jawab lain dalam hidupnya selain kita sebagai orang tuanya. Kita tidak bisa menuntutnya untuk menyediakan waktu dan perhatian sama seperti dulu lagi. Untuk memelihara relasi yang baik, tawarkan dan sediakan bantuan sedapatnya agar hubungan kita dengan anak menjadi relasi "memberi dan menerima," bukan "meminta dan menerima."
    4. Berinisiatiflah untuk memelihara kontak dengan anak.
      Sudah tentu kita harus memelihara relasi yang baik dengan anak terlebih dahulu sebelum dapat menikmati kontak yang menyenangkan dengan anak dan berinisiatiflah menghubungi anak secara rutin, jangan menunggunya untuk menghubungi kita. Secara berkala ajaklah anak untuk pergi bersama atau undanglah mereka untuk datang ke rumah. Asalkan tidak terlalu sering, besar kemungkinan pasangannya dan anak-anaknya tidak akan berkeberatan.
    5. Doronglah anak untuk mengasihi dan mementingkan pasangan dan anak-anaknya.
      Walaupun kita "kehilangan" anak, di usia senja ini kita mungkin akan mendapat gantinya lewat kasih sayang dan perhatian pasangan dan anak-anaknya. Sebaliknya, bila kita hanya memerhatikan anak sendiri, tidak bisa tidak, pasangannya pun akan merasa diri tidak bernilai di mata kita. Sebagai akibatnya, ia pun tidak lagi berminat menjalin hubungan dengan kita.

    Firman Tuhan di Amsal 14:1 mengingatkan, -Perempuan yang bijak mendirikan rumahnya, tetapi yang bodoh meruntuhkannya dengan tangannya sendiri.- Sudah tentu ayat ini berkenaan baik dengan perempuan maupun laki-laki. Pada hari tua, kita akan memetik buah dari pohon yang kita tanam. Bila kita telah menanam relasi yang sehat dengan anak, pada hari tua kita akan menikmati buah manis dengan anak. Juga, di hari tua janganlah kita malah merusakkan hubungan dengan anak dan keluarganya. Jagalah baik-baik sebab di situlah terletak kekuatan untuk menghadapi hari-hari yang sepi.


  2. Hilangnya Rasa Berguna dan Dibutuhkan
    Bagi kita yang terbiasa hidup dibutuhkan orang, melewati hari tua tanpa ada yang datang meminta bantuan sungguh menyiksa. Berikut akan dipaparkan cara untuk mengatasi rasa tidak berguna ini.
    1. Terimalah fakta bahwa setelah mencapai usia tertentu, kita tidak bertambah bijak.
      Sampai titik tertentu benarlah pepatah yang berkata bahwa makin kita tua makin kita menjadi barang klasik, namun lewat masa tertentu sesungguhnya yang terjadi adalah makin kita tua, makin kita menjadi kuno. Inilah fakta kehidupan yang tak dapat diingkari.
    2. Terimalah kenyataan bahwa pada usia tua kita tidak lagi diingat orang.
      Bagi kita yang terbiasa dibutuhkan, kondisi tidak dibutuhkan akan membuat kita merasa tidak berguna. Bak barang usang, kita merasa dipinggirkan. Nama kita makin jarang disebut, sumbangsih kita makin jarang diingat.
    3. Hiduplah berkenan kepada Tuhan dan jangan berdosa.
      Pada hari tua, tatkala kita merasa tidak berguna dan dibutuhkan lagi, ingatlah akan Tuhan dan hidup takut akan Dia supaya kita tetap hidup berkenan kepada-Nya. Jangan menggunakan cara berdosa untuk membuat diri berguna.
    4. Akui keterbatasan dan alihkan tanggung jawab.
      Di hari tua kita mesti jeli dan berbesar hati melihat keterbatasan. Kita pun harus memberi kesempatan kepada yang muda untuk mengambil alih bagian yang tadinya menjadi porsi kita. Orang yang jeli dan berbesar hati menerima keterbatasannya, justru akan lebih dihormati. Kendati ia tidak seberguna dulu, namun masukannya tetap dihargai sebab hikmat tetap menjadi bagian hidupnya.
    5. Ciptakanlah kebergunaan dalam hal yang lebih sederhana.
      Makin tua, makin terbataslah wilayah di mana kita dapat berkiprah dan menimba rasa berguna. Mungkin pada akhirnya kita hanyalah berguna dalam mengurus cucu dan hal-hal sederhana lainnya. Sungguhpun demikian tetaplah berkiprah di dalam kesederhanaan. Belajarlah menikmati dan menghargai yang sederhana.
    6. Peliharalah relasi yang membangun dan mendukung dengan generasi penerus.
      Jangan membanding-bandingkan diri dan meninggikan kemuliaan masa lalu. Setiap masa memunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing.

    Firman Tuhan: "Apa yang pernah ada akan ada lagi dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari." (Pengkhotbah 1:9) Kita yang tidak ingin hidup sia-sia perlu melihat hidup dari perspektif Tuhan. Kadang kita cepat berbesar hati karena merasa telah berhasil melakukan sesuatu yang berguna. Kita ingin dapat meninggalkan sesuatu yang abadi. Hanya Tuhan yang kekal. Tidak ada yang lain. Tuhan memakai kita untuk menggenapi kehendak-Nya untuk zaman atau masa kita. Bersyukurlah untuk kesempatan yang diberikan-Nya setelah itu lepaskanlah genggaman.

Ringkasan T289 A+B
Oleh: Pdt.Dr.Paul Gunadi
Simak judul-judul kategori "DEWASA" lainnya di www.telaga.org


PERTANYAAN :

Saya MH berusia 37 tahun, setahun yang lalu ibu saya telah dipanggil Tuhan, saya tinggal dengan ayah saya, aktif bekerja dan saat ini mohon bimbingan dan doa. Beberapa pokok doa saya a.l.:

  1. Hati yang bersyukur, dalam beberapa waktu terakhir saya merasa sangat kesepian. Saya juga berdoa dan berseru pada Tuhan Yesus agar tidak diliputi perasaan kesepian lagi. Saya rutin berkomunikasi dengan keluarga (kakak dan ayah) namun karena saya lajang, saya diliputi kesepian saat semua teman atau kakak yang berkeluarga kembali ke rutinitas mereka.
  2. Setelah 3 tahun mengenal teman kerja saya yang dulu dekat di tempat kerja sebelumnya, saya menyadari bahwa saya menyukai sahabat pria saya dan memberanikan diri untuk tetap berkomunikasi walau saya pindah kerja. Perhatian sahabat saya sewaktu ibu saya tiada walaupun lewat telepon membuat saya menyukai dia lebih dari sahabat. Namun dialog kami akhir-akhir ini jarang karena kesibukan kerja dan isi dialog kami menunjukkan kalau tidak ada perasaan yang sama terlihat darinya. Mohon doa agar saya dapat melupakannya, agar saya tidak dibayangi kekecewaan. Kerap kali situasi yang saya tidak mengerti maksudnya membuat saya kecewa.

Terima kasih.

JAWABAN :

Halo MH………

Kenalkan…….saya Hanny…….salah satu konselor di Telaga ini……

MH……saya cukup memahami kesepian yang dialami MH……karena baru ditinggal mama……bagaimanapun relasi anak perempuan dengan mama punya hubungan batin yang lebih dekat dibanding dengan anak laki-laki……selain masa kita ada dalam kandungan ibu kita selama 9 bulan (masa yang tidak dialami anak dengan ayahnya)……juga kesamaan gender antara ibu dan anak perempuan…..itupun cukup menambah kedalaman relasi kita……belum lagi pola asuh ibu yang mungkin kita rasakan jauh lebih banyak daripada pola asuh ayah kita…..Itupun sudah 3 poin yang memengaruhi kedekatan kita dengan ibu……itu sebabnya kebanyakan anak perempuan akan merasa lebih kehilangan ibunya……

Seberapa dalamkah relasi MH dengan ayah dan saudara kandung…..itupun cukup menentukan seberapa dekatkah MH dengan mereka? Karena itu juga memengaruhi -- kesepian -- MH setelah ditinggal ibu, MH bisa mendapat topangan (pengganti) relasi dengan ibu yang hilang…..apakah cukup menggantikan atau tidak?

Kemudian……sejak kita remaja sampai kita dewasa….kitapun sebenarnya membutuhkan relasi dengan orang lain di sekitar kita…bahkan pada akhirnya kita juga membutuhkan relasi yang spesial yaitu dengan beberapa sahabat….bahkan dengan lawan jenis kita….sebagai pacar atau suami. -Kebutuhan -- ini akan dirasakan oleh sebagian besar manusia pada umumnya….karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Jika kebutuhan relasi ini agak kurang atau bahkan terlalu minim, tentu rasa -- kesepian -- akan sangat mudah menghinggapi kita, apalagi ada saat kita pun mengalami -- kehilangan -- anggota keluarga yang sangat dekat. Saya berharap MH bisa mengevaluasi sosialisasi MH selama ini apakah cukup baik atau agak minim?

Tentunya rasa kesepian MH juga dipengaruhi usia MH saat ini, secara umum usia dewasa akhir (kira-kira 30 tahun ke atas) tiap orang membutuhkan perasaan dibutuhkan dan membutuhkan, maksudnya dalam ikatan relasi pernikahan atau berkeluarga, karena didalamnya ada ikatan relasi suami-istri dan orangtua – anak. Tetapi untuk sebagian orang, kebutuhan ini bisa tergantikan dengan ikatan relasi mereka dengan sahabat, orang yang mereka layani (misalnya Hamba Tuhan lajang), pekerjaan mereka dan lain-lain.

Relasi kita, manusia dengan Tuhan sebagai Penciptanya adalah di atas semuanya. Jika kita memunyai relasi yang penuh dengan Tuhan, itu akan memampukan kita menghadapi -- kesepian -- kita karena relasi kita dengan manusia bisa -- hilang -- atau -- rusak-. Milikilah persekutuan yang indah dengan Tuhan, baik secara pribadi maupun persekutuan dengan saudara seiman di gereja. Bersyukur untuk keluarga, teman dekat atau sahabat yang MH miliki saat ini, bangunlah relasi yang lebih dalam dengan mereka, jika memungkinkan.

Demikian MH, yang bisa saya sampaikan, jika ada yang kurang jelas atau ada pertanyaan lagi, silakan, saya akan mencoba menjawabnya.

Salam kasih Yesus,

Hanny



Diliput oleh: Gaby Limnord *)

Puji Tuhan! Oleh karena anugerah Tuhan, Telaga Kehidupan bersama-sama dengan Tunas Kehidupan dapat kembali berbagi melalui media Instagram Live pada hari Jumat, 13 Mei 2022. Topik yang dibahas pada kesempatan kali ini mengenai -- Melatih Kecerdasan Emosi Anak,- yang dipandu oleh Gaby Limnord. Sedangkan narasumber untuk topik perbincangan ini adalah Ev. Sri Wahyuni, M.Th., seorang konselor di Telaga Kehidupan dan guru di Tunas Kehidupan. Pembicara kedua adalah Bapak Lidanial, M.Th., seorang ayah dari seorang anak laki-laki. Beliau melayani sebagai konselor di Telaga Kehidupan.

Materi diawali dengan penjelasan definisi emosi dari Ev. Sri Wahyuni. Istilah ‘Emosi’ berasal dari bahasa Latin ‘movere’ yang berarti bergerak. Mengutip apa yang dikatakan oleh Daniel Goleman, emosi menyiratkan kecenderungan untuk bergerak. Jadi emosi ibarat motor yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Ev. Sri Wahyuni menjelaskan bahwa istilah kecerdasan emosi pertama kali digunakan oleh Peter Salovey dan John Mayer (1990), yaitu kemampuan untuk menyadari dan memahami perasaan sendiri dan orang lain. Peter Salovey membagi kecerdasan emosi dalam empat kompetensi, yaitu: menilai emosi, menggunakan emosi, memahami emosi dan mengelola emosi.

-Adakah perbedaan antara emosi orang dewasa dan anak-anak? Dan apa signifikansi kecerdasan emosi pada anak-anak?- tanya pemandu acara pada malam itu. Lebih lanjut, Bu Yuni menjelaskan bahwa sama seperti orang dewasa, anak-anak pun memiliki emosi. Kemampuan anak untuk mengungkapkan emosi tidak bertumbuh dengan sendirinya, tapi seperti perkembangan fisik dan kognitif, anak butuh proses belajar untuk mengasah kecerdasan emosinya. Melalui kecerdasan emosi, anak belajar untuk mengembangkan relasinya dengan orang lain.

Lebih lanjut, Gaby bertanya mengapa orangtua perlu melatih kecerdasan emosi anak sejak dini dan sejak usia berapa orangtua perlu melatih emosi anak? Bu Yuni mengutip apa yang dikatakan oleh Barbara Bush, -Rumah adalah sekolah pertama untuk anak dan orangtua adalah guru/pelatih pertama bagi anak-anak.- Jadi orangtua adalah orang pertama yang bertanggungjawab dan sangat berperan penting dalam melatih kecerdasan emosi anak. Bapak Lidanial menambahkan bahwa melatih kecerdasan emosi adalah sejak anak lahir, anak belajar pertama kali tentang emosi dari orangtua, sebagai pelatih anak-anak. Ketika anak melihat dan merasakan respons emosi dari orangtua dalam dinamika interaksi dengan anak. Bu Yuni setuju dengan Pak Lidanial bahwa anak harus dilatih sejak dini, bahkan sejak janin. Ikatan emosi orangtua dan anak terbentuk sejak janin dalam kandungan ibunya. Misalnya: saat janin lapar dan gelisah, dia merespons dengan gerakan tubuhnya (menendang-nendang perut ibunya). Lalu ibu berbicara pada janin dalam perutnya untuk menenangkan anaknya.

Lalu apa langkah-langkah untuk melatih kecerdasan emosi anak? Ev. Sri Wahyuni menjelaskan lima poin untuk melatih kecerdasan emosi anak, antara lain: pertama, mengenali emosi yaitu kemampuan untuk peka mengenali emosinya sendiri. Kedua, mengelola emosi yaitu kemampuan untuk menangani emosinya sehingga dapat mengungkapkan dengan tepat. Ketiga, memotivasi dirinya yaitu kemampuan untuk menggunakan hasrat yang dalam untuk mencapai tujuan. Keempat, empati yaitu kemampuan mengenali emosi orang lain dengan membaca pesan verbal dan non-verbal (nada bicara, ekspresi wajah dan gerak tubuh). Kelima, membina hubungan yaitu kemampuan untuk menangani emosi dengan baik dalam hubungan dengan orang lain. Sebagai contoh kasus, anak marah berguling-guling di lantai. Orangtua perlu mengizinkan anak untuk mengungkapkan perasaannya. Lalu orangtua mulai melatih anak untuk mengelola perasaannya (menggunakan buku -- Anger Management for Kids -- sebagai sarana melatih anak – buku ini dibuat oleh Telaga Kehidupan).Setelah anak tenang, orangtua bertanya pada anak: -Kamu marah ya? Apa yang membuat kamu marah?- . . . Izinkan anak untuk mengenali emosinya dan menyatakan perasaannya. Selanjutnya, orangtua mengajar anak untuk meresponi situasi-situasi tertentu dengan cara yang tepat, hingga pada akhirnya ia mampu membina relasi dengan orang lain dengan baik dan cerdas.


Pembicaraan malam hari itu ditutup dengan sebuah kesimpulan bahwa kecerdasan emosi ternyata merupakan proses yang terus-menerus terjadi sepanjang kehidupan seseorang, bukan hanya anak-anak tapi juga pada diri orang dewasa. Hanya saja anak-anak masih memerlukan bimbingan dan pelatihan, agar anak menjadi pribadi yang cerdas dalam mengelola dan mengekspresikan emosinya dalam berbagai situasi. Oleh karena itu, orangtua adalah guru/pelatih yang berperan penting dalam melatih kecerdasan emosi anak.

*) Salah seorang konselor di PKTK Sidoarjo



Oleh: Ev. Grasia Tampubolon, M. Th. Konseling *)

Ketika kita mengalami trauma di masa kecil, secara khusus dengan relasi pertama yang kita miliki, seperti orangtua atau pengasuh. Kita cenderung akan berjuang untuk memelajari batasan dan perilaku dalam berelasi karena kita cenderung melakukan pola relasi yang sama dengan relasi pertama kita. Kita tahu bahwa ketika di masa anak-anak relasi dengan pengasuh ataupun orangtua kita menjadi contoh bagi kita untuk berelasi dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Jika orangtua atau pengasuh tersebut berperilaku disfungsional atau tidak sehat pada akhirnya kita pun akan belajar berperilaku demikian, bahkan ketika dalam kondisi yang tidak disengaja sekalipun. Pengalaman relasi pertama ini dengan orangtua atau pengasuh yang disfungsional pada akhirnya bermanifestasi menjadi trauma dalam diri kita yang tanpa disadari kita bawa sampai kita dewasa.

Selain itu, cara pengasuh atau orangtua kita berinteraksi dengan kita akan membentuk pandangan kita tentang dunia dan orang-orang di sekitar kita. Hal ini, pada gilirannya, akan memengaruhi tiga struktur fundamental: kesadaran diri kita, cara kita berkomunikasi dan bagaimana kita membentuk hubungan. Sehingga tidak heran pada akhirnya kita pun membentuk pola relasi yang disfungsional pula. Sebagai contoh: Kita menjadi pribadi yang takut ditinggalkan. Anak-anak yang diabaikan atau ditelantarkan oleh pengasuh sering kali bergumul dengan ketakutan akan ditinggalkan hingga dewasa. Pikiran-pikiran takut ditinggalkan ini dapat muncul sehari-hari seperti ketakutan ketika pasangan pergi sendiri atau ketika sedang bertengkar pasangan pergi untuk menenangkan diri. Ketakutan ini juga bisa dimanifestasikan dalam bentuk, seperti kecemberuan atau dalam bentuk ekstremnya, yaitu tindakan posesif.

Contoh lainnya, dalam relasi kita cenderung lebih banyak memiliki konflik ataupun menghindari konflik. Semua hubungan memiliki konflik, tetapi anak-anak yang tumbuh di lingkungan dimana pengasuh yang selalu berdebat, atau yang menghindari konflik apa pun, sering kali tidak memelajari keterampilan yang diperlukan untuk memiliki komunikasi yang produktif dan sehat. Ini termasuk cara yang sehat dan produktif untuk menavigasi dan mengelola konflik. Hal lainnya, dalam relasi kita mudah tersinggung atau sulit untuk dikritik. Ketika kita tumbuh di lingkungan di mana kita sering dikritik, atau menyaksikan orang lain dikritik, kita belajar bahwa ini adalah cara alami untuk mengekspresikan ketidaksenangan kita dalam hubungan. Kita belajar bahwa ketidaksempurnaan dan keanehan kita tidak dapat ditoleransi, dan memproyeksikan intoleransi itu kepada pasangan kita atau orang lain di sekitar kita. Ataupun kita menjadi terlalu sensitif dengan kritikan, karena kita menjadikan kritikan menjadi ancaman bagi diri kita.

Para penyintas trauma dapat menghidupkan kembali pengalaman masa kecil dengan pasangan yang tidak responsif atau kasar. Ini dapat terjadi tanpa kemampuan untuk melihat alasan mengapa mereka merasa harus mengejar hubungan yang tidak sehat. Di bawah alam bawah sadar mereka ini menjadi dorongan untuk mengunjungi kembali trauma yang belum terselesaikan, dan bertujuan untuk memperbaiki keadaan (walaupun sebenarnya belum tentu memperbaiki keadaan). Tentu saja, luka masa kanak-kanak tidak dapat diperbaiki dengan cara ini kecuali ada dua orang yang bersedia bekerja untuk mengubah siklus itu. Tetapi jika kekuatan ini tetap tidak diperhatikan, para penyintas dapat terjebak dalam siklus pola yang tidak sehat kembali. Bahkan ketika ia bersama dengan seseorang yang aman sekalipun, ia tetap dapat bergumul dengan kondisi depresi, gangguan perilaku, bergumul dengan pikiran buruk tentang diri ataupun perasaan ingin bunuh diri.



Dalam suatu hubungan, riwayat trauma bukan hanya masalah satu orang yang harus dipecahkan. Apa pun yang memengaruhi satu pasangan berdampak pada yang lain dan hubungan. Dengan demikian perlu kerja keras bagi kedua belah pihak untuk mengalami pemulihan dalam relasi. Salah satunya untuk membangun kembali relasi yang sehat dengan para penyitas trauma, yaitu dengan memiliki komunikasi yang sehat. Bergulat dengan masalah hubungan dapat meningkatkan rasa takut dan dapat memicu kilas balik bagi seseorang dengan riwayat trauma. Memelajari cara mengelola komunikasi membantu pasangan memulihkan ketenangan dan memberikan kenyamanan saat pemahaman mereka tentang trauma tumbuh. Contohnya: Melatih diri dan pasangan tentang kesadaran (awareness), tentang masing-masing isu yang menjadi pemicu dalam diri masing-masing. Kemudian cara lain untuk menolong pasangan yang memiliki trauma, yaitu dengan meminta bantuan terapis ataupun konselor. Selain itu, ingatkan pasangan kita atau diri kita bahwa pengalaman masa lalu kita/mereka memang tidaklah mudah, namun tetap di dalam hal itu pun Allah memegang kendali atas hidup kita/mereka. Allah juga yang berdaulat dalam memulihkan kita dan relasi kita. Sebagaimana firman Tuhan berkata bahwa -- Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.-

*) Salah seorang konselor PKTK Sidoarjo




  1. Bersyukur di Hari Pendidikan, tanggal 2 Mei 2022, Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) telah berusia 32 tahun.
  2. Bersyukur IG Live dengan tema -- Melatih Kecerdasan Emosi Anak -- telah berlangsung dengan pertolongan Tuhan pada tanggal 13 Mei 2022 yang lalu dan telah diliput oleh Sdri. Gaby Limnord dalam BTK edisi ke-33/Mei 2022.
  3. Sehubungan dengan berkembangnya teknologi, doakan untuk usaha dari tim IT Yayasan Lembaga SABDA dimana audio Telaga akan masuk di YouTube dan Podcast.
  4. Doakan untuk penerimaan murid baru program Bina Iman Anak Tunas Kehidupan periode bulan Juli 2022 dan rencana IG Live -- Mengembangkan Bakat dan Minat Anak sejak Dini -- pada tanggal 4 Juni 2022 pk.19.00.
  5. Doakan untuk pengeditan beberapa rekaman terbaru dimana sudah ada 3 radio yang meminta kiriman lanjutan.
  6. Doakan untuk rencana rekaman bersama Bp. Paul Gunadi pada hari Jumat, 3 Juni 2022 dan 10 Juni 2022 agar bisa berhasil dengan baik.
  7. Kita tetap mendoakan untuk Bp. Heman Elia yang walaupun kondisinya cukup baik, bisa beraktifitas biasa, agar mukjizat Tuhan terjadi sesuai dengan kehendak-Nya. Juga untuk beberapa orang lain yang menderita kanker agar bisa mendapat penanganan yang tepat.
  8. Doakan untuk para Nakes di berbagai daerah dalam menangani masalah kesehatan masyarakat kita, demikian juga Pemerintah yang menangani berbagai masalah dalam bidang ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan dan lain-lain.