Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian keempat. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, dalam pembahasan kita yang terakhir, Bapak sempat menjelaskan sedikit tentang agresif pasif. Kenapa bisa terjadi fenomena agresif pasif seperti itu ?
SK : Anak yang menjadi korban kekerasan, ketika berada di dalam rumah, dia menjadi pribadi yang selalu kalah. Maka ketika di luar rumah, ada keinginan kuat, "Aku harus menang !" sedikit pun tidak boleh ada ruang untuk kalah. Menang atau mati. Mungkin itulah semboyan anak korban dari kekerasan. Kemudian dia bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, itulah mekanismenya agar dia bisa bertahan hidup (survive, eksis) di tengah kekerasan dan penindasan orang tua. Jadi dia berusaha untuk 'survive' dan dia mendapati cara itu ampuh, maka terus-menerus diulangi, jadi kebiasaan, jadi pola hidup, jadi mekanisme hidup, jadi karakter dan jadi kepribadian. Disini kita bisa melihat rentetan yang sedemikian panjang dan sedemikian mencetak. Perlakuan orang tua memang mencetak anak kelak akan seperti apa, apakah anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau sebaliknya, menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.
H : Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, Bapak banyak menjabarkan dampak kepada anak yang akhirnya menjadi agresif. Tapi pasti ada juga anak yang tidak agresif. Bagaimana dampaknya bagi anak yang tidak agresif ?
SK : Memang ada bentuk yang lain. Ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun agresif pasif. Dalam hal ini konteksnya, sang anak ini semua yang ada pada dirinya direbut habis-habisan lewat kekerasan yang dia terima. Apa yang dia miliki termasuk apa yang perlu dimiliki untuk menjadi pribadi yang sehat seperti sudah dirampas lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka anak ini tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan yang paling parah, dia memiliki rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Tak heran anak ini menjadi anak yang pasif dan apatis terhadap kehidupan.
H : Kenapa dia bisa merasa sangat benci kepada dirinya sendiri ?
SK : Karena dia tidak punya sesuatu yang bisa dia banggakan. Bukan hanya itu, yang dia mengerti tentang dirinya adalah, "Aku ini sampah. Aku ini kuburan yang penuh dengan tulang belulang. Aku penuh dengan hal yang busuk." Kenapa ? Karena perlakuan fisik yang sedemikian mendera, membuat anak melihat dirinya sebagai sansak hidup, yang buruk. Bahkan ditambah dengan kata-kata orang tuanya, "Tahu tidak, Kamu itu anak yang tidak pernah diharapkan di rumah ini ! Kelahiranmu itu sebuah kecelakaan. Kamu lahir membawa malapetaka. Gara-gara kamu lahir, keluarga kami miskin. Coba lihat kakakmu sudah banyak. Kamu itu anak yang kelima, kamu lahir membuat beban kami bertambah banyak !" itu pun ditambah dengan, "Kamu tidak berprestasi." dan lain-lain. Kata-kata caci maki dan penolakan yang aktif ini membuat lama kelamaan anak akan meyakininya. "Oh iya ya, aku ini memang jelek. Aku memang sampah dan tidak berguna." Ingat ! Kata-kata orang tua itu ibaratnya seperti kata-kata Tuhan. Jadi kalau Tuhan bilang, "Jadilah terang !", maka terang itu jadi. Demikian, orang tua sebagai wakil Tuhan, diberi otoritas Tuhan, kuasa penciptaan. Dan yang diciptakan itu adalah pribadi anak. Maka tidak heran kalau orang tua disebut sebagai wakil Tuhan, itu berarti sebagian kuasa penciptaan dimiliki oleh orang tua. Maka lewat kata-kata itu, itu kata-kata nubuatan dan punya kuasa. Anak selalu akan menjadikan orang tua khususnya di masa tumbuh kembangnya, sebagai poros. Kata-kata orang tua adalah kata-kata yang sangat berkuasa dan anak-anak dapat sangat mempercayainya. Sehingga kata-kata sampah yang menghancurkan harga diri anak itu akhirnya juga akan menghancurkan anak tersebut. Dan akhirnya sebagaimana orang tua membenci anak itu, jadilah anak itu membenci dirinya sendiri. Ini berakibat hidupnya sekadar menggelinding, hidup sekadar hidup, hanya sekadar memenuhi harapan orang tuanya, sekalipun dia tidak akan bisa memenuhinya.
H : Kalau dia sedemikian membenci dirinya, bagaimana relasinya dengan orang lain, Pak ?
SK : Akhirnya relasinya dengan orang lain pun diwarnai dengan kebencian dan penolakan. Bukankah Tuhan Yesus pernah mengatakan yaitu dalam hukum kedua yang setara dengan hukum pertama, yaitu, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Jadi sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri, disitulah kita mempunyai modal kesanggupan untuk mengasihi orang lain. Sebaliknya ketika kita membenci diri kita sendiri, maka kita pun punya modal untuk menolak dan membenci orang lain. Memang orang yang membenci dirinya sendiri, dia juga tidak menyukai orang lain ! Ataupun ketika dia merasa sebenarnya butuh orang lain karena dia makhluk sosial, tapi karena dia membenci dirinya sendiri, tidak ada sesuatu yang menarik orang lain untuk mendekat bahkan berteman dengan dia. Kata-katanya negatif, wajahnya murung, hidupnya tidak ada terang yang ada kesuraman belaka, orang-orang pun secara alami enggan berteman dengan orang yang hidupnya suram, kata-katanya negatif dan tidak punya semangat hidup. Akhirnya ia akan merasa kesepian dan terasing. Demikian, Pak Hendra.
H : Apakah sikap membenci diri ini dapat menjerumuskannya kepada hal-hal yang mengarah pada perusakan diri atau kematian ?
SK : Iya, ini sebuah mata rantai yang tidak terputuskan. Karena dia membenci dirinya, tanpa sadar dia melakukan berbagai perilaku atau mengembangkan gaya hidup yang merusak dirinya. Dalam hal ini bisa berupa dia jatuh kepada kerentanan untuk merokok. Merokok itu 'kan merusak diri, memasukkan berbagai jenis racun kimiawi, diantaranya nikotin, untuk menghancurkan paru-paru dan tubuhnya. Rentan dengan minuman beralkohol, penyalahgunaan obat-obatan, men-tatoo atau menindik tubuhnya di sana-sini. Jadi merajah tubuh bukan sekadar seni. Tatoo itu sebuah seni, iya ! Tapi di sisi lain, tattoo itu bisa menjadi bentuk pelarian, mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batin seseorang. Semakin banyak rajahan, sayatan, tindikan, tusukan pada tubuhnya, itu seperti membuat anak yang terluka ini lega. Kenapa ? Karena bisa menyalurkan kebencian yang amat sangat dalam hatinya. Bahkan beberapa anak tumbuh menjadi pribadi yang suka menyulutkan rokok, membakar kulitnya dengan rokok yang menyala. Sakit, panas, luka bakar. Kemudian sengaja menyayat tubuhnya dengan silet, menghisap darah yang mengalir dari sayatan itu. Itu dilakukan karena dia sangat membenci dirinya dan dengan dia dia melukai dan meminum darahnya sendiri, itu seperti memberikan kelegaan sesaat.
H : Mengerikan sekali ! Tapi ini sulit dimengerti, bagaimana dia bisa merasa lega padahal dia sedang menyakiti dirinya ? Jadi dia lega tapi sakit. Bagaimana, Pak ?
SK : Ini memang kontradiktif tapi nyata. Karena dia tidak bisa mengekspresikan dengan baik, jadi ibaratnya dalam bahasa simbolik, seperti ada bola api yang panas dalam dirinya dan dia kepanasan, dia terbakar. Bagaimana agar dia tidak merasa panas ? Yang perlu dia lakukan bukankah mengeluarkan bola api panas itu. Karena dia tidak mengerti cara yang sehat untuk mengeluarkan bola api yang membakar tubuhnya, maka dia membuat luka-luka sayatan. Itu salah satu bentuk ekspresi yang tidak sehat dan sifatnya palsu untuk mengeluarkan panas api itu. Jadi dinamikanya bisa kita pahami demikian. Dia mencoba mengeluarkan panas bola api dalam tubuhnya itu, tapi karena tidak tahu cara yang sehat, maka dia menyayat-nyayat tubuhnya. Dengan adanya luka, bagian tubuh yang menganga dan darah yang keluar, itu seperti menyalurkan panas yang menyiksa tubuhnya.
H : Jadi rasa sakit yang dia ciptakan sebenarnya tidak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang terkurung di dalam dirinya ?
SK : Tepat, jadi sebenarnya dia sedang mengorek-ngorek lubang dalam dirinya lewat tubuhnya yang disayat dan dilukai itu supaya apa yang menyiksa di dalam tubuhnya itu dikeluarkan.
H : Apakah ini juga termasuk orang-orang yang suka melakukan kegiatan ekstrem yang menantang maut, ya Pak ?
SK : Ya. Memang beberapa anak korban kekerasan itu menjadi orang yang rawan untuk melakukan kekerasan. Di jalanan, kekerasan di luar, tanpa sadar salah satu itu bersifat ganda. Di satu sisi mengeluarkan energi kekerasan di dalam dirinya, dia lampiaskan kepada pihak luar. Tapi di sisi yang lain sebenarnya dia sedang menantang maut. Sedang membuka jalan yang lebih besar untuk menuju kematian. Karena bagi dirinya mati adalah keuntungan. Sayangnya bukan seperti Rasul Paulus yang "Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan", disini konteks mati adalah keuntungan karena dia begitu menderita oleh karena kekerasan yang bertahun-tahun dia terima. Maka dia menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar, itu sebagai ekspresi dia menantang maut dan dia ingin cepat mati.
H : Jadi konsepnya hidup bukan hidup bagi Kristus, tapi hidup adalah penderitaan dan mati adalah keuntungan ?
SK : Ya.
H : Apakah ada dampak dalam kehidupan seksualnya ?
SK : Ya, bagi anak korban kekerasan maka dia rawan menjadi budak seks. Baik itu seks yang bersifat normal maupun yang abnormal. Disini seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya yang membuat dia putus sementara dari rasa sakitnya. Memang sebenarnya seks dalam rancangan Tuhan bukanlah sebagai mekanisme atau alat pelarian, bukan juga obat sakit hati. Tetapi anak yang menjadi korban kekerasan itu bisa jadi tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk ke dalam kehidupan seks yang liar tak terkendali dan menjijikkan.
H : Tadi Bapak menyebutkan ada budak seks, baik seks normal maupun seks abnormal. Bedanya seperti apa, Pak ?
SK : Seks yang normal itu dilakukan dengan lawan jenis. Tapi yang tidak normal, dilakukan oleh sejenis, atau maaf, dilakukan dengan binatang. Ada seks yang tidak normal dalam konteks dilakukan dengan tindak kekerasan. Karena dia membenci dirinya dan suka melukai dirinya, maka ketika dia berhubungan seks, dia lebih suka berhubungan seks sambil disiksa dan disakiti sampai berdarah-darah. Jadi seks yang masochis. Atau sebaliknya, dia melampiaskan energi kekerasan yang ada dalam dirinya ini, dia menjadi pelaku kekerasan, maka ketika dia berhubungan seksual, dia berhubungan seksual dengan menyiksa rekan seksnya. Lahirlah seks sadisme. Atau sebaliknya, dia menjadi pelacur. Bukan hanya wanita, pria pun bisa menjadi pelacur, berhubungan seks liar dan bebas. Dan ini terus berekskalasi meningkat-meningkat yang sesungguhnya adalah sekadar "mencari kepuasan palsu" yang tidak ada ujungnya dan ujungnya itu hanyalah kehancuran, kematian yang sia-sia.
H : Dikatakan dia menjadi budak seks karena dia menjadi kecanduan dengan seks ini dan seks ini menjadi alat pelariannya, ya Pak ?
SK : Betul, memang mekanisme pelarian. Seks sebenarnya dirancang Tuhan bukan sebagai solusi bagi orang yang menjadi korban kekerasan, tetapi oleh lewat proses hidup yang keliru dia mengerti seks dengan keliru juga dan menikmati seks dengan model yang keliru. Sebenarnya dia menjadi semakin terjerat dalam mata rantai kekerasan juga.
H : Jadi selain masalah seksual, penyalahgunaan obat-obatan, narkoba, alkohol, dan lain sebagainya ini bisa masuk dalam kategori mekanisme pelarian, Pak ?
SK : Ya, mekanisme pelarian ini juga bisa berupa mencari kekuatan diri yang palsu. Misalnya belajar bela diri, tenaga dalam, bermain dengan kuasa kegelapan atau okultisme. Dalam hal ini untuk memperkuat diri yang lemah dan bertahun-tahun telah menjadi korban kekerasan. Disini saya ingin menegaskan, belajar bela diri bukan serta merta keliru. Tetapi ketika orang mempelajari bela diri sebagai mekanisme pelarian karena korban kekerasan, inilah yang menjadi ruang yang keliru.
H : Tapi 'kan ada sebagian korban kekerasan yang menjadikan pencarian kekuatan fisik dan supranatural ini akhirnya menjadi rentan mengejar maskulinitas yang palsu.
SK : Iya, memang yang dicari, khususnya bagi anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan, akhirnya jatuh menjadi maskulin yang palsu. Dia merasa, "Ini lho pria sejati. Tubuhku atletis. Aku jago bela diri. Ini tatoo-ku, mana tatoo-mu ?" atau seorang perokok, "Pria punya selera." Atau peminum, "Ini lho, aku bisa minum "Johnny Walker", aku bisa minum beberapa krat sekaligus." "Ini lho aku jadi pemimpin gang yang ditakuti." "Ini lho, ada banyak wanita yang sudah aku tiduri." Tapi itu seakan-akan seperti sebuah teriakan bahwa, "Aku ini lho laki-laki sejati. Aku bukan pecundang. Jangan sekali-kali meremehkan aku ! Jangan menginjak-injak aku lagi seperti dulu aku pernah mengalaminya !" Semua itu saya katakan sebagai kepriaan yang palsu, maskulinitas yang bohong.
H : Maskulinitas yang asli seperti apa, Pak ?
SK : Maskulinitas yang asli itu seperti Tuhan Yesus. Dia itu pria sejati yang asli, yang sesungguh-sungguhnya. Jadi Dialah sosok yang sehat. Pria yang sejati tidak perlu menunjukkan dengan dada yang membusung atau dengan bulu dada yang sedemikian rupa. Tapi dia tunjukkan dengan sikap yang tegas, sikap yang mengayomi, sikap yang berani membela kebenaran dan keadilan, sikap yang berani berterus-terang dalam kasih, sikap yang rela berkorban seperti Kristus membela yang benar, rela berkorban, mati untuk sebuah kebenaran, dan melindungi yang lemah apalagi wanita dan anak-anak. Itulah pria sejati.
H : Tanpa perlu atribut-atribut seperti gang motor dan sebagainya ya ?
SK : Ya, pria sejati juga pria yang tunduk kepada Allah. tunduk kepada otoritas dan menghargai otoritas, bukan pria yang memberontak.
H : Selain mekanisme pelarian diri, dalam ilmu psikologi juga dikenal mekanisme pertahanan diri. Apakah ini juga terjadi pada korban kekerasan ini ?
SK : Memang korban kekerasan mau tidak mau secara alami kental dengan mekanisme pertahanan diri. Jadi sebuah bentuk karena dia cemas, tegang, takut, akhirnya lahir cara-cara melindungi diri yang sebenarnya kurang sehat, apalagi kalau dilakukan berulang-ulang. Jadi anak-anak korban kekerasan rawan untuk menjadikan model penyangkalan sebagai cara hidupnya. "Tidak kok, dia yang salah !" mengkambinghitamkan orang lain. "Ayah dan ibuku yang membuatku seperti ini. Aku luka batin. Aku ini korban kekerasan, jadi wajar kalau begini." Jadi dia memakai pengetahuan-pengetahuan tentang luka batin, kepahitan, itu hanya untuk membenarkan diri sendiri, bukan untuk mencari pertolongan untuk bagaimana dia ditolong dan dipulihkan dilepaskan dari jerat kekerasan ini. Malah dia membenarkan dan mengkambinghitamkan. Ini adalah bagian dari mekanisme pertahanan diri. Merasionalisasi, mencari alasan-alasan yang logis, termasuk berbohong, itu termasuk mekanisme pertahanan diri, Pak Hendra.
H : Pak, semua mekanisme ini adalah cara yang salah. Pastinya dengan cara yang salah akan menghasilkan keyakinan-keyakinan yang salah ?
SK : Benar, Pak Hendra. Keyakinan yang salah pada anak-anak korban kekerasan bisa dalam bentuk tiga rupa. Itu sebenarnya konteksnya bukan hanya pada anak korban kekerasan, tapi bisa pada siapa pun kita, orang-orang yang berdosa juga bisa mempunyai keyakinan-keyakinan yang keliru. Tapi khusus untuk anak korban kekerasan, saya bisa soroti dalam tiga bentuk. Pertama, keyakinan yang keliru berkenaan dengan diri sendiri. misalnya bagi anak laki-laki mungkin berpikir demikian, "Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan itu bikin lembek. Tidak boleh merasa. Menangis itu cewek, untuk banci. Aku laki-laki sejati tidak boleh menangis, tidak boleh ikut merasa." Itu penipuan, kebohongan, keyakinan yang keliru tentang diri. Bagi anak perempuan bisa jadi berpikir begini, "Wanita itu memang diciptakan untuk dijajah pria. Wanita itu memang kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar." Maka tidak heran wanita-wanita ini mempunyai konsep diri yang negatif, benci dengan kewanitaannya, bahkan ada beberapa yang mempersembahkan diri untuk diinjak-injak laki-laki. Keyakinan diri yang keliru juga bisa dalam bentuk, "Aku ini tidak berharga, sampah, pecundang. Apapun yang kulakukan memang salah dan gagal." Atau dia berpikir, "Hanya satu jalan hidup sukses, yaitu kuat, hebat dan berkuasa ! Harus jadi orang yang kaya raya ! Harus jadi orang yang punya reputasi biar korupsi tidak apa-apa, yang penting kaya raya dan sukses. Dan itu membuat aku tidak akan pernah jadi korban kekerasan, tidak akan pernah ditindas orang lain. Maka pilihan hidupku hanya satu: menindas atau ditindas. Menang atau sama sekali jadi orang yang diinjak."
H : Mengerikan sekali, dengan keyakinan yang keliru ini otomatis jalan hidupnya menjadi tersesat, Pak ?
SK : Iya.
H : Kalau berkenaan dengan orang lain, keyakinan yang keliru itu seperti apa ?
SK : Keyakinan yang keliru bisa jadi anak laki-laki berpikir, "Oh, memang yang namanya wanita itu hak miliknya perempuan. Wanita itu layak dipukul, direndahkan." Maka ketika dia bertemu wanita, misalnya waktu dia mengendarai sepeda motor, "Hahaha, apa ini wanita naik motor ? Serempet aja, permainkan saja. Apalagi dia wanita pakai mobil". Dengan gampang dia lecehkan dengan pandangan matanya, dengan menderu-derukan kendaraannya untuk menakut-nakuti wanita. Jadi memandang wanita secara rendah. Ini termasuk keyakinan yang keliru tentang orang lain. Atau sebaliknya bagi anak perempuan berpikir, "Semua anak laki-laki itu cuma satu shio (menurut cara pikir orang Tionghoa), yaitu shio buaya atau shio serigala. Semua laki-laki cuma mau seks, hanyalah pelaku kekerasan. Hanya satu yang perlu dilakukan, laki-laki harus dilawan !" Tuduhan-tuduhan seperti itu bisa muncul.
H : Kalau terhadap Tuhan, Pak ?
SK : Terhadap Tuhan, dia berpikir, "Tuhan memang ada tapi Dia jauh tak terjangkau. Tuhan memang penuh kasih. Sayangnya tidak mengasihi diriku. Bohong kalau Tuhan Mahakasih." Jadi hal-hal seperti ini bisa sedemikian mendalam. Mungkin orang belajar Alkitab, belajar teologi di Sekolah Teologi, pendeta pun bisa berkhotbah sesuai firman, tapi kalau dicek hidupnya, apa yang dia khotbahkan mungkin bukan keyakinannya. Kenapa ? Karena lukanya begitu dalam. Emosi yang gelap itu memelintir keyakinan-keyakinannya. Sehingga ada keyakinan yang hanya bersifat akademis untuk diajarkan ke orang lain, tapi tanpa sadar ada keyakinan yang lain yang dia yakini sampai mati-matian sulit untuk dilepaskan.
H : Juga ada keyakinan bahwa Tuhan itu tidak adil ya, Pak ?
SK : Ya, dalam hal ini termasuk mempengaruhi luka ini, pola pandang terhadap Tuhan. Ini yang begitu dalam sekali. Akhirnya pandangan ayah yang buruk, ayah pelaku kekerasan itu terpantulkan bahwa Bapa di surga adalah Bapa yang buruk dan pelaku kekerasan. Dia bisa menjadi pemimpin pujian dan menyanyikan "Allah itu Baik, Bapa itu Baik". Dalam hatinya, "Iya, Bapa baik untuk kamu, tidak untuk saya." Jadi muncul rasa tidak aman, pandangan rohaninya tentang Bapa di Surga itu keliru. Kalau dalam bentuk yang lain karena pandangan rohani yang keliru itu, membuat dia bisa bersifat anti-Kristen, anti iman terhadap Kristus. Apalagi kalau papanya aktivis gereja atau hamba Tuhan. Maka dia akan berpikir, "Aku sengaja tidak menjadi Kristen untuk melawan iman orang tuaku." Atau sebaliknya, dia menjadi Kristen tapi Kristen yang legalis. Tekankan teologi kebenaran, teologi iman, sayangnya miskin kasih karunia, miskin anugerah, miskin pengampunan. Dalam hal ini terjadi kesesatan dalam dia menghayati hidup teologi karena dia korban kekerasan yang belum disembuhkan.
H : Selain semua dampak yang telah Bapak jabarkan, apakah masih ada dampak-dampak yang lain ?
SK : Dampak yang terakhir adalah mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi. Dampak kekerasan orang tua pada anak bukan berhenti pada anak. Tapi juga bisa berdampak pada cucunya, cicitnya, canggahnya dan generasi berikutnya. Begitu jauh akibat buruk dari dosa kekerasan terhadap anak ini, Pak Hendra.
H : Di akhir sesi ini, pesan firman Tuhan apa yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Saya bacakan dari Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Dalam hal ini kita para orang tua, baik sebagai ayah atau ibu, mari kita dengar firman Tuhan ini, mendidik anak-anak kita di dalam kuasa Tuhan. Bukan mendidik di dalam hal yang membangkitkan amarah, kebencian dan kepahitan bagi anak kita, maka mari kita menjadi orang tua yang tidak melakukan kekerasan terhadap anak. Mari kita berdoa, "Bapa yang di surga, berikanlah kami kuasa untuk mengasihi. Otoritas yang melindungi dan mengasihi sebagai orangtua bagi anak-anak kami. Dengan demikian biarlah kami menghentikan mata rantai kekerasan yang mungkin dulu pernah kami terima. Kami sudahi cukup pada kami. Anak kami mengalami proses pendidikan yang berbeda. Kami juga berdoa bagi gereja-gereja di Indonesia secara khusus, supaya lebih menaruh perhatian terhadap isu kekerasan terhadap anak agar gereja tidak menutup mata, tapi gereja membela anak-anak yang terjajah dan teraniaya ini. Muncul program terobosan yang mendampingi orang tua untuk mendidik dalam kasih dan disiplin yang benar. Berkati pula Komnas Perlindungan Anak, berkati LSM yang bergerak dalam perlindungan anak. Supaya dalam berkat Tuhan, karya mereka semakin nyata, melindungi, membela dan mengangkat anak-anak untuk menerima apa yang layak sebagai anak, tumbuh menjadi anak-anak Indonesia yang sehat, kuat, dan diberkati oleh Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus, amin. "
H : Terima kasih Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian keempat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.