Berani Mengambil Keputusan

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T454A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Di dalam hidup ada banyak keputusan yang mesti kita ambil. Kadang kita ragu mengambil keputusan karena tidak tahu bagaimanakah cara mengambil keputusan dengan baik. Namun adakalanya kita tidak mengambil keputusan karena takut.Alhasil kita sering “ketinggalan kereta” alias kehilangan kesempatan baik karena lamban mengambil keputusan.Berikut akan dibahas tentang beberapa penyebab mengapa kita takut mengambil keputusan dan bagaimanakah cara untuk mengatasi ketakutan itu.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Di dalam hidup ada banyak keputusan yang mesti kita ambil. Kadang kita ragu mengambil keputusan karena kita tidak tahu bagaimanakah caranya mengambil keputusan dengan baik. Namun adakalanya kita tidak mengambil keputusan karena kita takut. Alhasil kita sering "ketinggalan kereta" alias kehilangan kesempatan baik karena lamban mengambil keputusan. Berikut akan dibahas tentang beberapa penyebab mengapa kita takut mengambil keputusan dan bagaimanakah caranya untuk mengatasi ketakutan itu.

Pertama, kita tidak mengambil keputusan karena kita tidak tahu apakah keputusan itu adalah keputusan yang tepat atau tidak. Singkat kata, kita takut salah. Sudah tentu kita harus berhati-hati sebelum bertindak. Kita mesti mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya. Kita pun layak meminta pendapat orang, terutama orang yang berkompetensi di area di mana kita akan mengambil keputusan. Namun setelah kita melakukan semua itu, kita tetap harus mengambil keputusan. Nah, pada titik ini kita harus mengingat bahwa semua keputusan adalah keputusan yang terbaik di dalam keterbatasan yang ada. Singkat kata, keputusan yang terbaik adalah keputusan yang relatif terbaik, namun "terbaik" tidak sama dengan "sempurna." Terbaik bisa gagal, terbaik pun bisa keliru. Namun setidaknya kita harus dapat berkata bahwa kita telah mengambil keputusan yang terbaik berdasarkan data yang kita miliki.

Kedua, kita tidak mengambil keputusan karena kita tidak menyukai tanggung jawab. Kita senantiasa ingin berada di balik orang lain karena kita mau memikul tanggung jawab. Pada umumnya sikap seperti ini muncul dari dua sumber: (a) kita dimanjakan sehingga tidak pernah memikul tanggung jawab dan (b) kita takut menanggung akibatnya yang buruk. Mari kita lihat kedua penyebab ini satu per satu. Ada orang yang dimanjakan pada masa kecilnya sehingga ia tidak pernah diserahkan tanggung jawab. Semua telah diatur dan ia tinggal menerima hasilnya. Orang ini gamang menghadapi tanggung jawab. Begitu berhadapan dengan keputusan yang mesti diambil, yang terbayang adalah tanggung jawab. Dan, karena ia tidak terbiasa, kecenderungannya adalah melarikan diri. Ada pula orang yang takut mengambil keputusan karena ia takut dengan akibatnya. Mungkin ia sering menerima penghukuman dari orang tua sewaktu mengambil keputusan yang keliru. Atau, ia pernah mengalami akibat yang mengerikan gara-gara keliru mengambil keputusan. Nah, hal-hal seperti ini dapat membuat kita takut mengambil keputusan. Jika itulah penyebabnya, ada dua langkah yang dapat kita tempuh: (a) kita memulai dengan mengambil keputusan yang kecil terlebih dahulu atau (b) kita mengambil keputusan bersama-sama dengan orang lain. Makin sering kita mengambil keputusan secara tepat, makin bertumbuh kepercayaan diri kita. Jadi, mulailah dengan keputusan-keputusan kecil. Dan, bila kita mengambilnya bersama-sama dengan orang lain, kita pun tidak merasa terlalu takut. Jadi, mulailah dengan mengambil keputusan bersama orang lain.

Ketiga, kita tidak mengambil keputusan karena kita malas. Kita menyadari bahwa keputusan yang kita buat sama dengan bola yang berada di tangan—kita harus memukulnya ke lapangan lawan. Singkat kata, kita tidak bisa mendiamkan bola di tangan; kita harus berbuat sesuatu. Nah, ada di antara kita yang memang malas. Itu sebabnya kita menghindar dari keputusan karena kita tidak mau direpotkan melaksanakannya. Setiap keputusan akan merepotkan kita. Jadi, kita harus siap repot bila ingin mengambil keputusan. Bila kita menolak, pada akhirnya orang akan terus mengambilkan keputusan untuk kita dan itu berarti, kita tidak akan bertumbuh dewasa. Masalahnya adalah, orang pun akan sulit memercayai kita dengan tanggung jawab apa pun karena melihat kita belum dewasa. Dan, tidak bisa tidak, kita pun akan makin kehilangan kepercayaan diri. Belum lagi, orang makin tidak respek kepada kita. Singkat kata, untuk melawan kemalasan, kita mesti mengingat harga mahal yang mesti dibayar.

Keempat, kita tidak mengambil keputusan karena adanya kebutuhan pribadi dalam diri kita untuk dilihat orang "baik atau sempurna". Kadang keputusan yang kita ambil berbeda dari apa yang diharapkan orang. Tidak bisa tidak, bila kita mengambilnya maka orang akan kecewa atau malah marah pada kita. Adakalanya keputusan yang kita ambil—jika ternyata keliru—dapat membuat orang menilai bahwa kita tidaklah sebijak, secerdas atau seberpengetahuan yang mereka kira.

Sudah tentu adalah wajar bila kita ingin dilihat orang, baik, berpengetahuan, bijak dan cerdas. Namun pada akhirnya kita harus mengecilkan diri dan mencurahkan segenap perhatian pada hal yang mesti diputuskan. Biarlah orang menilai kita tidak sebaik dulu; jangan jadikan penilaian orang sebagai tolok ukur. Terpenting, kita mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan, bukan saja diri kita tetapi juga orang lain.

Kelima, kita tidak mengambil keputusan karena kita kurang beriman – kita kurang memercayai pemeliharaan Tuhan. Di dalam pengambilan keputusan, kita mesti mencari kehendak Tuhan. Setelah meyakininya, kita harus berserah secara total kepada pemeliharaan Tuhan. Kita mesti berjalan di jalan yang benar, apa pun rintangan yang mesti dihadapi.

Salah seorang, yang bukan saja berani mengambil keputusan tetapi juga dapat mengambil keputusan dengan tepat, adalah Yonatan, putra Saul. Kendati ia adalah putra mahkota, ia tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang mesti diterimanya. Ia tahu bahwa Tuhan telah memilih Daud untuk menggantikan ayahnya. Namun, Yonatan bertindak lebih jauh daripada sekadar meyakini pilihan Tuhan. Ia pun berani menentang ayahnya. Sebagai akibatnya bukan saja Saul mencacimakinya, Saul pun "melemparkan tombaknya kepada Yonatan untuk membunuhnya" (1 Samuel 20:33). Namun Yonatan bergeming; ia terus berjalan di atas keputusannya. Inilah yang menjadi dasar keputusannya, sebagaimana disampaikannya kepada Daud, "Janganlah takut, sebab tangan ayahku Saul tidak akan menangkap engkau; engkau akan menjadi raja atas Israel. Dan aku akan menjadi orang kedua di bawahmu . . . . " (1 Samuel 23:17)