Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santosa dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini akan kami beri judul "Sedia Belajar". Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, berbicara tentang belajar sebenarnya itu suatu sikap hidup atau pola hidup atau kemauan atau apa Pak Paul?
PG : Belajar sebetulnya mempunyai arti yang luas Pak Gunawan, namun bisa kita katakan belajar itu sendiri sebetulnya adalah penambahan pengetahuan. Jadi sesuatu yang belum kita ketahui kemudiankita ketahui setelah melewati proses yang kita sebut belajar.
GS : Jadi tidak harus di sekolah Pak?
PG : Tidak, jadi belajar itu bisa terjadi di mana pun.
GS : Dan sejak dini rupanya seseorang itu harus mulai belajar Pak.
PG : Betul, jadi sikap yang baik adalah sikap yang mau belajar, dan kali ini yang akan kita ungkit adalah untuk bisa hidup sehat kita perlu mempunyai kesediaan untuk belajar. Nah, otomatis yangsaya maksud di sini bukan belajar dalam lingkup akademik di sekolah, tapi belajar dalam pengalaman hidup, apa yang harus kita timba dari peristiwa-peristiwa yang kita hadapi, apa yang Tuhan ajarkan yang mesti kita lihat dan kita terima, hal-hal seperti itulah yang akan kita fokuskan Pak Gunawan.
GS : Kalau begitu pengertian sehat bukan hanya terbatas pada sehat secara fisik ya Pak?
PG : Betul sekali, sehat di sini adalah sehat secara jiwani, sehat secara rohani. Saya kira kalau kita bisa mengembangkan sikap bersedia belajar dalam hidup ini kita akan bisa mengarungi kehiduan ini dengan lebih baik.
Dibandingkan dengan orang yang tidak bersedia belajar dalam hidup ini, karena menganggap yang dia ketahui sudah paling benar dan tidak ada lagi tempat buat dia bertumbuh atau belajar dari orang lain. Itu sikap yang saya kira akan membenturkan dia dengan tembok-tembok kehidupan ini.
GS : Terus terang sebagian besar kita sebenarnya mau saja belajar Pak Paul, kadang-kadang timbul hasrat yang kuat untuk belajar. Tetapi faktanya dengan berjalannya waktu, itu cuma sekadar cita-cita saja, kok bisa begitu kenapa Pak?
(2) PG : Ada dua sifat dalam belajar yang perlu kita ketahui Pak Gunawan, dua sifat ini sebetulnya saling bertentangan nah inilah yang jarang kita perhatikan. Sifat pertama adalah belajar itu mngisi rasa ingin tahu kita, kita adalah makhluk rasional dan sebagai makhluk rasional ingin tahu hal-hal yang belum kita ketahui.
Belajar dalam pengetahuan ini memang memenuhi keingintahuan kita dan belajar dalam hal ini sesuai dengan kodrat kita, sesuai dengan sifat kita. Tapi belajar mempunyai suatu sisi yang lain, nah ini yang mesti kita pahami. Sisi yang lainnya adalah belajar itu sebetulnya menuntut perubahan pada diri kita, maka dikatakan bahwa belajar belum terjadi jika perubahan belum terjadi. Jadi sekali lagi saya ulang, belajar belum terjadi jikalau perubahan belum terjadi. Dengan kata lain tujuan belajar ialah perubahan, baik itu perubahan dalam pemikiran kita, perasaan kita atau dalam hal perilaku. Jadi misalnya gara-gara kita belajar, maka sekarang kita tahu bagaimana berelasi dengan orang dengan lebih santun misalnya atau gara-gara kita belajar kita tahu bahwa angin itu bergerak dari tekanan udara, gara-gara kita belajar kita tahu bahwa matahari itu sebetulnya adalah berdaya sangat besar sekali dan kita itu di bumi tempat yang kecil sekali. Nah jadi perubahan-perubahan itu menyangkut perubahan cara pandang juga menyangkut perubahan perilaku. Kenapa ini saya katakan, ini adalah sesuatu yang sukar karena begini Pak Gunawan, belajar menuntut perubahan dan perubahan adalah sesuatu yang tidak kita inginkan karena perubahan itu mempunyai satu tuntutan yaitu kita mengubah sesuatu yang telah kita tetapkan untuk diri kita, sesuatu yang kita telah terbiasa dan untuk mengubah itu biasanya tidak mudah.
GS : Tidak mudahnya itu sering kali menyakitkan kita Pak Paul, saya merasa sakit untuk berubah atau kita berpikiran, tidak apa-apa kenapa harus berubah.
PG : Tepat sekali, seorang kawan saya seorang ahli manajemen berkata: di dunia manajemen ada suatu motto yaitu sukses adalah guru yang buruk. Dalam pengertian, kita cenderung bersandar pada sukes di masa lampau dan menganggap karena saya sukses dengan cara itu di masa lampau, maka sekarang saya bisa menggunakan cara yang sama dan di kemudian hari pasti berhasil.
Maka kesuksesan itu bisa menjebak kita, karena cara kita yang dulu belum tentu cocok untuk sekarang atau pun nanti. Maka saya kira kalau kita terbiasa dengan diri kita dan kita anggap ini sesuatu yang sangat-sangat baik untuk kita meskipun dampaknya juga baik, kita lebih susah untuk berubah. Nah, salah satu hal kenapa berubah itu susah Pak Gunawan, karena berubah menuntut kita untuk mengakui bahwa cara kita yang dulu itu kurang efektif, kurang tepat, kurang pas, kurang baik alias kita mesti memperbaikinya. Nah, kita adalah makhluk yang tidak senang dipersalahkan, kita tidak senang mengakui bahwa cara kita itu keliru kita ingin membenarkan diri, itulah yang kita warisi dari Adam dan Hawa. Sejak pertama Adam dan Hawa sudah berkelit dari tanggung jawab mereka, Adam kepada Hawa, Hawa kepada ular. Jadi kita memang makhluk yang ingin benar, karena kita ingin benar jadi perubahan menjadi sesuatu yang sulit kita lakukan.
(3) GS : Nah, apakah ada suatu pola atau cara supaya kita bisa atau mau dengan sungguh-sungguh berubah Pak Paul?
PG : Ada beberapa hal Pak Gunawan, untuk memudahkan terjadinya proses belajar dalam pengertian kita berani berubah. Yang pertama adalah lingkungan di mana kita belajar mesti kondusif, dalam penertian lingkungan itu mengembalikan tanggung jawab belajar pada si individu.
Kadang kala dalam suasana belajar yang kita jalani, kita tidak mempunyai kebebasan, karena kita tidak mempunyai kebebasan, maka kita cenderung mengikuti apa yang telah digariskan. Mengikuti apa yang telah digariskan sebetulnya bukan belajar, itu hanyalah tranfer informasi dari satu orang kepada orang yang lainnya. Sedangkan tujuan belajar itu sendiri tidak tercapai, prosesnya memang terjalin yaitu proses penambahan ilmu atau pengetahuan. Tapi tujuan akhir belajar yaitu perubahan tidak terjadi, karena apa, seseorang tidak diberikan kebebasan untuk berpikir, untuk bertanya. Saya berikan contoh Pak Gunawan yaitu tentang Ayub dan ini sebetulnya juga dialami oleh para hamba Tuhan yang lainnya yang kita tahu di Alkitab. Tuhan memberikan kesempatan kepada Ayub untuk bertanya kenapa kemalangan menimpa saya, apa salah saya, berapa besar dosa saya, itu semua adalah kata-kata Ayub kepada Tuhan. Jadi kalau kita diberikan kesempatan untuk berpikir, untuk bertanya, belajar menjadi tanggung jawab kita. Kalau kita tidak diberikan kesempatan untuk berpikir atau pun bertanya, kita tidak lagi belajar sebab tanggung jawab belajar itu tidak ada pada diri kita yaitu tanggung jawab belajar ada pada si pendidiknya itu sendiri. Jadi penting sekali kita mengalihkan tanggung jawab itu kepada si anak didik bahwa ini yang engkau harus cari atau engkau temukan. Dan saya kira ini yang penting supaya kita bisa belajar dengan wajar, sehingga kita lebih mudah berubah. Saya berikan contoh yang lain yang sering kali terjadi Pak Gunawan, yaitu banyak anak-anak yang susah dewasa karena keputusan-keputusan sudah diambilkan oleh orang tuanya, sudah digariskan oleh orang tuanya. Hidup itu benar-benar tidak lagi mempunyai tuntutan untuk memilih, untuk berpikir, untuk memutuskan karena hidup itu sudah ditetapkan oleh orang tua. Nah, si anak tidak bisa berubah atau susah sekali untuk berubah karena apa? Dia tidak pernah memikul tanggung jawab itu untuk belajar. Jadi sekali lagi untuk bisa kita menciptakan suasana belajar, kita perlu menciptakan situasi yang bebas sehingga orang bisa merdeka untuk berpikir dan untuk bertanya.
GS : Kadang-kadang waktu dan kesempatan itu sebenarnya ada Pak Paul, hanya kita juga punya kecenderungan untuk mengambil jalan pintasnya supaya cepat. Seperti tadi Pak Paul katakan, anak itu tadinya kita beri kesempatan tapi lama sekali memutuskan. Lalu kita sebagai orang tua atau anak pun juga berkata mengambil jalan pintas, terserah papa atau sebaliknya kita sebagai orang tua mengikuti saya sajalah pasti betul. Itu 'kan jalan pintas Pak Paul?
PG : Betul, jalan pintas itu memang memberikan kita solusi, tapi kita lupa bahwa solusi itu sementara bukan permanen. Yang lebih baik adalah melimpahkan tanggung jawab itu pada si anak. Nah, in bisa kita terapkan dalam segala relasi sebetulnya.
Tanggung jawab itu diberikan kembali kepada orang-orangnya, sehingga terjadilah perubahan yang diinginkan. Salah satu contoh yang saya juga sering lihat pada perusahaan-perusahaan yang besar, yang profesional yang dilakukan adalah saham dijual kepada para karyawan sehingga mereka tidak lagi menjadi karyawan meskipun status tetap karyawan, tapi mereka adalah pemilik karena mereka adalah pemegang saham. Dengan kata lain ini bukan perusahaan engkau, ini perusahaan kita bersama. Nah waktu seseorang menyadari ini adalah perusahaan kita bersama, maka dia akan lebih termotivasi berubah artinya memberikan semaksimal mungkin. Jadi dalam segala hal ini kita bisa terapkan, contoh yang lebih klasik adalah di gereja, kadang-kadang kita tidak begitu nyaman dengan perdebatan atau pertanyaan, kita kadang-kadang cenderung untuk menggariskan dengan kaku inilah jalurnya, di luar jalur ini berarti engkau sesat, di luar jalur ini berarti engkau memberontak kepada Tuhan dan sebagainya. Nah, orang-orang itu tidak akan belajar, tidak akan melakukan perubahan-perubahan yang diminta oleh Tuhan juga karena memang tidak pernah mempunyai tanggung jawab untuk itu.
GS : Selain itu Pak Paul, selain hal yang tadi kita katakan bahwa lingkungan itu harus mendukung itu 'kan di luar diri kita. Apakah ada sesuatu yang harus terjadi di dalam diri kita sendiri kalau kita mau belajar?
PG : Saya kira kalau kita sendiri mau belajar memang harus ada kesadaran bahwa kita perlu dan harus berubah. Jadi dalam diri sendiri memang harus ada kesadaran itu Pak Gunawan. Kalau kita sudahmempunyai sikap saya tak perlu dan saya tidak usah berubah atau belajar, tidak mungkin kita belajar maka dapat dikatakan bahwa orang yang belajar orang yang rendah hati.
Kadang-kadang ini yang kita temukan juga Pak Gunawan, ada orang seolah-olah belajar, tapi sesungguhnya dia hanyalah mengumpulkan data untuk mengkonfermasikan pendiriannya. Dia tidak bersedia belajar hal yang berlawanan dengan pendiriannya atau keyakinannya, dia selalu hanya mengumpulkan informasi-informasi yang hanya mendukung keyakinannya itu. Nah, orang ini hanya akan berkembang secara sempit, tapi tidak akan luas. Orang yang luas adalah orang yang bersedia belajar dari segala pihak. Kalau saya terapkan dalam konteks keluarga misalnya, bukankah kalau kita sudah mengembangkan praduga atau konsep bahwa pasangan kita ini orangnya tidak sensitif misalnya kita cenderung mencari data-data tambahan untuk mengkonfermasi bahwa dia orangnya tidak sensitif. Dengan kata lain hal-hal lain yang bisa mendukung bahwa dia itu sebetulnya bisa baik, bisa sensitif itu cenderung kita sampaikan, yang kita fokuskan adalah dia ini orangnya kurang sensitif. Data-data yang mendukung itulah yang kita lebih perhatikan.
GS : Yang saya alami Pak Paul, kalau saya memang membutuhkan sesuatu, semangat saya untuk berubah itu besar, saya mau belajar, ingin tahunya itu lebih besar. Tapi kalau sesuatu yang diajarkan atau sesuatu yang terjadi di lingkungan kita itu tidak terlalu saya butuhkan untuk diri saya, mungkin orang lain membutuhkan tapi saya tidak. Saya tidak bersemangat, atau memang begitu?
PG : Ya Pak Gunawan, jadi belajar itu berkaitan dengan kebutuhan kita, yang tadi Pak Gunawan sudah singgung. Kalau memang kita mempunyai kebutuhan untuk hal tersebut kita lebih terbuka untuk mepelajarinya, kalau kita tidak merasakan kebutuhan itu kita tidak terbuka untuk belajar.
Ini yang terjadi dalam gereja juga Pak Gunawan yaitu saya kira hampir semua gembala sidang atau hamba Tuhan berharap bahwa jemaat itu bertumbuh, bertumbuh dalam pengetahuannya akan Tuhan, cintanya akan Tuhan dan sebagainya. Nah, bagaimana membuat jemaat itu bertumbuh dalam pengetahuannya akan Tuhan, cintanya akan Tuhan kadang-kadang sulit, sulitnya adalah sebab ada orang-orang yang tidak merasakan hal tersebut sebagai kebutuhannya. Dia tidak merasa dia harus bertumbuh dalam pengetahuan akan Tuhan, yang dia tahu cukup. Ada orang yang berkata saya tahu isi Alkitab depan sampai belakang, yang dia maksud adalah dia tahu cerita-cerita yang umum yang tercatat di dalam Alkitab itu sebetulnya yang dia maksud, tapi saya yakin dia tidak tahu Alkitab dengan mendetail, belum tentu sebetulnya. Atau cinta kepada Tuhan, banyak orang beranggapan yang penting saya hidup baik cukuplah, apa gunanya cinta kepada Tuhan, tidak merasakan kebutuhan itu maka untuk seseorang mencintai Tuhan, bergumul akan pengetahuannya akan Tuhan dia mesti melihat akan kebutuhan itu dulu, baru dia akan bertindak ke sana.
GS : Jadi memang masalahnya buat saya di situ Pak Paul, bagaimana menumbuhkan rasa kebutuhan di dalam diri saya. Kadang-kadang membutuhkan stimuler dari orang lain yang menunjukkan kamu butuh ini, baru saya tersadar o.....ya saya butuh ini, baru begitu Pak Paul.
PG : Nah, ini kita masuk ke hal yang berikutnya Pak Gunawan, yaitu selain kebutuhan ada satu faktor yang juga bisa menstimulasi kita untuk belajar, yakni kita bukannya digerakkan oleh kebutuhantapi digerakkan oleh inspirasi.
Untuk kita berubah kita mesti melihat yang mendidik kita atau yang mengajar kita itu telah memberikan contoh hidup. Nah, contoh hidup yang langsung itu bisa menjadi inspirasi buat kita. Misalnya saya kira ibu Theresa atau mendiang ibu Theresa tidak akan sukses pergi ke mana-mana untuk mengajak orang-orang terlibat pelayanan terhadap kaum papa dan kaum miskin di India, kalau dia sendiri tidak terlibat di situ. Jadi seorang ibu Theresalah yang baru bisa mendorong orang-orang untuk terlibat dalam pelayanan kaum miskin. Kalau dia hidup dalam kekayaan, tidak pernah bersentuhan dengan orang miskin kemudian terus mendorong orang-orang terlibat dalam pelayanan seperti itu, tidak akan berhasil. Jadi diperlukan contoh, contoh di mana orang itu bisa menjadi inspirasi bagi yang lainnya, inspirasi seperti itulah yang akan membakar orang untuk bertindak sesuai dengan si pengajar itu.
GS : Dalam hal ini saya pikir Tuhan Yesus itu menjadi inspirator kita yang terbesar Pak ya?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, nah ini yang akan saya kutib Pak Gunawan sebagai akhir dari apa yang kita bahas ini. Firman Tuhan di Filipi 2 :6-10, "Kristus Yesus yang walaupu dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah Bapa!" Tuhan harus menjadi manusia Pak Gunawan, ini adalah doktrin kristiani yang sangat pokok sekali. Pertanyaannya kenapa Tuhan harus menjadi manusia, sebab Tuhan mengajarkan kepada kita untuk menyangkal diri dan memikul salib kalau hendak mengikut Dia. Menyangkal diri artinya mengatakan kepada diri bahwa yang kita minta, yang kita inginkan, yang kita anggap baik dan penting kita kesampingkan demi Tuhan. Memikul salib artinya bersedia menderita waktu kita mengikut Tuhan. Nah, Tuhan sukar sekali meyakinkan kita untuk menyangkal diri dan memikul salib kalau Tuhan tetap di Surga yang penuh dengan kemuliaan, tapi waktu Dia mengatakan: "Barangsiapa hendak mengikut Aku, hendaklah dia menyangkal dirinya dan memikul salibnya." Dia mengatakan itu bukan di Surga, Dia mengatakan itu sebagai seorang manusia dan akhirnya Tuhan mencontohkan langsung, Dia sendiri menyangkal diri. Bahkan dikatakan di Alkitab Dia menganggap bahwa kesetaraan dengan Allah bukan sesuatu yang harus dipertahankan, Dia kesampingkan, Dia berani meninggalkan Surga yang begitu mulia. Menjadi seorang manusia, menjadi seorang hamba bahkan akhirnya Dia mati di kayu salib. Jadi Dia memberikan contoh langsung bahwa Dia sebagai Allah menyangkal diriNya dan dia memikul salibNya, ini menjadi inspirasi bagi kita. Maka kita waktu belajar tidak memperoleh pengetahuan secara intelektual, tapi kita melihat kehidupan langsung Allah menjadi manusia mati buat kita, menderita buat kita, nah kita pun akhirnya terdorong mau berbuat yang sama buat Tuhan.
GS : Apakah itu mempunyai dampak langsung terhadap para rasul itu Pak?
PG : Ya Pak Gunawan, dan pada banyak orang lainnya juga, contohnya para murid, kita tahu mereka itu bukanlah orang-orang yang pemberani, sama dengan kita para murid Tuhan itu penakut. Tahunya dri mana, sebelum Tuhan disalibkan mereka berkata mereka bersedia mati dengan Tuhan, tatkala Tuhan ditangkap di taman Getsemani mereka lari kocar-kacir.
Saya kira itulah, kita juga dalam keadaan tenang dan tenteram kita berani, tapi dalam keadaan krisis di mana bahaya mengancam, nyawa kita mungkin harus kita pertaruhkan, tetapi apa yang terjadi dengan para murid ini setelah Tuhan naik ke Surga kecuali satu Yohanes, semua mati sahid. Dan dicatat dalam tradisi-tradisi adalah tulisan-tulisan yang di luar Alkitab, contoh tentang Petrus yaitu waktu dia hendak disalib oleh raja Nero, dia menolak untuk disalib berdiri, dia berkata : "Saya tidak layak disalib berdiri seperti Tuhanku dan dia minta disalib terbalik kepalanya di bawah, kakinya di atas. Untuk apa, untuk menunjukkan dia adalah hamba dia tidak layak mati seperti Tuhan. Nah, ini yang kita lihat Petrus telah belajar, tapi tidak mungkin Petrus belajar seperti ini kalau Tuhan di Surga dan menyuruh dia berkorban seperti itu. Dia melihat Tuhannya mati di salib dan itulah menjadi inspirasi dia belajar.
GS : Memang kita sejak kecil terbiasa belajar dengan melihat, itu jauh lebih gampang Pak Paul daripada cuma dengar kata-kata.
PG : Betul, kita melihat sehingga kita lebih tahu, lebih jelas dan kita tahu ini bisa dilakukan, namun yang penting juga adalah inspirasi itu. Maka siapa yang hendak menjadi pendidik harus menjdi pelaku dari ajarannya itu, maka firman Tuhan berkata juga, kalau orang hanya mendengarkan tidak melakukan dia seperti orang yang bercermin kemudian dia tinggalkan cerminnya dia lupa wajahnya bagaimana.
Harus menjadi pelaku firman, jadi itu yang Tuhan inginkan dari kita pula. Maka sebagai catatan saja Pak Gunawan, saya bisa katakan: kita sedikit banyak bisa menilai gereja ini seperti apa, jemaatnya seperti apa dari hamba Tuhannya. Sebab saya melihat kalau hamba Tuhannya hidup benar, sungguh-sungguh kudus di hadapan Tuhan jemaatnya akan ikut, kalau hamba Tuhannya tidak pusing dengan Tuhan, hidup sembarangan jemaatnya ikut-ikutan. Jadi benar-benar kita melihat gembala seperti apa, dombanya seperti apa. Jadi gembala akan percuma, akan kesusahan juga mengajarkan kebenaran Tuhan kalau dia sendiri tidak hidup seperti itu. Nah, kita semua juga adalah gembala-gembala, dalam pengertian kita menjadi saksi Tuhan di dunia ini, maka pengajaran kita, kesaksian kita hanya akan jelas dan dilihat orang kalau memang hidup kita sesuai, barulah orang akan belajar dari kita.
GS : Terutama di dalam rumah sendiri Pak Paul, di mana anak-anak kita itu melihat kita sehari-hari jadi untuk mendorong mereka belajar saya pikir bukan cuma menciptakan kondisi yang kondisif di rumah, tapi juga mereka butuh keteladanan kita sebagai orang tua. Jadi terima kasih sekali Pak Paul ini suatu perbincangan yang pasti menarik dan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan para pendengar yang setia kami mengucapkan banyak terima kasih bahwa Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sedia Belajar" sebagai suatu sikap hidup yang sehat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda dapat juga menggunakan fasilitas e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara yang akan datang.