Depresi dan Bunuh Diri 1

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T361A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.
Abstrak: 
Bersamaan dengan kemajuan jaman, semakin banyak pula gangguan depresi yang dialami orang masyarakat sekarang. Pemicu awal depresi adalah stres, namun dari stres yang tidak terselesaikan itulah, kemudian mengarah ke depresi dan bisa sampai pada langkah yang terburuk yaitu mengambil tindakan bunuh diri. Bagaimana kita bisa mengetahui gejala depresi ? Agar tidak sampai bunuh diri, apa yang bisa kita lakukan untuk menolong orang yang sedang depresi?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Gangguan depresi di tingkat internasional maupun nasional kini sudah menjadi suatu wabah bisu atau silent epidemics. Disebut wabah bisu karena telah semakin luas dialami banyak orang di berbagai negara namun dampak kematiannya tidak serta tampak sebagaimana misal wabah flu burung, infeksi virus SARS yang sempat menggegerkan dunia dan Indonesia beberapa tahun belakangan ini.

Saat ini diperkirakan 350 juta orang di seluruh dunia terjangkit depresi yang telah menjadi penyakit tidak menular global serius. Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental menentukan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh tiap tanggal 10 bulan 10, khusus untuk tahun 2012 bertemakan "Depresi: Suatu Krisis Global". Sementara itu, posisi depresi sebagai beban penyakit global yang pada tahun 1990 menduduki peringkat ke-4, pada tahun 2020 bakal menempati peringkat ke-2 di bawah penyakit jantung koroner.

Perwujudan depresi di masyarakat dapat kita lihat pada tingginya konflik di masyarakat, agresivitas di jalan raya, kekerasan dalam rumah tangga, kesurupan massal baik di sekolah, di pabrik-pabrik, meluasnya penggunaan narkoba yang merupakan upaya pelarian dari tekanan jiwa, juga maraknya kasus bunuh diri. Semua hal ini menunjukkan adanya depresi baik yang bersifat individual atau perorangan, depresi yang bersifat massal maupun depresi yang bersifat terselubung, makin serius di Indonesia. Makin banyak orang yang cepat tersinggung, mengamuk dan makin agresif atau sebaliknya, menjadi mudah menyerah dan mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. Orang yang mengalami gangguan emosional cepat mengambil tindakan kekerasan. Hal itu memicu gangguan kecemasan dan menjadi tanda awal depresi yang dapat menjadi keadaan patologis atau keadaan yang semakin parah jika berlanjut.

Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan di Indonesia prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas 11,6 persen. Paling tinggi di Provinsi Jawa Barat 20 persen, terendah di Kepulauan Riau 5,1 persen.

Gangguan mental emosional itu terutama adalah kecemasan dan depresi. Prevalensi depresi global berkisar 5-10 persen dan angka di Indonesia tak jauh berbeda. Prevalensi 5-10 persen itu sudah besar dan sudah bisa menjadi masalah masyarakat. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, maka mencapai 11-22 juta jiwa!

Sementara itu dalam Simposium Nasional Bunuh Diri yang diadakan di tahun 2009 diungkapkan bahwa pada tahun 2004 tercatat di Indonesia 1.030 orang melakukan percobaan bunuh diri, 705 orang di antaranya tewas. Tahun 2005, Benedetto Saraceno, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Substansi WHO, menyatakan, kematian rata-rata karena bunuh diri di Indonesia 24 kematian per 100.000 penduduk. Dengan asumsi penduduk Indonesia 220 juta jiwa, maka didapatkan angka 50.000 kasus kematian akibat bunuh diri. Ironisnya, baik pemerintah maupun masyarakat justru mengabaikan dan lalai dalam menghadapi calon krisis nasional ini. Sayangnya, hingga kini belum ada program khusus bagi penanganan depresi. Program kesehatan yang dekat masyarakat, seperti puskesmas, tidak memasukkan kesehatan jiwa sebagai satu dari enam program pokoknya. Padahal, depresi sangat berpengaruh terhadap produktivitas.

Maka menjadi tugas kita sebagai gereja dan warga masyarakat untuk proaktif mengantisipasi wabah ini. Pertama, kita perlu memahami gejala-gejala depresi dan mensosialisasikan secara meluas.

Tiga gejala utama depresi :

  1. Kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai. Kalau dulu suka nonton bola ramai-ramai, maka tiba-tiba menarik diri dari kegiatan nonton bareng tersebut, bahkan sama sekali juga tak ada minat sama sekali nonton sepak bola.
  2. Kehilangan energi, meski mestinya sudah cukup tidur dan makan tapi badan terasa lelah, lemah, lunglai dan tak berdaya.
  3. Suasana perasaan murung. Hal-hal yang dulu bisa membangkitkan keceriaannya kini sama sekali tak ada pengaruh. Sepanjang hari, sepanjang waktu terasa suasana hati muram, kelabu dan sendu.

Selain tiga gejala utama ini masih bisa disertai dengan gejala-gejala lainnya seperti: kesulitan konsentrasi, masalah tidur: bangun lebih pagi (insomnia), atau tidur berlebihan (hipersomnia), perubahan pola makan, fantasi atau bayangan-bayangan melakukan bunuh diri bermunculan di pikirannya.

Dalam taraf depresi yang ringan kita bisa menangani dengan mengangkat suasana hati kita yang suram dan kelabu menjadi lebih cerah dan hidup, yaitu dengan cara :

  • Usahakan bangun pagi dan berolahragalah. Tubuh segar akan mengangkat suasana hati kita menjadi lebih cerah dan hidup.
  • Masalah-masalah yang terasa menyumbat hati dan pikiran kita, patut kita keluarkan. Datangilah orang lain, ceritakan masalah kita untuk bisa lebih terurai dan menjadikannya masalah-masalah yang lebih kecil. Teman seperjalanan akan membuat beban hidup terasa lebih ringan daripada seorang diri menempuhnya. Datang ke konselor bukan sebagai tanda kelemahan, justru tanda orang yang ingin hidup sehat.
  • Sediakan waktu untuk Firman Tuhan setiap hari dan bangun relasi intim dengan Tuhan. Pola pikir yang bersifat negatif akan mulai tergantikan dengan perkataan-perkataan positif dari Firman Tuhan. Utarakan beban masalah kita di dalam doa. Izinkan kehadiran Tuhan mengisi diri kita.

Kalau taraf depresinya sudah sangat menekan, membutuhkan benar bantuan medis dokter. Dokter di antaranya akan memberikan obat jenis antidepresan. Ikutilah sepenuhnya saran dan dosis pemberian obat yang diberikan dokter.

Meski tidak semua orang melakukan bunuh diri karena mengalami depresi, tetapi 80 persen penyebab bunuh diri adalah depresi. Maka kita patut mewaspadai kemungkinan tindak bunuh diri yang bisa dilakukan penderita depresi.

Berikut ini tanda-tanda yang umumnya terjadi bagi seseorang yang kemudian mengambil tindak bunuh diri:

  • Mengasingkan diri dari lingkungan sosial. Mereka biasanya mulai bersikap tertutup dan menyendiri.
  • Kebiasaan makan dan tidur yang berubah.
  • Sikap dan perilaku berubah. Misalnya dulu penurut, tiba-tiba jadi pembangkang.
  • Mulai sering terlibat dalam kegiatan yang membahayakan kehidupan seperti tidak lagi takut mati.
  • Sering menyalahkan diri sendiri dan merasa tidak berharga.
  • Sering mengungkapkan secara langsung maupun tersirat bahwa ia ingin mati saja.
  • Pernah melakukan percobaan bunuh diri. Ini merupakan tanda yang cukup serius.

Jangan tertawakan atau sepelekan ketika seseorang mengatakan menyatakan ingin mati, atau bahkan mengungkapkan ingin bunuh diri. Bahkan meski ungkapan tersebut hanya secara sambil lalu. Ini bisa jadi ungkapan hatinya yang terdalam yang harus segera mendapat respon. Kata-kata seperti, "Saya sudah tidak tahan lagi", "Mereka tidak perlu mengkhawatirkan saya", atau "Mereka akan lebih baik tanpa saya", merupakan contoh pernyataan yang umum diungkapkan oleh mereka yang akhirnya bunuh diri.

Hal yang bisa kita lakukan untuk menolong orang yang ingin bunuh diri:

• Jadi pendengar yang baik

Cobalah jadi pendengar yang baik. Dalam banyak kasus, orang yang ingin bunuh diri biasanya menarik diri dan tertutup. Cobalah mendekatinya dan sadarilah bahwa kepedihan atau keputusasaan yang sedang ia rasakan benar-benar nyata. Coba secara halus menyebutkan bahwa Anda melihat beberapa perubahan sikap dan perilakunya sehingga dapat menggerakkan dia untuk membuka diri dan mencurahkan perasaannya kepada Anda.

• Berempati

Coba dalami perasaannya, dan katakan bahwa ia sangat berarti untuk Anda maupun orang lain. Jika ia bunuh diri, hal ini akan membuat Anda hancur dan orang lain juga.

• Jauhkan benda berbahaya

Jauhkan darinya benda berbahaya apapun yang bisa menjadi alat untuk bunuh diri. Pelaku bunuh diri biasanya melihat banyak alat yang tersedia di sekitarnya membuatnya memantapkan tekad untuk bunuh diri. Misalnya tali, pisau, cutter atau bahkan senjata api.

• Minta bantuan medis

Untuk kasus yang sudah cukup ekstrem, segeralah memanggil bantuan medis untuk menangani masalahnya. Misalnya sudah terjadi gangguan mental yang serius, Anda bisa segera menggunakan bantuan medis seperti psikiater atau rumah sakit jiwa yang tahu cara terbaik menanganinya.