Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi., dan kali ini akan berbincang-bincang dengan Bapak Heman Elia, M.Psi., dan beliau adalah pakar di bidang konseling keluarga dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang menarik dan bermanfaat yaitu tentang hubungan rasa malu dengan rasa bersalah. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Heman, beberapa waktu yang lalu kita sudah membahas tentang rasa malu dan rasa rendah diri, tetapi rupanya kali ini kita mau memperbincangkan hubungan antara rasa malu dan rasa bersalah. Waktu itu kita sudah membicarakan bahwa rasa malu itu sendiri menyiksa seseorang, lalu kalau ditambah dengan rasa bersalah, betapa menderitanya orang seperti ini, bagaimana itu Pak?
HE : Ya, saya kira ini sangat menyiksa terutama pada waktu seseorang bersalah di dalam arti melakukan dosa, apalagi yang bisa tampak oleh semua orang. Saya berikan contoh misalnya wanita yan hamil di luar nikah, nah selain merasa bersalah, merasa berdosa, dia juga merasa malu luar biasa.
Sekali lagi seperti yang telah dibicarakan sehubungan dengan rasa rendah diri, rasa malu ini juga karena orang ini di bawah evaluasi orang lain, di bawah penilaian orang lain yang dinilai sebagai merendahkan dirinya, nah ini sangat menyiksa.
GS : Tapi Pak Heman, pada waktu tadi Pak Heman menyinggung contoh tentang wanita yang hamil di luar nikah atau karena mencuri tertangkap, contoh-contoh lain banyak. Pada waktu mereka melakukan dosa itu tadi, tidak ada rasa malu sebenarnya Pak?
HE : Pertama kali rasa bersalah, tetapi kemudian ada rasa takut diketahui oleh orang lain, nah rasa takut diketahui oleh orang lain itu berkaitan takut bahwa orang lain memandang rendah diriya karena dia melakukan dosa yang seperti itu, yang menurut anggapan masyarakat "dosa yang seharusnya tidak boleh dilakukan", sehingga membuat orang itu merasa malu.
GS : Lalu apakah biasanya tindakan seseorang kalau sudah bersalah dan merasa malu seperti itu, apakah dia pasti akan berusaha melindungi dirinya?
HE : Ya inilah yang biasanya manusia lakukan, sebagai contoh saja, ini contoh Alkitab yang baik sekali yaitu pada saat manusia pertama jatuh di dalam dosa. Adam dan Hawa setelah mereka maka buah yang dilarang, mereka merasa malu karena mereka melihat bahwa dirinya telanjang.
Sebetulnya kalau kita berdosa, hubungannya tidak hanya dengan sesama kita manusia tetapi terutama di hadapan Allah yang membuat hati nurani kita tidak tenang dan kita merasa telanjang. Meskipun telanjang, orang yang merasa berdosa akan berusaha menutupi ketelanjangannya dengan berbagai cara. Meskipun kita mengetahui bahwa usaha Adam dan Hawa ini tidak efektif, bagaimana kita bisa menutupi ketelanjangan kita di hadapan Allah, tapi Adam dan Hawa berusaha menyemat daun pohon-pohonan dan kemudian lari bersembunyi dari hadirat Allah, itu yang dilakukan oleh manusia tatkala mereka berdosa dan merasa malu. Ada satu contoh lagi yang lebih dari pada itu, yang lebih gamblang dari pada itu yaitu ketika raja Daud berdosa karena berzinah dengan Batsyeba; II Samuel banyak bercerita tentang hal ini. Dan waktu Daud berdosa dia berusaha menghilangkan jejak, hal ini ada kaitannya kalau misalnya ketahuan, Daud akan merasa malu. Lalu dia berusaha membunuh Uria lewat tangan musuh, nah ini usaha yang cerdik sekali kelihatannya, sudah terhapus dan tidak bisa dilihat oleh orang lain. Kemudian Daud juga berusaha menikahi Batsyeba, berarti aman ini, kehamilan Batsyeba bisa ditutupi dan kemudian dia berlindung di balik kesalahan orang lain, jadi dia menyuruh orang lain untuk membunuh Uria, suami dari Batsyeba. Jadi ini betul-betul usaha yang bertahap untuk menutupi rasa malu.
ET : Pak Heman, saya mengamati bahwa rasa malu biasanya baru muncul kalau ada konsekuensi diketahui oleh orang lain, sepertinya begitu. Jadi kalau memang berbuat kesalahan ada perasaan berdosa, tetapi kalau tidak ada orang yang tahu mungkin sepertinya seolah-olah selamat dari muka orang-orang ya, jadi rasa malunya itu tidak sebesar kalau ketahuan, sebenarnya bagaimana itu, Pak Heman ?
HE : Ya waktu kita berbuat dosa kita merasa bersalah, sebetulnya ada juga rasa malu di hadapan Tuhan. Hanya saja kita ini manusia, sering kali berusaha menutupi rasa bersalah ini dengan caramacam-macam, dengan cara berpikir yang macam-macam.
Saya juga melihat ada orang yang bahkan setelah berdosa atau waktu akan melakukan dosa berdoa dulu. Nah ini usaha-usaha untuk menenangkan hati nurani dan ini cara yang salah sebetulnya dan memang yang lebih besar itu adalah rasa malu yang ditimbulkan karena takut ketahuan orang lain; nah rasa malu yang lebih besar membangkitkan usaha yang lebih besar pula dari orang tersebut untuk menutupi kesalahan atau keberdosaannya. Tetapi dua-duanya sebetulnya di hadapan Tuhan maupun di hadapan manusia merasa malu, tapi memang sering kali lebih takut kepada manusia dari pada kepada Tuhan.
ET : Jadi mungkin kalau tidak ketahuan rasa malunya berdua begitu ya, akan lebih besar malunya kalau diketahui manusia. Jadi mungkin itu akhirnya di Indonesia ini diterapkan budaya malu supaya kalau ketahuan orang lain menjadi malu begitu, Pak Heman?
HE : Nah ini saya kira pertanyaan yang baik sekali, dan saya berpikir bahwa saya kurang begitu setuju dengan menciptakan budaya malu ini. Apakah kita tidak lebih baik menciptakan rasa bersalh kalau berbuat salah, karena akhirnya orang berpikir begini yang saya sangat ingat waktu saya bersekolah dulu di SMP atau SMA; orang-orang mengatakan bahwa nyontek itu tidak salah atau bukan dosa, nyontek baru salah atau menjadi dosa kalau ketahuan.
Nah ini pandangan yang tidak benar, bahwa kita berdosa, ketahuan atau tidak ketahuan ya tetap saja berdosa, maling atau mencuri kalau dia mencuri ya tetap saja namanya mencuri, tidak bisa kalau ketahuan baru namanya mencuri.
ET : Bahkan mungkin berdoa mengucap syukur kalau tidak ketahuan.
GS : Ya, tapi di hadapan Tuhan tidak bisa lari (ET : Salah konsep) tapi sebaliknya kadang-kadang masyarakat atau bahkan jemaat itu begitu kejamnya, mengungkapkan kesalahan seseorang sehingga rasa malu yang bersangkutan itu malah bertambah-tambah.
HE : Ya itu sebetulnya juga kurang tepat, jadi seperti yang Paulus katakan seharusnya orang yang setelah ditegur lalu dia mengakui dosanya dan bertobat itu harus diterima kembali sebagai sesma saudara, dan itu juga ajaran Kristus.
GS : Itu yang jarang sekali bisa dilakukan apalagi mereka yang menjadi korban, korban dari kesalahan orang. Itu tidak akan mudah untuk diterima kembali, biasanya dikucilkan dan sebagainya.
HE : Ya betul dan itu harus menjadi introspeksi diri kita bersama.
(1) GS : Nah, jadi bagaimana seseorang yang sudah bersalah dan merasa malu itu mengatasi dua masalah ini Pak, mengatasi rasa bersalahnya dan mengatasi rasa malunya itu ?
HE : Yang pertama-tama kita harus ingat bahwa kita bisa menyelesaikan rasa berdosa dan perasaan malu itu dengan memohon ampun segera kepada Tuhan. Nah ini juga memerlukan keberanian kita untk percaya bahwa penebusan Tuhan di atas kayu salib ini sempurna.
Setelah kita percaya kita meyakini hal tersebut, waktu kita memohon ampun kita juga perlu mengampuni diri sendiri. Nah ini yang tidak mudah, karena nantinya kalau kita tidak bisa mengampuni diri sendiri, meskipun Tuhan sudah mengampuni kita, maka rasa malu itu akan terus timbul di dalam hati kita dan seperti juga Tuhan Yesus mengatakan kepada perempuan berzinah yang tertangkap basah, Yesus melepaskan perempuan itu dengan mengatakan kalau begitu saya juga tidak akan menghukum kamu dan jangan berbuat dosa lagi. Demikian juga kita yang berbuat dosa kita bertobat dan setelah itu tidak melakukan dosa lagi, nah kalau misalnya kita masih melakukan dosa itu lagi sekalipun sudah ketahuan, sekalipun sudah ditegur dan sebagainya perlu kita pertanyakan betul-betul bagaimana permohonan ampun kita, bagaimana evaluasi atau bagaimana iman atau kepercayaan kita.
GS : Itu ada kecenderungan Pak, saya rasa orang yang sudah melakukan kesalahan dan merasa malu walaupun sudah minta ampun dan mengampuni dirinya sendiri tapi dia tidak berani mencoba sesuatu yang baru lagi. Dia khawatir salah lagi mungkin kalau dalam hal dosa-dosa tertentu itu tidak bisa diulang lagi, tetapi kesalahan-kesalahan yang sehari-hari kita bisa lakukan katakan menyebut nama orang salah, mengetuk pintu keliru dan sebagainya, menyerahkan apa salah. Nah sebenarnya orang sudah mengampuni akan kesalahannya, sudah bisa dipahami tetapi dia yang tidak berani mencoba lagi untuk menyelesaikannya masalahnya.
HE : Ini baik sekali jadi sekarang kita membicarakan tentang kesalahan yang umum terjadi jadi bukan kesalahan karena dosa. Ini juga kembali lagi seperti yang pernah kita bicarakan sehubungandengan cara berpikir dibalik rasa malu ini.
Kita ini tidak ada yang sempurna, tidak ada orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Jadi kalau seseorang itu bisa menghargai dan kemudian menerima kekurangannya dan dia bisa menerima kesalahan-kesalahan dirinya, mengampuni dirinya, kesalahan yang bersifat "manusiawi", maka rasa malu akan bisa diatasi dengan lebih mudah. Masalahnya di sini adalah orang sering kalau melakukan suatu kesalahan lalu dia berpikir: seperti ini harus diubah.
ET : Tapi ada benarnya juga Pak Heman, maksudnya masyarakat ini katakanlah kita sebagai jemaat di gereja yang lebih sempit, juga tidak semudah itu dalam melupakan kesalahan orang, khususnya isalnya seperti perbuatan dosa yang tampaknya besar sekalipun orangnya bertobat tetap mungkin ketika dia ke gereja lalu dia menemukan orang yang menatap dengan pandangan yang seperti menyelidik apakah orang ini sudah sungguh-sungguh bertobat atau belum.
Nah situasi yang seperti ini juga rasanya tidak menolong untuk orang yang memang sungguh-sungguh ingin bertobat dari rasa malu karena rasa berdosanya ini.
HE : Betul dan mau tidak mau saya kira kita semua harus belajar merendahkan hati di hadapan Tuhan. Tuhan pernah mengatakan seperti ini, selumbar di mata saudaramu kamu lihat tetapi balok dimatamu sendiri kamu tidak lihat.
Artinya bahwa kita sering kali melakukan kesalahan atau dosa-dosa yang lebih besar, bahwa kita pun pernah melakukan dosa-dosa. Kenapa kita yang melakukan dosa kemudian diampuni oleh Tuhan, kita tidak bersedia mengampuni dan menerima orang lain yang berdosa dan kemudian bertobat.
GS : Memang kita harus belajar banyak dari sikap Tuhan Yesus dan para rasul. Memang sulit Pak Heman untuk bisa mengampuni seseorang seperti itu, tapi kita percaya bahwa Roh Kudus akan menolong kita untuk melakukan pengampunan, menerima, bukan cuma mengampuni tapi juga menerima dia kembali. Nah masalahnya adalah bagaimana kalau kita yang melakukan kesalahan, yang berdosa tadi diperlakukan seperti itu, apakah bijaksana kalau kita keluar dari lingkungan itu, jadi artinya meninggalkan lingkungan yang lama.
HE : Apapun yang dilakukan, kita lihat situasi, apakah kita akan keluar dari lingkungan itu, hidup di lingkungan yang baru atau tidak, yang jelas jangan sampai meninggalkan Tuhan, jangan samai meninggalkan persekutuan, karena di dalam persekutuan kita akan sama-sama mendukung, menghibur dan sebagainya.
GS : Itu juga bisa terjadi di dalam sebuah keluarga Pak, dimana mungkin ayah atau ibu melakukan kesalahan yang cukup fatal, lalu mereka memutuskan untuk pindah dari lingkungan itu, lingkungan tempat tinggal mereka dan pindah ke kota lain. Maksudnya adalah supaya sedikit mungkin orang yang tahu tentang kesalahan-kesalahan itu. Misalnya si suami itu baru dibebaskan dari tahanan atau lembaga pemasyarakatan, masyarakat sulit menerima dia lagi dan dia memutuskan untuk pindah saja.
HE : Kalau itu lebih baik, jadi memang masyarakat itu sering memberikan stigma tertentu dan itu sebetulnya merugikan dan kalau misalnya pindah dari lingkungan itu ke lingkungan yang lain, meulai hidup yang baru, itu lebih baik, saya kira tidak ada salahnya untuk dilakukan.
Hanya saja kalau itu dilakukan hanya untuk menghindari bahwa orang mengetahui tentang latar belakangnya dan sebagainya saya kira juga tidak bijaksana. Karena pindah kemana pun, mungkin saja di tempat yang baru juga ada orang yang akhirnya tahu. Jadi yang penting adalah bagaimana kita menghadapi stigma atau menghadapi pandangan masyarakat yang tidak bersahabat seperti itu.
GS : Ya memang ada yang tahu tapi jumlahnya tidak sebanyak waktu dia masih di pemukiman yang lama, begitu Pak.
HE : Mungkin itu memang jalan yang lebih baik.
ET : Seperti membuka lembaran baru begitu Pak.
GS : Ya bersama-sama tapi dalam hal ini saya rasa harus ada kesepakatan dari semua keluarga, karena dia akan membawa semua keluarganya.
HE : Ya betul, saya setuju.
GS : Jadi kesalahan yang dibuatnya, rasa malu yang dialaminya itu ternyata juga dialami oleh seluruh keluarganya. Misalnya anaknya, di sekolah teman-temannya selalu mengatakan ayahmu orang tahanan, ayahmu seorang narapidana, nah seperti itu 'kan membuat malu anaknya. Jadi bukan kesalahan si anak ini sebenarnya, kesalahan orang tua tapi anaknya ikut menderita.
HE : Ya, saya setuju kalau misalnya seluruh keluarga ikut diajak berunding begitu.
ET : Tapi mungkin dalam kasus ekstrim lainnya, waktu tadi Pak Gunawan mencontohkan anaknya misalnya dipermalukan seperti itu kadang-kadang saya melihat ada reaksi yang sebetulnya manusiawi jga, Pak Heman.
Ada pendapat yang mengatakan, kalau diserang jangan diam saja, tapi perlu melakukan penyerangan, jadi ketika mungkin dosa masa lalunya dibongkar atau dipermalukan lagi, ia cenderung berusaha untuk mencari-cari juga kesalahan orang yang mencela dia, supaya kita dalam posisi yang sama-sama juga, kira-kira bagaimana cara yang seperti itu, Pak Heman ?
HE : Ini cara yang saya pikir kurang bijaksana, karena dengan membongkar kesalahan orang lain ya kedudukannya sama-sama saja, orang yang dipermalukan kemudian membongkar kesalahan orang lain.
ET : Saya sama-sama malu, begitu katanya.
HE : Tetapi tidak menyelesaikan masalah, bahkan mungkin bisa dipandang rendah, lebih rendah lagi oleh orang lain karena dengan demikian dia tidak mempunyai suatu nilai diri atau harga diri yng cukup baik, karena dia juga turut terpengaruh untuk menjelek-jelekan orang lain.
ET : Jadi sebaiknya bagaimana kalau memang ternyata misalnya kasusnya Pak Gunawan sekeluarga itu sudah pindah, tapi tetap ada yang mengetahui masa lalunya dan mungkin berusaha dipermalukan lagi di tempat yang baru; sebaiknya sikap yang bersangkutan bagaimana, Pak Heman ?
HE : Saya kira dalam hal ini tetap saja berlaku tenang menunjukkan diri bahwa saya sekarang sudah berubah, tidak perlu menyerang balik karena itu akan percuma saja.
ET : Tapi bisa berkaitan dengan kepercayaan juga biasanya, jadi mungkin belum dipercaya lagi untuk diberi suatu kewenangan tertentu misalnya untuk dipilih menjadi pengurus ataupun majelis kaena masa lalunya, ini bagaimana Pak..?
HE : Akhirnya kita harus membiarkan waktu yang menguji, artinya perlu jangka waktu orang ini membuktikan diri bahwa dia memang sungguh-sungguh berbeda dengan dia di masa lalu. Dengan demikia orang akan pulih kepercayaannya bahkan mungkin akan lebih percaya kepadanya daripada di masa lalu.
Suatu kesaksian yang hidup bukan saja kesaksian dari kata-kata, tetapi dari kehidupan orang itu.
ET : Sepertinya memang kadang-kadang kita yang mempunyai masalah mengampuni baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Mungkin Tuhan sudah mengampuni tapi kita masih merasa malu ataupun Than sudah mengampuni orang tersebut, tetapi kita masih mengungkit-ungkit kesalahannya.
GS : Tetap menjadi hakim, menghakimi dan sebagainya. Tapi faktanya kalau dia sudah berubah itu akan banyak menolong, orang tidak akan mengungkit masa lalunya lagi kalau memang orang yang bersalah tadi menyatakan secara positif dia berubah. Hanya celakanya, Pak Heman, sering kali dosa-dosa tertentu itu terulang, maksudnya dia seorang pencuri dan setelah sekian lama pindah ke tempat lain eh... di sana dia mencuri lagi. Ada orang yang berzinah nanti pindah di tempat lain, dia berzinah lagi, nah ini yang menjadi sulit.
HE : Ya tapi mungkin tidak terlalu berkaitan lagi dengan rasa malu, saya kira karena dia misalnya sudah tidak bisa berbuat hal yang serupa karena semua orang sudah tahu di kota tertentu, lal dia pindah ke kota lain dan sebagainya.
Ya saya kira adakalanya memang orang-orang tertentu atau kita pun bisa lemah dan jatuh pada hal yang sama dan kita terus bergumul dengan kebiasaan-kebiasaan buruk kita. Dan kita sungguh-sungguh memerlukan pengampunan yang sempurna dan juga perjuangan di dalam memenangkan diri dari dosa.
GS : Berarti ada rasa malu, rasa malu di dalam diri seseorang itu lama-lama bisa terkikis Pak?
HE : Ya betul bisa terkikis lama-lama, bisa tidak tahu malu lagi.
GS : Nah itu bagaimana memelihara sampai kadar tertentu yang kita butuhkan sebagai orang-orang normal Pak, supaya kita tidak kehilangan sesuatu yang cukup penting sebenarnya untuk kehidupan kita sehari-hari.
HE : Beberapa orang kenapa bisa kehilangan rasa malu karena dia sudah putus asa, sebagian merasa dia menyerah saja karena terlalu berat mengatasi kebiasaannya itu dan menyerah begitu saja. Nh, dalam hal ini saya meminta orang-orang yang seperti ini untuk meneruskan perjuangannya karena kemenangan terhadap dosa itu kemuliaannya jauh lebih besar dan lebih nikmat dari pada terus terpuruk di dalam dosa.
GS : Nah, tentu para pendengar kita juga memperhatikan apa yang Pak Heman sampaikan atau serukan, tetapi mungkin penting juga untuk mereka, dasar kita semua melanjutkan perjuangan hidup ini melalui Firman Tuhan Pak, jadi apakah mungkin Pak Heman ada Firman Tuhan yang akan dibagikan.
HE : Saya bacakan dari I Korintus 15:34, "Sadarlah kembali sebaik-baiknya dan jangan berbuat dosa lagi, ada di antara kamu yang tidak mengenal Allah hal ini kukatakan supaya kam merasa malu."
Dan kemudian satu ayat penghiburan dari
Filipi 1:20, "Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku, Paulus, dalam segala hal tidak akan beroleh malu melainkan seperti sedia kala demikian pun sekarang Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku baik oleh hidupku maupun oleh matiku." Jadi Kristus yang dimuliakan di dalam diri kita itu akan menyebabkan kita tidak beroleh malu.
GS : Saya percaya kedua ayat tadi yang sudah dibacakan oleh Pak Heman akan meneguhkan iman dan sekaligus memberikan semangat yang baru khususnya buat para pendengar kita yang mungkin saat-saat ini sedang diliputi oleh rasa bersalah dan rasa malunya. Terima kasih Pak Heman. Dan saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Heman Elia M.Psi. dalam sebuah perbincangan tentang hubungan rasa malu dan rasa bersalah, dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran serta pertanyaan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.