Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Kuasa Kesepakatan Pasangan Suami Istri". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Wah, tema yang menarik ya, Pak Sindu. Namun sebelumnya Bapak bisa jelaskan apa yang dimaksud kuasa kesepakatan dan mengapa ini penting ?
SK: Yang saya maksud dengan kuasa kesepakatan pasangan suami dan istri ini artinya adalah kesejalanan antara suami dan istri di dalam berbagai keputusan dan tindakan, jadi ibaratnya dalam satu kapal bukan ada dua arah yang berbeda, dua nakhoda yang berlawanan arah dalam mengarahkan kapal. Tapi suami dan istri ini menjadi satu nakhoda atau dua nakhoda yang bersatu, yang bersepakat untuk menggerakkan kapal pernikahan, bahtera rumah tangga ini ke satu tujuan yang sama dari tahap ke tahap kehidupan atau pun dalam keseharian. Dalam hal ini saya mau menyitir dari satu bagian firman Tuhan dari kitab Kejadian 2:24 dan itu juga dikutip dalam surat Efesus 5:31, "Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging". Dalam hal ini sesungguhnya memang Allah mendesain bahwa pria meninggalkan kedua orangtuanya dan dengan istrinya pria tersebut membentuk satu unit keluarga baru. Keduanya menjadi satu daging artinya Allah mendesain pernikahan itu bersifat monogami dimana pasangan suami istri membentuk kesatuan yang tak terpisahkan. Sehingga dalam hal ini muncullah pernyataan rasul Paulus dalam surat Efesus, bahwa ketika suami mengasihi istrinya, pada saat yang sama suami itu sebenarnya sedang mengasihi seseorang yang merupakan bagian dari dirinya sendiri. Dengan kata lain, sebenarnya kesepakatan pasangan suami istri ini adalah desain Allah, kehendak Allah sejak penciptaan manusia.
Y : Karena memang "dua menjadi satu" ya Pak, jadi sepakat itu satu tujuan, satu pikiran, satu tindakan. Begitu ya, Pak ?
SK : Kalau kita tidak sejalan dengan kehendak Allah, dimana suami dan istri tidak mengalami kesepakatan didalam kehidupannya, maka sebenarnya suami istri tersebut sesungguhnya sedang berseberangan dengan rancangan Allah, dengan desain Allah. Atau bahkan melawan kehendak Allah dan justru dari sanalah akan lahir ketidaktertiban dan kekacauan pernikahan.
Y : Ah, mungkin justru yang ini ya Pak, akan mengalami masalah-masalah, konflik-konflik dalam rumah tangga, karena tidak ada kesepakatan dalam pernikahan, ya Pak ?
SK : Betul, dalam hal ini juga sesungguhnya tanpa kesepakatan suami dan istri itu tidak saling memenuhi kebutuhan emosinya satu dengan yang lain.
Y : Maksudnya bagaimana, ya Pak ? Tidak saling memenuhi, bukankah suami istri sudah saling memenuhi ?
SK : Kalau ya, seharusnya saling memenuhi, tapi ketika dalam berbagai keputusan, dalam berbagai tindakan, suami istri ini tidak mengalami kesepakatan didalam keputusan-keputusan yang dibuat, dalam tindakan-tindakan yang dijalani dalam kehidupan rumah tangganya, mereka dengan kata lain sedang tidak saling mengasihi, sedang tidak saling menerima, sedang tidak saling menghargai, sedang tidak saling menghormati, padahal kebutuhan esensial, kebutuhan mendasar setiap manusia, kita diciptakan untuk dikasihi, diterima, dihormati, dihargai. Terlebih lagi kita butuh dihargai, diterima, dihormati oleh pasangan yang adalah belahan jiwa kita.
Y : Orang terdekat kita, ya.
SK : Ketika suami dan istri membiasakan diri untuk menjalani hidup sendiri-sendiri, "elu elu, gua gua", kamu kamu aku aku, ya sudah pokoknya kita tidak bercerai, kita tetap satu rumah, tapi kamu mau pakai uangmu untuk itu, aku pakai uangku untuk hal yang lain. Ya terserahlah, bebaslah, kalau kita membiasakan dalam hal keuangan, dalam mengatur anak, pokoknya anak begini, tidak bisa anak begitu, tidak bisa begini, pokoknya kita ke sana, ya sudah aku maunya ke sana, ya sudah ke sana sendiri aku maunya ke gereja ini, aku maunya gereja itu. Ya sudah Minggu tidak usah satu gereja. Kamu ke sana, aku ke sini, pokoknya ini. Ya sudah, kalau begitu tidak usah bicara lagi, jalan sendiri-sendiri saja. Kalau kita menjalani gaya hidup pernikahan yang seperti itu, dimana kita sendiri-sendiri dan tidak membiasakan hidup dalam kesepakatan, maka tanpa sadar akhirnya kita sedang berselingkuh dengan sesuatu atau seseorang.
Y: Menarik, ya Pak. Karena mungkin masing-masing pihak merasa tadi, tidak diterima pendapatnya, keinginan hatinya, tidak sama-sama saling mengakomodir ya, Pak?
SK : Ya, jadi yang saya maksudkan supaya lebih jelas, kata "berselingkuh" ini tidak selalu dalam artian selingkuh dalam tanda kutip, artinya karena kita tidak merasa dihargai, tidak merasa dicintai, diterima akhirnya kita mencari penghargaan, penerimaan, kasih dari sumber yang lain. Bisa dalam bentuk hobi, bisa dalam bentuk kesibukan pekerjaan, kesibukan pelayanan, kesibukan aneka kegiatan sosial, kesibukan kegiatan klub-klub, perkumpulan-perkumpulan orang, kita akhirnya terikat, kita merasa dikasihi, dihargai, diterima oleh hal-hal, atau orang-orang atau sosok atau sesuatu yang di luar pasangan kita. Padahal kita harus saling mengikatkan diri, dua menjadi satu. Sesungguhnya dua menjadi tetap dua, tanpa kita membiasakan kesepakatan. Akhirnya semua jalan sendiri-sendiri sampai munculnya perselingkuhan bukan dalam tanda kutip tetapi perselingkuhan yang sesungguhnya, secara emosional sampai perselingkuhan seksual ketika kita memiliki pria intim lain atau wanita intim lain.
Y : Ternyata dampaknya seperti itu, ya Pak, kalau kesepakatan tidak terjadi dalam hubungan suami istri.
SK : Ya sangat fatal, bu Yosie. Bahkan inilah sebenarnya pintu masuk ke perselingkuhan emosional hingga perselingkuhan secara fisik, seksual dan ujungnya perceraian. Itu bukan khilaf, aku selingkuh ya, kenapa aku punya TTM (teman tapi mesra), kenapa ada CLBK (cinta lama bersemi kembali), wah syaiton !! Si setan memperdaya aku, bukan salahku Pak Pendeta, itu gara-gara reuni, maka ia sudah memikat aku padahal aku biasa-biasa saja. Itu ada celah, itu kemungkinan lebih banyak terjadi suami istri tidak terbiasa hidup dalam kesepakatan, tidak ada kesehatian, tidak ada kesetujuan dalam menjalani kehidupan akhirnya tidak merasa saling mengasihi, tidak merasa saling menghormati, tidak merasa saling menerima sehingga dia punya celah kehausan rasa lapar, diterima, dihargai, dikasihi oleh sesuatu yang lain atau oleh seseorang yang lain dan inilah kembali salah satunya menjadi akar mengapa ada perselingkuhan emosional, TTM itu tadi atau bahkan sampai pada perselingkuhan secara fisik dan seksual.
Y : Mungkin dengan kata lain karena kebutuhan emosinya tadi tidak diisi satu dengan yang lain, akhirnya kosong dan ada pihak lain yang mengisi, wow, langsung kita memeluknya, langsung kita menyedotnya.
SK : Betul, maka disinilah sangat penting, sekali lagi, kesepakatan pasangan suami istri. Dengan kesepakatan pasangan suami istri maka yang terjadi, yang pertama akan mencapai sesungguhnya kebahagiaan pernikahan yang Allah desain.
Y : Seperti apa, Pak, konkretnya desain Allah dalam kebahagiaan suami istri karena kita tahu dalam kehidupan pernikahan, suka duka ya, Pak.
SK : Kebahagiaan pernikahan ini saya ambil dari Efesus 5:31-32, ayat 31 sama dengan yang saya bacakan tadi, bahwa "Sebab itu laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya bersatu dengan isterinya dan keduanya menjadi satu daging". Ayat 32 dilanjutkan, "Rahasia ini besar, tetapi yang Aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat". Ayat 33, "Bagaimanapun juga bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya". Jadi Allah merancang pernikahan suami dan istri mengalami misteri kesatuan Kristus dan jemaat. Ketika jemaat kita sebagai orang-orang percaya menyatukan diri kepada Kristus, tunduk pada Kristus, hidup bersama Kristus, mengalami Kristus dari hari ke hari, itulah sukacita, kebahagiaan kita sebelum kita bahagia yang paling optimal dalam kekekalan di surga. Tapi sebelum di surga pun kita sudah menikmati surga dunia lewat ketundukan, lewat kebersatuan, lewat kita mengalami Kristus di dunia yang sementara ini, terlebih lagi dalam rumah tangga. Jadi rumah tangga yang bahagia adalah rumah tangga yang mengalami kesatuan misteri Kristus dan jemaat lewat kesepakatan suami dan istri.
Y : Menarik ya Pak, karena bagaimana mungkin bersatu dengan Tuhan yang tidak kelihatan, kalau dengan pasangan yang kelihatan saja kita susah bersatu, ya Pak !
SK : Tepat. Yang kedua, Bu Yosie, yang terjadi bila ada kesepakatan pasangan suami istri akan melahirkan anak-anak yang berbahagia. Kalau tadi yang pertama, melahirkan pernikahan yang berbahagia, yang kedua melahirkan anak-anak yang berbahagia. Anak-anak membutuhkan atmosfir keluarga yang sehat, keluarga yang bertebaran dengan rasa aman, keluarga yang dilingkupi dengan rasa dikasihi, keluarga yang terarah, keluarga yang bertujuan dan itu akan membuat anak tumbuh secara kondusif, secara subur menjadi sosok yang matang. Sehat secara jiwani, secara emosi, secara spiritual, secara mental, intelektual dan tentunya secara fisik.
Y : Karena kalau misalnya tadi satu kapal dua nakhoda, tentu anak menjadi bingung, ya Pak. Tanya papa selalu berbeda dari tanya mama, bagaimana mungkin akan bertumbuh secara maksimal, ya Pak ?
SK : Itu akhirnya anak melihat ketidaksepakatan menjadi hal yang lumrah, karena itu nanti anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam pasangan suami istri yang tidak sepakat dalam kesehariannya, akhirnya anak pun membiasakan diri atau terbiasa hidup dalam ketidaksepakatan dengan orang lain. Ya sudah pokoknya "elu elu gua gua", dalam berteman, dalam berbisnis, dalam berkarier.
Y : Dalam peraturan bermasyarakat mungkin cenderung melanggar, ya Pak ?
SK : Cenderung melanggar, cenderung masa bodoh atau cenderung maunya sendiri, pokoknya kalau aku yang punya kuasa, kamu harus tunduk, kamu harus pasrah sepenuhnya. Akhirnya ketika dia memilih pasangan untuk menikah, ia akan mengulangi pola ketidaksepakatan dari ayah dan ibunya dan tidak berbahagia juga pernikahannya. Sepertinya bahagia, "Aku bahagia kok, Pak Sindu, pokoknya ‘kan jalan, uang banyak, melakukan apa-apa oke". "Iya benarkah bahagia ?" Kalau kira-kira dengan kamu punya ini semua, mana lebih bahagia, kamu tetap dengan ini tapi kamu bisa melakukan ini dan itu, tapi kamu didukung oleh istrimu, oleh suamimu, kamu dihormati suami atau istrimu. Mana yang lebih bahagia ? Tetap kita lebih suka kalau dengan pasangan kita, sehati sepikir, setujuan, dikasihi, diterima dan didukung ‘kan ?
Y : Tepat sekali. Kalau begitu kesepakatan pasutri ini dalam hal apa saja, Pak? Yang perlu paling tidak, kita pelajari.
SK : Paling jelas dalam tujuan hidup, ya. Kita mau mengejar apa dalam pernikahan ini? Karena itu perlu sejak awal pernikahan, jadi dalam perjalanan pernikahan kita, mari kita mengenal Firman Tuhan, mengenal tujuan Allah atas pernikahan, bahwa kita menikah bukan sekadar mencari kebahagiaan sendiri-sendiri, tetapi mencari kebahagiaan bersama lewat menghadirkan Kristus. Hidup pernikahan kita, hidup yang memuliakan Allah. Hidup yang saling melayani, saling tunduk, hidup yang melahirkan anak-anak yang dibawa untuk mengenal dan menyaksikan Kristus dalam hidupnya. Itu diejawantahkan dalam hal keuangan, ini uangnya suami, ini uangnya istri, oke, sama-sama bekerja, sama-sama punya penghasilan tapi kita perlu menyepakati, suami bekerja dapat uang, berapa yang perlu ditabung. Istri juga, penggunaannya untuk apa ? Masing-masing tetap perlu akuntabilitas, karena tanpa akuntabilitas satu sisi menyimpan kerawanan, kerentanan untuk menggunakan secara tidak bertanggungjawab atau bahkan ketika hal-hal lain malah untuk foya-foya, untuk hal-hal yang mubazir. Tetap perlu ada kesepakatan, bagaimana soal pengelolaan keuangan. Dalam hal pengasuhan anak perlu ada kesepakatan, mana yang boleh mana yang tidak boleh, apakah ini diijinkan atau tidak diijinkan atau bagaimana, kita mendidik anak kita untuk membawa dia menjadi sosok yang sehat, fisik, emosi maupun secara mental, intelektual dan spiritual. Ini perlu kesepakatan. Termasuk pengelolaan rumah tangga, bagaimana pembayaran rekening listrik, bagaimana soal perbaikan rumah, siapa yang mau liburan dan sebagainya. Kita perlu menyediakan waktu untuk berbincang dan membuat kesepakatan.
Y : Nah, ini Pak, pertanyaannya kalau begitu bagaimana kita membangun kesepakatan yang tentunya tidak mudah menyatukan isi, pikiran dan hati dua orang yang berbeda ?
SK : Yang pertama, Bu Yosie, kita perlu membersihkan diri dari distorsi masa lalu. Mungkin kita tumbuh dari papa mama kita, ayah ibu kita, yang memang terbiasa hidup dalam ketidaksepakatan. Akhirnya sesuatu yang tidak sehat menurut rancangan Allah, kita anggap sesuatu yang biasa, padahal itu luar biasa, dari rancangan Allah. Karena itu kita perlu kenali adakah distorsi masa lalu, ada tidak, mungkin kita punya emosi, keyakinan-keyakinan yang salah, kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Mari kita bersihkan dari itu baik lewat proses penyadaran diri, mengakui kepada Tuhan maupun lewat proses konseling pribadi atau pun konseling pasangan. Yang kedua, mari untuk membangun kesepakatan pasangan suami istri, kita menjadi pribadi dan pasangan yang mau belajar dan bertumbuh terus-menerus, membangun pola pikir serta kebiasaan yang benar, yang melahirkan kesepakatan pasutri ini. Kita perlu bertumbuh, belajar terus-menerus tentang merendahkan diri, kita perlu belajar mengembangkan kebiasaan untuk mengapresiasi, memuji, berterima kasih.
Y : Komunikasi yang sehat, ya Pak.
SK : Betul komunikasi yang sehat dengan pasangan, baik lewat mentor, lewat Firman Tuhan, lewat bacaan-bacaan baik tentang pernikahan, lewat seminar, kamp-kamp pasutri, termasuk berbagai topik di Telaga.
Y : Ya, betul.
SK : Banyak bahasan di Telaga ini (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA) hal-hal yang sangat spesifik untuk membangun pernikahan yang bertumbuh dan yang sehat. Kita bisa juga mengakses lewat www.telaga.org , kita bisa belajar sebagai pribadi maupun belajar bersama-sama sebagai pasangan. Inilah yang akan membangun satu fondasi, satu pola pikir dan pola kebiasaan untuk hidup dalam kesepakatan antara suami dan istri.
Y : Wow, menarik sekali ya, Pak. Tapi Pak, kalau secara nyata, tidak mudah membangun ini, istilahnya begini teorinya lebih mudah daripada prakteknya. Bagaimana jika pasangan kita ini sulit bertumbuh atau tidak bersedia bertumbuh ?
SK : Paling tidak, bu Yosie, kita mengerjakan bagian kita. Jadi boleh dikatakan ada tiga sosok : aku, pasanganku dan Tuhanku. Artinya, kita kerjakan bagian kita pribadi dulu bahwa kita mau menjadi sosok yang membersihkan dari distorsi masa lalu, kita menjadi sosok yang mau belajar dan bertumbuh terus-menerus. Dengan begitu ketika kita bergerak mengerjakan bagian kita, bertumbuh, kita bergaul dengan Tuhan, kita berdoa kepada Tuhan. Kita intim dengan Tuhan maka itu akan memengaruhi pasangan kita, katakanlah Ibu Yosie yang mungkin keras hati, membenarkan diri, tidak mau untuk berubah atau bertumbuh membangun kesepakatan pasutri itu tadi, karena begini, pernikahan adalah sebuah sistem antara suami istri minimal, bahkan antara suami istri dan anak dalam konteks keluarga, sistem keluarga. Ketika suami atau istri mau berubah, bertumbuh, mau tidak mau akan memengaruhi pasangannya, akan terseret. Artinya begini, ia keras hati, ia membenarkan diri sendiri, dia keras kepala, tapi pasangannya lembut, ia tetap berpendapat tapi juga menghargai, ada kalanya dia mengendur, menyatakan tidak setuju tapi dia tetap oke, aku mau di sampingmu walaupun aku tidak setuju, sambil dia berdoa, berpuasa untuk pasangannya. Dalam kasih karunia Tuhan, baik lewat sikap baik dari suami atau istri itu, perlakuan yang baik terus-menerus dan lewat pekerjaan Roh Kudus yang kita undang secara aktif lewat doa dan puasa kita, didalam Nama Yesus oleh anugerah Allah, sangat mungkin suami atau istri yang keras hati itu akan ada waktunya mengendur, iblis akan dikalahkan, Roh Kudus akan bekerja makin leluasa mendatangkan pembaharuan. Jadi janganlah menyerah menjadi wanita yang saleh, janganlah berhenti menjadi pria yang benar didalam Kristus, karena pasti apa yang kita tabur sekalipun dengan bercucuran air mata, Firman Tuhan mengatakan kita akan berbalik arah menuai dengan penuh sorak sorai. Aminilah kebenaran ini juga didalam pernikahan kita yang mungkin tidak mudah.
Y : Mungkin prinsip yang sama juga berlaku untuk anak. Ketika kita mengasuh anak sulit, kadang dia memberontak, tetap kita lakukan bagian kita sebagai orangtua yang benar.
SK : Benar, dalam hal ini juga saya perlu memperjelas bukan berarti memang secara fakta kesepakatan suami dan istri itu suatu hal yang mudah, lancar seperti jalan tol. Jadi dalam sekian hal kita perlu bersifat akomodatif, misalnya sang suami punya keyakinan ini yang terbaik, keputusan ini, katakan buka usaha ini yang terbaik, pekerjaan ini yang terbaik. Tapi istri melihat rasanya ini tidak benar, tidak tepat.
Y : Malah rugi nanti kita.
SK : Bisa, jadi menghilangkan banyak asset rumah, dalam hal ini cobalah suami dan istri jangan cepat-cepat ambil keputusan, ambil waktu seminggu dua minggu untuk, ayo kita doa bersama, ayo kita mencari pimpinan Tuhan lewat saat teduh, mungkin juga bagus melibatkan tubuh Kristus, mungkin punya komsel (komunitas sel) pria, komsel(komunitas sel) wanita.
Y : Punya mentor rohani.
SK : Mengundang mentor pernikahan untuk ikut mendoakan dan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan sambil mendoakan. Dari sini kita dengan memberi waktu satu minggu, dua minggu atau bahkan 1 bulan, kita memberi waktu Roh Kudus, Roh Allah sendiri, pribadi Allah Bapa yang penuh kebaikan itu untuk menunjukkan tuntunan-Nya kepada kita. Jangan tergopoh-gopoh, jangan tergesa-gesa. Tidak boleh juga suami memainkan otoritas, "Aku ini kepala rumah tangga" karena Firman Tuhan juga menyatakan rendahkanlah dirimu satu sama lain. Baru dikatakan dalam surat Efesus, "Hai isteri, tunduklah kepada suamimu…….. Hai suami, kasihilah isterimu. Dan di atasnya rendahkanlah dirimu satu sama lain". Jadi semangatnya sebenarnya bukan semangat yang bersifat, satunya berkuasa dan yang satunya tertindas, tapi ada kesejajaran, saling mengisi peran itu, satunya tunduk, satunya menghormati, mengasihi seperti Yesus mengasihi jemaat. Jadi bukan main kuat-kuatan, otot-ototan, tapi mainkan pasal Kristus, pasal ketundukan dan pasal mengasihi tadi.
Y : Dan mungkin dengan memberi waktu tadi, pihak yang tidak setuju akan merasa diakomodasi, diterima. Ternyata suamiku masih mau mengubah keputusannya, masih mau dibimbing Tuhan dan itu melegakan, meskipun akhirnya ambil keputusan tetap buka usaha, tadi contohnya.
SK : Ya, jadi akhirnya begini, dalam proses secara manusia yang terjadi, akhirnya ke titik tengah, ada negosiasi, bertukar pikiran, perasaan yang tanpa debat kusir. Akan ke titik tengah, misalnya buka usaha, oke aku sebetulnya masih belum ‘sreg’, tapi aku bisa menghargai, rupanya ada pertimbangan kamu butuh tantangan baru, kamu bosan, kamu sebagai laki-laki butuh berpetualang. Jadi bukan semata-mata kalau sang wanita UUD (Ujung-Ujungnya Duit). Untuk suami jiwa petualangnya, eksplorasinya, butuh sesuatu yang segar. Dalam hal ini lewat proses doa, memberi jeda, bertukar pikiran dari hati ke hati bahkan mungkin melibatkan mentor atau keputusan lainnya, akhirnya oke kamu buka usaha baru tapi anggarannya sekian, tidak sebesar yang semula supaya istilahnya tidak terlalu spekulatif, ada manajemen resiko, resikonya tidak terlalu besar, kalau pun sampai terhambat ada kegagalan, tidak sampai menghantam kehidupan rumah tangga, menjual seluruh asset sehingga tiba-tiba hilang semuanya.
Y : Oke, pak, bahasan yang sangat menarik dan sebetulnya kalau mau dibahas lagi masih satu jam lagi, tidak memungkinkan. Terakhir pak, batasan apa sejauh mana kita bisa sepakat dengan pasangan ?
SK : Dalam hal ini kita perlu bersedia, bertoleransi untuk hal-hal yang tidak esensial, hal-hal yang tidak membahayakan, maupun hal-hal yang tidak melanggar moralitas. Kita perlu juga mengakomodasi kelemahan dan keterbatasan satu sama lain sebagai pasangan suami dan istri. Jadi sebatas seperti tadi dalam ilustrasi kita, soal uang kalau itu masih dalam manajemen resiko, bukan berarti menyedot seluruh asset dan tabungan, ijinkanlah, beri ruang, toleransi, tapi kalau itu sudah menyangkut suatu keterancaman dari kesehatan pernikahan. Dia pergi berdua terus-menerus dengan lawan jenis, bahkan dulu pacarnya di masa remajanya. Lebih baik turunkan resikonya daripada itu nanti akan mencobai. Dari sinilah kembali ada batasannya.
Y : Terima kasih banyak untuk pembahasan kita kali ini, saya percaya sangat menarik dan bermanfaat. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kuasa Kesepakatan Pasangan Suami Istri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.