Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Daniel Iroth akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "SPIRAL KEBENCIAN". Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
DI : Pak Sindu, kita akan berbicara tentang Spiral Kebencian. Apa yang membuat Pak Sindu ingin membicarakan masalah ini?
SK : Pak Daniel, kita melihat bahwa kebencian itu sesungguhnya sebuah emosi yang umum yang bisa dialami setiap kita. Namun ketika emosi yang menunjukkan ketidaksukaan ini disebarkan ke publik maka akan menimbulkan satu spiral yang membuat kondisi makin memburuk dan membuat kondisi orang lain pun jadi buruk, memicu konflik bahkan kejahatan kepada kemanusiaan. Inilah yang membuat kita perlu memahami dinamika kebencian, dari kebencian pribadi menjadi kebencian publik atau kelompok. Itu seperti sebuah spiral yang membuat kita dan orang lain makin terpuruk, makin masuk ke dalam lubang masalah yang menistakan diri kita semua.
DI : Saya lihat dampak dari kebencian ini sangat buruk dimana orang bisa saling merugikan, saling menghancurkan satu dengan yang lainnya.
SK : Benar, Pak Daniel. Kebencian itu sesungguhnya bukan sebuah emosi yang netral. Kebencian sebenarnya merupakan upaya kita untuk menutupi rasa tidak aman di dalam diri kita. Karena kita merasa tidak aman, was-was, merasa diri tidak oke dengan diri kita sendiri, maka tanpa sadar kita menciptakan mekanisme kebencian dimana orang yang kita benci biasanya kita pandang lebih buruk, lebih rendah dan kita jadi lebih tinggi.
DI : Mengapa orang yang tidak aman secara pribadi lebih mudah untuk jatuh ke dalam kebencian, Pak Sindu?
SK : Karena pada dasarnya kita diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang butuh merasa aman dengan diri kita. Kita butuh rasa aman, rasa kepastian, rasa diri oke. Maka saat kita merasa tidak okay, secara refleks kita menciptakan sebuah cara mekanisme untuk mengisi rasa aman, sekalipun itu rasa aman yang palsu, dengan cara kita menjelekkan dan membenci orang lain supaya diri merasa lebih tinggi, dengan demikian kita merasa aman dan oke. Sayangnya rasa aman dan oke itu palsu. Memang bukan berarti serta merta orang yang memiliki rasa tidak aman pribadi pasti membenci orang lain. Tidak. Ada kalanya karena orang tidak punya rasa aman pribadi dia menjadi gila kerja, gila pelayanan, berusaha mencapai hal-hal untuk memiliki sebanyak mungkin materi di luar akhirnya menjadi materialistik, supaya dia memiliki rasa aman. Tidak serta merta dia akan membenci. Tapi orang yang membenci bisa dipastikan adalah orang yang tidak punya rasa aman di dalam dirinya.
DI : Ya. Karena dia berusaha menempatkan diri di atas orang yang dibencinya ya.
SK : Betul.
DI : Orang-orang percaya perlu menyadari hal ini. Apa yang ingin Pak Sindu bagikan tentang spiral kebencian ini, Pak Sindu?
SK : Saya kutip paparan dinamika spiral kebencian ini dari seorang ahli psikologi yang bernama Jack Scaver, Ph.D., seorang doktor dalam bidang psikologi yang telah menghasilkan beberapa karya buku dan beliau bekerja untuk badan investigasi federal Amerika Serikat atau yang kita kenal dengan singkatan FBI. ADA TUJUH TAHAP SPIRAL KEBENCIAN.
DI : Apa sajakah itu?
SK : Tahap pertama adalah PEMBENCI MENGELOMPOK, yaitu dimana sang pembenci umumnya akan mengajak orang-orang di sekitarnya untuk ikut-ikutan membenci. Semakin dia mengajak orang lain justru semakin memperkuat rasa bencinya dan semakin menutup jalan untuk dia bisa introspeksi kepada dirinya. Sebenarnya kalau dia bisa melakukan introspeksi dia bisa menyadari, "Iya ya, sebenarnya aku punya rasa tidak aman di dalam diriku sehingga aku membenci." Tapi karena dia memilih mengajak orang-orang lain untuk membenci dan membentuk kelompok pembenci, maka kesempatan introspeksi semakin menghilang dan semakin menurunkan tanggung jawab pribadinya terhadap rasa benci yang dimiliki karena dia merasa semakin tersamarkan. "Yang membenci itu bukan aku, lho. Ada 5 orang yang membenci jadi ini bukan masalah pribadi. Ini memang masalah kelompok, masalah banyak orang." Dia semakin merasa tidak bertanggung jawab terhadap perasaan bencinya.
DI : Umumnya memang orang yang membenci akan berusaha melibatkan orang lain untuk ikut membenci.
SK : Betul. Tahap yang kedua, KELOMPOK PEMBENCI MENEGUHKAN JATI DIRI. Kelompok pembenci membentuk jati diri lewat simbol-simbol, tata cara atau ritual, atau mitos-mitos atau kepercayaan yang memperkuat fakta bahwa ‘kami berbeda dengan yang lain’. Bersamaan dengan itu mereka meninggikan rasa keberhargaan diri dan kelompok serta merendahkan orang-orang yang menjadi sasaran kebencian.
DI : Apa contohnya, Pak Sindu?
SK : Kita bisa lihat contoh di tingkat dunia. Jerman pada masa Perang Dunia I dan II ada kelompok bernama NAZI Jerman dimana mereka sangat membenci orang-orang Yahudi. Apa yang dilakukan? NAZI berkumpul sebagai orang yang membenci orang Yahudi dan mereka menggunakan simbol swastika. Dengan simbol itu mereka memperkuat jati diri identitas kelompok mereka. Di Amerika Serikat juga ada kelompok Klu Klux Klan, yaitu kelompok kulit putih yang membenci kelompok kulit hitam. Mereka menggunakan simbol jari tertentu yang dimasukkan dengan cara tertentu ke saku celana mereka. Mereka ada salam jari tertentu. Mereka juga meneguhkan diri dengan model baju tertentu, gaya penampilan tertentu dan tata cara tertentu saat pertemuan kelompok. Inilah tahap kedua dimana kelompok pembenci meneguhkan jati diri mereka.
DI : Bagaimana dengan tahap ketiga?
SK : Yang ketiga, KELOMPOK PEMBENCI MERENDAHKAN SASARAN KEBENCIAN. Memang kebencian itu menjadi perekat yang mengikat antara sang pembenci satu dengan yang lain. Baik dengan ujaran kebencian yang disampaikan secara lisan, ejekan-ejekan yang merendahkan orang yang menjadi sasaran kebencian, maka para pembenci ini memerkuat gambar diri masing-masing dan status kelompok. Biasanya dalam kelompok pembenci ini mereka merendahkan orang yang menjadi sasaran kebencian lewat lirik-lirik lagu. Mereka mengarang lagu-lagu yang rasis atau lagu-lagu yang merendahkan dan menghina orang yang dibenci, mereka menulis brosur-brosur dan menyebarkannya untuk dibaca bersama-sama, menyediakan atmosfer yang kondusif bagi tumbuh suburnya kebencian. Di tahap yang ketiga ini sejalan dengan kebencian yang semakin disuburkan, perendahan terhadap orang-orang yang dibenci itu, muncullah aksi-aksi kekerasan dan agresifitas yang semakin meningkat. Semakin orang sering memikirkan rasa bencinya, rasa agresinya semakin muncul, maka semakin besar pula peluang munculnya tingkah laku atau tindakan-tindakan agresif. Dengan demikian setelah secara konstan menyebarkan fitnah dan ujaran kebencian, para pembenci bergerak maju ke tahap yang makin sengit yaitu di tahap keempat.
DI : Sangat berbahaya ya perilaku agresifitas itu. Bagaimana dengan tahap keempat, Pak Sindu?
SK : Di tahap keempat, KELOMPOK PEMBENCI MENGHINA SASARAN KEBENCIAN. Kebencian pada sifat alaminya berubah secara bertahap. Pada dasarnya waktu akan mendinginkan bara api kebencian sehingga akan memaksa sang pembenci ini untuk melihat ke dalam diri mereka. Tapi untuk menghindari introspeksi yang bisa memupuskan rasa kebencian ini, para pembenci lebih memilih menggunakan ucapan-ucapan, retorika-retorika, ujaran kebencian dan terus meningkatkannya untuk memertahankan tingkat kebencian yang tinggi.
DI : Mereka berusaha meningkatkan kebencian mereka ya.
SK : Ya. Mereka juga berusaha memunculkan gestur, posisi atau gerak tubuh yang menyerang dan menghina sasaran kebencian itu. Misalnya di tahapan ini orang-orang yang rasis biasanya akan menyampaikan teriakan penghinaan rasial dari mobil yang sedang melaju atau dari kejauhan. Misalnya di Amerika Serikat, karena membenci kelompok kulit hitam maka kelompok Klu Klux Klan ketika rombongannya melaju dengan mobil lalu melihat orang kulit hitam dengan sengaja mereka melaju pelan kemudian dari kejauhan mereka meneriaki dan menghina orang kulit hitam ini. Menyampaikan teriakan penghinaan dari kejauhan. Atau dalam konteks NAZI Jerman punya gerak hormat atau sinyal tangan tertentu yang disertai hinaan rasialis terhadap orang Yahudi. Muncul juga coretan di tembok-tembok atau graffiti penghinaan yang muncul di daerah-daerah kekuasaan mereka. Disini serangan-serangan kepada orang yang jadi sasaran kebencian ini tetap tinggi, penghinaan yang semula hanya diucapkan di dalam kelompok, sekarang di tahap keempat ini penghinaan sudah berani dilakukan secara terbuka di hadapan orang-orang yang menjadi sasaran kebencian.
DI : Tentu sampai tahapan ini orang yang mengungkapkan kebencian sungguh menyakitkan hati orang yang mereka hina.
SK : Iya dan itu menjadi semacam teror. Teror perasaan, rasa tercekam, rasa takut, karena biasanya mereka melakukannya dalam grup dan yang mereka serang sudah diperhitungkan tidak mungkin membalas – mungkin jumlahnya lebih sedikit atau tampilan posisinya terlihat bukan orang yang bisa membalas. Ini memberikan satu tekanan psikis, tekanan jiwa bagi orang-orang yang menjadi sasaran kebencian.
DI : Bagaimana dengan tahap yang kelima, Pak Sindu?
SK : Tahap yang kelima, KELOMPOK PEMBENCI MENYERANG SASARAN KEBENCIAN DENGAN TANPA SENJATA. Tahap ini tahap yang sangat menentukan dimana membedakan antara pembenci yang sebatas berujar kasar dengan pembenci yang bertindak kasar secara fisik. Dalam tahap ini, kelompok pembenci kian agresif dan intimidasi yang mereka lakukan kian intensif. Mereka berkeliaran di wilayah mereka dan mencari orang-orang sasaran kebencian yang mudah disakiti.
DI : Kekerasan ini menyatukan kelompok pembenci ya?
SK : Ya. Bahkan bukan hanya menyatukan kelompok pembenci, selanjutnya mereka pun memisahkan kelompok mereka dari masyarakat. Jadi, dengan tindakan kekerasan yang mereka lakukan disatukan antar anggota sekaligus mereka memisahkan diri dari masyarakat pada umumnya. Maka muncullah adrenalin yang terbangkitkan. Hormon adrenalin yang tinggi semakin meracuni jiwa kelompok pembenci ini. Dimana adrenalin gelombang awal berlangsung beberapa menit ketika mereka menyerang tanpa senjata tapi kemudian efek dari adrenalin ini menjaga mereka tetap siaga tinggi sampai beberapa hari. Maka dalam beberapa hari itu pemikiran dan tindakan yang memprovokasi kemarahan terus muncul bertubi-tubi, membangun di atas adrenalin yang tersisa tadi dan memicu tanggapan yang makin keras daripada awalnya. Kemarahan dibangun di atas kemarahan, semakin tinggi, semakin membesar, semakin memanaslah amarah kebencian dalam kelompok pembenci ini.
DI : Tentu orang yang hidup dalam kebencian ini betul-betul sangat subyektif dan tidak bisa berpikir dengan akal sehat ya.
SK : Ya. Mungkin mereka juga mulai mem-bullying. Mendorong badan orang yang dibenci sambil keroyokan, menendang, menjegal sambil menghina dan menertawakan. Inilah menyerang tanpa senjata. Ketika mereka melakukan aksi penghinaan dan kekerasan fisik, adrenalinnya bangkit. Cuma beberapa menit tapi dampaknya beberapa hari. Akhirnya membuat mereka ingin mengulangi tindakan kekerasan tanpa senjata ini, Pak Daniel.
DI : Karena mereka ingin memperoleh perasaan-perasaan itu ya, memicu adrenalin.
SK : Ya. Betul.
DI : Bagaimana dengan tahap yang keenam, Pak Sindu?
SK : Tahap yang keenam, KELOMPOK PEMBENCI MENYERANG SASARAN KEBENCIAN DENGAN SENJATA. Di tahapan ini serangan fisik kepada sasaran kebencian sudah mulai menggunakan benda-benda di sekitar mereka hingga senjata api. Bisa juga di tahap yang keenam ini kelompok pembenci melakukan sabotase-sabotase, menyerang kepentingan-kepentingan orang yang menjadi sasaran kebencian. Semua hal ini tujuannya sama yaitu menunjukkan dominasi, penguasaan kelompok pembenci terhadap orang-orang yang menjadi sasaran kebencian.
DI : Mereka sampai menggunakan senjata tentu sangat membahayakan nyawa, Pak Sindu.
SK : Betul. Mereka bisa menggunakan botol yang dipecah, tongkat kasti untuk memukul, menggunakan benda-benda tumpul, obeng, gesper atau sabuk yang bisa melukai. Dengan senjata-senjata begini mereka bisa berhadapan langsung dengan yang dibenci. Menjadi lebih dekat, dia bisa menunjukkan kedalaman kemarahannya kemudian ketika darah tercurah lewat aniaya yang mereka lakukan secara fisik dengan senjata membuat mereka tambah puas, kemarahan mereka terlampiaskan. Atau bisa juga mereka melepaskan senjata api dari kejauhan dan ini menghalangi kontak pribadi. Dengan cara inilah ujungnya ‘aku berkuasa atas orang-orang yang aku benci’.
DI : Pembunuhan sangat mudah terjadi di tahap ini ya.
SK : Betul. Bisa terjadi pembunuhan di tahap ini, Pak Daniel. Terlebih lagi di tahap tujuh, dimana KELOMPOK PEMBENCI MENGHANCURKAN SASARAN KEBENCIAN. Jadi, benar-benar kelompok pembenci ini berlaku merasa seperti Tuhan ‘Aku seperti Tuhan yang punya kuasa yang sangat besar, berkuasa atas hidup dan mati orang-orang yang kami benci’. Perasaan yang nyaris seperti Tuhan ini membuat mereka melakukan tindakan yang semakin brutal dan berujung pembunuhan, Pak Daniel. Ketika itu terjadi, datanglah rasa keberhargaan diri yang sebenarnya memang tidak dimiliki oleh para pembenci ini. Namun kebenarannya pada dasarnya bukan hanya orang-orang yang dibenci yang hancur di tahap ketujuh ini, para pembenci yang menghancurkan juga turut hancur secara psikologis karena kekerasan, kebrutalan mereka ini.
DI : Apa yang membuat para pembenci ini turut hancur, Pak Sindu?
SK : Dalam hal ini mungkin mereka menang secara fisik. "Yang kami benci itu mati, rumahnya kami bakar, keluarganya kami hilangkan." Tapi sebenarnya mereka juga hancur secara harkat martabat mereka. Maaf, mereka bukan lagi menjadi manusia yang mulia yang punya keluhuran budi tapi menjadi seperti seekor binatang, menjadi serigala bagi sesamanya. Mereka menang secara fisik tapi harkat, martabat, kehormatan dan kejiwaan mereka semakin terpuruk. Tidak ada lagi nurani, tidak ada lagi moralitas kebenaran, tidak ada lagi kepekaan hati. Pada dasarnya sang pembenci yang menghancurkan korban sasaran kebencian ini juga sama-sama hancur.
DI : Kita bisa lihat contohnya di dalam kelompok antar geng, antar kelompok pendukung kesebelasan sepakbola, bahkan suami dan istri pun bisa masuk di dalam kebencian ini ya.
SK : Betul.
DI : Kalau kita melihat penerapan praktis dari spiral kebencian ini bagaimana polanya?
SK : Model spiral kebencian ini juga bisa kita lihat sehari-hari di lingkungan kerja, misalnya. Misalnya kita membenci rekan kerja kita entah dengan alasan apapun kita jadikan dia sebagai sasaran kebencian kita, maka secara alami di tahap pertama kita akan mengajak orang-orang lain, "Kamu tidak suka ‘kan sama dia? Kamu ‘kan disakiti sama dia. Ayo, minum kopi sambil ngobrol pengalaman-pengalaman kita disakiti." Wow, kumpullah kelompok pembenci. Atau mungkin kita "ngipasi" orang lain, kita memengaruhi orang lain. Tahap yang kedua setelah terbentuk kelompok, kita butuh identitas. Pakai simbol-simbol, kedipan mata tertentu, alis yang terangkat sambil menunjuk-nunjuk dan anggukan-anggukan kepala, "Itu lho orangnya." Jadi, kita punya bahasa isyarat. Atau mungkin punya kode untuk mengucilkan rekan kerja yang kita benci itu. Misalnya dengan makan siang bersama, dengan sengaja tidak memberitahu adanya acara tertentu biar dia tidak hadir atau terlambat. Jadi, kita membuat tindakan merendahkan atau mengisolasi. Bahkan mungkin kita menciptakan sebuah nama untuk memerkuat identitas jati diri kelompok pembenci ini. Tahap ketiga, sang pembenci mulai meremehkan rekan kerja yang dibenci dalam kelompok. Tahap keempat, pembenci mulai secara terbuka menghina rekan kerja yang dibenci itu langsung atau tidak langsung mungkin lewat komentar, gurauan, ejekan yang sengaja diperdengarkan dari kejauhan supaya kedengaran oleh rekan yang kita benci. Tahap kelima, disini kita sudah melakukan aksi terror. Tiba-tiba di pagi hari rekan yang kita benci itu mendapati meja kerjanya acak-acakan, ternyata ada gambar-gambar tertentu, kata-kata hinaan di meja kerjanya. Tahap yang keenam, pembenci melakukan sabotase terhadap pekerjaan dari rekan kerja itu, entah bagaimana kerjaannya jadi gagal, laporannya hilang, presentasinya jadi tidak lancar. Sampai pada tahap ketujuh, pembenci membuat lingkungan kerja semakin tidak menerima orang yang dibenci itu bahkan kalau bisa dia dipecat dari lingkungan kerja. Jadi, spiral kebencian ini bisa kita alami dalam keseharian kita.
DI : Tentu spiral kebencian ini membawa kerugian yang besar baik kepada orang yang dibenci maupun kepada diri yang membenci, Pak Sindu. Bagaimana dengan firman Tuhan untuk menolong kita mengatasi kebencian ini?
SK : Saya bacakan dari Mazmur 1:1-3, "Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh. Tetapi yang kesukaannya ialah taurat Tuhan dan yang merenungkannya siang dan malam. Ia seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya, apa saja yang diperbuatnya berhasil." Firman Tuhan ini menandaskan bagi kita semua bahwa tidak ada keberhasilan di luar kebenaran Allah. Membenci, masuk dalam kelompok pembenci, mencemooh, menghina, merendahkan orang – maaf, kita akan seperti pohon di tempat yang kering kerontang. Hanya kalau kita hidup dalam kebenaran, kasih, pengampunan, dan kemurnian diri maka ada keberhasilan diri kita, keluarga kita, karier kita, pelayanan kita dan totalitas hidup kita. Maka mari tinggalkan kebencian. Kalau kita muncul rasa benci, tidak apa-apa. Dalam arti akui, "Tuhan, aku punya rasa benci." Buang sampah-sampah jiwa, pilihlah jalan mengampuni, ambil jarak yang aman. Kalau kita diajak untuk ikut membenci, tolaklah dengan baik, "Maaf, saya tidak mau bergabung. Saya memilih hidup dalam kebenaran, dalam kasih, pertanggungjawaban di hadapan Tuhan dan manusia." Itulah yang menjadikan kita menjadi garam dan terang di tengah banyak orang yang hanyut dalam spiral kebencian ini.
DI : Saya pikir pesan firman Tuhan untuk kita merenungkan firman siang dan malam ini sangat menolong kita mengatasi kebencian ini.
SK : Betul.
DI : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "SPIRAL KEBENCIAN". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.