Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Daniel Iroth akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Temanku Gay". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
DI : Pak Sindu, bicara "Temanku Gay" ini saya memiliki sebuah pengalaman. Saya memiliki seorang teman yang saya tidak tahu kalau dia gay tapi pada suatu malam waktu saya menginap di kostnya saya baru mengetahui ternyata dia seorang gay karena dia mendekati saya. Karena saya takut, saya tidak tahu bagaimana harus menghadapi dia, sehingga saya tidak lagi berteman dengan dia. Jadi, saya ingin tanya kepada Pak Sindu bagaimana kita memahami teman kita yang gay ?
SK : Memang dalam perjalanan pertemanan kita dengan siapapun baik kita di dunia sekolah, kampus, tempat kerja, ataupun di tengah-tengah masyarakat, kita akan mendapatkan orang-orang seperti yang dialami oleh Pak Daniel. Mereka yang punya ketertarikan seksual sesama jenis ada yang memang menampakkan dirinya secara nyata khususnya kaum waria. Kita tahu dari penampilan dan bahasa tubuhnya. Ada yang mengakui dirinya - oh aku ini gay, aku ini lesbi. Jaman sekarang beberapa orang Indonesia sudah lebih berani memproklamasikan demikian. Tapi memang untuk sebagian besar tidak berani. Jadi, sifatnya benar-benar seperti tertutupi. Maka disini pertama kita PERLU MEMILIKI PEMAHAMAN YANG BENAR TERLEBIH DULU BAHWA KAUM KETERTARIKAN SEJENIS ITU BERAGAM.
DI : Maksudnya beragam itu bagaimana, Pak Sindu ?
SK : Beragam dari segi latar belakang dan beragam dari segi ekspresi diri.
DI : Untuk yang latar belakang, gambarannya seperti apa ?
SK : Ada ketertarikan sejenis yang terbentuk pada 12 tahun pertama kehidupannya. Sudah terbentuk lewat perjalanan dari lahir sampai katakan lulus SD, baik tertarik sesama pria maupun tertarik sesama wanita. Sebaliknya ada yang 12 tahun pertama terbentuk fondasi dasarnya sesungguhnya tertarik lawan jenis namun dalam perjalanannya dia memasuki usia dewasa, dia masuk kepada gaya hidup ketertarikan sejenis.
DI : Menarik sekali. Ternyata anak-anak atau remaja dan pemuda itu bisa ada kemungkinan untuk memiliki ketertarikan sesama jenis.
SK : Ya. Sekali lagi ada yang memang pondasinya sudah terbentuk. Pada dasarnya kita pada umumnya mayoritas nyaris 100% kita terbentuk memang lahir sejak bayi punya potensi untuk heteroseksual, tertarik lawan jenis. Tetapi itu perlu peneguhan, perlu pembentukan di masa 0 – 12 tahun lewat kehadiran orangtua yang aktif secara emosional, ayah dan ibu mengasuh dengan baik, kasih sayang, kehadiran, peneguhan, arahan yang baik, sekaligus pernikahan yang baik kedua orangtuanya yang menjadi atmosfer yang sehat bagi tumbuh kembang anak di 12 tahun pertama. Kalau demikian, maka akan terjadi pribadi anak remaja sampai dewasa heteroseksual, yang tertarik lawan jenis. Tetapi sayangnya semakin banyak keluarga-keluarga yang tidak berfungsi dengan baik. Pernikahan bermasalah, bertengkar di depan anak-anak, bercerai, saling menghina, berkubu dengan anaknya melawan suami/istrinya, ayah yang pasif dan tidak meneguhkan anaknya. Hal-hal inilah yang memberi pondasi akhirnya anak itu ketika memasuki usia ABG, usia 12 tahun ke atas, sudah mulai mengenali perasaan ketertarikan seksualnya itu pada yang sejenis. Tapi sebaliknya ada yang memang sebenarnya heteroseksual, tetapi ada kekosongan tertentu yang membuat dia mudah tertarik pada tren-tren masa kini. Sekarang trennya apa? Oh, biseksual. Bisa dengan lawan jenis, sejenis juga bisa. Lha ini yang juga bisa muncul. Ini bagian dari ragam latar belakang.
DI : Sangat mengerikan sekali kondisi sekarang ini kalau melihat tren yang seperti itu. Contohnya kalau kita melihat di televisi ada gay yang masuk di TV, begitu umum, membuat anak-anak berpikir ini normal.
SK : Ya. Makanya dalam konteks poin utamanya ini orangtua. Kalau orangtua meneguhkan anaknya sedari kecil, lalu di masa 12 tahun, dilanjutkan sampai selesai masa remaja selulus SMA, orangtua hadir memberi kasih sayang, arahan-arahan, percakapan moralitas, percakapan tentang seksualitas yang benar di dalam Kristus, memberikan hikmat bagi anak, berdiskusi tentang fenomena di sekitar, sambil orangtua melakukan diet media, orangtua pun tidak terus-terusan dalam media televisi. Orangtua yang terus-terusan dalam dunia digital akhirnya anaknya pun dibebaskan sejak kecil terpapar film-film yang bukan untuk usianya dan media itu liar bahkan film porno disaksikan. Kalau orangtua sejak anak itu masih kecil sudah melakukan pembatasan-pembatasan media sambil melakukan diskusi pendidikan dan pengisian tangki cinta, sangat kecil kemungkinan anak itu terkontaminasi dengan tayangan televisi yang tidak sehat. Anak pun tidak akan kecanduan televisi apalagi kalau dia melihat tayangan televisi yang tidak sehat dia pun dengan sadar tidak akan menikmati, mengikutinya, apalagi menjadikan gaya hidupnya. Karena sudah tertanam. Kasih sayangnya terisi, batasan arahan moralitas yang sehat sudah tertanam, anak itu punya jangkar dan punya kompas hidup, tidak mudah terkontaminasi, tertular model-model yang tidak sehat itu.
DI : Tadi Pak Sindu menekankan pentingnya meneguhkan anak. Apakah yang dimaksud disini adalah meneguhkan kalau anak laki-laki kita meneguhkan dia, anak perempuan dengan mengatakan dia cantik, maksudnya seperti itu atau ada contoh lebih jelas lagi tentang meneguhkan anak kita itu?
SK : Meneguhkan dalam arti yaitu bergaul. Bermain. Mungkin gulat-gulatan, kejar-kejaran, dirangkul, anak itu dipeluk, kemudian main. Intinya mari sebagai ayah kita bermain sebagai laki-laki. Tentunya bukan sungguh-sungguh pukul-pukulan ya. Mungkin semacam silat-silatan, fantasi dengan anak itu, kemudian, "Kamu anak ganteng. Kamu anak laki-laki kesayangannya ayah." Misalnya begitu. Kemudian sang ibu kepada anak laki-lakinya, "Kamu itu anak laki-laki lho. Kamu punya potensi luar biasa dari Tuhan untuk memimpin, untuk melindungi wanita. Ayo kembangkan laki-lakimu yang sehat." Sementara dengan anak gadis pun ayah perlu bermain sesuai dengan coraknya yang feminin. Ya diladeni, "Kamu main apa? Oh dokter-dokteran… rumah sakit-rumah sakitan... Papa yang sakit, ayo dirawat." Atau, "Kamu orangnya peka ya. Kamu punya rasa keibuan seperti mamamu. Luar biasa." Itu pengakuan. Secara kehadiran bermain, secara kata-kata, "Kamu itu cantik. Kamu akan tumbuh jadi anak perempuan yang mempesona dengan keluhuran kata-katamu yang baik dan perilakumu yang sopan." Ibu juga perlu bergaul dengan anak perempuannya. Menjadi tontonan, menjadi tuntunan. Oh wanita itu seperti ini ya. Nanti gadis menjadi wanita, bocah laki-laki nanti menjadi pria dewasa. Yang sejenis maupun yang lawan jenis, ayah dengan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki, sama-sama berperan penting.
DI : Saya melihat Pak Sindu memberikan unsur modelling kepada anak sangat penting dan juga unsur mengajari anak juga penting disini ya.
SK : Benar.
DI : Adakah hal lain yang perlu kita pahami tentang rekan kita yang gay ini, Pak Sindu ?
SK : Iya. Ketertarikan sejenis ini saya perluas bisa gay bisa lesbian ya. Jadi, selain ada ragam latar belakangnya, ada juga ragam ekspresi diri. Ada yang menampakkan secara penampilan fisik seperti kaum waria dan kaum waria ini kita pahami sebagai orang-orang yang merasa dirinya perempuan namun terperangkap dalam tubuh pria. Maka tidak heran muncullah laki-laki yang berdandan sebagai wanita dan kemudian sebagian kecil saja dari para waria ini yang memberanikan diri operasi kelamin menjadi wanita. Sebaliknya ada juga wanita yang terang-terangan menampakkan diri sebagai pria baik dari tampilan rambutnya benar-benar gaya pria, berpakaian pria, bersepatu pria, dan ini dilakukan sehari-hari. Jadi, sebagian kecil kalau ketertarikan sejenis itu mengekspresikan dirinya secara nyata, kita bisa lihat sehari-hari konsisten penampilannya. Baik laki-laki yang ke perempuanan atau perempuan yang kelaki-lakian penampilan fisiknya. Nah, orang-orangnya sudah jelas, berani menampilkan diri bahwa sesungguhnya ketertarikan seksualnya adalah pada sesama jenis. Tetapi sebagian besar tidak demikian. Tidak bisa kita tengarai hanya dari penampilan fisiknya. Oh, kamu ketertarikan sejenis. Tidak bisa. Dia laki-laki tetap dandanan laki-laki, perempuan tetap dandanan perempuan, tetapi sesungguhnya tanpa kita ketahui dari penampilan fisiknya mereka mengalami ketertarikan sesama jenis.
DI : Saya melihat waktu kuliah dulu ada teman wanita yang tidak suka menjadi seorang wanita, dia lebih suka menjadi seorang pria. Saya pikir itu merupakan benih-benih untuk orang bisa ke arah sini. Begitu ya?
SK : Ya. Jadi, benar kita tidak tahu apakah dia sudah melakukan ekspresi seksualnya atau belum tetapi itu lebih mungkin wanita yang demikian sebenarnya memang sudah muncul, sudah ada dalam dirinya kemungkinan ketertarikan seksual dengan sesama wanita. Tinggal kita tahu atau tidak, tinggal dia membuka diri memberitahukan kita atau tidak. Tapi itu lebih mungkin, bukan pasti ya, tapi lebih mungkin, kalau dia merasa aku tidak nyaman jadi wanita, jadi dia nyamannya menampilkan diri sebagai pria. Dia memang sebenarnya sudah dalam fase ketertarikan sejenis, sesungguhnya.
DI : Untuk membantu teman kita yang gay ini kira-kira apa yang kita bisa lakukan atau apa yang bisa kita tolong? Sikap-sikap apa yang perlu kita miliki?
SK : Seperti bahasan poin pertama kita, kita perlu memiliki pemahaman yang benar terlebih dulu bahwa kaum ketertarikan sejenis itu beragam. Beragam latar belakangnya. Ada yang terbentuk dari kecil, ada yang terbentuk di masa dewasa, sebagai peniruan gaya hidup. Ada ragam ekspresi diri nampak terang-terangan dan sebagian besar tidak mengekspresikan diri secara kentara. Maka poin pertama adalah HINDARI UNTUK MENGHAKIMI bahwa seseorang dia tertarik sejenis dia tidak tertarik sejenis. Hindari penghakiman itu karena itu terlalu prematur. Kita tidak bisa mengenali. Kecuali sesama sejenis, itu mereka bisa lebih peka. Misalnya seorang pria yang memang seorang gay seorang homoseksual akan lebih peka bahwa pria yang itu sesama penyuka sesama jenis atau tidak. Misalnya dari kerlingan mata, tatapan mata, ketika dia menatap, "Wow gantengnya…" Kemudian laki-laki itu juga membalas dengan pandangan mata yang sama, sama-sama menatap dengan penuh rasa suka. Maka seperti terjadi komunikasi nonverbal atau tanpa kata-kata, oh kita berdua ini sama-sama saling suka sesama pria ya. Itu bahasa-bahasa yang lebih peka dipahami oleh penyuka sesama jenis. Tapi untuk kita yang heteroseksual, kita tidak akan sepeka itu. Maka poin pertamanya jangan mudah menghakimi.
DI : Ya. Memang kecenderungan dari kita manusia ini, kita mudah sekali menghakimi pria yang kewanitaan. Seringkali diolok-olok. Itu menjadi hal yang pernah saya lihat.
SK : Ya. Sejalan dengan itu memang sebaiknya ya tidak menghina. Jangan melakukan tindakan bullying kepada kaum yang demikian. Yang kita sudah tahu pun apalagi yang sudah umum seperti waria. Kita bersalah.
DI : Karena mereka pun sudah banyak pergumulan ya, Pak Sindu.
SK : Betul. Yang dibutuhkan adalah penghargaan dan penghormatan atas nama mereka sebagai sesama manusia.
DI : Kemudian hal apa lagi yang perlu kita mengerti? Bagaimana sikap kita dalam mengerti mereka, Pak Sindu?
SK : Yang kedua, KITA PERLU PAHAMI BAHWA MAYORITAS KAUM KETERTARIKAN SEJENIS INI BUKANLAH PREDATOR SEKSUAL, BUKANLAH PEMANGSA SEKSUAL. Sebagaimana dalam dunia heteroseksual, kaum yang tertarik lawan jenis, ‘kan sebagian kecil saja yang menjadi predator seksual, sebagian kecil saja yang menjadi pemerkosa? Maka kita perlulah merasa aman, tidak perlu kita sampai homophobia. Homophobia itu artinya kita begitu terkejut, "Hah? Dia ini tertarik sesama jenis? Dia gay! Dia lesbi! Ih... jangan dekat-dekat! Ih… nanti aku diperkosa oleh orang-orang ini. Aduh jangan sentuh-sentuh! Eh, anak-anak, jangan dekat dia! Bahaya itu. Itu orang jahat! Oom itu jahat! Tante itu jahat!" Nah, itu homophobia. Itu sikap yang keliru. Mayoritas mereka ya seperti kita. Orang-orang yang baik, punya harkat dan martabat, punya etika, dan punya penguasaan diri dalam skala tertentu seperti pada umumnya kita. Sebagian kecil yang memang liar, ganas, yang menjadi pemangsa seksual sebagaimana kita kaum heteroseksual. Maka kita tidak perlu takut dan risih untuk berteman, bersentuhan secara wajar dan tetaplah membangun pertemanan dalam batas-batas yang sehat sebagaimana standard yang sama kita pakai dengan kaum heteroseksual. Kita bersahabat dengan lawan jenis ‘kan bukan berarti asal pegang tangannya, asal sentuh sana sini. Ya sama ‘kan, kesopanan yang sama itu kita pakai kepada rekan-rekan kita yang mungkin kemudian kita tahu bahwa dia tertarik sesama jenis.
DI : Kalau kasus yang seperti itu kita masih bisa terima. Tapi bagaimana ketemu teman gay dan dia tertarik pada kita? Apakah kita tetap akan bergaul dekat dengan dia?
SK : Oke. Kalau begitu berarti kondisi berbeda. Sama halnya dengan kita yang hidup normal tertarik lawan jenis kemudian ada lawan jenis yang menyukai kita dan kita tidak nyaman dengan itu. Kita merasa aku sudah punya pasangan atau aku memang tidak tertarik sama kamu. Ya kita bisa memberi batasan. Menjauh. Kalau perlu ya berterus terang, "Maaf ya, aku tidak tertarik. Kita sebatas teman secara wajar." Tentunya dibarengi dengan bahasa-bahasa tubuh. Artinya tidak terlalu dekat merespons dalam pergaulan atau percakapan dengan dia.
DI : Mungkin lebih baik kita juga membantu dia agar dia bisa sembuh atau pulih dari ketertarikan sesama jenis.
SK : Ya. Itu poin berikutnya. Poin yang ketiga, KITA PERLU MENOLONG KAUM KETERTARIKAN SEJENIS DENGAN CARA MENJADI SAHABAT YANG BISA DIPERCAYAI. Kalau kita bisa menjadi sahabat yang dipercayai, memberi landasan untuk nantinya kita berbagi informasi pertolongan. Jadi, kita bisa mendoakan, mendampingi dia dalam pertolongan yang lebih intensif.
DI : Ya. Sangat baik bila kita tetap mendekat dan tidak menjauh ya. Misalnya kita menolong dia membangun identitasnya, Pak Sindu.
SK : Ya. Dalam hal ini memang perlu konseling mendalam, butuh lapis demi lapis tahap-tahap pemulihan. Mungkin itu bukan dalam kompetensi kita. Tidak apa. Kita sebagai teman bisa mendoakannya, bisa menjembatani untuk mempertemukan dengan konselor yang kompeten, atau menghubungkan dengan komunitas pemulihan seperti komunitas Pancaran Anugerah yang telah ada di Indonesia selama 10 tahun lebih. Pelayanan ini berkembang di berbagai negara selama 30 tahun lebih melayani kaum heteroseksual, kaum homoseksual, berbasis kebenaran Kristus, membangun usaha pemulihan dan pemuridan membangun jati diri pemulihan jati diri dan seksualitas. Informasi lebih lanjut bisa dicek di pancarananugerah.org.
DI : Kita dapat menolong saudara kita mungkin juga dari sisi membangun kebermaknaan diri ya, Pak Sindu?
SK : Ya. Itu poin keempat yang bisa kita kembangkan dalam usaha kita berteman dengan kaum ketertarikan sejenis. KITA SENDIRI PERLU MEMBANGUN IMUNITAS, PERLINDUNGAN DIRI. Seperti di bagian awal tadi saya sampaikan bahwa ada yang masuk ke dalam pusaran ketertarikan sejenis lebih karena gaya hidup. Kenapa? Mereka kosong tidak punya makna hidup. Kosong dengan kelonggaran nilai-nilai moralitas. "Ah tidak apa-apa ‘kan, itu umum. Yang penting ‘kan bertanggung jawab. Artinya pakai kondom kalau hubungan seksual, mencegah infeksi penyakit menular seksual, mencegah HIV/AIDS." Nah, itu ‘kan sebuah kebohongan karena diri yang kosong. Maka kita sebagai teman yang mau baik maka kita harus punya usaha membangun usaha kebermaknaan diri kita di dalam Kristus. Kita punya pergaulan dengan Kristus di dalam firman-Nya, di dalam komunitas tubuh Kristus, sehingga kita punya hal-hal hakiki yang kita pertahankan. Kita punya semangat rohani, semangat memberkati dan dengan demikian maka pertemanan kita dengan kaum ketertarikan sejenis akan menjadi pertemanan yang sehat.
DI : Untuk melihat lebih dalam tentang kebermaknaan diri ini saya melihat memang satu faktor yang sangat penting, Pak Sindu. Sangat penting melihat diri seperti Tuhan melihat kita. Ketika kita bermakna maka ini sangat menolong orang untuk lepas dari gay itu. Kalau dia tahu dirinya bermakna dan identitas dirinya jelas.
SK : Ya. Saya perlu tambahkan, hati-hati JANGAN KITA JADI PAHLAWAN KESIANGAN. Artinya kita memaksakan kehendak kita pada teman yang tertarik sejenis itu. "Kamu harus bertobat. Kamu itu dosa lho ya. Hati-hati masuk neraka lho ya. Ayo bertobat, ikut aku cari konselor!" Hati-hati, jangan memaksakan kehendak. Biarkan mereka berproses. Sekalipun proses itu akhirnya mereka mengalami kejatuhan-kejatuhan seksual. Kadang dalam titik yang baru mereka merasakan keterpurukan yang dalam, mereka baru sadar butuh pertolongan. Ada yang memang mereka sudah mengalami kepahitan, "Apa itu gereja? Apa itu konseling? Apa itu kelompok pemulihan? Aku dulu waktu SMP sudah buka diri, dihina dina. Disuruh untuk lebih rajin ke gereja baca Alkitab, ada roh setan, ada roh ketertarikan sejenis, aku ditengking-tengking. Tapi apa arti semua itu? Tidak ada apa-apanya !" Dia kecewa, dia merasa kepahitan. Jadi, kita benar-benar perlu menghargai pergumulan, keunikan, lukanya dan ini butuh persahabatan yang otentik, yang baik, yang sehat. Jadi, ada proses yang perlu kita jalani.
DI : Artinya kita membiarkan orang itu berproses dan biarlah kemauannya itu dari dirinya sendiri.
SK : Sementara kita tetap berteman.
DI : Apa yang Pak Sindu bisa bagikan dari firman Tuhan tentang topik kita ini ?
SK : Galatia 6:1-2, "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah-lembut sambil menjaga dirimu sendiri supaya kamu jangan kena pencobaan. Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Jadi, firman Tuhan ini sekali lagi meneguhkan kita untuk peduli, saling menanggung beban. Kita bukan menambah beban dengan menghakimi dan menghina, tapi kita turut menanggung dengan menjadi teman yang baik, teman dalam berbagi kemurahan Allah. "Kamu terpuruk, kamu merasa kesulitan, aku peduli. Aku turut prihatin, aku turut mendoakan. Aku mau mendengar kisahmu. Aku mau memahamimu, menerimamu apa adanya." Sambil kita berjalan dalam pertemanan yang sehat itu, kita mendoakan, kita menyatakan kasih Kristus, kita membangkitkan prinsip-prinsip yang benar, sambil kita menawarkan pertolongan-pertolongan untuk kita dampingi, mencari sumber pertolongan yang benar. Itulah bagian kita sambil tetap menjaga dan melindungi diri sambil tetap melekat pada tubuh Kristus.
DI : Terima kasih, Pak Sindu, untuk percakapan yang sangat berguna. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Temanku Gay". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.