Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dan juga Bp. Heman Elia dan beliau adalah seorang magister Psikologi akan menemani Anda berbincang-bincang pada acara Telaga kali ini. Perlu Anda ketahui bahwa Ibu Esther Tjahja maupun Bp. Heman Elia adalah dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Kecerdasan dan Test Kecerdasan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Heman, kali ini kita akan membicarakan topik tentang kecerdasan. Kadang-kadang membingungkan kami karena ada kecerdasan, ada kepandaian, ada kecerdikan, nah sebenarnya kecerdasan itu apa?
HE : Kalau boleh diartikan kecerdasan adalah suatu kemampuan umum dari seseorang dalam hal bagaimana dia memecahkan masalah hidupnya sehari-hari. Dan kemampuan ini dapat tercermin dari kecepata, ketepatan dan kedalaman berpikir seseorang itu di dalam mencari jalan keluar masalahnya dalam kehidupan sehari-hari.
GS : Jadi agak berbeda dengan kepandaian?
HE : Ya kalau kepandaian boleh dikatakan kepandaian itu sebetulnya tetap diperlukan dasar kecerdasan tetapi kepandaian sering kali lebih dikaitkan dengan masalah belajar (GS: prestasi di sekolh dan sebagainya) betul.
(2) GS : Anak yang dilahirkan di dalam satu keluarga misalnya punya 2 atau 3 anak, kenapa kecerdasannya bisa berbeda-beda Pak?
HE : Ini ada beberapa faktor yang mempengaruhinya misalnya saja faktor bawaan, jadi meskipun mereka lahir dari orang tua yang sama, faktor bawaan ini bisa berbeda karena masalah genetik dan jug fungsi otak dan syarafnya.
Syaraf setiap orang itu bisa berbeda-beda, tapi selain itu masalah gizi, masalah kebiasaan-kebiasaan dari kecil, masalah rangsangan atau stimulasi dari lingkungan. Misalnya kalau anak pertama dia lebih banyak mendapat stimulasi daripada anak kedua umumnya, tapi tidak selalu begitu, itu akan membuat anak-anak yang pertama sering kali lebih cerdas meskipun tidak selalu berarti demikian. Ini tergantung dari masing-masing lingkungan yang berbeda dan juga latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan seorang anak itu akan berbeda-beda yang menyebabkan apakah seseorang bisa mengembangkan kecerdasannya atau tidak.
ET : Dengan kata lain maksud Pak Heman kecerdasan itu masih dapat dikembangkan lagi?
HE : Ya, saya percaya bahwa tingkat kecerdasan seseorang masih bisa ditingkatkan sampai pada batas tertentu. Maksud saya batas tertentu itu adalah potensi yang disediakan oleh faktor genetik, jdi tergantung potensi dia.
Sering kali masalahnya adalah potensi seseorang itu tidak dikembangkan secara maksimal, jadi kita seharusnya bisa mengembangkan kecerdasan itu secara maksimal. Tetapi ini juga harus dilakukan sedini mungkin, jadi sebaiknya sejak anak masih sangat muda kecerdasannya mulai dikembangkan.
ET : Masyarakat umum kadang-kadang menilai seseorang cerdas atau tidak, kalau saya melihat misalnya matematikanya bagus atau memorinya baik sehingga orang lebih mudah mengatakan anak ini cerdas. Sebenarnya apakah memang kecerdasan ini hanya dalam bidang-bidang tertentu saja, Pak Heman?
HE : Sebetulnya kalau secara konsep, kecerdasan tidak hanya menyangkut hal-hal belajar di sekolah atau hal-hal yang diajarkan di sekolah. Kecerdasan yang diajarkan di sekolah dan sebagainya itulebih bersifat akademis, lebih bersifat intelektual, tapi sebetulnya jenis kecerdasan ini banyak.
Jadi misalnya kita sekarang mengenal kecerdasan emosi, kecerdasan sosial di mana seseorang bisa berelasi dengan baik, kecerdasan kreatifitas, kecerdasan spiritual bahkan, kecerdasan di bidang seni dan sebagainya. Kenapa terjadi kesalahkaprahan bahwa kecerdasan itu hanya menyangkut hal-hal yang bersifat sekolah itu, pertama karena adanya test kecerdasan yang sejak dulu hanya mengukur hal-hal yang bersifat akademis. Dan yang kedua karena kecerdasan itu sering kali bisa dilihat orang atau dihargai orang itu dari sekolah yang memang dari sejak dulu sekolah ini sangat mendominasi kehidupan anak. Padahal sebetulnya kalau dilihat, diperhatikan bahwa kesuksesan hidup seseorang tidak tergantung semata-mata pada kesuksesan di masa dia sekolah. Jadi ada anak yang kurang begitu berprestasi di sekolah, tapi ternyata sangat berprestasi dalam kehidupannya sehari-hari. Dan itu banyak sekali contohnya, salah satunya misalnya Thomas Alfa Edison kemudian juga Albert Einstein yang kita semua tahu bahwa mereka adalah orang-orang genius tetapi gagal di sekolah.
GS : Dalam hal itu apakah bukan dari faktor bawaan Pak Heman, jadi memang bawaannya itu sebenarnya dia sudah cerdas?
HE : Betul, ada faktor bawaan di situ dan memang bagi saya faktor yang paling berperan di dalam kecerdasan itu memang faktor bawaan.
GS : Ya tadi Pak Heman katakan juga kita bisa meningkatkan itu lewat gizi, nah mungkin ini yang lebih mudah dilakukan oleh orang tua, misalnya apa saja?
HE : Saya beri contoh misalnya sejak anak di dalam kandungan begitu sang ibu sudah tahu bahwa dia hamil, seharusnya ibu ini lebih banyak makan makanan yang berprotein tinggi misalnya ikan, minu susu daripada makan bakso atau makan rujak dan sebagainya.
Dan kemudian pada waktu anak lahir, anak juga perlu diberikan gizi yang cukup. Nah ini dapat meningkatkan kecerdasan anak sampai dengan keoptimalan dari potensi kecerdasannya.
GS : Dari beberapa anak saya melihat (memang karena dekat dengan saya, itu masih keluarga) anak-anak yang disusui oleh ibunya sampai cukup agak besar misalnya sampai 2 tahun atau 1,5 tahun ternyata lebih pandai atau lebih cerdas dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang tidak mendapat kesempatan seperti itu Pak Heman, apakah hal itu ada pengaruhnya?
HE : Saya kira ya, tapi kita juga harus pikirkan bahwa kalau misalnya anak tidak cukup mendapat gizi, maksudnya tidak cukup minum dari ASI, jadi ASI dari ibunya tidak mencukupi untuk kebutuhan naknya ya perlu juga diberikan makanan-makanan tambahan atau susu yang lain.
GS : Tadi Pak Heman mengatakan bahwa kercerdasan seseorang itu bisa diukur lewat test dan sebagainya, Pak Heman bisa ceritakan sedikit tentang itu?
HE : Tentang test kecerdasan ini ada beberapa macam test yang di Indonesia yang banyak sekali beredar adalah test bine untuk anak-anak biasanya dikenal dengan Stanford Bine karena dikembangkan leh Terman dari Stanford University dan Bine ini sudah meninggal lama.
Nah test itu untuk anak-anak selain itu juga ada ejaannya WPPSI, test itu yang dibuat oleh Westler kemudian ada WISC itu untuk anak-anak, WPPSI itu untuk anak prasekolah sedangkan WISC itu untuk anak-anak, test yang bersifat individual. Kemudian ada beberapa test kecerdasan lagi yang bersifat kelompok, jadi test ini yang biasanya dipakai untuk mengetahui secara cepat kira-kira tingkat-tingkat kecerdasan seorang anak dan bagaimana kemampuan dia di dalam mengikuti pelajaran di sekolah.
GS : Itu bentuk testnya seperti apa kira-kira yang umum digunakan, Pak?
HE : Ada subtest-subtest misalnya ada pertanyaan-pertanyaan tentang informasi yang secara umum harus diketahui anak, misalnya bagaimana caranya memasak air atau misalnya juga siapa Presiden Indnesia dan sebagainya, itu pengetahuan umum yang harus dikuasai.
Kemudian ada pertanyaan yang menyangkut hal-hal sosial yang dia harus tahu misalnya apa yang kamu lakukan kalau kamu menemukan amplop berperangko cukup beralamat di tepi jalan dan seterusnya, kemudian ada hal yang menyangkut bahasa, menyangkut ketelitian dia di dalam melihat figur-figur atau gambar-gambar, logika, aritmatika, kemudian matematika dan seterusnya. Jadi ada banyak dan ini semua setelah dihitung secara total akan menggambarkan tingkat kecerdasan seseorang.
ET : Lalu katakanlah angka hasil test itu bisa dipercaya, dalam arti sejauh mana hal ini bisa mengukur kecerdasan yang tadi kata Pak Heman sesungguhnya luas sekali?
HE : Test kecerdasan itu biasanya kita kenal dengan istilah IQ atau Intelligence Quotient, jadi sering kali orang salah kaprah mengatakan bahwa test kecerdasan itu test IQ. Sebetulnya bukan, IQitu adalah hasil dari test kecerdasan yang selalu di dalam bentuk skor.
Kemudian tadi pertanyaannya sejauh mana test kecerdasan itu bisa dipercaya? Sampai sekarang test yang ada menurut penelitian ± bisa memperkirakan keberhasilan belajar seorang anak hingga 25%. Jadi ini angka yang sudah cukup baik atau sangat baik bahkan bisa memperkirakan tingkat keberhasilan 25%. Tapi memang pada saat ini ada begitu banyak kritik terhadap test kecerdasan karena salah satunya misalnya tadi seperti yang kita bicarakan kecerdasan itu pengertiannya sangat luas, tetapi test kecerdasan hanya bisa mengukur sebagian kecil dari kecerdasan yaitu yang menyangkut prestasi belajar di sekolah. Sehingga sering kali orang mengatakan bahwa test kecerdasan itu sebetulnya test bakat sekolah, kira-kira seperti itu.
ET : Mungkin itu jugakah sebabnya kita bisa temukan anak-anak yang sepertinya memang hasil testnya, test kecerdasan atau nilai IQ nya bagus di atas rata-rata atau cukup tinggi, tapi ternyata dalam sehari-hari prestasi di sekolahnya tidak sejalan dengan hasil test kecerdasannya?
HE : Itu ada beberapa masalah memang di dalam test kecerdasan, seperti tadi dikatakan bahwa paling maksimal 25% kemungkinan untuk memperkirakan keberhasilan belajar. Jadi yang 75% itu apa? 75% tu adakalanya sifat-sifat dari seorang anak itu mempengaruhi di dalam hal belajar.
Misalnya ada anak cerdas tapi dia terlalu malas atau terlalu ceroboh di dalam belajar, kemungkinan lain misalnya anak cerdas tetapi dia merasa bosan, suka-suka anak cerdas itu tidak tertantang dengan pelajaran di sekolah karena dia menganggap cara guru mengajar itu kurang menarik. Kemudian juga misalnya sifat-sifat anak yang lemah di dalam mendisiplin diri, konsentrasi, mengorganisir diri sendiri, dan itu menyebabkan prestasinya tidak seperti yang dicerminkan di dalam test kecerdasan. Kemudian juga masalah-masalah di dalam keluarga yang menghambat konsentrasi dia belajar, misalnya ada anak yang hidup dalam keluarga yang tidak harmonis sehingga dia selalu berpikir atau dia stres memikirkan keadaan keluarganya. Kemudian jangan lupa juga sebetulnya orang tua mempunyai peran di dalam prestasi belajar anak, sering kali orang tua yang kurang peduli atau kurang memahami bagaimana seharusnya mendisiplin dan mengajar anak di rumah, itu akan menyebabkan anak akhirnya prestasi belajarnya menurun atau rendah.
ET : Jadi memang hal ini rasanya perlu dipahami lebih baik, karena saya amati banyak juga orang tua yang rasanya sudah bangga dengan anak-anak yang katakanlah dianggap cerdas sepertinya sudah pnya modal sehingga tidak dikembangkan seperti yang Pak Heman katakan tadi.
Akhirnya potensi sudah ada tetapi hasil tidak sejalan dengan hal itu.
GS : Sebaiknya anak yang mau masuk sekolah kelas berapa itu dilakukan test kecerdasan ini.
HE : Kalau bagi saya test kecerdasan sebetulnya tidak terlalu perlu dilakukan kecuali kalau ada masalah, misalnya anak tampak kurang bisa menangkap suatu pelajaran dan kita ingin tahu lebih jels ini penyebabnya apa? Apakah karena suasana di rumah atau adanya kelainan syaraf atau masalah-masalah yang lain, misalnya dia menderita stres di sekolah dan sebagainya.
Kalau memang ada masalah dan kita ingin tahu saya pikir baru perlu diberikan test inteligensi atau kalau kita curiga waktu berbicara anak ini tidak bisa menangkap pembicaraan orang lain dan sebagainya, nah di sana barulah kita berikan test inteligensi.
GS : Tapi ada beberapa sekolah itu melakukannya secara masal Pak, jadi mau tidak mau anak ini pasti ikut.
HE : Ya saya kira itu tidak perlu dan itu agak berlebihan. Masalahnya begini, kalau misalnya seorang anak di test dan ternyata tingkat kecerdasan katakan IQ-nya itu ketahuan 90. Kadang-kadang blum pasti benar, itu merupakan label bagi anak tersebut sehingga anak itu menjadi malas belajar karena dia pikir saya pasti tidak mampu.
Hal-hal itu yang harus kita hindarkan, efek-efek samping seperti itu karena sering kali terbukti bahwa justru usaha keras itu yang lebih mendukung prestasi belajar daripada kecerdasan.
ET : Padahal banyak orang menganggap sama halnya seperti pemeriksaan fisik yang sepertinya secara rutin harus dilakukan, mungkin jangan-jangan secara kecerdasan juga harus di cek untuk mengetahi ada kenaikan atau tidak, sehingga sepertinya perlu secara berkala.
Sebenarnya sejauh mana hal ini diperlukan, Pak Heman?
HE : Saya kira itu juga kekeliruan pandangan di masyarakat, karena sebetulnya test kecerdasan itu dibuat dengan suatu standarisasi atau norma berdasarkan membandingkan seseorang dengan kelompokusia sebaya.
Jadi misalnya kalau kita itu memberikan test kepada anak usia 7 tahun, anak 7 tahun itu tidak dibandingkan dengan anak-anak usia yang lebih muda atau lebih tua. Dia akan dibandingkan dengan anak-anak usia sebaya karena itu kalau di test ulang pun kemungkinannya akan sama saja hasilnya atau kalau misalnya ada perbedaan skor biasanya perbedaan skor 7 sampai 10 point adalah masih wajar dan normal. Yang akan kita kuatirkan justru kalau menjalani test kecerdasan beberapa kali si anak sudah ada faktor belajar dan latihan-latihan test kecerdasan sehingga skornya itu meningkat. Tetapi sebetulnya tingkat kecerdasan yang sesungguhnya dari anak itu tidak meningkat, sehingga nantinya salah memberikan gambaran atau salah memperkirakan kecerdasan anak justru akan berakibat lebih buruk dalam hal ini.
GS : Secara normal Pak, berapa nilai seseorang anak itu dianggap sudah cukup?
HE : Tingkat inteligensi yang normal bagi anak itu adalah antara 90-109 atau 110 itu tingkat inteligensi rata-rata. Pada tingkat inteligensi ini anak tergolong rata-rata di kelas, tentu saja leih tinggi tingkatannya dia akan lebih cepat menguasai pelajaran dan seterusnya.
Tetapi saya ingin tegaskan sekali lagi bahwa test inteligensi tidak perlu dilakukan apalagi dilakukan berkali-kali dan terus-menerus, karena itu suatu tindakan yang berlebihan.
GS : Nah katakanlah yang diketahui itu hasilnya pas seperti tadi Pak Heman katakan 90-110, kalau hasilnya 90 orang tua bisa berharap apa dari anak yang seperti ini?
HE : Sebagai orang tua kita harus benar-benar menahan diri agar tidak memacu anak di luar kemampuannya, terus terang untuk anak yang dengan tingkat IQ 90 misalnya kalau katakan untuk masalah di akhirnya kita terpaksa memberikan test inteligensi kepada dia, maka anak demikian biasanya akan bersusah payah di dalam pelajarannya.
Usahakan supaya dia tidak diberikan sekolah misalnya bersekolah di sekolah favorit yang begitu sulit pelajarannya dan usahakan untuk memuji dia bukan berdasarkan prestasinya, tetapi atas dasar usaha keras yang dilakukannya. Dan kalau memungkinkan, sediakan lebih banyak alternatif supaya anak mendasarkan diri kepada usaha kerasnya dan bukan hasil prestasinya. Selain itu seperti tadi yang digambarkan bahwa kecerdasan ini menyangkut selain faktor-faktor intelektual maka kita perlu juga mengembangkan kecerdasan emosi dia, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, kecerdasan kreatifitas, kecerdasan seni dan sebagainya. Jadi tidak sesempit seperti hanya kecerdasan akademis saja yang dikembangkan, Pak?
GS : Dalam hal ini tentu semua orang tua menginginkan anaknya cerdas tetapi tadi ada faktor bawaan, ada banyak faktor yang mempengaruhi. Tentunya anak yang dipercayakan oleh Tuhan ke tengah-tengah kita itu pasti Tuhan punya maksud tertentu, nah mungkin Pak Heman bisa mengutip sebagian ayat dari Alkitab yang bisa mendukung upaya ini.
HE : Saya akan kutipkan dari Amsal 3:11-18 di sini dikatakan demikian "Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan Tuhan dan janganlah engkau bosan akan peringatanNya karena uhan memberikan ajaran kepada yang dikasihiNya seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi.
Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian karena keuntungannya melebihi keuntungan perak dan hasilnya melebihi emas. Ia lebih berharga daripada permata, apapun yang kau inginkan tidak dapat menyamainya. Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan, jalannya adalah jalan penuh bahagia, segala jalannya sejahtera semata-mata. Ia menjadi pohon kehidupan bagi orang yang memegangnya, siapa yang berpegang kepadanya akan disebut berbahagia." Dari sini dikatakan dari ayat-ayat yang kita bacakan bahwa didikan Tuhan itu akan memberikan ajaran supaya kita mempunyai hikmat dan beroleh kepandaian.
GS : Ya berarti Tuhan menghendaki semua anak-anakNya juga berupaya agar kecerdasan yang dikaruniakan itu terus dikembangkan. Semaksimal mungkin bagi kemuliaan nama Tuhan, tetapi bagi mereka yang katakan kecerdasannya pas-pasan Tuhan masih membuka peluang-peluang yang lain, sehingga Dia tetap bisa berkarya sesuai dengan apa yang Tuhan rencanakan bagi dirinya. Jadi tidak ada alasan untuk rendah diri dan sebagainya di dalam hal ini.
Jadi terima kasih sekali, Pak Heman untuk kesempatan perbincangan ini dan pada perbincangan yang akan datang kita pasti juga akan masih membicarakan tentang kecerdasan anak-anak ini. Juga terima kasih Ibu Esther untuk bersama dengan kami pada acara rekaman Telaga kali ini. Saudara-saudara pendengar demikianlah tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Heman Elia, M.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kecerdasan dan Test Kecerdasan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.END_DATA