olehEv. SindunataKurniawan, MK
Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Heman Elia, akan berbincang-bincang dengan Bapak Sindunata Kurniawan. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Mekanisme Pertahanan diri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
HE : Pak Sindunata, ini tentang mekanisme pertahanan diri. Bagaimana topik ini menarik buat Bapak untuk diangkat?
SK : Berbicara tentang mekanisme pertahanan diri sesungguhnya berbicara tentang keseharian hidup kita sebagai manusia, Pak Heman. Jadi sebagaimana istilah yang dipakai "pertahanan diri". Sesungguhnya di dalam keseharian kita, kita mengalami pelbagai peristiwa emosi yang membuat kita merasa tersudut, merasa terserang, merasa terancam, merasa cemas. Dan secara alami, spontan dan tidak sadar kita memunculkan cara-cara membentengi atau melindungi diri. Inilah yang disebut mekanisme atau sistem pertahanan diri.
HE : Berarti memang setiap hari, setiap saat kita menghadapi serangan-serangan dari luar dan itu memunyai dampak buat emosi kita, ya Pak?
SK : Betul, Pak Heman. Jadi kondisi yang merasa tidak aman, merasa terancam, itu memang setiap saat bisa kita alami ya, bahkan nyaris setiap menit. Sehingga itu yang memunculkan cara-cara perlindungan diri yang nanti akan kita kenali berbagai jenis mekanisme pertahanan diri.
HE : Apakah ada ciri-ciri dari mekanisme pertahanan diri ini secara psikologis?
SK : Sebagaimana sudah saya paparkan tadi, kita bisa rumuskan minimal ada dua ciri khas. Yang pertama, ini merupakan cara, mekanisme ini bisa muncul karena berada dalam kondisi cemas. Karena ada kecemasan yang kita alami sehingga memunculkan mekanisme pertahanan diri. Yang kedua, mekanisme pertahanan diri ini muncul secara tidak sadar atau spontan dari diri kita untuk melindungi diri dari kecemasan itu. Jadi minimal ada dua ciri khas, Pak Heman.
HE : Ini menarik, ya. Tadi Bapak singgung soal tidak disadari. Apakah Bapak bisa menjelaskan lebih lanjut kenapa mekanisme pertahanan diri ini bisa tidak disadari, ya Pak?
SK : Rupanya begini, Pak Heman. Di dalam tubuh kita yang diciptakan Tuhan, Tuhan memang menciptakan sebuah pola yang kita sadari dan pola yang tidak kita sadari atau dengan kata lain pola yang bersifat refleks atau spontan. Misalnya bisa kita lihat dalam sebuah pengalaman kecil. Kalau misalnya tanpa kita memerhatikan tangan kita memegang sesuatu, ternyata itu panci yang panas. Pasti secara spontan kita akan tarik tangan kita dari panci panas itu tanpa melewati proses berpikir, menganalisa atau mengambil keputusan, kita langsung tarik! Inilah proses refleks. Proses refleks secara fisik itu tadi rupanya juga terjadi dalam dunia psikis atau dunia jiwa dan emosi kita, Pak Heman. Inilah yang memunculkan mekanisme pertahanan diri itu tadi.
HE : Jadi ini terjadi secara otomatis dan terjadi di dalam emosi kita. Jadi emosi utama yang muncul itu adalah emosi cemas, ya Pak?
SK : Betul, Pak Heman. Bicara tentang emosi cemas ini kita bisa ingat peristiwa pertama yang dicatat dalam Alkitab, manusia mengalami kecemasan dan ketakutan itu ada di Taman Eden.
HE : Seperti apa itu, Pak?
SK : Sebagaimana kita bisa lihat dalam Kejadian 3 ketika manusia melanggar apa yang Allah larang yaitu memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat, tiba-tiba manusia bisa tersingkap pemandangan matanya dan melihat dirinya telanjang. Dan ketika dia menyadari diri telanjang, langsung muncul rasa malu, takut, tidak nyaman. Dan dia langsung memunculkan cara perlindungan diri secara fisik yaitu dengan cara menutupi tubuhnya dengan dedaunan, bersembunyi di antara pepohonan dan itu sebenarnya saya lihat sebagai asal muasal mekanisme pertahanan diri itu mulai muncul dalam peristiwa itu. Dan itupun masih berlanjut kalau kita lihat dalam Kejadian 3 itu.
HE : Jadinya saya sekarang ini bisa membayangkan bagaimana besar rasa takut Adam dan Hawa di Taman Eden seperti yang Bapak ceritakan tadi.
SK : Benar. Memang Adam dalam posisi merasa takut. Terlebih lagi ketika Tuhan memanggil Adam dan bertanya, "Dimanakah engkau?" dan Adam menjawab, "Ketika aku mendengar Engkau ada di dalam taman ini aku menjadi takut. Karena aku telanjang. Sebab itu aku bersembunyi." Kemudian Tuhan bertanya, "Siapa yang memberitahu kepadamu bahwa engkau telanjang?" Kemudian Tuhan melanjutkan, "Siapakah yang memberikan makan dari buah pohon yang kularang itu?" maka Adam menjawab, "Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberikan buah pohon itu sehingga aku makan." Nah, disinilah muncul dengan kentara sekali suatu bentuk pertahanan diri secara refleks karena takut dan cemas, Adam memakai mekanisme pertahanan diri dengan cara mengkambinghitamkan Hawa.
HE : Kira-kira apa dampak atau hubungan antara yang terjadi di Taman Eden itu dengan mekanisme pertahanan diri yang terjadi di dalam keseharian kita?
SK : Di dalam keseharian kita, kita merasa terancam, merasa cemas, kemudian kita berusaha melindungi diri. Nah, di dalam melindungi diri ini lebih sering kita memikirkan dari sudut kita sendiri dan sangat mungkin akhirnya menabrak koridor atau batas-batas kebenaran. Dan di sinilah titik kritisnya kenapa kita perlu menyadari mekanisme pertahanan diri macam apa yang kita pakai dalam keseharian kita, salah satunya agar kita bisa lebih membawa ke dalam ruang kesadaran sehingga kita tidak mudah masuk ke dalam mekanisme pertahanan diri itu dan itu juga akan menolong kita untuk tidak hidup di dalam penyangkalan diri di dalam penipuan diri, karena cenderung akhirnya melindungi diri tapi mengabaikan orang lain atau mengabaikan kebenaran. Jadi jika mekanisme pertahanan diri terlalu sering kita pakai, maka sesungguhnya kehidupan kita menjadi hidup yang kurang berintegritas.
HE : Tadi Bapak juga menyebutkan bahwa ini ada kecemasan ya, Pak ? Kemudian juga kecemasan ini membuat kita melakukan pertahanan diri dengan menipu diri. Apakah Bapak bisa menjelaskan, bagaimana bisa kecemasan muncul dalam bentuk menipu diri?
SK : Karena kecemasan itu membawa kita dalam kondisi tidak siap untuk menghadapi fakta kebenaran. Bagi kita kebenaran itu terasa menyakitkan dan menekan, kita tidak siap. Seperti Adam ketika dia ditanya, "Adam dimanakah engkau? Adam apakah engkau makan buah ini?" Adam langsung merasa cemas, dia takut dihukum. Takut dimarahi, mendapatkan sanksi dari Allah. sehingga secara alami, dia melindungi diri, "Daripada aku yang salah dan kena hukum, lebih baik aku kambing hitamkan Hawa, istriku. Dengan cara itulah aku bebas dari sanksi itu. Kecemasanku jadi menurun sehingga aku bisa bertahan hidup dengan cara pertahanan diri yang menyalahkan orang lain."
HE : Benar. Saya setuju dengan Pak Sindu karena saya membayangkan keseharian saya. Memang benar,setelah Bapak jelaskan, baru saya sadar seringkali saya merasa memertahankan diri saya karena saya merasa takut dihukum. Lalu saya mencari-cari berbagai alasan.
SK : Betul. Mencari-cari alasan itu salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri. Yang nanti akan kita kenali dalam bentuk rasionalisasi. Nanti kita juga akan bahas bentuk-bentuk yang lain, Pak Heman.
HE : Nah, seperti apa itu? Mungkin Bapak bisa mulai menceritakannya. Soalnya tadi ada kambing hitam, lalu rasionalisasi. Apakah Bapak bisa menjelaskannya?
SK : Ada berbagai jenis bentuk mekanisme pertahanan diri. Yang pertama dan yang paling dasar disebut represi, Pak Heman.
HE : Represi itu seperti apa, Pak?
SK : Represi berasal dari kata ‘repression’, merupakan bentuk cara perlindungan diri dimana kita menekan dorongan-dorongan yang memunculkan rasa bersalah dalam diri kita.
HE : Contohnya?
SK : Misalnya sebagai anak kecil. Sebagai anak kecil kita dididik untuk tidak boleh menjadi orang yang brutal, yang melakukan kekerasan, yang mau pukul orang, mengambil barang orang, marah-marah. Sejak kecil kita akan dihambat, dilarang, bahkan dihukum oleh orangtua kita kalau kita brutal atau melakukan kekerasan. Atau mungkin berkenaan dengan ekspresi seksual. Kita ingin tahu, ingin mengumbar hal-hal yang berkaitan dengan nafsu dorongan biologis dan yang akhirnya kita menyadari dari orangtua bahwa itu berdosa, tidak baik dan jahat. Dengan cara itu akhirnya muncul pikiran bahwa itu salah dan berdosa sehingga kita tidak akan mewujudkannya dan akan kita tekan dalam ruang bawah sadar kita, Pak Heman.
HE : Kita tekan karena kita takut. Kita ingin berbuat sesuatu, tapi karena kita takut dihukum maka kita tekan sampai di bawah sadar. Seperti apa bahayanya kalau kita tekan itu sampai ke bawah sadar?
SK : Menekan dorongan-dorongan itu ke dalam alam bawah sadar kita, menjadi tidak lagi disadari, itu memunculkan kemungkinan-kemungkinan dalam bentuk tiga hal, Pak Heman. Yang pertama adalah dorongan-dorongan itu tetap tidak berubah di dalam alam bawah sadar kita. Jadi itu tetap ada. Yang kedua, dorongan-dorongan yang mendesak itu masuk ke alam sadar kita dalam bentuk yang tidak berubah, sehingga justru menciptakan kecemasan yang lebih besar yang tidak bisa dikuasai oleh orang itu, dan orang itu makin dikuasai oleh kecemasan. Yang ketiga dan ini yang lebih lazim terjadi, ketika dorongan-dorongan itu ditekan, maka dorongan itu tetap bisa bocor terekspresikan dalam bentuk-bentuk lain yang terselubung. Ini yang akhirnya membuat kita mengalami kondisi-kondisi yang menderita.
HE : Menderita, ya Pak?
SK : Ya. Misalnya saya marah sekali, ingin memaki, bahkan ingin membunuh orang itu karena saya merasa sangat tersakiti. Tetapi karena saya tahu itu berdosa, tidak boleh dan tidak benar, melawan moralitas dan norma, maka saya tekan dorongan itu. Apa akibatnya? Akibatnya muncul waktu saya tidur, saya mimpi buruk. Saya mimpi sedang bergulat dengan seseorang, saya pukul, saya maki-maki. Itu menjadi mimpi yang bisa berulang dari malam ke malam. Mimpi buruk itulah sebenarnya perwujudan dari dorongan brutal yang saya tekan dalam alam bawah sadar, tetapi waktu tidur, dimana kesadaran saya berkurang, akhirnya itu muncul dalam mimpi buruk.
HE : Ini menarik ya. Sebetulnya ini sesuatu yang seharusnya. Artinya kita memang dilarang dan memang seharusnya begitu. Misalnya kita harus sabar, tidak pemarah. Tapi justru dengan bersifat sabar yang sifatnya menekan ke dalam ketidaksadaran kita itu justru muncul dalam bentuk mimpi buruk dan sebagainya.
SK : Ya,betul.
HE : Jadi seharusnya bagaimana? Ini ‘kan sebetulnya sesuatu yang cukup baik.
SK : Yang sehat adalah dorongan-dorongan itu bukannya ditekan atau ditolak tapi justru perlu kita akui dan merangkulnya. Artinya, kita harus mengaku. Misalnya saya mengaku saya marah, saya jengkel sekali dengan dia. Sebagaimana kita lihat dalam Kitab Mazmur, ada beberapa ungkapan yang sepertinya brutal, ungkapan yang penuh kemarahan dan itu memang sehat. Artinya, bukan berarti kita brutal kepada orang itu, tapi kita perlu akui dalam diri kita, bisa juga kita akui dalam doa kita. Nah, akuilah kepada Tuhan emosi-emosi negatif, perasaan sakit hati dan tekanan yang kita alami,kita akui, kita sebutkan, tapi bukan dengan cara yang destruktif atau menghancurkan diri sendiri dan orang lain, tapi dengan cara yang sehat. Seperti dalam bentuk curhat kepada seseorang yang cukup netral, atau lebih baik kalau kita sertai dengan curhat kepada Tuhan, sehingga emosi yang negatif itu tidak kita tekan melainkan kita salurkan keluar dengan cara yang membangun.
HE : Baik, Pak. Jadi bukan dengan cara seperti memaki orang, menyerang balik, atau memukul dia. Itu tentu tidak bisa dibenarkan. Tapi dengan cara menyadari, merangkulnya dan kemudian berkeluh kesah kepada Tuhan seperti Daud, ya Pak?
SK : Betul. Memang represi sebenarnya menjadi sebuah tema utama dalam kelumpuhan hidup sekian banyak orang. Dalam ruang-ruang konseling saya mendapati beberapa masalah orang sesungguhnya itu hasil represi. Diantaranya peristiwa traumatik karena dia mendapatkan kekerasan secara fisik, emosi, kata-kata yang menyakitkan, bahkan secara seksual. Karena dia tidak berani cerita, dia simpan. "Sudahlah. Nanti kalau ada orang lain tahu toh tidak ada yang mau menolong, tidak ada yang mau memercayai saya." Jadi dia tekan, dia lupakan. Nah, ketika dia mengatakan "lupakan" sebenarnya dia merepresi, tidak hilang tapi bagaikan energi panas yang dia tekan ke dalam dan akhirnya tiba-tiba dia mengalami kelumpuhan! Mati rasa, hidup dikuasai ketakutan, bahkan dalam beberapa kasus karena dia merasa bersalah, seseorang mungkin bisa mengalami hambatan atau gangguan secara fisik atau yang sifatnya psikosomatis.
HE : Rupanya dampaknya sebegitu jauh kalau kita tidak bisa mengakuinyadan kemudian menceritakannya kepada orang yang bisa dipercaya ya, Pak. Selain represi, adakah jenis yang lain, Pak?
SK : Jenis yang kedua, Pak Heman, yaitu proyeksi. Kata proyeksi ini tentu cukup akrab dalam keseharian kita, misalnya dengan kata proyektor. Proyeksi artinya meman tulkan. Artinya kita melihat pada orang lain adanya dorongan atau perasaan orang lain yang tidak bisa kita terima, tetapi sesungguhnya itu adalah rasa atau dorongan yang ada dalam diri kita sendiri.
HE : Oh, jadi ada orang yang punya dorongan tertentu yang kita lihat tidak baik. Padahal itu adalah dorongan kita sendiri? Mungkin bisa diberi contoh seperti apa itu, Pak?
SK : Misalnya saya merasa bermusuhan dengan saudara perempuan saya. Tetapi saya merasa tidak nyaman dengan perasaan bermusuhan yang ada di dalam diri saya. Maka secara tidak sadar, saya berusaha meyakinkan diri saya sendiri bahwa saudara perempuan sayalah yang memusuhi saya. Atau dalam bentuk lain, saya merasa minder punya gambar diri yang buruk tentang diri saya. Tetapi akhirnya saya bersikap sangat kritis terhadap orang lain yang memiliki kelemahan seperti saya. Padahal yang saya kritik itu ada pada diri saya dan saya tidak sadar. Itulah proyeksi, Pak Heman.
HE : Ini menarik sekali, ya. Sekali lagi Bapak sebut tentang tidak sadar, ya Pak.
SK : Iya.
HE : Apakah di dalam Alkitab ada contoh seperti ini, Pak?
SK : Kalau kita lihat contoh Alkitab seperti peristiwa Saul dan Daud. Saul sesungguhnya merasakan perasaan yang tertolak oleh Tuhan ketika Nabi Samuel mengatakan bahwa Tuhan menolak Saul sebagai raja. Secara alami pasti dalam diri raja Saul muncul rasa tidak suka atau benci kepada Tuhan yang telah memilihnya sebagai raja tetapi kemudian menolaknya sebagai raja. Tetapi rasa benci itu dia alihkan kepada Daud, bahwa Daudlah yang dia benci. Daud jadi peralihan. Atau mungkin Daud merasa bersalah karena perzinahannya dengan Batsyeba dan membunuh suami Batsyeba yaitu Uria. Maka ketika Nabi Natan memberikan ilustrasi cerita tentang seorang kaya raya yang merebut satu-satunya domba dari orang miskin, Raja Daud langsung bangkit dari tahtanya dengan penuh kemarahan berkata kepada Nabi Natan,"Bunuhlah orang kaya itu!", yang sesungguhnya itu adalah dirinya sendiri! inilah proyeksi yang terjadi nyata dalam Kitab Suci, Pak Heman.
HE : Ternyata proyeksi ini juga menjadi bagian keseharian kita ya, Pak. Dan dampaknya begitu jauh, ada kaitannya dengan dosa-dosa yang kita lakukan juga.
SK : Betul, Pak Heman. Maka tidak heran di dalam Alkitab, Firman Tuhan mencatat sebuah pernyataan Tuhan Yesus sebagai bagian dari kotbah di bukit dalam Matius 7:1-5 dikatakan, "Janganlah kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi"(ayat1) ;"Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?"(ayat 3) ini merupakan bagian firman Tuhan yang sebenarnya Allah tidak menyetujui cara kita memakai pola proyeksi ini, Pak Heman.
HE : Baik. Jadi ini harus menjadi kewaspadaan, kehati-hatian buat setiap kita ya, Pak.
SK : Iya, Pak Heman.
HE : Selain represi dan proyeksi, adakah jenis yang lain lagi, Pak?
SK : Jenis yang ketiga yaitu intelektualisasi. Dari kata itu kita bisa mengerti asal katanya intelektual. Intelektual ‘kan berarti cerdas, hebat. Tetapi sayangnya intelektualisasi itu cara hebat, cara cerdas yang dipakai kurang pada tempatnya. Intelektualisasi merupakan kondisi dimana ketika seseorang merasa minder atau tidak nyaman dengan dirinya, akhirnya tanpa dia sadari, dia memilih menggunakan kosa kata, istilah–istilah yang kesannya intelek, yang kesannya sulit untuk orang lain. Kesannya begitu ilmiah sehingga orang lain tidak mengerti apa yang dikatakan. Dan orang lain akan merasa "Ini orang hebat ya" dan itu sebenarnya intelektualisasi cara orang itu melindungi diri dari kecemasan itu.
HE : Memberi kesan tertentu ya, Pak?
SK : Ya. Misalnya dalam kasus di dunia pelayanan kita bisa lihat, atau saya juga mengalami, ketika berkotbah di masa tahun-tahun awal terjun ke dalam pelayanan firman. Karena merasa tidak bisa berkotbah sebaik para senior, akhirnya dalam kotbah saya memunculkan istilah-istilah teologi yang sulit, biar orang merasa saya hebat! Padahal orangnya juga merasa kesulitan mendengar kotbah saya. Tapi saya merasa terlindungi dengan jargon-jargon sulit yang saya ucapkan dalam kotbah-kotbah saya. Inilah sebenarnya intelektualisasi yang sedang saya pakai, Pak Heman.
HE : Saya rasa ini banyak terjadi di keseharian kita.
SK : Dan intelektualisasi ini sesungguhnya akan menghambat kita untuk bisa berempati dengan orang lain. Kalau kita terlalu dikuasai kecemasan sehingga memakai cara intelektualisasi, sesungguhnya membuat kita ke posisi lebih tinggi dari orang lain dan itu membuat orang lain merasa lebih rendah dan kita sesungguhnya tidak sedang melayani orang itu tetapi melayani diri kita sendiri. Jadi dengan kata lain, intelektualisasi itu berlawanan dengan roh melayani, dengan jiwa seorang hamba. Kalau kita mau bertumbuh semakin dewasa dalam kehidupan kita, intelektualisasi itu perlu kita sadari, kecemasan itu kita hindari, kita hindari memakai jargon-jargon yang agar kesannya kita hebat di depan orang lain.
HE : Jadi apakah saya boleh simpulkan begini, Pak Sindu, bahwa mekanisme pertahanan diri itu ada kaitannya dengan dosa kita, keberdosaan kita?
SK : Betul, Pak Heman.Kaitan dengan keberdosaan kita itu dorongan awalnya, amunisinya, sumber energinya itu adalah keberdosaan kita, Pak Heman.
HE : Dan repotnya lagi, ini terjadi tanpa disadari.
SK : Betul. Dan yang kedua, kondisi yang memungkinkan bagi mekanisme pertahanan diri bertumbuh subur adalah ketika kita masih berkubang dengan dosa itu, masih berkubang dengan manusia lama, masih berkubang dengan gambar diri yang buruk, dengan identitas diri atau jati diri yang belum memberi diri untuk menjadikan Kristus sebagai pusat hidup kita dan memperbaharui hidup kita.
HE : Dampaknya kemana-mana ya, Pak?
SK : Betul. Sesungguhnya ketika kita semakin bertumbuh semakin serupa dengan Kristus, bertumbuh secara rohani secara emosi, mekanisme pertahanan diri itu makin lama akan makin menyusut. Karena kita akan menjadi diri yang lebih cair, lebih apa adanya tanpa harus melindungi diri dengan cara-cara yang spontan, yang sebenarnya menutupi akar kecemasan, rasa tidak percaya diri kita itu, Pak Heman.
HE : Jadi yang tadi Bapak sebut kalau soal represi, maka cara yang lebih sehat adalah mengakuinya, merangkulnya dan kemudian kalau bisa menceritakannya kepada orang yang bisa dipercaya. Selain represi, ada proyeksi dan intelektualisasi,apakah cara yang lebih sehat itu cara yang sama?
SK : Ya. Bisa demikian, Pak Heman. Poin-nya adalah kita perlu berangkat dari kesadaran diri. "Oya, saya cemas, saya minder, saya merasa tidak berdaya dan lemah." Kenali perasaan-perasaan itu, kenali pikiran-pikiran itu dan terimalah bahwa saya demikian. Dari penerimaan diri ini, mari kita membangun gambar diri yang sehat. Bahwa saya berharga bukan karena saya tampil hebat di mimbar, saya berharga bukan karena dipandang lebih dari orang lain, tapi saya berharga karena saya dicintai Allah. jadi mengadopsi gambar diri yang baru sesuai kasih karunia Allah. Dengan cara kita bisa berdamai dengan diri sendiri, secara alami kecemasan kita bisa menyusut. Dengan sendirinya berarti cara intelektualisasi dan proyeksi itu akan lebih teredam, lebih menguap, Pak Heman.
HE : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa mendasari pembahasan kita pada hari ini?
SK : Saya bacakan dari 2 Korintus 13:5, "Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu! Apakah kamu tidak yakin akan dirimu, bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu? Sebab jika tidak demikian, kamu tidak tahan uji." Perikop ini dan juga surat 2 Korintus ini menceritakan dimana jemaat Korintus dalam kondisi iman yang terombang-ambing, mudah diombang-ambingkan oleh pengajaran yang keliru dan mereka melakukan penolakan kepada Paulus sebagai rasul yang melayani mereka. Paulus menegaskan pentingnya menguji diri. Menguji diri juga perlu kita lakukan. Seperti yang tadi sudah dipaparkan, mari kita kenali titik kecemasan apa, ketakutan apa, rasa rendah diri apa, rasa tidak aman apa yang kita alami? Mari kita uji diri. Kita kenali diri kita seperti apa. Dan kemudian mari kita jadikan Kristus sebagai sumber rasa aman, sumber penerimaan diri kita, sumber kita untuk bisa merasa damai karena penerimaan Dia, karena gambar diri yang baru Dia berikan, sehingga itu membawa kita menjadi diri yang lebih apa adanya.
HE : Terima kasih, Pak Sindunata. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan BapakSindunata Kurniawan dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mekanisme Pertahanan Diri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK,Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke alamat telaga@telaga.org.Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.