Penentu Keharmonisan Pernikahan I

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T379A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Ada banyak hal yang dapat menentukan keharmonisan pernikahan, namun di antara semua itu, ketiga faktor berikut merupakan yang terpenting:
  1. Relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis,
  2. Kesamaan dalam hal yang penting dan
  3. Kesehatan jiwa masing-masing. Dalam bagian ini akan dibahas ketiga faktor tersebut.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Ada banyak hal yang dapat menentukan keharmonisan pernikahan, namun di antara semua itu, ketiga faktor berikut ini merupakan yang terpenting:

  1. Relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis,
  2. Kesamaan dalam hal yang penting; dan
  3. Kesehatan jiwa masing-masing.
  1. Relasi dengan Tuhan yang Otentik dan Dinamis

  2. Yang dimaksud dengan relasi dengan Tuhan yang otentik adalah sebuah relasi yang akrab dan apa adanya. Di dalam relasi yang otentik dengan Tuhan, kita dapat mengakui kelemahan kita di hadapan-Nya dan membawa keluhan kita kepada-Nya. Kita tidak bersembunyi di balik kedok iman—bilamana kita sedang tidak beriman. Dan, kita pun tidak malu membeberkan kegagalan kita. Singkat kata, relasi yang otentik adalah sebuah relasi yang aman dalam kasih karunia Tuhan. Yang dimaksud dengan relasi dengan Tuhan yang dinamis adalah sebuah relasi yang ditandai dengan ketaatan untuk melakukan kehendak Tuhan. Jadi, di dalam relasi yang dinamis dengan Tuhan, kita akan selalu terpanggil untuk melakukan sesuatu buat Tuhan sesuai dengan pimpinan-Nya. Kita pun senantiasa berpikir lewat teropong Kerajaan Allah sehingga lebih memusatkan perhatian pada kepentingan-Nya ketimbang kepentingan diri sendiri. Nah, bilamana baik suami maupun istri mempunyai relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, maka hal-hal berikut ini akan terjadi di dalam pernikahan:
  • Oleh karena relasi yang hidup mesti bertumbuh, maka relasi pernikahan yang dihuni oleh dua orang yang memiliki relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, akan juga hidup dan bertumbuh. Sewaktu Tuhan duduk di puncak pimpinan, Ia pasti akan memimpin anak-anak-Nya menuju kehendak-Nya. Dan, ini akan membuat relasi tidak statis. Akan ada tantangan baru yang mesti dihadapi tetapi setiap tantangan akan membuka lembar kesempatan untuk bertumbuh. Alhasil relasi pun akan bertumbuh. Cinta akan makin mengakar dan ketahanan menghadapi tekanan akan menguat.
  • Oleh karena ketaatan menjadi ciri utama relasi dengan Tuhan yang otentik dan dinamis, maka tidak bisa tidak, baik suami maupun istri menjadi pribadi yang makin hari makin hidup buat Tuhan, dan bukan buat kepentingan sendiri. Singkat kata kepentingan yang lebih luas akhirnya menjadi penentu keputusan, bukan kepentingan pribadi yang sempit. Di dalam relasi seperti ini konflik menjadi lebih jarang terjadi sebab makin persentase konflik yang tidak terselesaikan makin hari makin mengecil.
  • Oleh karena di dalam relasi yang otentik dan dinamis dengan Tuhan, Ia menjadi pusat segalanya, maka tidak bisa tidak, baik suami maupun istri juga akan makin menyerap nilai-nilai rohani yang bersumber dari Firman Tuhan. Makin banyak yang terserap, maka makin besar pula dampak yang ditimbulkan dalam setidaknya, penggunaan waktu dan uang. Di bawah payung sama, maka keputusan yang berkaitan dengan waktu dan uang akan jauh lebih mudah diambil, tanpa harus didahului oleh perkelahian.
  • Kesamaan dalam Hal-Hal yang Penting

  • Di dalam bahasa Inggris ada perkataan yang berbunyi, "Opposite attracts." Artinya, kita cenderung tertarik kepada orang yang berbeda dari diri kita sendiri. Tidak bisa disangkal pada awalnya memang kepribadian dan gaya hidup yang berbeda mempunyai daya tarik tersendiri. Namun pada akhirnya pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan akibat perbedaan tidaklah sedikit. Makin besar perbedaan, makin berat usaha untuk memahami dan menyesuaikan diri. Itu sebab, sesungguhnya resep yang lebih tepat bukanlah mencari yang berbeda, melainkan mencari yang serupa dengan kita. Pada kenyataannya hampir selalu semua kesamaan berperan besar dalam mengharmoniskan relasi, kecuali sifat keras kepala dan egois. Dua orang yang keras kepala dan egois tidak mungkin hidup bersama dalam keharmonisan. Nah, kembali kepada faktor kesamaan, kita mesti membedakan antara kesamaan dalam hal sepele dan kesamaan dalam penting. Yang saya maksud dengan kesamaan sepele adalah kesamaan yang berkaitan dengan gaya hidup sehari-hari. Misalkan kita sama-sama orang "pagi"—tidak suka tidur larut malam dan lebih suka bangun dini hari. Atau, kita sama-sama suka makan soto atau sama-sama suka pergi ke bioskop. Sekali lagi, kesamaan—apa pun itu—berdampak positif dalam mengharmoniskan relasi. Namun, kesamaan dalam hal yang penting akan memberi dampak yang lebih besar dibanding kesamaan dalam hal yang sepele. Yang dimaksud dengan kesamaan penting adalah kesamaan dalam cara berpikir atau menilai sesuatu yang terjadi. Ada orang yang berpikir jauh ke muka dan ada yang berpikir pendek. Ada orang berpikir dalam dan ada yang berpikir praktis. Cara berpikir yang berbeda akan mengakibatkan cara menilai yang berbeda dan pengambilan keputusan yang berbeda pula. Sayang, banyak pasangan yang terlalu cepat berkesimpulan bahwa mereka sepadu-padan padahal kesamaan yang mereka temui bukanlah kesamaan dalam hal yang penting. Ketidaksamaan dalam cara berpikir, tidak bisa tidak, akan memengaruhi komunikasi. Untuk mencegah konflik, kita harus berusaha memahami cara pikir pasangan. Namun sebagaimana kita tahu keharmonisan tidak saja dibangun di atas "tidak ada konflik" melainkan juga—dan terutama—di atas "keintiman." Dan, keintiman baru dapat bertunas bila kita mulai dapat melihat dan menilai dengan cara pikir yang sama.
  • Kesehatan Jiwa Masing-Masing

  • Pepatah "Tidak ada gading yang tak retak" berlaku untuk semua manusia. Kita tidak sempurna dan tidak dibesarkan dalam lingkungan yang sempurna pula. Kita masih mempunyai pekerjaan rumah untuk membereskan persoalan pribadi kita masing-masing. Sungguhpun demikian ada yang mempunyai sedikit pekerjaan rumah namun ada pula yang mempunyai banyak pekerjaan rumah. Singkat kata, bak gading, ada yang retak sedikit tetapi ada pula yang retak banyak. Dan, kita masuk ke dalam pernikahan membawa keretakan itu.

    Sebagai contoh, bila kita dibesarkan dalam rumah yang sarat konflik, besar kemungkinan kita pun akhirnya bertumbuh besar membawa api kemarahan di dalam diri kita. Akhirnya kita senantiasa mengalami kesulitan mengendalikan emosi tatkala beradu pendapat dengan pasangan. Begitu cepat emosi naik dan setelah naik, kita tidak berhasil mengendalikannya dengan baik. Alhasil kita sering menyakiti hati pasangan dan luka yang tertimbun di hati membuatnya dingin dan menjauh dari kita.

    Atau, kita sering menerima kritikan dari orang tua. Hampir semua yang kita lakukan salah atau kurang cukup baik di mata mereka. Akhirnya kita bertumbuh besar menjadi pribadi yang selalu memastikan bahwa kita telah mengerjakan sesuatu sebaik-baiknya. Kita tidak mau dan tidak suka dikritik sebab kritik, bagi kita, sama dengan disalahkan. Di dalam pernikahan kita sulit menerima masukan apa pun yang kita tafsir sebagai kritikan. Akhirnya hampir setiap pembicaraan menjadi ajang untuk membenarkan diri dan menyalahkan pasangan.

    Contoh terakhir, kita tidak mendapatkan perhatian dan pengakuan yang cukup dari orang tua. Kita pun tidak memperoleh pengakuan dan rangkulan dari teman. Sebagai akibatnya kita mengembangkan rasa ditolak dan ini membuat kita peka dengan segala tindakan yang kita anggap sebagai penolakan. Di dalam pernikahan kepekaan ini menjadi duri yang menusuk relasi. Misalkan, pasangan ingin pergi melakukan sesuatu dan tidak menerima bantuan kita setelah kita menawarkannya. Ia menolak tawaran kita karena ia tidak memerlukannya. Tetapi bagi kita, penolakan itu merupakan penolakan terhadap diri kita.

    Sebagaimana dapat kita lihat, kesehatan jiwa menentukan keharmonisan pernikahan. Makin sehat, makin sehati! Di dalam jiwa yang sehat semua masalah di atas tidak perlu muncul sebab hampir semua masalah dapat dihadapi bersama. Namun inilah penghiburan kita: Tuhan dapat memulihkan keretakan! Proses pemulihan akan berjalan lama dan tidak mudah, tetapi yang pasti adalah Tuhan sanggup. Kuncinya adalah kesediaan untuk melihat diri sebagaimana diutarakan oleh Pemazmur Mazmur 139:23–24.