Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Kepribadian Menghindar". Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, masih dalam serangkaian tema tentang gangguan kepribadian ya, kali ini kita akan membahas gangguan kepribadian menghindar. Apa sebetulnya gangguan kepribadian menghindar itu? Apa indikasinya? Mungkin Bapak bisa jelaskan.
SK : Kepribadian menghindar ini dimiliki oleh mereka yang memiliki pola hambatan sosial, hambatan dalam berelasi dengan orang lain. Mereka punya pola perasaan yang tidak cukup baik tentang dirinya dan terlalu sensitif, terlalu peka terhadap penilaian negatif atau evaluasi negatif dari orang lain terhadap dirinya. Jadi, mereka memiliki tanda-tanda atau gejala-gejala yaitu minimal empat dari tujuh tanda yang akan kita bahas berikut ini.
Y : Silakan diulas satu per satu, Pak.
SK : Yang pertama ditandai ADANYA POLA MENGHINDARI AKTIFITAS YANG MELIBATKAN KONTAK ANTAR PRIBADI SECARA INTENS KARENA TAKUT MENDAPAT KRITIKAN, TAKUT DITOLAK, ATAU TAKUT TIDAK DITERIMA.
Y : Misalnya seperti apa, Pak? Maksudnya dalam konteks apa?
SK : Untuk konteks situasi yang butuh bertemu dengan orang lain. Misalnya diajak, "Ayo, datang acara syukuran di rumah tetangga. Ayo datang persekutuan gereja, halal bihalal, reuni SD-SMP-SMA." Nah, orang dengan kepribadian menghindar salah satu tandanya adalah menghindari pertemuan seperti itu. "Nanti kalau aku diolok-olok tambah gemuk, tambah kurus…"
Y : Khususnya para wanita ya, Pak?
SK : Bukan hanya para wanita, pria juga bisa. "Kok tambah gemuk, kok tambah tua, kok mobilnya kurang modern seperti teman-teman kita."
Y : Standar kesuksesan, "Wah, saya belum sukses".
SK : Betul, seperti itu. Menghindar, hampir selalu menjauhi hubungan sosial khususnya menghindari setiap situasi yang terdapat potensi adanya ejekan atau luka pribadi dan orang-orang ini menghindari kegiatan yang bukan merupakan bagian dari kebiasaan mereka sehari-hari.
Y : Dengan kata lain, kalau pekerjaan atau hal yang menjadi kebiasaan mereka, mereka masih bisa atasi ya?
SK : Ya. Orang dengan kepribadian menghindar secara fungsi hidup masih bisa berjalan, masih bisa bertanggung jawab untuk pekerjaannya, untuk kehidupan rumah tangganya masih bisa. Tapi kalau itu aktivitas tambahan, pertemuan tambahan.
Y : Dia merasa tidak perlu?
SK : Bukan merasa tidak perlu ya, tapi dia merasa ini sumber ancaman, dia bisa diolok-olok, dilukai, dia bisa tersinggung, ditolak. Maka dia akan menghindari.
Y : Oh…
SK : Kecuali sekadar, "Ayo, butuh ke pasar, ke minimarket".
Y : Yang dia butuhkan, ya sudah, gitu ya?
SK : Ke minimarket ‘kan tidak perlu kontak intens.
Y : Oh… Kedalaman (kontak) itu yang dihindari oleh kepribadian menghindar ya?
SK : Betul. Kesempatan untuk berbincang-bincang, untuk mengobrol, itu yang dihindari.
Y : Ini yang tidak disukai ya. Kalau hanya permukaan mungkin dia masih bisa atasi ya?
SK : Ya.
Y : Berarti cenderung juga memilih pekerjaan yang tidak berhubungan secara intens ya?
SK : Benar. Orang-orang dengan kepribadian menghindar lebih suka memilih pekerjaan di belakang meja.
Y : Di belakang layar.
SK : Di belakang layar. Misalnya bagian administrasi, surat menyurat, atau berkenaan dengan tehnik, komputer atau permesinan. Intinya yang berhubungan dengan benda bukan dengan manusia. Makanya orang-orang ini bertanggung jawab, dia tekun dengan pekerjaannya. Tetapi orang-orang tekun ini suatu saat akan dipromosikan. "Bapak sangat bertanggung jawab, pekerjaannya bagus, mari saya promosikan jadi supervisor, jadi manager, jadi kepala bagian." Wah, langsung pucat pasi!
Y : Takut dengan relasinya tadi ya, Pak?
SK : Ya. Bahkan kalau perlu setelah satu minggu kemudian, "Maaf, Bapak atau Ibu. Saya mau mengundurkan diri. Saya pindah pekerjaan." "Lho, kenapa?" "Tidak apa-apa, terima kasih promosinya. Tapi ini saya ditawari pekerjaan lain." Padahal dia ketakutan!
Y : Oh, bisa sampai seperti itu ya kalau kepribadian menghindarnya cukup besar?
SK : Iya. Memang yang sudah kategori kepribadian menghindar, dia menolak promosi-promosi jabatan yang membuat dia harus berjumpa dengan banyak orang.
Y : Baik, Pak. Apa ciri yang kedua, Pak?
SK : Tanda yang kedua, TIDAK BERSEDIA TERLIBAT DENGAN ORANG LAIN KECUALI ADANYA KEPASTIAN BAHWA DIA AKAN DISUKAI.
Y : Padahal tidak ada kepastian ya. Maksudnya seperti apa hubungan tanpa syarat itu?
SK : Jika mereka dapat diyakinkan bahwa mereka akan diterima tanpa syarat apapun, maka mereka akan dapat memasuki suatu hubungan yang intim dan akrab. Meski demikian mereka akan tetap menjaga jarak dalam hubungan itu. Berjaga-jaga atas kritik yang mungkin muncul, berjaga-jaga atas kemungkinan dipermalukan atau bahkan ditolak. Misalnya dia diajak, "Ayo, kerja sama denganku, bantu aku menangani administrasi. Nanti kamu hanya berhubungan dengan aku. Ini kerjaan yang baru, kamu hanya kontak dengan aku." Lha, karena dia pikir ini orang yang dia kenal, teman masa kecil atau teman dekat, meskipun ini tempat kerja yang baru dia tidak apa-apa, dia aman dan dapat diyakinkan bahwa dia akan diterima apa adanya. Tapi itupun dia tetap menjaga jarak. Sekalipun itu teman masa kecil atau teman masa sekolah, dia tetap menjaga jarak untuk memastikan tidak ada sedikit pun dia dikritik, dipermalukan atau ditolak oleh teman yang jadi rekan atau bosnya ini.
Y : Hmm, menarik ya, Pak. Padahal kita hidup ini tidak luput dari kritikan, penolakan, atau evaluasi dari orang ya.
SK : Betul. Maka, tanda ketiga dari orang berkepribadian menghindar adalah MENARIK DIRI DARI HUBUNGAN AKRAB KARENA TAKUT DIPERMALUKAN ATAU DIEJEK. Tanda keempat yaitu ADANYA KEYAKINAN SELALU MERASA AKAN DIKRITIK ATAU DITOLAK DALAM SITUASI SOSIAL. Situasi-situasi sosial, situasi relasi dengan orang lain, bagi dirinya identik dengan situasi yang selalu mengancam dirinya.
Y : Apakah ini dilatarbelakangi oleh pikiran yang buruk? Merasa, "Pasti nanti orang menolak saya, orang ini pasti akan mengkritik saya." Berpikiran negatif terhadap orang lain.
SK : Betul. Pikiran negatif itu mendominasi.
Y : Mendominasi gaya berpikirnya ya.
SK : Melihat hubungan dengan orang lain itu lebih sebagai ancaman daripada sebagai hal yang menyenangkan.
Y : Bagaimana dengan tanda yang kelima, Pak Sindu?
SK : Tanda yang kelima orang dengan kepribadian menghindar CENDERUNG TERHALANG DALAM SITUASI RELASI ANTAR PRIBADI YANG BARU karena mereka merasa tidak cukup baik. Jadi ketika mereka hadir dalam kelompok yang baru maka mereka merasakan berat untuk melangkah memperkenalkan diri membuka mulut atau pun bertegur sapa karena merasa diri tidak cukup baik dan kompeten untuk menghadapi dan memperkenalkan diri membuka diri dengan orang lain. Makanya juga ada hubungannya dengan tanda yang keenam, Bu Yosie. Tanda keenam kepribadian menghindar yaitu MEMANDANG DIRI SEBAGAI SESEORANG YANG TIDAK LAYAK SECARA SOSIAL YANG TIDAK MENARIK ATAU MEMANDANG DIRI INFERIOR.
Y : Minder ya, Pak?
SK : Minder, merasa lebih kecil dari orang lain.
Y : Apakah karena mereka menganggap dunia pergaulan adalah dunia persaingan ya, Pak? Dia lebih cantik, dia lebih pandai dari saya, sehingga merasa minder. Apa yang menyebabkan orang punya pandangan sedemikian?
SK : Benar kata Bu Yosie, mereka memang memandang dunia ini sebagai persaingan, kompetisi, dunia sebagai komunitas yang membanding-bandingkan siapa yang lebih tinggi siapa yang lebih rendah. Ini adalah cara pandang. Darimana cara pandang itu? Jadi, dia memang secara pola pikirnya, hambatan perilaku dari orang berkepribadian menghindar itu adalah berpusat pada keyakinan bahwa mereka memiliki banyak kekurangan dan mereka tidak berharga di mata orang lain. Jadi, sudah berangkat dari keyakinan tentang diri yang banyak kekurangan dan tidak berharga. Maka perasaan dan keyakinan tidak berharga ini membuat mereka merasa bahwa orang lain tidak akan menyukai mereka. "Aku banyak kekurangan. Aku tidak cantik, aku tidak tampan."
Y : Tidak kaya.
SK : "Aku tidak kaya, aku lambat berpikir, kemampuan matematika pas-pasan, bahkan aku pernah tidak naik kelas. Makanya aku memandang kalau ketemu orang lain, orang pasti memandang yang sama. Berpikir dengan cara berpikir yang sama seperti aku memandang diriku." Akhirnya buahnya adalah "Aku akan selalu menghindari kedekatan dengan orang lain. Aku sudah merasa diri buruk, jelek, tidak berharga, minder, eh masih lagi dihina, masih lagi direndahkan. Tidak mau! Aku jera. Sudah cukup dengan rasa tidak aman dan tidak nyaman ini."
Y : Menariknya, saya pernah menemukan gejala seperti ini, orang yang minder tetapi dalam pergaulan dia terkesan galak. Omongannya tajam, mengkritik orang, padahal sebetulnya dia minder.
SK : Bisa. Orang minder atau inferior itu bisa punya topeng yang berbeda-beda. Sumbernya sama yaitu rasa rendah diri tapi manifestasinya bisa berbeda-beda. Ada yang menampilkan diri lunglai di hadapan orang lain, merasa diri seperti menunduk-nunduk, memandang diri sebagai alas kaki yang akan diinjak-injak orang lain.
Y : Tidak berani menatap orang lain ketika berbicara atau ketika bersalaman.
SK : Tepat. Itu termasuk kategori orang dengan kepribadian menghindar.
Y : Itu bisa jadi ekspresinya ya?
SK : Ya. Tapi orang rendah diri juga bisa memakai topeng yang berbeda. "Aku harus selalu tampil di atas orang lain. Hidup sebuah pertempuran, aku di bawah, orang lain di atas. Atau orang lain di bawah, aku yang di atas."
Y : "Aku yang harus menang!"
SK : "Maka, aku yang harus selalu menang. Dengan cara apa? Merendahkan orang lain, menghina orang lain, mengkritik dan memarahi orang. Daripada aku dimarahi lebih baik aku memarahi. Daripada aku dihina lebih baik aku menghina. Daripada aku dikalahkan, lebih baik aku mengalahkan dan mendominasi. Jadi orang yang angkuh, sombong dan arogan." Orang yang angkuh, sombong, dan arogan itu adalah saudara kembar dari orang yang merasa diri lunglai, merunduk, tunduk tak berdaya.
Y : Sebetulnya akarnya sama ya?
Sk : Akarnya sama, yaitu rendah diri atau inferior.
Y : Baik, Pak. Mekanismenya yang kemudian berbeda ya. Menarik sekali.
SK : Ya. Kembali tentang pola berpikir pola dinamika orang berkepribadian menghindar karena yang pertama dia memandang diri tidak berharga dan banyak kekurangan, yang kedua dia berpikir pasti orang lain juga tidak menyukai dirinya, maka yang ketiga dia akan selalu menghindari kedekatan dengan orang lain. Nah, adanya persepsi yang tersimpan ini, persepsi yang terdistorsi mengenai pengalaman orang lain, membuat dia akhirnya sensitif terhadap penolakan dan membuat dia akhirnya salah tafsir terhadap setiap ucapan dan komentar orang lain tentang dirinya. Karena dia sudah memandang diri buruk dan mencurigai orang lain akan mencelakai dia, sedikit omongan, sedikit pandangan mata, selalu dilihat dari kacamata buruk. Berpikiran negatif, selalu melihat dari kacamata buram, gelap. "Oh, kenapa dia tidak menatap mataku? Karena dia tidak suka melihat wajahku yang jelek ini. Kenapa dia makan sambil mengunyah dengan tidak sopan? Karena dia memang tidak sopan padaku, dia pikir aku layak diperlakukan buruk makanya dia sembarangan." Padahal itu memang kebiasaannya.
Y : Tidak ada hubungannya ya, Pak.
SK : Tidak ada hubungannya tapi dia selalu kait-kaitkan dengan diri yang buruk dan kait-kaitkan dengan orang lain yang tidak suka dengan dirinya. Jadi, pesan-pesannya salah tafsir.
Y : Mungkin ada orang yang memuji saya, "Wah tambah segar ya!", saya jawab,"Maksudnya tambah gemuk?"
SK : Ya!
Y : Padahal tambah segar itu ‘kan tidak selalu tambah gemuk ya! Tapi kita salah mengasumsikan.
SK : "Wah, kamu tambah diberkati Tuhan…"
Y : "Pasti mau utang ini!"
SK : Ya! hahaha…
Y : Memuji-muji ini bahaya ini.
SK : Makanya karena dia terluka, begitu dia seperti merasa terluka, dia akan semakin masuk ke dalam "rumah siput"nya, semakin menarik diri, semakin membuat jarak dengan orang lain.
Y : Okay. Yang terakhir yang ketujuh, Pak?
SK : Yang ketujuh, tanda dari orang yang berkepribadian menghindar adalah MENOLAK UNTUK MENGAMBIL RESIKO PRIBADI ATAU MENOLAK UNTUK MENCOBA KEGIATAN BARU KARENA TAKUT DIPERMALUKAN.
Y : Nah, ini menarik. Takut dipermalukan maksudnya tidak bisa meraih prestasi (achievement) atau resiko sosialnya, Pak? Maksud saya membedakan resiko prestasinya atau resiko sosialnya.
SK : Lebih tepatnya resiko sosial sebagaimana yang disampaikan Bu Yosie. Jadi, kecenderungan kepribadian menghindar, membayangkan bencana besar sebagai hasil dari kegiatan baru dan menggunakan hal tersebut sebagai alasan untuk menghindari situasi-situasi baru yang membuat mereka bisa menjadi tontonan orang lain. Kegiatan baru itu nantinya memberi peluang dipermalukan, dibanding-bandingkan. Maka dia tidak mau mengambil resiko, dia lebih suka bertahan pada rutinitas yang sudah dikenal. Kalaupun ke gereja, dia akan duduk di kursi yang sama.
Y : Paling belakang, pojok.
SK : Bisa jadi begitu. Duduk di pojok, dan dia akan datang pada jam yang sama. Jam yang mungkin setelah bel berbunyi, baru dia masuk. Mungkin juga dia langsung meninggalkan tempat begitu doa berkat disampaikan. Langsung cepat-cepat.
Y : Berarti menghindari kontak sosial dengan orang lain.
SK : Ya.
Y : Kalau saya amati, ini ada kemiripan dengan kepribadian skizotipal ya. Misalnya yang cenderung paranoid. Apakah betul, Pak?
SK : Ya. Memang ada kemiripan dengan skizotipal dan schizoid yang sudah kita bahas. Kalau skizotipal itu eksentrik, menarik diri dan serba curiga. Schizoid, menarik diri menghindari relasi. Skizotipal ciri khasnya eksentriknya. Tapi kalau schizoid dan Kepribadian Menghindar tidak ada eksentriknya. Tapi kalau schizoid memang juga menghindari relasi intim. Tapi kalau Kepribadian Menghindar sesungguhnya masih mengharapkan kedekatan. Dia masih ingin berdekatan dengan orang lain. Kalau gangguan kepribadian schizoid, dia tidak merasa tertekan kalau tidak terlibat dan dekat dengan orang lain.
Y : Sebetulnya kepribadian menghindar ini rindu kedekatan tapi takut terluka sehingga menghindar.
SK : Betul. Maka dikatakan kepribadian menghindar ini bergerak pada dua kutub. Kutub pertama, rasa malu yang dirasakan pada kepribadian normal. Jadi, orang-orang normal punya rasa malu yang sehat, yang wajar.
Y : Kita malu atau sungkan saat bertemu orang baru.
SK : Ya. Atau jika ada kesalahan di depan umum seperti salah ucap, salah tingkah, aduh malu. Tapi itu masih wajar, tidak membuat jera untuk bertemu dengan orang lain, masih bisa pulih dari rasa malu. Itu rasa malu pada orang yang normal. Sedangkan Kepribadian Menghindar, di antara itu sampai pada batas yang lain yaitu orang yang mengalami fobia sosial, gangguan kecemasan yang disebut sebagai fobia sosial. Orang fobia sosial artinya orang yang benar-benar sangat amat ketakutan berada di tengah-tengah orang lain, benar-benar bencana. Jadi, dia tidak mau bekerja. Bekerja pun akhirnya sulit. Dia hanya di tempat sendirian, di antara barang-barang, intinya di lingkungan yang tidak ada orang lain. Itu fobia sosial. Situasi yang parah. Nah, orang yang berkepribadian menghindar tidak sampai pada tingkat itu. Tapi memang dia lebih berat jika dibandingkan dengan orang normal yang merasa malu. Jadi, dia di antara dua batasan ini. Inilah area pergerakan orang berkepribadian menghindar.
Y : Terima kasih untuk penjelasannya, Pak. Kalau kita sudah memahami, paling tidak wawasan kita sudah terbuka tentang indikasinya, lalu bagaimana cara penanganannya?
SK : Memang perlu upaya pemutusan lingkaran negatif dari pola pikir menghindar ini. Maka disinilah salah satu pendekatan konseling mendalamnya adalah mengecek sejarah keterlukaannya, kekosongan dirinya, pada masa 12 tahun pertama kehidupannya. Disanalah kita temukan jejak-jejaknya, luka-lukanya, bagaimana itu disembuhkan. Dia bisa menyerahkan luka itu kepada Tuhan, dia bisa mengampuni yang bersalah, dan dia bisa mengundang kasih penerimaan Bapa Surgawi mengisi bagian-bagian yang kosong tadi, membangun rasa aman. Kemudian dia juga perlu menjalani terapi kognitif, bagaimana pikiran-pikiran atau asumsi yang salah tadi dikoreksi. Cara membaca situasi sosial yang negatif ini ditinjau ulang, diubah, untuk kemudian bisa melihat dari kacamata yang realistik yang lebih positif. Yang ketiga, dia perlu belajar keterampilan sosial. Bagaimana bertegur sapa dengan orang lain, bagaimana dia menyampaikan pendapat kepada orang lain, mengembangkan keterampilan sosial sehingga tidak salah ucap atau gagap.
Y : Ya. Tapi bagaimana kalau orang yang sudah cenderung berusia, misalnya 50-60 tahun, dan merasa dirinya sudah matang, dirinya sudah "makan asam garam dunia", berpengalaman?
SK : Ini dia. Gangguan apapun, gangguan kepribadian, gangguan-gangguan yang bersifat psikotik- neurotik, semakin orangnya berusia semakin tidak mudah, karena itu soal kemampuan belajar. Terapi konseling adalah isu belajar, isu berubah. Secara usia, ketika usia kita bertambah, khususnya 50 tahun ke atas, secara alami sel-sel otak semakin mengerut. Jadi, neuron dan brain synapses itu tidak bekerja seoptimal di masa kita masa anak-anak, remaja dan dewasa awal. Jadi, memang tidak mudah. Yang kedua, juga ditunjang isunya tentang gaya hidup belajar. Kalau kita sedari muda sampai usia dewasa akhir suka belajar, suka membaca buku, suka berdiskusi, suka tentang pertumbuhan diri, maka sekalipun usia 50-60 tahun masih lebih ada peluang untuk berubah, bertumbuh menjadi makin sehat.
Y : Itu sebabnya penting membiasakan dari muda bagaimana memiliki diri yang terbuka terhadap pembelajaran, terhadap diskusi, masukan orang lain.
SK : Ya. Bagaimana kita suka membaca buku itu penting. Sekarang era digital. Kita belum sempat suka buku, lompat langsung suka menonton televisi, suka baca media sosial. Media sosial itu ‘kan berita-berita pendek.
Y : Iya, tidak mendalam ya, Pak.
SK : Tidak mendalam dan meluas. Makanya biasakan kalau kita mau sehat, lepas lebih luas daripada isu sekadar kepribadian menghindar tapi menjadi kepribadian yang sehat, sukalah membaca buku. Terserah, mau buku elektronik / e-book atau buku fisik, tapi bacalah buku yang narasinya panjang.
Y : Masukan yang sangat positif bagi saya pribadi dan pendengar. Sebagai penutup, bisakah Bapak memberikan ayat firman Tuhan yang mendasari perbincangan kita kali ini?
SK : Saya bacakan dari kitab Mazmur 18:30, "Karena dengan Engkau, aku berani menghadapi gerombolan, dan dengan Allahku aku berani melompati tembok". Isu mendasar orang dengan kepribadian menghindar adalah cenderung selalu tidak menghadapi situasi nyata dalam relasi dengan orang lain maka lewat firman Tuhan ini saya mendorong untuk orang-orang dengan kepribadian menghindar berani mengakui dan memperhadapkan diri dengan ketidakmampuannya mungkin dengan konseling secara mendalam, lewat mensharingkan dengan orang-orang tertentu yang bisa mendoakan dan mendampingi sehingga isu ini tidak terhalangi tapi dia bisa bertumbuh karena menghadapi bersama dengan Kristus dan tubuh Kristus.
Y : Amin, terima kasih, Pak Sindu.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kepribadian Menghindar". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.