KETIKA KEMATIAN membayang & KEFANAAN HIDUP

Versi printer-friendly
April


Ketika kematian membayang dan kefanaan hidup

Kendati kita tahu bahwa kematian bukanlah akhir kehidupan melainkan awal dari kehidupan bersama Tuhan kita Yesus di surga, pada umumnya kita tetap akan terguncang tatkala membayangkan kematian secara lebih nyata. Sesiap-siapnya kita menghadapi kematian, sewaktu mendengar berita bahwa hari-hari kita hidup sudah mulai dapat dihitung, kita akan tetap merasa gelisah.

Setidaknya ada tiga sumber yang dapat membuat kita gelisah: Pada umumnya ketiga sumber ini adalah penyebab kecemasan yang timbul tatkala membayangkan kematian. Sungguhpun demikian kita tidak harus terkapar di bawah bayang-bayang kematian.

PERTAMA, KETIDAKTAHUAN AKAN PENGALAMAN

KEMATIAN ITU SENDIRI. KITA PERLU MENGINGAT

BAHWA WALAUPUN PENGALAMAN KEMATIAN ITU

SENDIRI MERUPAKAN SESUATU YANG MISTERIUS,

NAMUN AKHIR DARI KEMATIAN ITU SENDIRI

M E R U P A K A N S E S U A T U Y A N G T E R A N G .

Kendati perjalanan kematian itu sendiri tidaklah jelas dan pasti, tetapi akhir dari perjalanan itu sendiri adalah jelas dan pasti. Sebagai manusia biasa Tuhan kita Yesus pun pernah menjalani kematian—selama tiga hari—dan setelah itu Ia bangkit. Dengan kata lain, akhir dari perjalanan kematian adalah kebangkitan atau kehidupan yang baru bersama Tuhan di surga. Inilah yang akan dialami oleh semua orang yang percaya pada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Jadi, setiap kali kita membayangkan kematian yang mendekat, sahakanlah untuk membayangkan akhir dari perjalanan kematian itu. Saya pernah menjalani colonoscopy dan harus dibius total. Saya masih ingat meskipun saya sudah mengetahui prosedur pelaksanaan dan risiko yang minimal, tetap ada sedikit kegelisahan menghadapinya. Setelah dibawa masuk ke dalam kamar operasi, saya diajak bicara oleh dokter dan perawat. Rupanya pada saat yang bersamaan mereka pun tengah membius saya tanpa saya menyadarinya. Saya hanya mengingat bahwa saya kemudian menanyakan apakah prosedur itu segera akan dimulai. Yang mengagetkan adalah jawaban mereka bahwa sesungguhnya prosedur sudah dilaksanakan. Saya tidak tahu kapan saya tertidur dan saya pun tidak tahu kapan saya terbangun. Saya hanya merasa berada di antara dua kalimat tetapi nyatanya saya telah tertidur. Demikian pulalah dengan kematian. Kita tidak akan tahu kapan persisnya kita mati dan kita tidak tahu kapan tepatnya kita terbangun. Satu hal yang kita ketahui dengan pasti adalah tiba-tiba kita sudah bersama Tuhan kita Yesus di surga. 1 Tesalonika 4:14 mengingatkan, “Karena jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.”

KEDUA, YANG MEMBUAT KITA GELISAH ADALAH

KEMATIAN MEMISAHKAN KITA DARI SEGALA SESUATU

YANG KITA KENAL DAN SAYANGI. PERPISAHAN DENGAN

SEMUA YANG TERKAIT DENGAN HIDUP DI DALAM DUNIA

MERUPAKAN KENISCAYAAN.

Kita harus berpisah dengan relasi yang selama ini kita kenal sebab di dalam surga, relasi yang akan ada bukanlah relasi seperti yang kita pahami selama ini. Kita akan saling mengenal namun pengenalan akan identitas diri tidak memicu reaksi emosional dan mental yang sama. Jadi, terimalah fakta ini. Yohanes 14:2 memberi kita kepastian akan hal itu, “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.”

KETIGA, KEMATIAN KERAP DIASOSIASIKAN DENGAN

KESAKITAN ATAU PENDERITAAN MENAHAN SAKIT. KITA

MESTI MENGINGAT BAHWA DERITA DAN RASA SAKIT

ADALAH BAGIAN TAK TERPISAHKAN DARI HIDUP.

Semua wanita yang pernah melahirkan pernah merasakan rasa sakit; semua yang pernah mengalami kecelakaan pernah mengalami rasa sakit. Singkat kata, sesungguhnya rasa sakit dan derita telah menjadi bagian hidup sejak awal. Jika demikian halnya, tidak semestinya kita memandang rasa sakit menjelang kematian sebagai penderitaan yang khusus atau terlebih menyakitkan dibanding rasa sakit lain yang pernah kita alami sebelumnya. Dan, bila dengan anugerah Tuhan kita dapatmelalui semua rasa sakit itu, dengan anugerah Tuhan yang sama, kita akan dapat melewati rasa sakit menjelang kematian. Firman Tuhan mengingatkan, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2 Korintus 12:9) Sebelum menikah kita memersiapkan pernikahan; sebelum ujian, kita memersiapkan diri belajar; untuk banyak hal dalam hidup ini kita bersedia memersiapkan diri. Namun sedikit di antara kita yang bersedia memersiapkan diri menghadapi kematian. Faktanya adalah kita mesti memersiapkan diri untuk hidup dan mati. Kita pun perlu melihat fakta tentang kematian dengan jernih agar dapat memersiapkan diri dengan tepat. Menghadapi Kematian Kematian adalah bukti kefanaan hidup, jadi manusia mesti berdamai dengan keterbatasannya, kita tidak hidup selamanya! Firman Tuhan menegaskan, “Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu” (Mazmur 90:5-6)

Ada pelbagai cara yang Tuhan gunakan untuk menghentikan hidup dan kita tidak bisa memilihnya, sama seperti kita tidak bisa memilih melalui siapakah kita datang ke dunia ini. Jadi, tidak ada cara baik atau cara buruk; tidak ada kebetulan atau kesengajaan; semua hanyalah sarana untuk memindahkan kita dari dunia ini. Firman Tuhan menjelaskan, “Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: ‘Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku.’ Tetapi Yesus berkata kepadanya: ‘Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka’.” (Matius 8:21-22) Sebagaimana dikatakan oleh Pdt. Rick Warren, kematian bukanlah terminasi melainkan transisi. Jadi, hal terpenting dalam menghadapi kematian adalah kepastian ke manakah kita akan pergi. Kadang kita mengagungkan atau sebaliknya, menghindar dari kematian; Tuhan sendiri tidak membesar-besarkan kematian; kematian hanyalah sebuah transisi. Firman Tuhan berkata, “Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya yang diam di dalam kamu.” (Roma 8:11) Kematian dan kehidupan berhubungan erat; apa yang kita lakukan sekarang berdampak pada apa yang akan terjadi kelak. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal.” ( Yohanes 3:16)

Oleh : Pdt. Dr. Paul Gunadi

Ringkasan audio T 434 A+B

Simak rekaman lain di www.telaga.org

(Sambungan dari Telaga Menjawab edisi 7/Maret 2020)

PERTANYAAN :

Syalom,

Terima kasih untuk semua masukan dan nasihat Bapak, mudah-mudahan saya dapat keluar dari pergumulan ini, sudah lama saya ingin bisa tidur normal.

Tujuh tahun yang lalu kami menikah dan pulang ke kampung untuk melakukan pesta pernikahan sesuai dengan adat. Sebelum pesta dimulai memang saya merasa sakit hati dengan keluarga calon istri, karena “sinamot” (mahar = uang yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai wanita) yang kurang. Pihak keluarga istri tidak bisa menghadiri pesta kami karena hal itu. Setelah selesai semuanya kami pulang ke Batam. Saat istri saya mengandung anak pertama, kami selalu bertengkar. Emosi saya tidak bisa saya kontrol dan tiap minggu hanya gaduh tetapi tetap rajin ke gereja, itulah keluarga yang baru agak susah menyatukan dua visi dan pemikiran.

Setahun kemudian saya kuliah sambil bekerja di Batam tetapi pertengahan semester satu saya ditawari oleh satu perusahaan untuk bekerja di luar


Batam sehingga saya tidak bisa melanjutkan kuliah. Apabila saya teringat akan hal itu saya berbicara pada diri sendiri “Seharusnya saya sudah berobat ke dokter dan dokter mengusulkan agar saya ke psikiater dan saya diberi obat, oleh dokter ahli penyakit dalam, saya cek darah dan ginjal hasilnya normal; yang terakhir ke dokter ahli penyakit syaraf, dilakukan CT scan dan EEG, semua hasilnya normal, saya diberi obat penenang. Awalnya bisa tidur tapi lama-kelamaan tidak bisa tidur lagi.

Saya bekerja di perusahaan asing, apabila sedang sibuk gangguan itu tidak ada tetapi bila saya sedang sendirian, gangguan itu datang lagi. Setiap hari saya jogging supaya menjadi lelah, tetapi gangguan tidur masih ada, kadang-kadang jam 5 sore saya sudah mulai merasa takut, apakah nanti malam saya bisa tidur. Apakah ada masukan lagi untuk saya?

Salam,

KS

JAWABAN :

Bapak KS,

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Bapak menderita gangguan kecemasan. Gangguan ini memang dipicu oleh sebuah peristiwa, tetapi penyebab sesungguhnya bukanlah peristiwa atau faktor luar itu sendiri. Penyebab gangguan kecemasan adalah terganggunya jaringan kerja syaraf di otak. Begini, pak, semua reaksi seperti takut dan senang, dioperasikan oleh jaringan kerja di otak. Entah mengapa, pada diri penderita gangguan kecemasan, terjadi gangguan sehingga diri tidak sanggup untuk membuang pikiran tertentu. Sebagai akibatnya, diri tidak dapat menenangkan kegelisahan dan terus dikuasai oleh kecemasan. Dalam kasus Bapak, pencetusnya bukanlah apa yang Bapak dengar atau lihat beberapa tahun yang lalu melainkan apa yang terjadi di dalam otak Bapak. Itu sebabnya seberapa kuatnya pun Bapak berusaha, Bapak tidak sanggup mengendalikan pikiran yang menimbulkan kecemasan itu. Kami ingin menyarankan dua hal, pertama, Bapak kembali ke psikiater dan meminta resep obat anti depresan yang bernama Zoloft. Obat ini memang untuk depresi namun dikenal ampuh untuk mengatasi gangguan kecemasan dan obsesi. Kedua, Bapak mesti mengkonfrontasi pemicu kecemasan lewat dialog. Bapak memulai dengan bertanya kepada diri sendiri, “Apakah yang membuat saya takut?” Setelah menjawabnya, silakan ajukan pertanyaan berikut, “Apakah saya PERLU takut?” Silakan menjawabnya, dilanjutkan ke pertanyaan ketiga, “Apakah yang dapat saya lakukan untuk mengurangi ketakutan itu? (Dengan catatan bila Bapak memang masih merasa takut).

Demikian tanggapan dan saran yang dapat kami berikan, silakan dicoba. Tuhan menolong dan memberkati Bapak.

Salam,

Paul Gunadi

Pada hari Rabu, 11 Maret 2020, saya mengunjungi kerabat di Rijswijk (area sekitar kota Den Haag, provinsi Zuid Holland) untuk membahas tentang pelayanan konseling kami untuk masyarakat Indonesia-Belanda. Saya memanggil mereka “Oom” dan “Tante”. Pada hari itu, Oom tampak agak batuk. Di hari-hari itu, di provinsi Noord Brabant semua orang sudah mulai mengkhawatirkan infeksi Coronavirus, oleh karena itu kami sangat berhati-hati untuk tidak saling menyentuh, dan saya mencuci tangan waktu saya datang dan waktu saya meninggalkan rumah mereka. Tetapi menjaga jarak 1,5 m belum diterapkan di hari itu. Tante tidak dapat bangun dari tidur dari sejak malam sebelumnya karena merasa tidak enak badan. Oom mengatakan bahwa tante terlalu lelah setelah memasak untuk persekutuan pada hari Selasa malam sebelumnya. Tante juga sudah puluhan tahun menderita diabetes. Selama beberapa jam di rumah mereka, saya berdoa untuk perlindungan Tuhan selama kami makan siang bersama Oom dan satu teman dari Indonesia.

Pada tanggal 15 Maret 2020 saya mendapat berita bahwa Oom dan Tante positif mengidap penyakit Coronavirus dan tante berada di ICU. Saya kemudian segera mengkarantina diri selama dua minggu. Mulai hari itu segalanya berubah. Saya sibuk memberitahu orang lain tentang masa karantina saya, membatalkan banyak jadwal yang telah disepakati. Ternyata butuh banyak waktu juga hanya untuk mengelola hal-hal ini. Setiap jadwal pertemuan berubah menjadi pertemuan online. Selama masa karantina saya juga tidak bisa pergi ke supermarket, dan banyak teman menawarkan bantuan untuk mengirimkan makanan dan barang-barang kebutuhan lainnya. Saya merasakan betapa teman-teman saya peduli pada saya. Itu adalah hadiah kasih dari Tuhan. Rasanya seperti peristiwa burung gagak yang Tuhan kirim kepada Elia untuk mengantarkan makanan dan minuman kepadanya.


Pada tanggal 20 Maret ketika saya berdoa di pagi hari, saya membaca Alkitab dan saya mendapat Firman dari Tuhan untuk menjadikan masa ini sebagai waktu untuk 'slow down', menunjukkan kasih-Nya dan membawa kesembuhan ke dalam hati orang-orang. Itu adalah pesan pribadi dari Tuhan yang jelas untuk saya. Tetapi saat itu saya tidak sepenuhnya mengerti artinya.


Pada tanggal 24 Maret saya mendengar berita sedih bahwa teman kami yang duduk bersama saya dan paman untuk pertemuan makan siang meninggal karena Coronavirus. Saya terkejut. Bagaimana bisa secepat itu? Dia sangat sehat ketika saya meneleponnya pada tanggal 17 Maret untuk memberitahu bahwa Oom dan Tante sakit karena virus Corona. Beliau datang ke Belanda untuk berkunjung dan kembali ke Indonesia sehari setelah pertemuan kami. Tampaknya beliau tidak bisa bernapas di ruang isolasi dan staf rumah sakit tidak datang tepat waktu untuk memberi bantuan. Saya merasa sangat sedih. Pada saat yang sama, banyak orang dalam kelompok persekutuan kami juga takut karena mereka ada kontak dengan Oom dan Tante. Mereka tahu bahwa mereka dapat saling menularkan virus dan tidak ada yang tahu siapa yang terinfeksi oleh siapa. Saya mendengar bahwa Oom dan Tante terinfeksi dalam satu persekutuan dan bahwa teman yang lain yang datang ke persekutuan itu juga terinfeksi. Ibu dari teman ini juga terinfeksi. Mereka berada di ICU di sebuah rumah sakit di Jerman. Oom ada di rumah sakit tetapi tidak di ICU dan kondisinya lebih baik daripada istrinya yang ada di ICU.





Setelah beberapa hari berlalu, sekarang saya mengerti apa artinya saya menjadikan masa ini sebagai waktu untuk 'slow down', menunjukkan kasih TUHAN kepada orang lain dan membawa kesembuhan Tuhan dalam hati orang-orang. Ada banyak orang di sekitar saya yang membutuhkan kedamaian dan sukacita, dan untuk saling menerima serta memaafkan. Penyakit bisa menular, tetapi pengampunan juga menular (terutama ketika teman kita meninggal karena virus yang kita tularkan). Hari ini, 1 April, kondisi Oom semakin membaik dan saudara-saudara seiman yang ada di Jerman juga sudah disembuhkan Tuhan, tetapi Tante masih dalam kondisi di“koma”kan (atau ditidurkan melalui intervensi obat). Bagi saya pribadi, bahwa Oom yang sudah berusia 72 tahun dan pernah menjalani operasi jantung di masa lalu, bisa membaik sudah merupakan keajaiban dan jawaban doa yang luar biasa. Kesembuhan teman di Jerman dan ibunya setelah kondisi kritis, mereka juga merupakan keajaiban. Tetapi yang paling penting adalah adanya penerimaan dan penyembuhan hati, satu terhadap yang lain. Saya melihat bagaimana kasih Tuhan ditunjukkan dimana-mana ! Saya berdoa bahwa akan ada banyak hati yang dipulihkan melalui kasih TUHAN di masa krisis Covid-19 ini.

Oleh: Betty Tjipta Sari, M.K.

(Den Haag, 1 April 2020)

(Betty T. S. adalah salah seorang konselor yang melanjutkan studi ke Tilburg, Belanda sejak pertengahan 2010, sementara ini sedang menyelesaikan disertasinya).

Pagi itu, jalanan masih sepi. Matahari belum terbit. Kegelapan masih menutupi kota Yerusalem, tetapi Maria Magdalena dan P beberapa wanita yang lain berjalan menuju ke kubur Yesus. Mereka telah menghentikan kegiatan mereka pada hari Jumat malam karena mereka harus menaati peraturan hari Sabat. Maria berjalan paling depan dalam rombongan itu. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal dan dia tidak tertarik pada hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Berkali-kali, ingatannya melayang kembali ke peristiwa beberapa hari yang lalu, saat mereka berjalan dari Galilea menuju Yerusalem.

Sejak itu, penderitaan Tuhan Yesus memasuki berbagai macam tahap. Namun, Maria terus mengikutinya dengan setia sampai akhir hidupnya. Dia hadir di gedung pengadilan ketika orang banyak menuntut nyawa-Nya. Dia mendengar gubernur Pontius Pilatus menyerahkan-Nya kepada kemarahan musuh-musuh-Nya. Perasaannya mencekam saat melihat orang-orang mengejek dan menganiaya Gurunya. Orang yang selama ini telah menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar kepadanya. Dia mengikuti Gurunya ketika Dia membawa salib-Nya keluar dari tempat Pilatus menuju Golgota, tempat hukuman mati akan dijalankan. Dia menyaksikan bagaimana orang-orang menyiksa-Nya sampai Dia jatuh terjerembab karena beban salib-Nya yang terlalu berat. Dia merasa sangat sedih, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa untuk orang yang telah melakukan semuanya baginya.

Di dekat salib, Maria Magdalena dan para perempuan lain menyaksikan tangan dan kaki Yesus ditembus paku. Mereka melihat tentara menikam lambung-Nya dengan tombak. Saat itu, mata Maria mencari murid-murid Yesus, tetapi mereka tidak terlihat, kecuali Yohanes. Siang itu, langit tiba-tiba menjadi gelap selama 3 jam dan terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat. Banyak orang kudus yang telah meninggal bangkit.

Dari semua peristiwa itu, yang paling berkesan bagi Maria adalah seruan Yesus sesaat sebelum mati, "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Meskipun penderitaan Tuhan Yesus sangat mengerikan untuk dilihat, Maria dari Magadan tetap tinggal disitu sampai semuanya selesai, dan Tuhan Yesus berkata, "Sudah selesai." Dia tidak dapat meninggalkan Gurunya yang sangat berarti baginya, lebih dari siapa pun. Dia hadir dalam pemakaman-Nya dan setelah itu, ketika semua orang sudah pulang, kecuali Maria ibu Yakobus dan Yusuf, dia tetap tinggal dekat kubur. Dia tidak meninggalkan tempat itu sampai hukum Yahudi mengharuskannya pulang karena hari Sabat sudah dimulai.

Setelah lewat hari Sabat, perempuan-perempuan itu pergi ke kubur. Dalam perjalanan ke sana, terlintas dalam benak mereka kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi. "Bagaimana kita dapat menggulingkan batu yang menutupi pintu kubur itu?" tanya seorang kepada yang lain. Selain itu, Pilatus juga telah menempatkan para penjaga supaya para murid tidak mencuri mayat Yesus.

Saat mereka hampir sampai ke kubur, dari jauh mereka sudah melihat batu besar itu. Tiba-tiba, mereka menahan napas. Apakah penglihatan mereka benar, tidak salah? Tidak, kubur itu benar-benar sudah terbuka. Batu penutup kubur itu telah digulingkan. Maria Magdalena langsung berbalik tanpa melihat ke dalam kubur itu terlebih dahulu. Dia berlari secepat mungkin ke rumah Petrus dan Yohanes. "Tuhan telah diambil orang dari kubur-Nya dan kami tidak tahu di mana Dia diletakkan," kata Maria terengah-engah.

Mereka pergi ke kubur Yesus, kali ini mereka masuk ke kubur itu. Mereka mendapati kain kafan itu terlipat rapi. Jadi, mayat Yesus bukanlah dicuri. Murid-murid pulang dengan hati yang penuh tanda tanya. Namun, Maria tidak meninggalkan tempat itu. Dia tetap tinggal di luar kubur dengan air mata yang mengalir. Sambil menangis, dia melihat ke dalam kubur untuk terakhir kalinya. Namun, dia melihat dua malaikat berpakaian putih cemerlang duduk di tempat mayat Yesus pernah dibaringkan.

"Ibu, mengapa engkau menangis?" tanya mereka.

“Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Dia diletakkan," jawab Maria sambil mengusap air matanya. Dia kemudian berjalan keluar kubur dan melihat seorang lain berdiri di luar. "Itu tukang kebun atau Yusuf Arimatea," pikirnya. Tanpa pendahuluan apa-apa, Maria berkata pada orang itu, "Tuan, jika tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, di mana tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambilnya."

Sejak pertobatannya, Maria Magdalena setia kepada Tuhannya. Dia terus berada di dekat salib sampai saat-saat terakhir dan dia adalah orang pertama yang datang ke kubur Yesus. Di kubur itu, dia ingin melengkapi pernyataan kasihnya kepada Gurunya dengan satu perbuatan lagi, yaitu mengurapi mayat Tuhan Yesus dengan minyak rempah-rempah.

Setelah itu, dia mendengar suara Yesus, "Maria!"

Hanya satu orang yang dapat mengucapkan namanya dengan nada demikian. Tidak ada orang lain yang dapat memberikan kesan mendalam seperti itu, penuh kehangatan yang memancar sampai ke dalam jiwa. Hati Maria dipenuhi dengan berbagai macam perasaan: takjub, sukacita, dan rasa syukur. Dia pun menyembah-Nya dengan kasih dan rasa hormat. "Rabuni," hanya itu yang dapat dikatakan Maria. Maria menjadi saksi pertama dari kebangkitan Yesus.

Cerita tentang Maria Magdalena begitu menarik sehingga diceritakan oleh keempat penulis Injil. Namanya selalu disebutkan pertama dalam penyebutan beberapa orang perempuan, kecuali pada peristiwa penyaliban, yang sudah sewajarnya kalau nama ibu Yesus disebutkan pertama. Nama Maria Magdalena muncul empat belas kali dalam Injil. Setiap penulis Injil juga menuliskan bahwa setelah bangkit, Yesus pertama kali menampakkan diri kepada Maria Magdalena.

SEGENAP PENGURUS

LEMBAGA BINA KELUARGA KRISTEN

dan Pelaksana Program Telaga serta

Pusat Konseling Telaga Kehidupan di Sidoarjo

mengucapkan

Pada waktu pokok doa ini dibuat, kita telah memasuki bulan puasa. Kita telah memeringati Jumat Agung dan Paskah, P kemenangan Tuhan Yesus atas maut, tidak seperti biasanya tapi di rumah masing-masing. Pembicaraan masih seputar COVID-19. Ada keluarga atau teman yang meninggal karena COVID-19, mungkin juga ada rekan atau keluarga kita yang saat ini sedang menyesuaikan diri dengan diberlakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Di perumahan portal dipasang sehingga kendaraan hanya bisa masuk atau keluar dari pintu tertentu saja. Sekali lagi biarlah perubahan yang terjadi mengingatkan kita untuk tetap percaya kepada pimpinan-Nya hari lepas hari dalam kehidupan dan pelayanan kita.

(1) Bersyukur untuk sumbangan yang diterima dari Ibu Gan May Kwee di Solo (Rp 600.000,-) dan dari Ibu Priska Sihalo (Rp 250.000,-).

(2) Bersyukur pemilik rumah Jl. Cimanuk 56 Malang, Ibu Sri Haryati Gani, telah 12 tahun meminjamkan rumahnya untuk digunakan sebagai sekretariat LBKK dan Telaga. Doakan untuk kesehatan Ibu Sri Haryati Gani sekeluarga yang tinggal di Jakarta.

(3) Doakan untuk Bp. Hananto Jonatan yang beberapa kali memberikan sumbangan kepada Telaga, mulai minggu yang lalu menjalani cuci darah di R.S. Panti Nirmala, Malang. Demikian juga Ibu Dientje Winarto (pernah 6x menjadi pemandu acara rekaman pada tahun 2011 yang lalu) telah lebih dari 4 tahun menjalani cuci darah secara rutin 2x seminggu di R.S. Persada, Malang.

(4) Sekalipun belum pernah dicoba, doakan apabila Tuhan berkenan untuk mengadakan rekaman jarak jauh melalui 'skype' (program komunikasi dengan teknologi P2P atau “peer to peer”). Hal ini masih dijajagi bersama Bp. Paul Gunadi dan Bp. Necholas David sebagai pemandu acara.

(5) Ev. Sindunata Kurniawan, salah seorang narasumber rekaman Telaga diharapkan bisa mengadakan rekaman lagi dalam bulan Mei 2020.

(6) Doakan agar dalam bulan Mei 2020 seluruh rekaman mulai dari bulan Desember 2019 yang lalu bisa selesai diedit, dibuat transkrip, ringkasan, dan abstraknya.

(7) Doakan untuk para pedagang kecil, karyawan yang dirumahkan dan/atau di-PHK sebagai dampak pandemi COVID-19; demikian pula pemerintah dan segenap jajarannya di 34 provinsi (seluruh Indonesia) dalam menanggulangi COVID-19, serta tim medis (para dokter dan perawat) di berbagai Puskesmas dan Rumah Sakit.

(8) Bersyukur untuk sumbangan yang diterima dari donatur tetap di Malang dalam bulan ini, yaitu dari :

001 – Rp 100.000,-

006 – Rp 300.000,- untuk 2 bulan

011 – Rp 600.000,- untuk 4 bulan

015 – Rp 2.250.000,- untuk 3 bulan

Tuhan Yesus Memberkati