Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kita sudah membahas mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Kalau terkait dengan faktor yang berasal dari anak itu sendiri, itu seperti apa Pak ?
SK : Anak sendiri memang bisa menjadi pemicu bagi kekerasan yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuh anak itu. Di antaranya seperti karena keterbatasan fisik anak tersebut. Jadi anak tersebut lahir dalam kondisi kekurangan secara fisik atau mengalami cacat fisik. Dan itu mungkin membangkitkan rasa tidak suka, rasa merendahkan anak itu, ada penolakan terhadap anak itu. Dan itu menjadi sumber tersendiri. Misalnya orang tua merasa kecewa, tidak bangga, bahkan merasa malu misalnya dengan kondisi mata telinga yang tidak utuh, kondisi noktah hitam di wajah atau tangan dan kaki yang tidak sempurna atau bahkan ketika anak mengalami keterbelakangan mental (retardasi mental). Atau mengalami kondisi kebutuhan khusus, misalnya autis ADHD dan kondisi-kondisi khusus lainnya. Ini membangkitkan rasa malu, rasa terbebani, sehingga sedikit-sedikit memicu amarah dan akhirnya orang tua terjerumus kepada perilaku kekerasan terhadap anak.
H : Jadi pemicunya dari anak itu sendiri tetapi akhirnya membuat orang tua bereaksi memberikan kekerasan terhadap anak itu ya, Pak ?
SK : Betul. Memang dalam hal ini faktornya akhirnya juga menjadi faktor orang tua dimana orang tua kurang bisa menerima sang anak. Seandainya orang tua tetap bisa menerima anak itu sebagai hadiah dari Tuhan, menerima itu sebagai karunia dari Tuhan, ada penerimaan yang bahkan boleh dikatakan penerimaan tidak bersyarat, maka sebenarnya orang tua masih bisa menanggulangi dari faktor anak itu. Memang anak itu cacat, kurang sempurna dalam ukuran umum atau mengalami kebutuhan khusus, tapi kalau orang tua bisa mengelola hati perasaannya, konsep dirinya, penghargaan dirinya dengan baik, itu masih bisa diatasi.
H : Terkait dengan akibat kekerasan terhadap anak, seperti apa, Pak ?
SK : Ada beberapa akibat. Yang pertama yang paling mudah dikenali pada umumnya adalah akibat secara fisik. Dalam hal ini anak mengalami luka secara fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, luka sayatan, cacat tubuh secara permanen karena kekerasan bertubi-tubi, hingga kerusakan otak. Dalam hal ini kita perlu menyadari betapa tubuh anak itu sangat ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Kita mengenali tulang anak adalah tulang rawan yang rentan terhadap keretakan. Jadi perlakuan buruk secara fisik, dalam bentuk hajaran, aniaya fisik oleh orang dewasa memang sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam anak dan menimbulkan keretakan dan patah tulang.
H : Sepertinya itu adalah dampak dari perlakuan kategori kekerasan secara fisik ya, Pak ?
SK : Bahkan yang ironis, kasus-kasus kekerasan secara fisik ini beberapa berakhir dengan kematian anak. Sebagaimana saya ingat kasus di tahun 1986-an, muncul ke permukaan ke media nasional yaitu meninggalnya Ari Hanggara karena aniaya kedua orang tuanya, bahkan akhirnya menjadi heboh, gerakan massa memprotes, sampai akhirnya difilmkan menjadi film nasional Ari Hanggara. Dan itu bukan satu-satunya kasus di masa-masa sekarang pun kita bisa membaca dengan mudah, dengan sungguh menyedihkan, kasus bayi/ balita yang sengaja ditenggelamkan di bak mandi oleh ibunya, kasus anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.
H : Kasus-kasus ini yang tragis, Pak. Selain dampak terhadap fisik anak, kami percaya juga ada dampak terhadap emosi anak, ya Pak ?
SK : Betul. Memang inilah yang kadang saya melihat kebanyakan orang tidak menyadari bahwa kekerasan pada anak bisa berakibat pada kerusakan emosional anak. Jadi orang lebih melihat apa yang di depan mata, yaitu fisik. Okelah lukanya sudah sembuh, boroknya sudah pulih kembali, patah tulangnya sudah digips, sudah dipen, sudah normal. Oke itu satu hal. Tetapi luka emosional itu kadang bersifat jangka panjang, merusak sedemikian dalam bahkan nyaris menetap. Ini yang perlu kita perhitungkan.
H : Apakah ini bisa dikategorikan sebagai sebuah trauma, Pak ?
SK : Betul, memang kekerasan pada anak itu menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang dalam hal ini anak. Begitu kerasnya hajaran fisik, apalagi yang berulang-ulang, apalagi dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata yang dikeluarkan oleh orang tua atau si penganiaya, dan begitu kerasnya bentakan yang diterima, itu membuat anak mengalami trauma .
H : Trauma-trauma yang bisa langsung dilihat oleh orang tua itu yang seperti apa, Pak ?
SK : Di antaranya, anak menjadi sulit tidur. Kalau pun bisa tidur tapi mudah terbangun, oleh mimpi-mimpi buruk, menjerit di tengah malam. Apa yang dialami itu begitu merasuk dalam jiwanya. Dan ketika orang sedang tidur, alam bawah sadarnya dalam posisi yang lebih merdeka. Sehingga apa yang terpendam itu keluar menjadi mimi-mimpi buruk bagi sang anak. Kemudian kecemasan dan rasa takut anak bisa menjalar ke tubuhnya menjadi psikosomatis.
H : Apa itu, Pak ?
SK : Psikosomatis adalah keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Jadi karena jiwa yang tertekan itu kemudian mengganggu metabolisme tubuh. Muncul dalam keluhan-keluhan fisik khususnya di bagian anggota tubuh atau organ tubuh yang paling lemah bagi orang tersebut. Contohnya anak bisa mengalami sembelit, susah buang air besar atau sebaliknya anak menjadi sulit menahan buang air, baik mengompol atau bahkan buang air besar. Dan itu bisa bergulir meningkatkan kembali amarah dan kekerasan terhadap anak. Ini seperti sebuah eskalasi peningkatan-peningkatan kekerasan. Karena anak yang memang sudah tidak bisa menerima tindak kekerasan ini. Dalam bentuk yang lain, anak bisa mengalami sakit maag, karena stres yang tinggi membuat asam lambung mudah meningkat sehingga menimbulkan iritasi dan sakit maag. Atau bahkan bisa menyerang fungsi pernafasan. Ada anak-anak tertentu yang mengalami asma, sebenarnya bukan faktor keturunan tapi sebenarnya manifestasi faktor tekanan jiwa yang diterima karena kekerasan yang terjadi pada anak tersebut.
H : Trauma-trauma seperti ini pasti juga akan mempengaruhi pertumbuhan karakternya ya, Pak ?
SK : Betul, memang akhirnya membentuk karakter dan kepribadian anak. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresi, dan mudah frustrasi. Artinya anka cenderung melihat sekitar lebih banyak dari sudut rasa tidak aman, "oversensitive", mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabaran dan mudah terpicu oleh ledakan amarah dan tindakan yang menyerang (reaktif) impulsif, spontan dan tak terkendali. Disini anak tumbuh menjadi pribadi yang minim dengan penguasaan diri.
H : Saya teringat di sesi sebelumnya Bapak menyebutkan peniruan secara alamiah. Apakah ini termasuk kategori itu, Pak ?
SK : Benar, Pak Hendra. Memang orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak secara bertubi-tubi itu menggambarkan pribadi yang tidak sabar, mudah frustrasi dan agresif. Maka anak sebagai korban mengalami proses peniruan model perasaan, pengelolaan diri, khususnya bisa terjadi pada anak laki-laki, menjadi pribadi yang negatif, agresif dan mudah frustrasi. Tidak menutup kemungkinan anak perempuan juga bisa menjadi pribadi yang demikian.
H : Maksudnya, anak laki-laki ini hanya akan meniru perilaku ayahnya yang sejenis kelamin, atau bagaimana Pak ?
SK : Seperti yang Pak Hendra tengarai tadi, saya sejutu bahwa peniruan itu lebih mudah terjadi pada relasi yang sejenis. Anak laki-laki akan meniru ayah, anak perempuan akan lebih meniru ibunya. Jadi peniruan secara gender. Di satu sisi yang lain adalah tentang pembenaran. 'Kan laki-laki lebih dibenarkan untuk mengekspresikan secara agresif. "Anak laki-laki memang begitu kok." Nah, anak perempuan lebih sering dibatasi budaya dan sosial. "Eh, anak perempuan tidak boleh marah-marah begitu. Tidak boleh main pukul !" sehingga pada diri anak perempuan lebih minim, sekalipun juga kita bisa melihat faktor anak perempuan secara alami dia lebih bagus dalam kemampuan verbalnya. Agresifitasnya lebih kepada kata-kata, omelan dan sebagainya. Anak laki-laki karena perkembangan otak laki-laki mengalami keterbatasan secara verbal tapi akhirnya terlampiaskan melalui ekspresi fisik termasuk kekerasan secara fisik. Disinilah proses peniruan diantaranya faktor gender ini menjadi faktor yang memberi sumbangsih.
H : Kalau anak laki-laki akhirnya meniru perilaku agresif ayah, bagaimana dengan anak perempuan yang mendapat kekerasan dari sang ayah ? Dampak seriusnya seperti apa, Pak ?
SK : Pada anak perempuan, khususnya kalau ayah adalah pelaku kekerasan dan ibunya turut menjadi korban kekerasan sang ayah, maka anak perempuan ini bisa tumbuh menjadi gadis yang serba menerima perlakuan laki-laki. Dan anak perempuan ini tumbuh menjadi pribadi yang akhirnya mempercayai sebuah kekeliruan bahwa harkat dan martabatnya itu di bawah laki-laki. Maka ketika kelak dia menikah, tanpa sadar anak perempuan ini tumbuh dewasa dan akan memilih pria yang potensial menjadi pelaku kekerasan sebagai suaminya. Memang ada tindakan yang bersifat instingtif, tindakan naluriah yang tidak dia sadari membuat dia seperti tidak berminat dan bahkan menghindari pria yang baik yang bukan calon pelaku kekerasan. Dia secara naluriah lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang akan menghajar dan menganiaya dia kelak.
H : Kenapa, Pak ?
SK : Ada sebuah proses tercipta sebuah pola pikir seperti benci tapi rindu. Dia terbiasa dalam kondisi yang tidak sehat, kondisi yang disfungsional. Ini mencetak jiwanya. Tanpa sadar. Dia tahu, "Aku tidak suka dengan kekerasan ayahku. Apalagi ibuku jadi korban. Aku sebagai anak juga jadi korban dan melihat 'tayangan langsung' dari hari ke hari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun. Aku tidak suka." Tapi sisi lain, itu menjadi model yang jadi satu-satunya model kehidupan rumah tangga atau kehidupan relasi gender yang seperti itu. Jangan lupa, relasi orang tua itu kuasanya besar daripada anak menonton relasi orang lain yang bukan orang tuanya, apalagi dia hidup satu rumah, jadi gemanya lebih kuat. Ini membentuk alam bawah sadar anak. Seperti ada kode-kode yang tidak nampak, membuat "antenna"nya secara naluriah, dia akan mencari pria yang bakat melakukan kekerasan. Karena dia seperti sebuah mata rantai kekerasan yang tidak bisa dia hentikan, ada kuasa.
H : Jadi dia tidak sadar ?
SK : Tidak sadar ! Jadi kuasa ini bukan dalam arti kuasa okultisme roh atau kerasukan. Kuasa ini adalah pola psikologis, kejiwaan, emosional, sehingga akhirnya ini sungguh menyedihkan, bahwa anak itu akhirnya berpacaran dengan pria yang berpotensi melakukan kekerasan. Mungkin waktu berpacaran dia pernah ditampar, dipukul, dijambak, dijotos sampai babak belur, tapi mungkin tercipta pola pikir di dalam dirinya, "Ah, itu 'kan salahku. Aku yang tidak sabar. Aku yang memaksa cowokku ini 'kan lagi capek, aku yang perlu mengerti. Ini 'kan hanya sesekali. Nanti pasti akan berubah. Apalagi kalau kami menikah, pasti dia akan menjadi pria yang lemah lembut." Jadi dia menciptakan harapan-harapan yang bagaikan pepesan kosong, mimpi di siang bolong.
H : Jangan-jangan cara berpikir seperti itu sudah dia mulai sejak dia kanak-kanak dan dia menjadi korban kekerasan ayahnya.
SK : Ya, karena begini, itu mungkin disumbang oleh ibunya. "Nak, ya itulah yang namanya berumah tangga. Namanya kekerasan, pertengkaran seperti itu lumrah. Nenekmu juga begitu." Itu sebuah doktrin ! Terjadi indoktrinasi terhadap anak perempuan ini. "Oh, rumah tangga itu seperti ini. Laki-laki memang identik dengan kekerasan dan wanita identik dengan korban kekerasan." Jadi membentuk sebuah iman yang tidak sehat dan keliru.
H : Jadi terlihat jelas ada keterkaitan antara perlakuan orang tua pada anak itu membentuk pola bagaimana anak merasa mengembangkan emosi dan tumbuh dalam karakter.
SK : Betul. Pada anak laki-laki yang ayahnya adalah pelaku kekerasan akan tercipta pola sebaliknya. "Oh, laki-laki boleh melakukan kekerasan. Laki-laki itu boleh menampar istrinya. Laki-laki itu boleh menganiaya anaknya. Apalagi anak laki-laki atau anak yang membangkang." Maka ketika dia punya adik perempuan, dia menampar adik perempuannya. Kenapa ? "Papa menampar mama. Ya aku boleh menampar adik. Namanya laki-laki ya pelaku kekerasan. Namanya perempuan ya harus menurut dan tunduk. Kalau tidak menurut tidak tunduk, laki-laki berhak mendisiplin, menegakkan otoritas sekali pun dengan kekerasan fisik".
H : Ini kesesatan berpikirnya anak laki-laki ya, Pak ?
SK : Ya, memang seperti yang Pak Hendra sampaikan, jadi pengasuhan, perlakuan orangtua itu membentuk pola perasaan, pola keyakinan, sekali pun itu keyakinan yang sesat dan keliru. Pola interpretasi atau menafsirkan peristiwa secara sesat dan keliru juga, bahkan membentuk pola atau gambar diri anak. Ini sesuatu yang seringkali kita orang dewasa kurang menyadarinya. Kita menganggap sepele kekerasan terhadap anak. "Ah, itu hanya berdampak fisik!" TIDAK! Ini dampak emosional, psikis, bahkan hidup masa depan anak itu sedang kita gariskan lewat model perlakuan yang kita lakukan ketika anak itu masih kecil.
H : Tadi kita sudah membahas dampak-dampak yang kelihatannya memang termasuk kategori dampak jangka panjang karena berhubungan dengan masa depannya dan sebagainya. Kalau misalnya anak itu langsung mendapat perlakuan kekerasan dari orang tuanya, pada umumnya responsnya saat itu seperti apa, Pak ?
SK : Umumnya anak itu akan lebih menerima. Anak kecil khususnya usia 10 tahun ke bawah, dia melawan malah bisa dipukul atau lebih dianiaya. Akhirnya dia menjadi korban, penonton, yang bersifat tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerima saja.
H : Tapi 'kan ada anak-anak yang berusaha mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung, Pak ?
SK : Ya, ada anak-anak yang tumbuh terbiasa agresif secara aktif, tapi ada anak yang tumbuh agresif secara pasif. Maksudnya karena anak ini begitu melawan langsung ditebas oleh orang tuanya, maka ada kemarahan yang terserap dalam diri anak. Dia tidak berani mengekspresikannya secara terbuka. Maka anak itu mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung.
H : Secara pasif ?
SK : Ya.
H : Contohnya seperti apa, Pak ?
SK : Misalnya ada istilah dalam bahasa Jawa 'inggih-inggih ning mboten kepanggih' yang artinya mengiyakan tapi tidak mengerjakan. Mungkin sengaja terlambat, "Biar. Aku 'kan sengaja terlambat." "Memang sengaja aku tunda-tunda, sengaja aku buat jelek atau sengaja aku rusak." Jadi dia main belakang. Menjadi pribadi bunglon. Tampil di depan baik, simpatik, bersahabat. Tapi di belakangnya main intrik, bermain licik, menggigit dari belakang. Jadi kalau dikonfrontasi, ditanya, dia tidak akan mau mengakui, sekalipun bukti sudah nyata. Malah itu akan menimbulkan amarah yang semakin besar dan dia siap melakukan sabotase yang lebih besar lagi, bahkan kalau perlu "Ayo mati bersama ! Lebih baik aku kalah kamu kalah juga, daripada kamu menang aku kalah." Memang benar-benar keras hati, keras kepala. Mungkin orang yang agresif pasif ini kalau kenal diluarnya tidak nampak. Nampaknya manis, baik, simpatik. Tapi semakin kenal, barulah kita tahu dan terkena kesulitan-kesulitan berhadapan dengan pribadi yang demikian.
H : Bisa dikatakan seperti air tenang yang menghanyutkan, Pak ?
SK : Bukan hanya menghanyutkan, Pak Hendra, tapi menenggelamkan !
H : Karena keterbatasan waktu apakah ada pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Ayat firman Tuhan yang saya bacakan dari Matius 18:6, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke laut." Firman Tuhan ini merupakan kutipan langsung dari perkataan Tuhan Yesus, bahwa anak-anak yang datang percaya kepada-Nya, menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, itu benar-benar perlu dijaga dan dilindungi. Yang menyesatkan dan yang mengalihkan anak itu dari iman yang benar, lebih baik dia dihilangkan. Itu kata-kata yang keras karena Tuhan menghargai anak sebagaimana Tuhan menghargai orang dewasa. Saya perluas pengertian teks ini dalam konteks kita ini, perlakuan orang tua, perlakuan orang dewasa itu bisa membawa anak itu semakin mendekat pada pribadi Yesus, mengenal, mempercayai dan mengasihi Yesus. Atau sebaliknya perlakuan kekerasan itu menjauhkan anak dari Tuhan, menjauhkan anak dari hidup yang Tuhan inginkan, menyesatkan anak. Dalam hal ini, kalau kita menjadi orang dewasa atau orang tua yang menyesatkan anak-anak kita dengan perlakuan kekerasan kita terhadap anak, ingat, bukan sekadar anak yang kita hadapi, bukan sekadar hukum negara ini, jauh lebih lagi, Tuhan yang empunya anak-anak kita. Dialah yang menjadi Hakim yang adil, yang minta pertanggungjawaban kita sebagai orang tua ataupun orang dewasa yang telah menganiaya anak yang Tuhan percayakan kepada kita.
H : Di akhir sesi ini, saya tergerak untuk meminta Bapak berdoa bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Mungkin di antara pendengar kita, ada yang pernah mengalami kekerasan di masa kecil dari perilaku orang tuanya, mungkin selama ini tidak paham dengan perilaku kekerasan ini.apa boleh Pak ?
SK : Mari kita berdoa. Bapa yang di Surga, siapakah kami ini ? Sebagian di antara kami adalah pribadi-pribadi yang tumbuh tanpa disadari telah menjadi korban kekerasan dari orang tua kami, korban kekerasan dari orang-orang dewasa yang seharusnya mengasihi, melindungi, dan mengarahkan kami. Maka dalam nama Yesus, kami minta jamahan Tuhan, menolong di tengah keterlukaan dan pengalaman buruk yang pernah kami alami ini. Supaya kami tidak mendiamkannya tetapi mengijinkan memprosesnya bersama dengan Tuhan, rekan-rekan hamba Tuhan, atau bersama konselor yang Tuhan perlengkapi, supaya sampah muatan negatif yang kami serap tidak tinggal diam dalam diri kami. Tetapi lewat proses yang sehat, kami bisa mengakui kepada Tuhan dan sesama kami, dan kami bisa serahkan kepada Tuhan untuk Tuhan cabut dan Tuhan hadirkan kasih-Mu, damai-Mu, pemulihan-Mu, dan penyembuhan-Mu dalam diri kami. Hamba-Mu juga berdoa bagi anak-anak yang ada di bebagai rumah tangga di negeri ini, termasuk rumah tangga Kristen, anak-anak-Mu yang menjadi korban kekerasan. Mari di dalam nama Yesus, jadilah pembela bagi anak-anak yang sedang disesatkan ini ya, Bapa. Orang tua-orang tua dan orang-orang dewasa pelaku kekerasan, di dalam nama Yesus Tuhan bekerja mendatangkan pengakuan bersalah, mendatangkan penyesalan, mendatangkan tekad untuk mau ditolong, dan menjalani proses pertobatan. Selamatkanlah anak-anak-Mu, Bapa, di sudut-sudut rumah, di sudut-sudut sekolah, di sudut-sudut ruangan, atau pun di luar ruangan, yang menjadi korban kekerasan, belalah mereka ya, Bapa. Selamatkan jiwa mereka, selamatkan hidup mereka. Dan jadikan kami orang-orang dewasa yang peka terhadap situasi ini, mau menjadi penolong dan penyelamat bagi anak-anak kami dan sekitar kami yang telah menjadi korban. Berkati kami, bawakan damai sejahtera-Mu bagi anak-anak kami, anak-anak Indonesia. Di dalam nama Tuhan Yesus, amin !
H : Terima kasih Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian ketiga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.