Anakku Gay (I)

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T495A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, MK.
Abstrak: 
Mengetahui anak menyukai sesama jenis bisa menjadi pukulan paling menyakitkan bagi orangtua. Seringkali orangtua meresponinya dengan keliru – marah, menolak sang anak, menyuruhnya menikah dengan lawan jenis, dan lain-lain – yang ternyata malah memperburuk hubungan anak dengan orangtua
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Ketertarikan sejenis muncul secara mendasar pada fase 0 – 12 tahun. Bila dalam 12 tahun pertama, anak tidak mendapatkan peneguhan dari kedua orang tuanya, rasa aman dari kedua orangtuanya yang meneguhkan jati diri seksualnya, sangat mungkin ketika memasuki masa akil balig, masa remaja, merupakan modal untuk merasa tertarik sejenis. Kondisi anak yang gay atau lesbian juga akan menghamtam harga diri orangtuanya, merasa dipermalukan. Kondisi ini juga akan mengakibatkan anak memilih untuk meninggalkan rumah, kota asalnya termasuk kuliahnya. Lari ke kota lain untuk bekerja, minimal untuk mencari tempat tinggal. Dia sudah memunyai jaringan teman-teman di kota lain yang senasib sepenanggungan sebagai kaum ketertarikan sejenis. Tapi ada pula yang tetap tinggal di rumah orangtua karena masih bergantung secara ekonomi terutama bila orangtuanya sangat kaya.

Kekeliruan orang tua memandang hal ini sebagai penyakit atau kerasukan roh; sesungguhnya ketertarikan sejenis ini merupakan bagian dari struktur jiwa atau struktur kepribadian orang tersebut.

Respons yang benar dari orangtua adalah:

  1. Buang kemarahan kepada Allah, agar tidak tertumpah kepada si anak atau pasangan kita. Ungkapkan perasaan marah, panik, emosi negatif kepada Tuhan atau memaksa anak untuk menikah.
  2. Cari rekan dimana kita dapat mencurahkan isi hati dan mendapatkan dukungan. Rekan seiman yang dapat dipercaya sebagai komunitas tubuh Kristus.
  3. Jaga agar komunikasi tetap terbuka dengan anak. Jadilah pendengar yang baik, hindari perdebatan. Sejak kapan dan apa yang membuat anak bisa tertarik dengan teman sejenis. Buatlah situasi dimana anak cukup aman untuk bercerita dengan leluasa. Dengan komunikasi yang baik dan lebih terbuka maka proses penanganan berikutnya yang lebih tepat.
  4. Ungkapkan kasih dan penerimaan kepada anak dengan tetap tegas dalam kebenaran. Menerima keberadaan anak tidak sama dengan membenarkan perilaku ketertarikan sejenisnya. Orangtua tetap menyayangi, memeluk, memberikan apa yang dibutuhkan tapi juga tegas terhadap ketidakbenaran. Misalnya : mengijinkan pacarnya datang tetapi tidak mengijinkan menginap, jadi hanya sebatas bertamu saja. Orangtua bisa mengajak pacarnya makan bersama di rumah, untuk menjalin pertemanan. Tujuannya bukan untuk membenarkan tetapi untuk membangun tali-tali relasi untuk menjembatani penyembuhan, pemulihan secara mendasar dari anak tersebut.
  5. Bertumbuh dalam relasi dengan Tuhan dan tubuh Kristus. Kenali relasi-relasi yang keliru di masa lalu, temukan akar masalah orangtua dan akar masalah anak. Akui bila ada kelalaian di masa lalu. Kontribusi negatif tanpa disadari perlu dikenali, diangkat ke permukaan dan dipulihkan. Setelah dipulihkan akan memperbesar kemungkinan untuk menolong anak dari keterpurukannya. Jadi ada hubungan sebab akibat. Akar masalah perlu didiagnosa misalnya lewat konseling yang mendalam dengan konselor yang kompeten sehingga akar masalah masing-masing pihak bisa diketahui. Apalagi bila didukung oleh komunitas tubuh Kristus yang baik dan fungsional. Hal ini akan menolong orangtua menyadari kesalahannya. Diharapkan proses pemulihan orangtua akan berjalan secara optimal.
  6. Tetap setia mendoakan, tetap berharap kepada Tuhan dan perbaiki relasi dengan anak. Pahami bahwa kesalahan pengasuhan di masa lalu bukan berarti segalanya tamat. Ada jalan kelepasan dari belenggu homoseksualitas dan terbukti sudah ada sekian orang yang berhasil keluar dari belenggu ketertarikan sejenis ini. Orangtua perlu bersedia meminta maaf kepada anak atas hal-hal yang dilalaikan atau tidak memenuhi kebutuhan emosi pasangan sehingga ibu curhat kepada anaknya, tanpa sadar terjadi semacam ‘incest’ secara emosional, baik kepada anak perempuan maupun anak laki. Sebagai orangtua berani tampil rentan.

Sebagai sesama tubuh Kristus, berhenti menghakimi dan limpahkan dukungan dalam bentuk mendengar untuk memahami. Tidak ada pemulihan yang instan, tapi ketika orangtua mau merendahkan diri maka harapan bagi anak-anak yang mengalami ketertarikan sejenis tetap ada.