Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Daniel Iroth akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Anakku Gay" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
DI : Pak Sindu, kalau melihat pembicaraan "Anakku Gay" bagian pertama, apa yang Pak Sindu bisa review kembali sehingga ini boleh menolong para pendengar untuk bisa mengikuti bagian kedua ini?
SK : Di bagian pertama kita melihat tentang respons yang keliru ketika orangtua mengetahui anaknya gay atau lesbian, yaitu sikap-sikap reaktif. Memarahi, menekan, memaksa menikah, memaksa ke dokter dan berbagai hal. Sementara respons yang benar adalah buanglah kemarahan kepada Allah agar tidak berimbas kepada anak atau pasangan. Yang kedua carilah rekan-rekan khususnya saudara-saudara seiman, keluarga Allah untuk mencurahkan isi hati dan menerima dukungan. Yang ketiga jagalah komunikasi yang terbuka dengan anak sehingga anak merasa cukup aman untuk bercerita.
DI : Kalau begitu Pak Sindu bisa melanjutkan dengan respons yang benar yang keempat.
SK : Yang keempat mari SEBAGAI ORANGTUA UNGKAPKAN KASIH DAN PENERIMAAN KEPADA ANAK DENGAN TETAP TEGAS DI DALAM KEBENARAN.
DI : Apa yang membuat kasih dan penerimaan ini betul-betul bisa menolong anak yang bergumul dengan masalah gay dan lesbian, Pak Sindu?
SK : Secara alami ketika seseorang mengalami ketertarikan sejenis dia sudah sadar dirinya salah dan sebagai masalah, orang yang punya aib dan cela. Jadi, dia pun sudah merasa tidak nyaman, ketakutan yang besar dihakimi, ditolak, diusir. Maka ketika orangtua yang dikira anak akan menolak mentah-mentah namun ternyata orangtua dengan lapang menyatakan kasih dan penerimaan maka itu akan melegakan hati anak, membuat anak akan tetap lebih mungkin respek dan menaruh percaya kepada orangtua.
DI : Apakah berarti kalau orangtua menerima anak itu sepenuhnya? Anaknya diterima sepenuhnya lalu gay atau lesbiannya juga diterima sepenuhnya ?
SK : Pertanyaan Pak Daniel tepat sekali. Menerima tidak sama dengan membenarkan. Menerima keberadaan anak kita yang demikian tidak sama dengan membenarkan perilaku ketertarikan sejenisnya. Jadi, seperti halnya anak kita ‘kan berulang kali bersalah. Dari mungkin pernah membohongi, menyontek waktu ulangan di sekolah, menyakiti adiknya atau kakaknya atau menyakiti kita dengan kata-kata yang tajam, bukan berarti karena sikap yang salah itu kita lantas tidak mengasihi dan tidak menerimanya? Kita tetap menyayangi, memeluk, tetap memberikan apa yang dibutuhkan, tapi secara bersamaan kita juga tegas terhadap ketidakbenaran. "Kamu sudah menyontek. Itu salah!" "Kamu sudah tidak hormat pada orangtua. Itu salah. Ayo, mengaku salah dan tidak mengulangi lagi." Sejalan dengan itu kita tetap memberi kesempatan menyatakan kasih sayang. Kembali ke hal ini, prinsip yang sama dalam pengasuhan kita sebagai orangtua.
DI : Tentunya penerimaan ini sangat berguna buat anak yang mengalami gay itu. Bisakah Pak Sindu memberikan penjelasan lebih dalam lagi mengapa kasih sayang dan penerimaan itu sangat dibutuhkan oleh anak itu? Maksudnya mengapa ini sangat penting?
SK : Itu akan mengisi tangki cintanya. Sesungguhnya yang terjadi kenapa anak kita bisa mengalami ketertarikan sejenis karena di masa 0-12 tahun ada kebutuhan kasih sayang dan peneguhan yang kita orangtua atau minimal salah satu orangtua tidak memenuhinya. Sebenarnya kalau kita mau lebih jelas lagi, faktor dasar kesalahan ada pada kita orangtua. Maka kesalahan kita sebagai orangtua di masa lalu yang mengabaikan anak kita, baik kita sebagai ayah dan ibu, tidak kita lanjutkan dengan kesalahan yang kedua dengan penolakan ketika kita tahu anak kita mengalami ketertarikan sejenis. Mari berikan pelukan, berikan pengakuan bahwa aku sayang kamu. Mari kita berikan juga penerimaan. Jangan homophobia. Homophobia adalah suatu sikap dan rasa takut terhadap kaum yang tertarik sejenis. "Ih, jijik aku sama kamu. Pergi sana!" Keliru! Orang yang tertarik sejenis itu tetap manusia. Bedanya hanya satu hal yaitu orientasi ketertarikan seksualnya pada sesama jenis.
DI : Saya melihat penerimaan ini akan menolong anak untuk bisa menghadapi persoalan gay yang dihadapi. Kalau dia mengalami penolakan, dia akan kesulitan menghadapi persoalan gaynya. Karena dia dobel persoalannya, sudah dia gay, dia ditolak juga oleh orang lain. Jadi, penerimaan itu sangat perlu ya. Memang sangat-sangat dibutuhkan.
SK : Ya. Dengan demikian akan memberi landasan untuk langkah berikutnya. Kita lebih mungkin punya jembatan untuk menolong pemulihan anak kita itu. Tanpa ada kasih dan penerimaan yang secara nyata orangtua nyatakan kepada anak yang tertarik sejenis itu, dengan kata lain tidak ada jembatan untuk memulihkan anak kita.
DI : Tadi Pak Sindu sudah menyebutkan bentuk penerimaan dan kasih dengan memberikan pelukan, sentuhan. Saya pikir bentuk-bentuk bahasa kasih yang lain juga bisa diberikan kepada mereka ya?
SK : Ya. Sejalan dengan itu kita tetap tegas dalam kebenaran seperti tadi saya ungkapkan. Artinya kita menerima pergumulannya, keberadaannya sebagai orang yang tertarik sejenis. Tetapi kita menolak perilaku homoseksualnya. Mungkin dia sudah punya pacar, apa boleh buat, kita bicara, "Papa dan mama mengerti pergumulanmu. Kamu sampai punya pacar sejenis. Sebenarnya dalam hati papa dan mama tidak setuju dengan perilaku seksualmu. Walaupun demikian papa dan mama tetap sayang padamu. Papa dan mama tidak setuju dan tidak mendukung perilaku homoseksualmu tapi papa dan mama tetap menghargai kamu sebagai sosok, kamu tetap anak papa, kamu tetap anak mama. Kami peduli padamu." Inilah yang perlu kita nyatakan sekaligus, kasih dan penerimaan berdampingan dengan kebenaran.
DI : Maksudnya tegas dalam kebenaran ini praktisnya seperti apa, Pak Sindu? Apakah misalnya orangtua sampai memberikan sikap atau tindakan untuk menghalangi anak ini bertemu dengan pacar gaynya? Atau anak ini sekolah di luar negeri dan orangtua tidak lagi mendukung keuangannya kalau anak ini meneruskan gaynya. Apa bisa seperti itu, Pak Sindu? Ada satu kasih yang tegas dan kuat. Jadi, kasih menerima tetapi juga ada tindakan-tindakan konsekuensi. Kalau anak ini tetap gay orangtua melakukan sesuatu untuk bisa menghalangi.
SK : Untuk kasus ketertarikan sejenis kita ada perlakuan yang berbeda dengan kasus-kasus yang lain. Satu sisi ketertarikan sejenis ini tidak bisa diputus dengan cara kita mendisiplin, dengan kita tidak mengirim uang bila anak di luar kota, dengan mengancam kalau dia tetap jadi gay kita tidak lagi menguliahkannya. Itu tidak mempan. Itu sudah terlanjur basah menjadi bagian struktur jiwanya. Langkah yang tepat, sikap, kasih dan penerimaan berbarengan dengan tegas dalam kebenaran adalah, "Oke, kamu mau ketemu pacarmu ya kita izinkan." Kalau toh kita tak izinkan dia akan tetap bertemu pacarnya di belakang kita dan itu berarti semakin liar, kita semakin tidak akan tahu perkembangannya. Dia juga bisa keluar rumah kemudian melakukannya dengan bebas di luar (backstreet). Jadi, lebih baik kita mengatakan, "Oh, kamu punya pacar? Oke" Tentu hati kita hancur ya, tapi kita bisa membuat batasan. "Tapi mama dan papa tidak bisa mengijinkan pacarmu menginap di rumah ini. Kalau pacarmu datang bertamu, tidak apa-apa." Mungkin kita bisa ajak pacarnya makan bersama di rumah kita untuk menjalin pertemanan. Kembali tujuannya bukan untuk membenarkan tetapi kita membangun tali-tali relasi untuk menjembatani penyembuhan, pemulihan secara mendasar anak kita. Mungkin dalam anugerah Tuhan Ia memakai kita untuk menolong kekasih anak kita itu.
DI : Ya. Memang ada satu ketegasan yang kuat disini ya, salah satunya tidak mengijinkan anak untuk tidak tidur di pacarnya yang gay itu. Selain menolak kekasihnya tidur di rumah kita.
SK : Maksud saya tidak mengijinkan anak tersebut membawa pacarnya tidur di rumah kita, tapi perkara anak ini mau menginap tidur di rumah pacarnya dan itu sudah terjadi sebelum-sebelumnya, kita tidak bisa menghalangi. Terutama ketika anak sudah lulus SMA, sudah usia kerja, apalagi dia sudah tidak tinggal di rumah kita, semakin kita tidak bisa menghalangi. Poinnya adalah di rumah kita ini. Di rumah kita memberikan batasan teritori. "Kami menerima kamu, kami menerima pacarmu, tapi kami tidak membenarkan perilaku kalian. Kalau kalian masuk rumah ini kami menerima, kami mengasihi. Tapi kami tidak mengizinkan kalian tidur di satu kamar di rumah ini." Itu satu cara usaha kita sebagai orangtua memberi batasan.
DI : Jadi, orangtua bisa mengerti batasan yang orangtua miliki dengan harapan anak bisa melihat perilaku yang salah. Itu yang saya lihat dalam langkah kelima yaitu tegas dalam kebenaran. Kemudian apa langkah berikutnya, Pak Sindu?
SK : Langkah berikutnya adalah SEBAGAI ORANGTUA BERTUMBUHLAH DALAM RELASI DENGAN TUHAN DAN TUBUH KRISTUS. Kenalilah relasi-relasi yang keliru di masa lalu, temukan akar masalah kita dan akar masalah anak kita. Akuilah kelalaian dan dosa kita di masa lalu dan terimalah dukungan. Bangunlah keberhargaan diri yang sejati di dalam Kristus.
DI : Sangat menarik untuk melihat bertumbuh dalam relasi dengan Tuhan dan tubuh Kristus. Apa pentingnya untuk orangtua terus bertumbuh dalam Kristus dan dalam tubuh Kristus, Pak Sindu?
SK : Ada sisi orangtua yang memberikan pondasi anak kita bertumbuh menjadi sosok yang tertarik sesama jenis. Kontribusi yang negatif dalam diri kita tanpa disadari, inilah yang perlu kita kenali. Kita angkat ke permukaan. Dipulihkan untuk kemudian memperbesar kemungkinan kita untuk menolong anak kita dalam keterpurukannya. Jadi, ada hubungan sebab akibat. Anak tertarik sejenis karena orangtua yang mengalami hambatan internal dalam dirinya. Ketika anak sudah dewasa dan orientasi seksualnya ini menetap, orangtua tetap punya kuasa untuk menolong anak terangkat dari keterpurukannya yaitu dengan cara orangtua mempertumbuhkan diri maka itu akan memperbesar kemungkinan anak kita bertumbuh pula dari keterpurukannya untuk keluar dari belenggu ketertarikan sejenisnya itu.
DI : Kalau orangtua bertumbuh maka akan memberikan dampak kepada anak ikut bertumbuh juga ya.
SK : Ya.
DI : Tadi disebutkan relasi-relasi yang keliru di masa lalu. Apakah ini berkaitan dengan orangtua mungkin bersifat otoriter atau relasi-relasi demikian yang bisa membuat anak menjadi gay? Bagaimana penjelasannya Pak Sindu mengenai kenali relasi yang keliru di masa lalu, akar masalah?
SK : Bermacam-macam kemungkinannya, Pak Daniel. Sebagian orangtua dominan. Baik ayah yang dominan atau sebaliknya ibu yang dominan.
DI : Apa pengertiannya, Pak Sindu?
SK : Mendominasi, mengarahkan, otoriter itu tadi. Jadi, orangtua menjadi ayah yang bengis, ayah yang galak, ayah yang selalu menuntut dan minim apresiasi / penghargaan kepada anak. Ini yang membuat anak kita bisa mengalami ketertarikan sejenis. Atau sebaliknya kalau ayah yang dominan, ibunya yang pasrah, sangat pasif atau sangat penurut. Ibu yang dominan cenderung otoriter, ayahnya yang pasif dan pasrah. Ini yang perlu diperbaiki dan dipulihkan. Atau sebaliknya tidak ada yang otoriter, misalnya ayahnya yang pasif. Ibunya yang mengisi tangki cinta sang anak dengan cinta yang cukup baik. Tapi ayahnya yang tidak bergaul secara emosi dengan anak laki-lakinya sehingga anak laki-lakinya tumbuh dalam ketertarikan sesama laki-laki. Ini yang butuh didiagnosa akar masalahnya. Ini bisa ditolong salah satunya lewat proses konseling yang mendalam dengan konselor yang kompeten akan menolong memahami akar masalah dari masing-masing pihak orangtua. Apalagi didukung oleh komunitas tubuh Kristus yang baik yang fungsional yang berperan seperti yang Tuhan mau, ini akan menolong orangtua untuk masuk dalam fase kedukaan. "Ternyata aku begini ya. Aduh, hancurnya hatiku. Aku selama ini salah. Aku pikir tidak apa-apa yang penting aku kerja, yang penting aku memerhatikan anak dari segi finansial pokoknya diberi sekolah yang baik, diantar ke Sekolah Minggu di gereja yang baik. Ternyata itu belum apa-apa." Ada kemarahan dan kekecewaan di dalam diri orangtua itu sendiri. Ini juga butuh proses pemulihan. Maka dengan konseling mendalam dan komunitas tubuh Kristus yang baik, proses pemulihan orangtua akan berjalan optimal dengan dukungan keluarga Allah. Keberhargaan yang sejati pun dibangun. Agar tidak reaksioner kepada anak. "Ah, kamu ini memalukan. Kamu membuat keluarga kita tidak lagi utuh." Kita mengkambinghitamkan anak kita sepenuhnya. Ini tidak terjadi kalau orangtua bertumbuh dari sisi-sisi kehancurannya.
DI : Disebutkan membangun keberhargaan diri yang sejati di dalam Kristus. Ini memang sangat menolong ya. Bagaimana dengan langkah berikutnya, Pak Sindu?
SK : Langkah berikutnya adalah TETAPLAH SETIA MENDOAKAN. TETAP BERHARAP KEPADA TUHAN DAN PERBAIKI RELASI DENGAN ANAK. Pahamilah bahwa kesalahan pengasuhan di masa lalu bukan berarti tamat riwayat sama sekali. Ada jalan kelepasan dari belenggu homoseksualitas dan terbukti sudah ada sekian orang yang berhasil keluar dari belenggu ketertarikan sejenis ini.
DI : Maksudnya pergumulan untuk tetap setia, berharap kepada Tuhan dan memperbaiki relasi dengan anak?
SK : Termasuk di dalamnya orangtua perlu bersedia dengan sepenuh hati meminta maaf kepada anak. Minta maaflah untuk hal-hal yang memang orangtua tidak kerjakan terutama sebagai ayah melalaikan anak laki-lakinya atau ayah yang bengis kepada anak laki atau anak perempuannya, ibu yang terlalu dominan, ibu yang menjadikan anaknya itu seperti pasangannya secara emosi, jadi adakalanya ada ayah yang tidak berfungsi dalam keluarga soal ekonomi atau soal memenuhi kebutuhan emosi sang ibu akhirnya ibu curhat kepada anaknya tanpa sadar terjadi semacam ‘incest’ secara emosional, baik kepada anak perempuannya maupun kepada anak laki. Sang ibu perlu meminta maaf telah menjadikan anak tong sampah emosinya yang seharusnya disalurkan kepada pasangan. Dan kalau pasangan tidak berfungsi, harusnya datang ke konselor atau ke rekan-rekan sesama orang dewasa di tubuh Kristus. Mintalah maaf. Bersedialah tampil rentan di depan anak. Dengan kita mengakui kesalahan dan kerentanan kita di depan anak maka itu akan memberi jembatan rekonsiliasi dengan anak. Anak pun merasa, "Oh bukan hanya aku yang hancur, orangtuaku pun hancur dan mau mengakuinya." Maka akan memberi landasan untuk bisa saling menerima dan anak akan merasa jauh lebih aman dengan orangtua yang mau tampil rentan.
DI : Ya. Sangat menarik kalau orangtua berani tampil rentan ya. Itu juga akan menolong dia bisa bersahabat dengan anaknya sendiri.
SK : Ya. Dengan demikian anak tidak merasa digurui atau dituntut. Karena berarti ketika orangtua mau minta maaf dan bersedia mengakui kesalahan-kesalahannya dan dengan demikian tampil rentan, maka duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Jadi, ketika orangtua mau menjalani konseling maka itu juga akan memberi inspirasi kepada anak, "Oh, orangtuaku yang usianya jauh lebih tua mau konseling mendalam, mau menerima proses pemulihan. Kenapa tidak aku yang lebih muda juga mau ikuti jejak teladan yang baik dari orangtuaku ini?" Itu memberi inspirasi bagi sang anak.
DI : Tentunya orangtua memunyai tahapan-tahapan ketika dia mengalami dukacita, Pak Sindu.
SK : Betul. Ada proses dukacita, rata-rata dukacita itu melewati lima proses yaitu menyangkal, marah, tawar menawar, depresi dan menerima. Jadi, ada keterhilangan yang dialami tentang anak yang tertarik sejenis ini. Kemudian akan ada juga rasa duka, luka. Mari orangtua jalani proses ini. Bukan hanya anak yang bermasalah yang berduka tapi orangtua pun mengalami. Jalani proses itu, libatkan Allah, libatkanlah tubuh Kristus.
DI : Bagaimana kita sebagai sesama tubuh Kristus, sebagai pendeta, rekan jemaat, sahabat orangtua yang bergumul, sikap seperti apa yang kita bisa berikan, Pak Sindu?
SK : Mari berhenti menghakimi dan limpahkan dukungan dalam bentuk mendengar untuk memahami, bukan mendengar untuk menjawab, bukan mendengar untuk menghakimi. Pahami, rasakan dukanya. Kemudian beri ruang, kita mendoakan, berproses. Kalau kita tidak mengerti langkah tehnisnya, dampingilah orangtua tersebut untuk datang ke konselor yang berkompeten supaya ada proses yang tepat langkah demi langkah. Tidak ada pemulihan yang instan tetapi di dalam nama Yesus ketika orangtua, apalagi ketika tubuh Kristus berfungsi mau merendahkan diri berproses, maka harapan bagi anak-anak kita yang mengalami ketertarikan sejenis tetap ada. Ada pemulihan. Memang ketertarikan sejenis tidak bisa dihilangkan sama sekali. Tapi ketika anak kita membuka hati, berproses dalam tubuh Kristus dalam proses tahap-tahap pemulihan, maka rasa ketertarikan itu akan jauh lebih teredam, dia punya gambar diri yang baru di dalam Kristus, dia akan bisa memilih dua hal – aku akan selibat (tidak menikah) atau aku akan menikah dengan lawan jenis sambil menjalani proses dukungan tubuh Kristus. Inilah anugerah yang masih bisa kita harapkan dari Tuhan.
DI : Bagaimana dengan firman Tuhan untuk bagian ini, Pak Sindu ?
SK : Saya bacakan dari Mazmur 68:20, "Terpujilah Tuhan! Hari demi hari Ia menanggung bagi kita. Allah adalah keselamatan kita." Mari imani dan kerjakan bagian kita karena Dia adalah sumber pertolongan dan hari demi hari Ia siap menopang kita.
DI : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Anakku Gay" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.