Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Anak: Investasi Orangtua?" bagian kedua. Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, menyambung perbincangan kita di bagian pertama tentang boundaries atau batasan, ini sangat menarik. Batasan orangtua membesarkan anak, kapan harus melepaskan anak itu seperti apa Pak, boleh dijelaskan dengan lebih bisa dimengerti?
SK : Jadi memang semangatnya kembali pada satu titik tumpu yang utama terutama sejak dini. Anak milik Tuhan. Anak bukan milik orangtua. Orangtua sebatas wakil Tuhan. Orangtua sebatas manajernya Tuhan untuk membesarkan anak tersebut menurut S.O.P-nya Tuhan, menurut standar arahan kemauan dan tujuannya Tuhan. Bahwa masing-masing anak yang Tuhan percayakan kepada kita, orangtua, harus diarahkan untuk anak mengenali Tuhan secara pribadi sebagai Tuhan dan Juruselamat, mengalami Tuhan secara pribadi, dan anak itu perlu didukung untuk mengenali panggilan khususnya dari Tuhan dan anak itu berhasil untuk mengikuti dan mewujudkan kemauannya Tuhan. Kalau konsep dasar ini, kalau cara pandang ini sejak dini orangtua memegangnya, menghayati, menghidupinya dan memeliharanya terus menerus maka orangtua tidak akan menganggap dan memerlakukan anak sebagai harta milik, sebagai miliknya, sebagai aset yang dimiliki dan dikuasai oleh orangtua. Tapi ini adalah asetnya Tuhan dan dikembalikan kepada Tuhan. Jadi makanya sedari awal pun sejalan dengan itu orangtua perlu membangun penghargaan diri yang sehat; aku berharga, aku eksis bukan karena apa dan bagaimana anakku. Aku berharga, aku eksis karena aku dikasihi Tuhan, aku intim dengan Tuhan, aku menikmati Tuhan dalam rasa aman kehidupan dengan Tuhan maka aku membebaskan anakku menjadi seperti maunya Tuhan. Sedari awal namanya batasan menjaga jarak yang sehat orangtua dan anak itu sudah dari sikap hati, pengalaman hati, hidup batiniah dari orangtua yang menghayati relasi dengan Tuhan dan mengadopsi, mengambil pikiran-pikiran Tuhan tentang cara pandang Tuhan terhadap relasi orangtua dan anak. Termasuk dalam hal ini relasi suami dan istri. Suami tidak boleh dan tidak benar memerlakukan istri sebagai aset atau sebagai harta milik, sebaliknya istri pun tidak berhak menganggap suami sebagai Tuhan atas hidupnya, protektor, pelindung, penjamin hidup. Pelindung yang sejati, rasa aman yang sejati hanya ada di dalam Tuhan. Ada batasan yang sehat antara suami dengan istri, "Istriku jungkir balik seperti apa bukan berarti merebut rasa amanku yang sejati di dalam Tuhan.", "Suamiku mengalami jatuh bangun bukan berarti membuat hidupku akan jatuh bangun seperti itu. Penopang hidupku yang terutama adalah Tuhan." Justru dengan pengalaman rasa aman bersama dengan Tuhan, aku mendukung suamiku, aku mendukung istriku. Nah, itu prinsip yang sama terhadap relasi orangtua dengan anak.
Y : Iya, benar Pak. Kalau secara praktis Pak, hal-hal apa yang orangtua harus belajar untuk lepaskan, pada usia berapa kepada anak?
SK : Maka dalam hal ini secara prinsip ketika anak lulus SMA, ketika anak lulus Sekolah Menengah Atas sekitar umur 18 atau 20 tahun, ijinkan anak untuk meninggalkan orangtua secara psikologis terutama apalagi secara fisik.
Y : Nge-kos di luar kota.
SK : Iya. Bekerja di luar kota, ijinkan. Bahkan sekalipun satu kota namun anak memilih kos pun itu tidak apa. Asal keuangannya dia punya, dia sanggup. Karena itu bagian dari penyapihan secara emosi, secara lebih kentara. Kembali penyapihan emosi memberi jarak, mengijinkan anak untuk meluaskan atau memutuskan sendiri itu sudah dimulai di masa SMP dan SMA yaitu masa peralihan, masa transisi remaja. Jadi ketika umur 18 atau 20 tahun ini batas yang lebih tegas. Apalagi kalau anak sudah menikah. Jadi ketika anak sudah usia dewasa awal, umur 18 atau 20 tahun ijinkan anak untuk mengikuti panggilan khusus Tuhan; kuliah, bekerja, orangtua membayang-bayangi, memberi umpan balik tetapi keputusan pada anak. Karena akibatnya pun nanti anak sendiri yang menanggungnya. Nanti "Aku memilih Fakultas Kedokteran karena papa mama, ayah bunda dan sekarang aku salah jurusan, sekarang aku susah dapat kerja maka papa mama yang harus menanggungnya!" Disini terlihat masalahnya di belakang. Karena dari awal keliru, keputusan jurusan orangtua yang menentukan.
Y : Kenyataannya begitu, ya Pak? Banyak sekali orangtua yang campur tangan dalam ikut memilihkan jurusan, sekolah mana, di kota mana kurang tepat ya, Pak?
SK : Jadi bukan memutuskan tapi menstimulasi, memberi rangsangan, pancingan, mengajak untuk berpikir tetapi tetap keputusan di anak. Sekalipun kita mungkin mendukung secara finansial. Karena kembali ini bukan soal jaminan masa depan, tapi soal jaminan apakah anak kita sedang mengerjakan pimpinan khusus Tuhan, panggilan khusus Tuhan atau tidak. Apakah kita sebagai orangtua sedang mengikuti pimpinan Tuhan atau kita mengikuti kemauan kita? Dan jangan lupa di masa hidup akhir kita, ada pengadilan terakhir dimana kita akan dimintai pertanggungjawaban. Tuhan akan bertanya, "Hai Sindu, Aku sudah percayakan kamu sekian jumlah anak. Apakah masing-masing anak ini kamu besarkan menurut kemauan-Ku atau tidak, atau kemauanmu sendiri? Apakah pilihan hidupnya kamu yang tentukan atau kamu ijinkan anakmu bergumul dan menemukan pimpinan-Ku? Aku meminta pertanggungjawaban." Jadi ini bukan soal masa sekarang tapi juga soal kekekalan. Orangtua perlu sadar bahwa aku wakil Tuhan, aku akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pemilik hidup anakku yaitu Tuhanku.
Y : Oke. Bahkan dalam konteks pernikahan ya, Pak, maksudnya anak yang mau menikah orangtua juga tidak berhak menentukan. Tetapi orangtua mengarahkan, memberi nasihat dan masukan begitu ya, Pak?
SK : Iya. Maka di dalam hal ini bukan berarti, ketika anak memasuki usia 18 tahun keatas, meninggalkan orangtua bukan berarti sedang memusuhi orangtua.
Y : Atau sebebas-bebasnya tidak peduli orangtua.
SK : Iya. Bukan berarti akhirnya orangtua dihilangkan dalam memori anak. Tidak. Anak yang tumbuh dalam pendidikan iman yang baik, dalam pengasuhan 0-18 tahun dengan baik, dia akan tetap memunyai ikatan emosional dengan orangtua. Akhirnya menghormati orangtua diwujudkan dalam bentuk mengunjungi orangtua.
Y : Memerhatikan…
SK : Iya, memerhatikan. Kemudian bahkan secara sengaja anak melibatkan orangtua seperti…
Y : Dalam proses pengambilan keputusan.
SK : Bukan karena orangtua memaksa tapi secara sukarela anak mengundang bukan untuk didikte tapi untuk menjadi penasihat. Bukankah ini indah?
Y : Benar, setuju.
SK : Itu buah dari 0-18 tahun ketika orangtua mendidik, membesarkan anak menurut S.O.P-nya Tuhan. Maka di dalam hal ini juga, Bu Yosie, saya teguhkan bahwa menghormati Allah dan menghormati orangtua bukan bersifat saling meniadakan. Bukan bersifat pilihan. Jadi kedua-duanya itu benar dan kedua-duanya bukan berkontradiksi, bukan bersifat bertentangan. Menghormati orangtua tetap dengan menghormati panggilan khusus Tuhan kepada anak, itu bisa dilakukan sekaligus bukan dipertentangkan. Dan menghormati panggilan khusus Tuhan dengan tetap menghormati orangtua bukan bersifat saling meniadakan. Maka juga dalam hal ini, tetapi ketika menghormati orangtua melawan menghormati Tuhan, maka menghormati orangtua menjadi wilayah yang hilang. Artinya ketika orangtua memberikan perintah, memberikan kemauan yang bersifat menentang kemauan Allah maka anak bisa berkata, "Maaf papa mama, maaf sekali ayah bunda. Aku sangat menghormati kalian sebagai orangtua, sebagai wakil Allah. Tapi untuk permintaan yang ini, untuk tuntutan yang ini aku minta maaf karena ini membuatku akan melawan pimpinan Tuhan, melawan kemauan Tuhan. Maka untuk hal yang ini aku tidak bisa taat. Aku tidak bisa tunduk." Itu benar justru di dalam Tuhan maka dikatakan: hormati, taati orangtuamu di dalam Tuhan. Sejalan dengan bahasan kita di dalam surat Efesus 6:1-4 tadi.
Y : Bagaimana kalau orangtua tidak bisa menerima atau marah dengan sikap anak yang walaupun asertif ya, tapi dia berani tegas menolak. Misalnya, kita tidak bicara tentang perintah orangtua untuk mencuri, membunuh dan sebagainya. Tetapi misalnya tentang panggilan hidup menjadi seorang hamba Tuhan yang orangtua tidak bisa setuju. Lalu si anak belajar asertif dan berkata, "Maaf papa mama tapi ini panggilan hidup saya." Dan dia tetap bersikeras untuk masuk sekolah Alkitab dan orangtua marah. Sejauh mana Pak, anak itu boleh tetap melakukan panggilannya?
SK : Jadi kembali kasus itu harus tunduk kepada prinsip. Situasi-situasi aktual kekinian, situasi kontemporer, situasi yang terjadi sesaat tunduk kepada sesuatu yang kekal yang bersifat mutlak. Prinsip ini namanya. Kembali prinsipnya hormat orangtua itu di bawah tunduk kepada Tuhan. Jadi ketika itu berbenturan tetap anak bisa mengkomunikasikan: "Maaf papa mama. Papa mama ingin aku bahagia, ingin aku sukses? Maka papa mama mengarahkan aku ke Fakultas Kedokteran, mengarahkan aku untuk menjadi pengusaha? Terima kasih papa mama, engkau memang sayang aku. Terima kasih. Tetapi maaf di dalam perjalanan pergumulanku dengan Tuhan, aku menemukan berkali-kali, berulang kali Tuhan memimpin aku, meyakinkan aku lewat sebuah proses yang bisa aku pertanggungjawabkan, lewat proses yang cukup panjang bahwa aku dipanggil untuk menjadi seorang pekerja sosial. Kerja untuk melayani masyarakat di luar Jawa, di masyarakat yang kurang beruntung. Memang secara ekonomi penghasilanku akan lebih kecil, tapi Tuhan memanggilku demikian dan aku bahagia. Mungkin kalian tidak setuju, tidak apa. Tapi aku akan bertahan dengan pilihan ini karena aku mau menghormati kalian dengan cara aku menghormati Tuhan yang juga papa mama sembah. Jadi maaf untuk yang kali ini kalau aku mengecewakan papa mama. Aku minta maaf sekali."
Y : Meskipun menerima resiko mengecewakan orangtua, namun sejauh kita melakukannya di bawah takut akan Tuhan maka itu Tuhan yang akan bereskan.
SK : Iya. Sekalipun berarti pada titik itu anak siap untuk tidak dimodali. "Oke. Boleh kamu lakukan katanya Tuhanmu yang pimpin kamu untuk melayani masyarakat miskin tapi kamu siap dicoret dari surat warisan." Si anak menjawab, "Iya, baik papa mama. Aku siap."
Y : Itu menanggung resiko ya, Pak?
SK : Iya. Jangan anak bimbang dengan "Aku butuh uangnya papa mama. Butuh maunya Tuhan." Hidup adalah pilihan. Tidak bisa kita ambil dua-duanya dalam banyak hal.
Y : Baik, Pak.
SK : Maka dalam hal ini, Bu Yosie, sesuai dengan bahasan kita, "Anak : Investasi Orangtua?", maka dalam hal ini memang anak bukan investasi orangtua. Dalam hal ini orangtua perlu menghormati anak sebagaimana menghormati Tuhan yang memiliki anak ini. Anak ada panggilan khusus. Orangtua mengijinkan anak mengikuti panggilan khusus itu. Satu sisi yang lain, bahwa sebagai wujud hormat anak yang sudah berusia dewasa, anak yang sudah punya penghasilan maka dia bisa mewujudkan rasa hormat itu dengan menyediakan sekian persen penghasilannya untuk diberikan kepada orangtuanya. Mungkin orangtuanya masih berkecukupan. Tidak apa. Tapi uang itu bisa disisihkan satu persen, dua persen, lima persen untuk ditabung. Lalu ketika ulang tahun orangtua dibelikan sesuatu. Nah, orangtua juga senang. Menyenangkan orangtua juga salah satu wujud kita mengasihi dan menghormati orangtua. Saya berbicara ini bukan kewajiban, tapi ini adalah salah satu wujud, cara kita mewujudkan untuk hormat kepada orangtua yang tidak bertentangan dengan kita menghormati panggilan khusus Tuhan itu tadi. Maka juga dalam hal ini, apalagi yang sudah berkeluarga atau yang sudah punya suami dan istri, secara sadar dan bersengaja, secara intensional mari sisihkan satu, dua, tiga persen kita anggarkan untuk orangtua dan ini saling diketahui oleh suami istri. Jangan adanya uang suami maka rahasia suami, ini uang istri maka rahasia istri. Di dalam Tuhan perlu ada transparansi, keterbukaan. Termasuk dalam hal ini, anggaran ini bukan berarti bersifat kaku. Ada kalanya orangtua mengalami musibah dan sangat membutuhkan bantuan. Ada kalanya kita ditantang secara iman, "Selama ada anggaran dan aku sudah tabung, aku sudah berikan. Tapi ini melampaui anggaran?" Kita bukan berarti harus berkata, "Papa mama, ayah bunda aku sudah punya anggaran dan memberikan semuanya itu kepada kalian. Sekarang tidak ada lagi anggaran itu jadi masalah itu urusan kalian." Ada kalanya Tuhan menantang secara iman, "Hai Sindu, ini ada kebutuhan mendesak. Aku mau mendorong kamu untuk tetap mau memberi melampaui anggaranmu sebagai langkah iman. Yakinlah kalau engkau memberi, maka Aku akan memberkati kamu." Ada kalanya begitu dan silakan didoakan dan digumuli dengan Tuhan dengan pasangannya, jika sudah menikah. Apakah Tuhan memimpin kita untuk mengambil langkah iman dengan mengurangi anggaran kita di masa tua untuk menolong orangtua kita atau mertua yang sedang mengalami musibah ini. Kalau ada keyakinan iman, berilah melangkah dengan iman. Karena kita kembali melihat jaminannya bukan anggaran yang kita susun, tapi jaminan sesungguhnya adalah pemeliharaan Tuhan.
Y : Setuju, Pak.
SK : Silakan. Tapi ini bukan pola. Jadi selalu mengosongkan tabungan untuk anak, tabungan untuk sekolah anak, tabungan untuk kita suami-istri selalu dikosongkan untuk atas nama orangtua. Itu yang salah.
Y : Tidak bertanggungjawab juga ya, Pak?
SK : Tepat.
Y : Jadi meskipun anak tidak boleh dituntut menjadi penyedia uang buat orangtua di masa tua, tetapi anak dengan rasa kasih, rasa hormat boleh memberikan bantuan keuangan buat orangtua dan tentunya dengan tetap bertanggungjawab, begitu ya Pak?
SK : Iya. Nah, sisi yang lain dalam batasan orangtua menghormati anak yaitu orangtua tidak boleh ‘aji mumpung’ atau memperalat dan memperdaya anak untuk menjadikan dia ‘sapi perahan’ bagi dirinya dan bagi anak yang lain. Ada kasus-kasus dimana terkadang orangtua lebih punya belas kasihan kepada satu, dua anak yang lain yang bermasalah secara keuangan. Kemudian dia minta kepada anak yang dianggap sudah bisa mandiri, lebih mampu secara keuangan lalu dia memanipulasi dan membujuk-bujuk bahkan dalam beberapa kasus membohongi: "Ini untuk papa mama." Si anak bertanya, "Untuk apa ini? Papa mama sudah saya beri waktu lalu?" Dan orangtua menjawabnya dengan "Iya. Untuk ada kebutuhan besar mendesak." Padahal ujungnya untuk membantu saudara anak itu. Dan satu sisi kadang saudara itu juga ‘aji mumpung’. Dia sedang menanggung kesalahan keuangan karena keputusan yang salah yang semestinya sudah diperingatkan. Dan akhirnya cara ‘gali lubang tutup lubang’ ini membuat sang anak yang hidupnya stabil dirugikan sedangkan sang anak yang hidupnya tidak bertanggungjawab semakin disuburkan perilaku tidak bertanggungjawabnya itu. Maka ketika dalam hal ini orangtua kembali harus bersikap benar di hadapan Tuhan. Tetap dia sendiri harus melihat bahwa kamu adalah hambanya Kristus, kamu adalah hambanya Allah, kamu akan dimintai pertanggungjawaban apakah otoritasmu sebagai orangtua sedang kamu salah gunakan, atau kamu sedang gunakan dengan benar. Karena kalau kita menyalahgunakan otoritas atau kita meminta anak yang hidupnya benar untuk selalu menanggung anak yang hidupnya salah dan akhirnya anak yang hidupnya salah pun akan selalu terpelihara perilaku salahnya, maka kita menjadi wakil Allah yang bersalah dan Tuhan akan memberi ganjaran di dalam pengadilan terakhir kepada kita.
Y : Jadi orangtua harus bijaksana juga ya, Pak? Walaupun memang sama-sama anak pasti sama-sama disayangi, tapi bukan berarti mengkorbankan anak yang satu demi kepentingan yang lainnya, Pak?
SK : Betul. Maka juga sejalan dengan itu, Bu Yosie, kalau sang anak ini menyadari anak yang hidupnya benar dan bertanggungjawab kemudian terus dimintai orangtua, terus-menerus bukan sesekali, terus-menerus untuk tujuan yang salah. Ada beberapa orangtua tidak bijak. Dia memanfaatkan anak itu, maka anak yang sehat perlu berani menegaskan batasannya.
Y : Berhak menarik batasan yang tegas ya, Pak?
SK : Iya. "Maaf papa mama untuk kali ini, untuk anggaran ini aku tidak bisa beri." Kadang orangtua menjawab, "Anak durhaka. Berani menolak kemauan orangtua. Awas nanti papa mama, ayah bunda doakan apapun yang kamu lakukan pasti gagal, terkutuk sakit penyakit semuanya, masalah akan muncul." Baik, kalau pun orangtua sampai sebrutal itu, mari kita berkata bahwa hidupku di tangan Tuhan bukan di tangan orangtua, berkat itu dari Tuhan kalau aku hidup benar Tuhan pasti memberkatiku sekalipun orangtua mengutuki aku. Jadi kita berani menarik batasan untuk menolak kemauan orangtua demi kita sebagai anak yang juga adalah hamba Kristus yang akan dimintai pertanggungjawaban bagaimana mengelola hidup dan keuangannya; apakah menurut kemauan Tuhan atau sekadar ingin menerima penerimaan orangtua yang semu, yang bersifat sesaat itu.
Y : Kalau semua orang memunyai pandangan yang benar, melakukan yang benar dengan satu pengertian di hari penghakiman kita akan bertanggungjawab tentunya indah, ya Pak Sindu? Masing-masing melakukan bagiannya dengan benar.
SK : Betul. Maka juga dalam hal ini, Bu Yosie, untuk kita orangtua muda, orangtua yang masih aktif bekerja mari kita persiapkan tabungan untuk masa pensiun kita.
Y : Setuju, Pak. Sehingga tidak perlu mengharapkan anak menjadi investasi kita ya Pak?
SK : Betul. Jadi dalam hal ini, apakah di tempat kerja kita ada tidak tabungan pensiun. Kalau misalnya kita wirausaha atau dalam posisi bekerja dalam sektor apapun yang memang tidak ada atasan atau penjamin masa pensiun, mari ciptakan tabungan pensiun sendiri. Datanglah ke bank tertentu atau lembaga keuangan yang diakui negara untuk kita punya upaya tabungan masa tua. Sehingga kembali tidak mengharapkan pada anak seperti tadi yang Bu Yosie sampaikan.
Y : Setuju, Pak. Kita mengharapkannya kepada Tuhan yang tidak akan pernah mengecewakan kita.
SK : Maka dalam hal ini, Bu Yosie, ini juga kasusnya sama dengan kasus anak-anak yang mengubur karier dan panggilannya demi memelihara orangtua di masa lansianya atau di masa tuanya. Bu Yosie tentu pernah tahu kasus-kasus atau peristiwa-peristiwa seperti itu?
Y : Iya, benar Pak.
SK : Biasanya anak usia berapa atau dalam kondisi apa yang diminta merawat orangtuanya sampai orangtua meninggal?
Y : Biasanya sampai tidak menikah demi merawat orangtua. Mungkin juga anak bungsu yang paling kecil karena kakak-kakaknya sudah menikah, dia harus meninggalkan karier, meninggalkan panggilannya untuk merawat orangtua yang sakit.
SK : Benar. Maka dalam hal itu Bu Yosie ini kembali kepada prinsip firman Tuhan. Bukan berarti kondisi orangtua itu ‘sabda pandita ratu’ istilah Jawa yang berarti bahwa bukan berarti kondisi orangtua itu sebagai Tuhannya kita. Kembali kita harus bertanya kepada Tuhan. Kita bisa melibatkan Kristus dan tubuh Kristus artinya orang-orang percaya yang lain yang mengerti dan memahami situasi kita dan keluarga kita untuk turut mendoakan, berdiskusi, mencari pimpinan Tuhan secara khusus; apakah memang saya harus menunda sesaat panggilan khusus Tuhan atas hidup saya demi merawat orangtua, ataukah Tuhan menghendaki saya memercayakan perawatan orangtua ini kepada orang-orang lain entah perawat, entah Panti Wreda atau komunitas tertentu yang bisa menggantikan tugas perawatan ini sementara saya pergi mewujudkan panggilan khusus Tuhan dan saya tetap memerhatikan lewat telepon atau lewat kunjungan selama seminggu sekali, sebulan sekali atau periode tertentu.
Y : Bahkan mungkin bantuan keuangan ya, Pak? Tetap kita menyediakan diri untuk men-support orangtua.
SK : Iya. Jadi semangatnya bukan untuk mengubur panggilan khusus Tuhan demi orangtua, atau semangat yang menyatakan: siapa orangtua itu, panggilan khusus Tuhan yang lebih mulia, lebih indah. Jadi disini bukan hitam-putih, tapi kita ada ruang abu-abu.
Y : Ada hikmat.
SK : Tepat. Untuk konteks saya ini hikmat apa yang Tuhan berikan, pimpinan khusus apa yang Tuhan mau berikan sebagai jawaban atas situasi pelik ini. Libatkan tubuh Kristus, bawalah dalam doa bahkan mungkin doa dan puasa untuk mencari pimpinan khusus Tuhan. Jangan sekadar ikuti pikiran orangtua, pikiran rasa bersalah kita, tapi lebih dari itu semua Tuhanlah yang memiliki hidup orangtua, Tuhanlah yang memiliki hidup kita, carilah pimpinan-Nya khusus ini dan Tuhan akan memberikan hikmat dan damai sejahtera.
Y : Sebagai penutup Pak, apa yang Pak Sindu mau tekankan dan pesan kepada orangtua ataupun anak yang sudah dewasa?
SK : Jadi saya mau sampaikan Matius 6:33, "Jadi, usahakanlah dahulu supaya Allah memerintah atas hidupmu dan lakukanlah kehendak-Nya. Maka semua yang lain (yang dikhawatirkan, dikejar-kejar orang yang tidak mengenal Allah) akan diberikan Allah juga kepadamu." Saya ambil kutipan dari Bahasa Indonesia Sehari-hari. Saya juga mau sitir satu ayat yang terakhir Yesaya 46:4, "Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu. Akulah Dia Tuhanmu. Akulah Dia Tuhanmu yang akan memeliharamu. Akulah yang menciptakanmu. Aku yang akan menggendong kamu. Akulah yang akan memeliharamu. Akulah yang akan menyelamatkan kamu." Jadi mari lewat dua bagian firman Tuhan ini meneguhkan kita bahwa libatkan Tuhan, tunduk pada Tuhan, percayakan hidup pada Tuhan dan setialah lakukan bagian kita sebagai anak, setialah lakukan bagian kita sebagai orangtua atau pun orangtua yang sudah berusia lanjut bahwa Tuhanlah yang menjadi sumber aman, pengharapan dan pertolongan kita, melampaui keterbatasan kita, keterbatasan anak kita, keterbatasan keadaan kita.
Y : Iya. Kalau masing-masing baik anak atau pun orangtua menjadikan Tuhan sebagai pusat hidupnya dan sumber pertolongannya maka semuanya pasti akan indah, ya Pak?
SK : Benar.
Y : Maka Tuhan berjanji akan ada kecukupan, akan terjadi pemeliharaan, akan terjadi pertolongan Tuhan. Janji Tuhan luar biasa indah buat kehidupan kita.
SK : Amin.
Y : Terima kasih Pak Sindu, saya percaya apa yang kita bicarakan ini menjawab pertanyaan rekan-rekan pendengar sekalian. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak : Investasi Orangtua?" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.