Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. kali ini akan berbincang-bincang dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dan beliau adalah pakar di bidang konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat yaitu tentang "Rasa Malu dan Rendah Diri" dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Heman, terima kasih untuk kehadirannya di tengah-tengah kami dalam perbincangan ini karena dalam kesempatan ini Pak Paul Gunadi rupanya ada kesibukan atau kesehatannya kurang baik, kami senang sekali Pak Heman bersama kami pada saat ini. Kita akan memperbincangkan tentang rasa malu, sebenarnya apa yang disebut rasa malu itu?
HE : Rasa malu bisa digambarkan seperti ini, semacam perasaan tidak nyaman. Biasanya berkaitan dengan membuka diri kepada orang lain, jadi rasa malu timbul seolah-olah kita ini sedang disoroi dan seolah-olah dinilai rendah oleh orang lain dan karena itu kita cenderung menarik atau menutup diri.
GS : Apakah bisa dibedakan dengan rasa takut?
HE : Ya, ada bedanya, kalau rasa takut berarti kita melarikan diri karena takut pada sesuatu, kita ingin menghindari sesuatu. Tetapi rasa malu biasanya lebih banyak terjadi di dalam relasi ssial.
Lebih terjadi dalam kaitan bagaimana saya dilihat oleh orang lain.
(2) GS : Tadi Pak Heman mengatakan tentang rendah diri, bagaimana tanda-tanda atau gejala-gejalanya?
HE : Disebut rendah diri kalau kita merasa kurang berharga, dibandingkan dengan orang lain kita kelihatannya kalah terus dan sebagainya, itu kita katakan bahwa kita sedang menderita rasa renah diri.
ET : Tapi antara rasa malu dengan rendah diri ini kadang-kadang susah dibedakan Pak Heman, karena tadi ada kata seolah-olah walaupun belum berarti orang sedang menyoroti. Tapi kalau orang yang rendah diri bukankah mempunyai pikiran begitu juga ya?
HE : Ya di sinilah adanya keterkaitan antara rasa rendah diri dengan rasa malu. Kalau ditelusuri cukup banyak orang yang merasa malu, latar belakangnya adalah karena dia merasa rendah diri. adi seolah-olah dia merasa dipandang rendah oleh orang lain atau dia merasa dirinya rendah dibandingkan dengan orang lain.
ET : Mungkin atau tidak, orang pemalu tetapi sesungguhnya tidak rendah diri?
HE : Ya ada, itu berkaitan dengan perasaan yang lain. Sebetulnya rasa malu juga sebagian didasari oleh sifat dasar kita, jadi ada orang yang lebih peka, lebih mudah untuk merasa malu. Tetapiada juga yang didasari oleh rasa bersalah, nah di sini memang yang saya lihat lebih banyak didominasi oleh rasa rendah diri.
GS : Tapi pada tahap-tahap tertentu Pak Heman, rasa malu juga penting bagi seseorang. Bayangkan seseorang tidak mempunyai rasa malu di tengah-tengah masyarakat, ini akan menjadi apa?
HE : Betul, betul, Pak Gunawan, memang rasa malu penting bagi kita. Kita perlu memiliki rasa malu untuk mengendalikan diri kita terutama kaitannya dengan etiket, pergaulan dan sopan santun dn juga rasa malu untuk berdosa itu perlu kita miliki.
Jadi seperti Alkitab juga mengatakan bahwa ada seorang perempuan yang tidak baik yang memegang remaja kemudian menciumnya tanpa rasa malu, misalnya di
Amsal 7:13 itu menggambarkan wanita yang tidak baik. Jadi orang yang seperti itu dikatakan orang yang tidak tahu malu, jadi di sini memang rasa malu perlu juga untuk mengendalikan tingkah laku kita.
ET : Jadi seolah-olah di dalam tahap tertentu itu diperlukan, tetapi kalau kebablasan tidak punya malu juga salah, terlalu pemalu juga menyiksa, itu Pak Heman ya..?
HE : Tepat sekali Ibu Esther.
GS : Tersiksanya bagaimana Pak, seseorang yang memiliki rasa malu karena rendah diri.
HE : Tersiksa, di dalam arti dia menjadi tidak berani untuk bertemu dengan orang lain, lebih cenderung menarik diri, tidak merasa nyaman kalau bersama-sama dengan orang lain, Nah, itu nanti kibatnya juga banyak dirasakan terutama di dalam pergaulan.
GS : Berarti penyebab utamanya rasa rendah diri itu sendiri, Pak.
(3) GS : Kalau begitu bagaimana orang ini bisa mengatasi rasa rendah dirinya?
HE : Tentang rasa rendah diri prinsipnya adalah bagaimana kita perlu mengubah diri kita supaya kita lebih bisa menghargai diri kita sendiri. Nah itu memang tidak mudah, prinsipnya adalah seprti itu.
ET : Banyak yang tadi Pak Heman sempat singgung soal pergaulan. Seringkali kita menemukan orang-orang yang cenderung menyendiri terus, bukannya tidak bisa, tapi tidak berani untuk memulai. Jdi mungkin kalau situasinya memang sudah cukup enak bisa sebenarnya untuk bergaul, cuma untuk memulainya itu Pak Heman yang rasanya menjadi penghambat untuk seseorang dalam bergaul, jadi bukannya dia tidak bisa tetapi memulainya itu yang sulit.
HE : Betul, nah ini analisa yang baik Bu Esther. Mungkin dapat dijelaskan seperti ini, rasa rendah diri kemudian ada rasa malu yang diakibatkannya. Nah rasa malu akan sedikit demi sedikit mecair kalau orang itu merasa lebih aman, merasa lebih diterima dan merasa orang lain sebetulnya tidak memandang rendah dirinya.
Jadi perlu waktu untuk orang ini mengurangi rasa malunya atau rasa takutnya untuk tidak dipandang rendah oleh orang lain.
ET : Waktunya itu yang kadang-kadang sulit dipahami, rasanya kita sudah men-cap kamu ini terlalu malu, ayo bergaul, seperti dipaksakan begitu. Sebenarnya ini tidak membuat dia lebih baik ya,harus dalam sekejap mengubah rasa malunya.
GS : Rasanya memang sulit seseorang itu dalam sekejap mengubah rasa malunya menjadi pemberani, tetapi memang lingkungan itu yang harus mendukung dia untuk berani tampil sesuai dengan dirinya sendiri, Pak Heman?
HE : Justru lingkungan yang seringkali menciptakan rasa malu secara berlebihan, lingkungan juga yang menyebabkan atau asal mulanya seseorang kurang bisa menghargai dirinya sendiri atau meras rendah diri.
Dan lingkungan berperan besar untuk seseorang mulai mengurangi rasa malunya.
GS : Nah orang yang mempunyai sifat pemalu seperti ini, apakah bisa dikenali sedini mungkin. Artinya waktu masih kecil sudah kelihatan atau apakah waktu dewasa menjadi rendah diri atau bagaimana ?
HE : Bisa beberapa macam, bisa dari kecil memang orang ini lebih sensitif, bisa juga sebetulnya dia cenderung tidak begitu peduli dengan dirinya sendiri. Tetapi karena dia terus-menerus dipemalukan, sengaja dipandang rendah, entah itu dalam bentuk hukuman dan sebagainya, lama-lama dia belajar merasa bahwa saya ini orang yang tidak berharga jadi dia malu waktu bertemu dengan orang lain.
Jadi ada 2 macam, memang ada yang dari kecil sudah sensitif. Hanya saja kalau dari kecil lebih sensitif terhadap rasa malu, itu bisa diperbaiki kalau lingkungan banyak mendukung, banyak memberikan penghargaan kepadanya, sehingga dia tampil lebih percaya diri.
ET : Namun kadang-kadang ada peristiwa-peristiwa tertentu yang bisa membuat seseorang rasanya menjadi malu sekali, misalnya anak yang tidak naik kelas, dia mungkin dulunya pemberani sekarang menjadi enggan bertemu dengan teman-temannya atau juga orang-orang yang mungkin berada di tempat yang rasanya semua pintar-pintar, dan saya tidak mempunyai keahlian apa-apa, kalau seperti itu bagaimana, Pak Heman?
HE : Kalau kita sebagai orang dewasa atau orang tua mempunyai anak seperti ini, maka kita harus mencoba menerima anak ini, dan berusaha mengenali apa kelebihan anak ini dibandingkan anak-ana lain.
Jadi biasanya meskipun seseorang tidak terlalu pandai di sekolah misalnya pasti dia mempunyai satu keterampilan, suatu bakat yang bisa dilatih atau sesuatu yang bisa menjadi spesialisasi dia, dia lebih dari orang lain dalam hal itu. Nah, hal ini yang bisa dilatih supaya dia mempunyai suatu pegangan tertentu. Saya berikan contoh, misalnya ada orang yang mungkin berbakat dalam hal musik, nah mungkin dia dengan berlatih musik dia melebihi orang-orang lain, dia bisa mempunyai satu pegangan atau penghargaan terhadap diri sendiri dan sebagainya.
GS : Berarti orang yang pemalu ini perlu mengubah sikap terhadap dirinya sendiri begitu Pak?
GS : Hanya kita di lingkungan ini berperan membantu bagaimana dia segera menemukan dirinya untuk keluar dari siksaan menjadi pemalu itu Pak?
GS : Tetapi masalahnya bagaimana kalau kekurangan itu melekat dalam dirinya, misalnya cacat fisik dan sebagainya, nah itu bagaimana mengatasinya ?
HE : Memang agak sulit, kalau misalnya kita hidup di dalam lingkungan yang mau tidak mau memandang rendah seseorang karena cacat fisik atau cacat lainnya. Tetapi dari kekurangan ini kita tetp harus berusaha untuk belajar mengenal diri, dalam hal ini kita harus percaya bahwa kita ini dikasihi oleh Allah, kita dipilih oleh Allah dan kita yang percaya itu ditebus oleh Allah dan Allah tidak memandang muka, Allah tidak membeda-bedakan.
Cacat atau tidak cacat, semua kita berharga di mata Allah. Nah dengan keyakinan seperti ini seseorang akan mulai keluar dari dirinya sendiri. Kita bisa mengambil banyak contoh di mana orang yang cacat tetapi menjadi sangat terkenal, bukan saja terkenal, tapi bermanfaat bagi orang lain. Banyak membantu orang lain justru karena dia cacat. Saya kira penekanannya bukan pada fisik tetapi pada sifat-sifat baik, selain juga spesialisasi keterampilan yang saya jelaskan tadi.
ET : Tetapi kadang-kadang ada orang-orang yang sepertinya terbalik, ada orang yang cacat tapi bisa begitu percaya diri karena mengenali kemampuan-kemampuan dirinya, sebaliknya ada orang yangsebenarnya secara fisik normal dan juga lingkungannya mendukung, tetapi tetap saja seperti itu.
Mungkin memang cara berpikirnya itu sudah menganggap dirinya orang yang gagal, orang yang nasibnya jelek, yang tidak pernah bisa berhasil. Jadi kalau seperti ini, mungkin lingkungan memberikan dorongan seperti apapun tidak akan terlalu menolong karena ia memiliki cara berpikir yang sepertinya merusakkan dirinya sendiri.
HE : Ya ini pertanyaan yang baik sekali tentang cara berpikir. Setiap kita memang suka berbicara dengan diri sendiri dalam bentuk memikirkan tentang diri sendiri. Ya kita bisa membantu diri ita untuk keluar dari rasa rendah diri dan yang berakibat rasa malu ini.
Tepat sekali tadi dikatakan tentang cara berpikir yang kadang-kadang mengakibatkan kita merasa rendah diri atau rasa malu. Biasanya cara-cara berpikir begini cara berpikir yang mengevaluasi diri secara negatif.
GS : Dan itu harus diubah ya Pak Heman (HE : Ya betul) merubahnya itu seperti apa Pak? Dia harus dirubah seperti bagaimana?
HE : Coba kita melihat dahulu cara berpikir yang umumnya menyebabkan rasa rendah diri atau rasa malu. Cara berpikir orang yang merasa malu kadang-kadang membesarkan hal yang negatif dari dirnya.
Jadi sebetulnya, bagi orang lain kecil tetapi bagi dia itu besar sekali, dan sebaliknya mengecilkan hal-hal yang sebetulnya bagi dia merupakan hal yang baik atau hal yang positif. Saya berikan contoh, ada orang kalau berbicara selalu menutup hidungnya, lalu mengatakan bahwa, "ya habis hidung saya besar", nah ini dia malu terhadap hidungnya yang besar. Padahal bagi orang lain meskipun hidungnya agak besar tapi cukup harmonis di wajahnya. Nah, ini terlalu membesarkan sesuatu yang negatif dan ini mengalahkan diri sendiri atau mengecilkan diri sendiri. Kemudian kalau misalnya saya mempunyai sesuatu yang membanggakan, suatu prestasi kemudian orang lain memuji, cenderung saya yang pemalu ini akan mengatakan: "Ah.... seperti itu saja dipuji, bukankah saya tidak mempunyai apa-apa yang patut dibanggakan." Nah cara-cara berpikir seperti ini yang menyebabkan saya merasa malu. Atau misalnya berpikir yang ekstrim, kalau saya tidak bisa segala-galanya atau meraih semuanya, ya saya bukan apa-apa. Misalnya saja saya sekali waktu gagal untuk hal tertentu, baru gagal sekali kemudian saya mengatakan: "Ya.....saya orang yang gagal, saya tidak mungkin berhasil ya sudah saya tidak usah tampil," dan sebagainya.
ET : Sudah meramal nasibnya sendiri ya Pak?
GS : Tetapi ada faktor kebiasaan keluarga dan adat istiadat setempat yang kadang-kadang memang membuat seseorang seperti itu, kalau secara jujur dia mengakui kelebihannya nanti dikatakan sombong, sehingga dia terbiasa ah...itu bukan apa-apa dan sebagainya walaupun pada dasarnya dia senang dengan pujian itu.
HE : Ini tepat sekali, Pak Gunawan, jadi tadi saya juga sempat menyinggung bahwa lingkungan ini penting dalam seseorang mengevaluasi diri. Dalam hal demikian seseorang harus mengubah cara bepikirnya untuk lebih nyaman terhadap dirinya sendiri, untuk menerima kekurangannya maupun kelebihannya.
(4) GS : Bagi sebagian orang memang agak kacau, pemikiran antara rendah diri dan rendah hati. Dia sendiri agak bingung sebenarnya yang mana yang harus dijalani Pak?
HE : Perbedaannya antara rendah diri dengan rendah hati saya kira di dalam hal seperti ini, orang yang rendah diri selalu tidak nyaman menerima kelebihan dirinya dan selalu membesarkan hal yng negatif dari dirinya.
Nah ini terbalik dengan orang yang rendah hati, orang yang rendah hati cukup merasa nyaman meskipun dia tidak berusaha menonjol-nonjolkan kelebihan dirinya, tapi kalau dipuji orang ya terima kasih tanpa berusaha membangga-banggakan kelebihan dirinya dan merendahkan orang lain, ini orang yang rendah hati.
GS : Secara fisik Pak, saya pernah mempunyai teman sampai sekarang masih teman baik, karena dia pemalu, kalau dia merasa malu itu nampak sekali jadi merah padam karena kulitnya putih. Dan itu menjadi bahan tertawaan atau olok-olokan buat kita semua, nah ini mulai merah mukanya lalu malah dia malu, itu bagaimana Pak..?
HE : Ya kalau hal itu memang agak sulit, tapi saya kira kalau misalnya seseorang menerima olok-olokan dan dia tidak merasa bahwa dirinya itu diserang atau direndahkan dan tetap berpikir bahw itu hanya bergurau saja, maka orang akan lebih bisa mengatasi rasa malunya.
GS : Padahal sebenarnya sudah akrab, sudah puluhan tahun berteman, tapi ya tetap dia tidak bisa mengatasi masalah ini, sulit mengatasinya.
ET : Mungkin masalahnya pada warna kulitnya ya, terlalu putih jadi begitu malu langsung kelihatan merah.
GS : Langsung kelihatan Bu Esther, tapi memang kelihatan juga kalau diminta untuk bercerita atau apa kalau sudah mulai malu, berkata-kata pun menjadi sulit, Pak. Seolah-olah kehilangan kata-kata.
HE : Ada orang yang memang sudah sedemikian mendarah daging akan kebiasaannya. Memang bagi orang-orang tertentu tidak terlalu mudah, dibutuhkan waktu dan usaha terus-menerus untuk bisa menghrgai diri sendiri.
Biasanya kalau dihina orang kita mestinya masih bisa lebih tahan, sebetulnya yang menjadi kendala yang paling besar itu bukan orang lain menghina kita, tetapi diri kita sendiri yang menghina diri kita sendiri. Nah, ini repotnya pada orang-orang yang merasa sangat pemalu, orang ini sering memandang rendah dirinya, ini yang harus diubah perlahan-lahan.
ET : Tampaknya semakin bertambah usia lebih sulit ya Pak, karena sudah terbentuk sekian puluh tahun, katakanlah untuk mempunyai nilai diri yang seperti itu, untuk merubahnya menjadi tidak mau pasti lebih sulit.
Tapi bagaimana dengan banyak orang tua yang menyuruh anaknya menyanyi di depan umum, menyuruh ikut perlombaan, katanya supaya anaknya tidak jadi pemalu lagi. Sebenarnya apakah memang ada manfaatnya, Pak Heman, dengan cara seperti itu bagi anak-anak yang pada dasarnya memang pemalu?
HE : Kalau untuk anak-anak yang memang pemalu, saya lebih cenderung diperkenalkan secara bertahap untuk tampil di depan umum. Kalau misalnya dipaksakan, khawatirnya justru sebaliknya dia makn takut dan sangat takut menghadapi orang banyak.
ET : Jadi terlalu ekstrim begitu ya, dari pemalu harus langsung tampil.
HE : Dan dia tidak merasa ada orang yang memberikan perlindungan kepadanya atau memberikan penghiburan kepadanya, jadi lebih baik bertahap.
ET : Berarti sebenarnya untuk tampil di muka umum itu cukup memakai cara bertahap.
GS : Nah dalam hal ini Pak Heman bagaimana sikap Tuhan Yesus sendiri ketika diolok-olok oleh orang banyak, itu kita pernah membaca dalam kitab Injil bahwa Tuhan Yesus sendiri dipermalukan sebenarnya.
HE : Ini hal yang sangat menarik dalam kisah atau pribadi Yesus, Yesus sangat mengenali diriNya sebagai Anak Allah, sebagai Allah sendiri yang mempunyai kemuliaan yang luar biasa dan Dia tidk terpengaruh oleh evaluasi dari orang lain.
Dia sama sekali tidak merasa direndahkan oleh orang lain dan Dia bisa mengampuni orang-orang yang telah mengolok-olok Dia. Nah inilah yang harus kita teladani bahwa kita sebagai manusia-manusia yang berharga di hadapan Allah. Karena kondisi, karena status kita sebagai manusia, kita sesungguhnya orang yang berharga dan apapun yang dikatakan orang lain itu tidak harus menjadikan kita malu atau merasa rendah.
GS : Jadi di dalam hal ini Pak Heman sebagai kesimpulan dari pembicaraan kita saat ini, apakah ada bimbingan dari firman Tuhan yang bisa dijadikan pedoman oleh para pendengar acara Telaga supaya masing-masing bisa mengatasi rasa malunya, karena kita di dalam dunia ini mengemban suatu misi dan itu tentu saja dibutuhkan pribadi-pribadi yang bisa mengalahkan rasa malunya itu.
HE : Ya tadi saya sudah menguraikan banyak tentang rasa malu dan cara berpikir dibalik itu dan kemudian cara-cara kita berusaha mengatasinya. Dan kalau kita melihat dari Alkitab, maka Alkita juga memberikan ayat-ayat yang baik yang menceritakan bagaimana kalau kita mencari pertolongan dari Tuhan maka kita tidak akan mendapatkan malu.
Saya akan bacakan
Mazmur 22:5-6, "KepadaMu nenek moyang kami percaya, mereka percaya dan Engkau meluputkan mereka. KepadaMu mereka berseru-seru dan mereka terluput, kepadaMu mereka percaya dan mereka tidak mendapat malu." Ini penghiburan bagi mereka yang percaya kepada Tuhan.
GS : Jadi saya rasa ayat-ayat itu akan menghiburkan dan menguatkan karena yang berfirman adalah Tuhan Allah sendiri yang menciptakan kita. Nah saudara-saudara pendengar demikian tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan dengan Bp. Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami telah berbincang-bincang tentang rasa malu dan rendah diri. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.